DUA BELAS-LAQUETA

Dua belas

Di sinilah Meesam dan Laqueta berada, di sebuah cafe yang langsung mengarah ke pantai. Spot yang bagus untuk bersantai.

Lain halnya dengan Laqueta, meskipun pemandangan dari sini bagus, tetap saja Laqueta lebih suka rebahan di dalam kamar, bahkan ia sudah kelihatan tidak nyaman berada di sini.

"Panas, ya?" tanya Meesam karena Laqueta mengibaskan tangannya di depan wajah. Sebenarnya nggak terlalu panas, Laqueta saja yang bertingkah.

"Enggak terlalu, sih," jawab Laqueta lalu menurunkan tangannya, nggak lucu kalau mulutnya mengatakan tidak sedangkan tangannya mengisyaratkan kebalikannya. Meesam manggut-manggut saja, takut salah bicara.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Laqueta karena daritadi Meessam hanya diam, padahal katanya mau bicara.

"Aliza bilang apa sama lo tentang pernikahan? Lo serius mau nikah sama gue?" Laqueta terkejut, tidak menyangka kalau Meesam menanyakan hal ini. Kalau tau ini yang ingin dibicarakan Meesam, Laqueta pasti langsung menolak ajakan Meesam tadi.

Lain dengan Laqueta yang kebingungan, Meesam menunggu jawaban Laqueta dengan cemas, tidak ada waktu untuk mundur, kalau Laqueta menolak, maka Meesam tidak akan memaksa.

"Iya." Meesam terkejut. Iya? Artinya, Laqueta mau menerima Meesam? Rasanya Meesam adalah orang yang paling bahagia hari ini.

"Lo yakin?" Sesenang-senangnya Meesam, tetap tidak menutupi kejanggalan di hatinya. Masalahnya ini adalah Laqueta, gadis pendiam yang sudah Meesam kenal sejak SMA.

"Iya." Tuh, kan, jawabannya singkat, mana bisa Meesam menahan pikiran negatifnya.

"Kamu terpaksa?" tanya Meesam lo, bagaimanapun juga ia tidak ingin memaksa, makanya selama ini ia tidak pernah berterus terang.

"Enggak." Jawaban yang sungguh mengejutkan Meesam. Sungguh, Laqueta tidak terpaksa?

"Jadi? Lo ... suka sama gue?" Laqueta terkejut mendengar pertanyaan Meesam yang terkesan percaya diri. Laqueta bahkan tidak tau harus menjawab apa.

"Sedikit." Cuma sedikit, ingatkan Meesam tentang hal itu.

"Owh." Meesam tidak bisa menahan rasa kecewanya, ia pikir Laqueta diam-diam menaruh hati padanya.

"Lo mau nikah karena suka sedikit?"

"Bukan!" bantah Laqueta cepat.

Meesam menoleh. "Lalu?"

"Lo, jangan marah ya," pinta Laqueta memelas, ia takut kalau Meesam marah dan membatalkan rencana.

"Oke, janji." Meesam bahkan berjanji tanpa diminta.

"Lo ... lo kaya dan juga tampan." Meesam tidak bisa menahan rasa bahagianya ketika dipuji oleh Laqueta, meskipun gadis itu berkata seolah-olah dia hanya memanfaatkan Meesam saja.

"Hanya karena itu?" Bukannya apa-apa, soalnya kalau hanya tampan dan juga kaya, banyak yang seperti itu.

"Kata Aliza, lo ... suka sama gue," jawab Laqueta pelan di akhir kalimat. Jangan sampai Meesam menganggapnya ge-er.

Meesam mengangguk membenarkan, sekarang tidak ada lagi hal yang ditutupi kan?

"Gue bukan mau memanfaatkan perasaan lo, tapi yang gue tau, orang-orang memandang orang yang memiliki kuasa. Gue nggak mau dihina karena nggak punya kuasa apapun, gue nggak berniat untuk mengambil semua harta lo. Sungguh," jelas Laqueta.

"Laqueta, yang lo bilang memang benar. Gue nggak masalah dengan hal itu. Menurut gue, yang lo lakukan nggak salah," balas Meesam. Itu memang benar, yang dipandang hanyalah orang yang memiliki kuasa, jadi tidak salah kalau Laqueta berpikir seperti itu.

"Tapi, tidak semua orang seperti itu," lanjutnya sambil menatap wajah manis Laqueta.

"Orang-orang yang gue temui selalu seperti itu, tidak ada yang baik."

"Laqueta, jika kita berpikir tentang suatu hal, itu tidaklah salah. Tapi jangan selalu berpikiran buruk, itu juga tidak baik."

Dapat Meesam lihat tubuh Laqueta menegang, pembicaraan ini sepertinya sangat sensitif untuk gadis itu.

"Gue selalu berpikiran buruk, lo tau kenapa? Karena yang gue alami memang seperti itu. Orang-orang di sekitar gue tidak pernah menganggap gue ada, apa salah kalau gue juga menganggap mereka tidak ada?" ucap Laqueta pelan, sepertinya setelah mengatakan ini, luka gadis itu semakin terbuka.

"Semua orang? Orang tuamu? Bukannya mereka sangat menyanyangimu?" tanya Meesam, ia masih ingat orang tua Laqueta, mereka sangat menyanyangi anak mereka ini.

"Bukan orang tua gue, mereka bukan orang lain. Yang aku maksud adalah orang lain," bantah Laqueta kesal.

"Kita memang tidak bisa membuat orang menyukai kita, itu hak mereka. Tapi, tidak semua orang seperti itu kan?" Meesam ingin sekali membuat Laqueta merubah pikirannya, Meesam ingin Laqueta hidup penuh kebahagiaan tanpa pikiran buruk.

"Menurut gue semua orang sama saja, tidak ada yang benar-benar baik, selalu saja menyakiti hatiku."

Meesam tersenyum tipis, tangannya terangkat untuk memegang puncak kepala Laqueta lalu mengusapnya.

"Lo begitu tersakiti?" Laqueta mengangguk sekali, itu memang benar. Laqueta adalah orang yang pendiam, dia bahkan tidak mau mengusik orang lain, bukannya ada kalimat yang mengatakan apapun yang kamu lakukan, itu akan kembali padamu? Laqueta mempercayai itu, tetapi hal itu tidak pernah terjadi padanya.

Laqueta tidak mengusik orang lain, tetapi orang lain mengusiknya. Laqueta tidak pernah mengejek orang lain, tetapi orang lain malah mengejek dan juga mengganggunya. Laqueta adalah orang yang tidak tahan dengan ucapan kasar dan ejekan, Laqueta selalu menangis sendirian jika orang menyakitinya, tidak ada yang tau hal itu, bahkan orang tuanya.

Laqueta tidak percaya dengan siapapun, bagi gadis itu, yang bisa membuatnya bahagia hanyalah dirinya sendiri, ia bersikap seolah-olah tidak peduli, tetapi isi hatinya? Apa benar seperti itu? Tidak. Laqueta ingin seperti orang yang bisa melupakan masalahnya dalam sekejap, tetapi ia tidak bisa, setiap hari ada saja yang menyakiti hatinya, tentu hal itu terjadi karena pikirannya.

"Gue nggak akan nyakitin lo, Laqueta," ucap Meesam bersungguh-sungguh.

Mata Laqueta berkaca-kaca, selama ini tidak ada yang bisa memahami apa yang diinginkannya.

"Tolong, kasih tau apa yang nggak lo sukai. Gue nggak mau tanpa sadar nyakitin lo," lanjut Meesam.

"Gue nggak suka kalau orang ngomentarin apa yang gue lakukan, gimana ya, ah ... lo nggak akan ngerti maksud gue," ucap Laqueta ketika bingung mau menjelaskan seperti apa maksudnya, pokoknya isi hati Laqueta susah dijelaskan.

Meesam pun bingung, pantas saja Laqueta tidak bisa dimengerti, orangnya saja sulit menceritakan isi hatinya sendiri.

"Lo nggak suka kalau dikomentarin yang jelek-jelek?" tanya Meesam memastikan, manatau itu yang ingin diucapkan Laqueta.

"Bukan!" bantah Laqueta cepat. Bukan itu maksudnya.

"Misalnya gue ngelakuin sesuatu yang benar, jangan dikomentarin." Jawaban yang diberikan Laqueta semakin membuat Meesam bingung.

"Kalau lo salah, boleh dikomentarin, gitu?"

"Ck, bukan." Laqueta kesal sendiri.

"Susah jelasinnya, maksudnya tuh, aduh gimana sih."

"Oke-oke, jangan diterusin. Jadi kamu nggak mau dikomentarin kalau apa yang kamu lakukan itu benar? Intinya bukan dikomentarin sih, tapi diejek."

Meesam ... memahaminya?

"Gitu?" Meesam memastikan.

Laqueta mengangguk sekali, masih tidak menyangka dengan Meesam.

"Mungkin menurut orang, gue terlalu baperan. Tapi hati gue memang nggak kuat, terserah mau bilang gue lemah atau apa. Gue nggak pernah tuh ngelakuin itu ke orang lain, tapi kenapa gue digituin?"

"Laqueta, apa yang lo rasakan itu nggak bisa dikatakan lemah. Setiap orang tidak sama, kalau li memang nggak sanggup menghadapi orang seperti itu, itu bukan kesalahan lo."

Kini Meesam paham, Laqueta hanyalah orang yang ingin melindungi dirinya sendiri dengan cara menjadi pendiam. Karena dengan begitu, ia tidak merasakan sakit.

Itu ... bukanlah salah Laqueta.

🦋🦋🦋

Selasa, 26 Januari 2021

Revisi: Selasa, 11 Juli 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top