EMPAT BELAS-LAQUETA

Empat belas

Laqueta duduk dengan gelisah, dia akan bertemu dengan orang tua Meesam, mereka akan menjadi mertuanya, bagaimana bisa Laqueta bersikap tenang.

"Orang tua aku nggak seram, mereka senang mau ketemu sama kamu. Tenang aja, okay?" Ucapan Meesam sama sekali tidak membuat Laqueta tenang, kenapa Laqueta justru merasa kalimat itu seperti ejekan?

"Langsung ke rumah orang tua kamu?" tanya Laqueta pelan.

"Iya, mau kemana lagi?"

"Kita nggak beli sesuatu?" Bukankah kalau ingin mengunjungi rumah orang harus membawa buah tangan? Setidaknya itu yang Laqueta pahami selama ini. Jangan datang ke rumah orang dengan tangan kosong.

"Orang tua aku nggak mau apapun, ketemu kamu aja mereka udah senang." Meesam menoleh sebentar lalu kembali melihat jalan raya.

"Tapi kalau kamu memang mau bawa sesuatu nggak masalah, mereka pasti senang dapat buah tangan dari calon menantunya." Sungguh Laqueta merasa kalau Meesam sangat ahli dalam hal membuat Laqueta gugup.

"Terserah."

"Mama suka kue, nanti kita beli dulu di toko roti langganan mama." Laqueta mengangguk saja. Jangan lupa, dia masih gugup.

Meesam menepikan mobilnya dan memarkirkannya di depan sebuah toko roti.

"Ikut turun? Biar tau kue kesukaan mama," goda Meesam. Laqueta mendengus, meskipun begitu dia tetap turun mengikuti pria itu.

"Mama nggak suka makanan atau minuman yang terlalu manis, yang biasa aja," jelas Meesam setelah memesan beberapa kue.

"Okay," jawab Laqueta seadanya. Semakin cepat waktu berlalu membuat Laqueta semakin gugup karena tidak lama lagi dia akan bertemu dengan orang tua Meesam. Andai Lagi bisa pingsan, dia pasti akan melakukan itu.

"Masih gugup aja."

"Jangan ganggu aku." Laqueta rasanya sudah ingin menangis, tetapi Meesam masih saja sibuk mengganggunya.

"Iya-iya, maaf."

Meesam membayar kuenya lalu mengajak Laqueta kembali ke mobil.

"Sebentar lagi sampai, jangan gugup lagi. Aku nggak tanggung loh kalau kamu sampai pingsan."

Cukup sudah.

"Hentikan mobilnya!" teriak Laqueta membuat Meesam terkejut. Apa salahnya?

"Kenapa?" Bukannya menurut, tetapi Meesam semakin mempercepat laju mobilnya.

"Kalau kamu ganggu aku lagi, aku pasti lompat!" ancam Laqueta setengah membentak.

"Merajuk terus," gumam Meesam. Pria itu tidak kesal, justru merasa terhibur dengan sikap Laqueta yang seperti ini, Laqueta yang merajuk membuat Meesam bahagia, hal ini tidak pernah dibayangkan pria itu sebelumnya.

Laqueta menautkan jemarinya dan mengatur nafasnya agar lebih tenang. Banyak pikiran buruk yang datang ke pikirannya, bagaimana jika orang tua Meesam tidak menyukainya? Status mereka berbeda, Meesam adalah seorang bos sedangkan Laqueta anak buah. Bagaimana jika dia dihina? Laqueta mungkin bisa menahan hinaan untuk dirinya sendiri, tetapi bagaimana kalau mereka menghina orang tuanya? Laqueta tidak akan terima jika hal itu terjadi.

Laqueta akan melawan jika orang tuanya dihina, resiko terburuknya adalah dipecat dan tidak bisa mendapat pekerjaan di perusahaan mana pun. Apa keputusannya untuk menerima Meesam adalah sebuah kesalahan? Apa Laqueta sudah bertindak di luar batas dengan ini? Apa—

"Laqueta sudah sampai, ayo turun." Laqueta tersentak, nafasnya memburu. Hal yang dipikirkannya tadi sangatlah buruk, begitu banyak pertanyaan dan itu semua menyiksanya.

"Laqueta kenapa?" tanya Meesam panik. Melihat Laqueta mengeluarkan keringat dingin tentu saja menimbulkan kekhawatiran pada dirinya. Apa bertemu dengan orang tua Meesam seburuk itu bagi Laqueta?

"Aku. Aku pulang. Aku pulang aja." Laqueta panik, air matanya sudah menetes. Laqueta sangat takut.

Meesam tidak habis pikir, apa ini karena godaannya tadi atau pikiran buruk Laqueta mulai menguasainya? Meesam tidak bisa menahan diri, mereka sudah melangkah sejauh ini, tidak mungkin dibatalkan begitu saja hanya karena ketakutan Laqueta yang tidak masuk akal. Banyak orang yang gugup bertemu dengan orang tua calon pasangannya, tetapi tidak ada yang seperti Laqueta ini. Laqueta terlalu berlebihan.

"Laqueta dengerin aku." Meesam memegang pundak Laqueta cukup erat.

"Kenapa kamu nangis? Kamu takut? Apa yang kamu takutkan?" Meesam sedikit membentak membuat Laqueta ciut.

"Aku takut kalau orang tua kamu nggak suka sama aku," jawab Laqueta pelan, sedikit terintimidasi dengan tatapan yang dilayangkan Meesam.

"Aku udah bilang kan kalau kalau orang tua aku senang karena akan bertemu dengan kamu. Jangan khawatir, singkirkan pikiran buruk kamu!"

"Kenapa kamu marah?" Laqueta ikut menaikkan suaranya. Lihat, mereka sudah bertengkar meskipun belum hidup bersama.

"Astaga." Meesam melepaskan cengkramannya lalu menyandarkan tubuhnya. Meesam lelah.

"Kakak, keluar dong. Gue udah nunggu lama nih, tega amat lo sama kami." Meesam dan Laqueta kompak menoleh ke jendela tepat di samping Laqueta. Seorang gadis mengetuk kaca jendela sambil berteriak.

"Itu adik aku, ayo keluar atau dia akan memecahkan kaca itu," ujar Meesam pelan, bahkan sangat pelan tetapi Laqueta masih bisa mendengarnya.

Laqueta membuka pintu setelah menghela nafas pelan. Untung saja adik Meesam itu segera menggeser tubuhnya sehingga tidak tersenggol.

"Hallo kakak, aku Alish. Salam kenal," sapa adik Meesam itu diiringi senyum manisnya.

"Salah kenal juga Alish, aku Laqueta." Laqueta juga membalas senyum yang dilontarkan Alish.

"Aku seneng banget bisa ketemu sama kakak." Alish menggandeng tangan Laqueta dan membawanya masuk ke dalam rumah, mengabaikan Meesam yang masih berdiri dengan tangan memegang plastik berisi kotak kue.

"Aku udah dengar tentang kakak dari kak Aliza, katanya Kak Meesam suka sama kak Laqueta dari SMA ya? Tapi kakak aku itu emang cupu, nggak berani ngungkapin." Alish terus berbicara mengenai Meesam yang baginya cupu karena tidak bisa mengatakan isi hatinya sendiri.

"Maaaa, Alish bawa menantu untuk Mama nih!" Alish berteriak memanggil mamanya.

"Alish, kakak kamu akan membawa menantu dan kamu ikut-ikutan? Di mana Danu?"

Seorang wanita paruh baya datang membuat Laqueta gemetar, gadis itu menebak kalau dia adalah mamanya Meesam.

"Kok Danu sih, Ma. Ini Kak Laqueta."

Ambar—mamanya Meesam—menghampiri Laqueta dan mengusap kepala calon menantunya itu. Ketika Laqueta mengangkat tangannya untuk mencium tangan Ambar, dapat dilihat oleh wanita paruh baya itu kalau tangan Laqueta gemetar. Ambar menahan senyumnya melihat itu.

"Untuk gue?" Alish langsung merampas plastik di tangan Meesam yang baru datang.

"Yang sopan," tegur Meesam. Seingatnya tadi Alish menggunakan kata 'aku' kepada Laqueta, kenapa dengan dirinya berbeda?

"Alish, kenapa kamu pulang? Ini belum waktunya pulang sekolah." Ambar menatap anak bungsunya yang sedang melihat isi plastik di tangannya.

"Katanya Kak Meesam mau bawa Kak Laqueta, makanya aku pulang duluan," jawab Alish santai, sangat santai.

"Alish!"

"Sudahlah, Ma. Biarin aja, udah terlanjur, hukumannya nanti aja dipikirin," lerai Meesam, jengah juga melihat perdebatan ini, bisa-bisa Laqueta semakin canggung, Meesam juga yang repot.

"Iya, gara-gara kamu nih. Laqueta, ayo ikut sama Tante."

"Eh." Laqueta terkejut karena tiba-tiba ditarik oleh Ambar meninggalkan Meesam dan Alish.

🦋🦋🦋

4 Februari 2021

Revisi: Rabu, 12 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top