chapter 7

Dua bulan hidup bersama membuat Kav dan Piyi mengenal lebih dalam satu sama lain. Piyi sudah tahu makanan apa saja yang disukai Kav, hal-hal apa saja yang tidak disukai lelaki itu. Begitu pula dengan Kav, ia pun sudah tahu kalau Piyi itu mandinya cepat, terkadang Kav heran ketika Piyi sudah selesai membersihkan diri hanya dalam waktu 10 atau 15 menit. Itu mandi apa cuma cuci muka? ia juga sudah tahu kalau istrinya itu jarang sekali menggunakan farfum, perempuan itu lebih memilih minyak kayu putih sebagai wangi khas untuk dirinya, setiap hari Piyi menggosokkan minyak kayu putih pada punggung tangan juga perutnya. Awalnya Kav bingung tetapi Piyi bilang itu sudah kebiasaanya dari kecil kemana-mana harus membawa minyak kayu putih karena dirinya mudah sekali masuk angin bahkan Piyi menyiapkan beberapa botol minyak kayu putih yang ia letakkan di kasur, di dalam tas, ruang keluarga, dapur juga di dalam mobil. Alasannya biar ia tidak harus repot mencari benda itu kalau sedang di butuhkan.

"Tuan, minyak kayu putih saya sudah mau habis." Piyi menghampiri Kav yang sedang sibuk di depan laptop. "Nih liat." Piyi menggoyangkan botol minyak kayu putih di depan wajah Kav.

"Bukannya kamu punya banyak persediaan." Kav masih fokos pada laptop di hadapannya, ia berkata tanpa memandang wajah Piyi.

"Ini satu-satunya, lupa beli lagi soalnya."

Kav langsung menatap Piyi. "Yang berbotol-botol itu sudah habis?" Tanyanya heran, itu minyak di minum atau diapakan cepat sekali habisnya, Kav heran.

Piyi mengangguk. "Iya sudah habis."

Kav menggeleng. "Kamu pakai buat minum ya kalau lagi haus? Cepet banget habisnya." Kata Kav menyuarakan apa yang tadi dipikirkannya.

"Iya saya minum, puas." Piyi kesal. Kav kembali fokus pada laptopnya tampak acuh tak acuh dengan kekesalan Piyi dalam hati terkekeh.

"Tuan Ai." Piyi memanggil Kav, tidak senang diabaikan.

"Hm." Kav hanya bergumam, membuat Piyi makan kesal diabaikan.

"Tuan Ai." Piyi memanggil Kav lagi.

"Apa Piy." Kav ikutan kesal ia mulai memfokuskan dirinya menatap Piyi. Panggilan Ai yang selalu Piyi ucapkan saat memanggil Kav membuat lelaki itu semakin kesal.

"Temenin saya ke mal yuk." Kata Piyi tiba-tiba ngajak ke mal, Kav jadi tidak mengerti dengan jalan pikiran Piyi.

"Saya lagi banyak kerjaan, nanti saja." Kav menolak,

Piyi semakin cemberut. "Nggak di kantor, nggak di rumah, kerjaan terus." Katanya Piyi menyindir Kav.

"Memangnya mau ngapain ke mal?" tanya Kav mengabaikan sindiran Piyi.

"Beli novel, saya sudah lama tidak baca novel."

Kav berdiri dari duduknya, ia mengambil sesuatu dari dalam laci meja. Lelaki itu meyerahkan kunci yang membuat Piyi menatap bingung ke arah Kav.

"Masuk ke ruangan dekat tangga," ucap Kav membuat Piyi kebingungan. Ia kan minta ditemani ke mal tapi kenapa lelaki itu malah menyuruhnya masuk ke ruangan yang entah apa itu, Piyi tidak mengerti.

"Ngapian si?" Piyi bertanya ia menatap Kav kebingungan.

"Masuk aja sana!" Suruh Kav tanpa memberikan jawaban atas rasa penasaran Piyi.

"Tapi----"

"Udah sana." Kav memotong ucapan Piyi yang baru saja akan membantah. Membuat Piyi mau tidak mau beranjak juga dan mengikuti perintah lelaki itu. Menuju ruangan yang dimaksud Kav.

"Wow, ini sungguhan?!" Gumamnya takjub saat ia telah membuka ruangan itu.

Piyi memekik girang ketika tatapannya mulai menyusuri seluruh ruangan yang baru saja ia masuki telah terisi beberapa rak buku di dalamnya. Di tengah ruangan tersedia sofa dan meja untuk membaca. Ini seperti perpustakaan pribadi yang diimpikannya.

Piyi menyapukan pandangannya satu persatu pada rak yang di penuhi oleh buku. Perempuan itu menghela nafas lesu ketika tidak mendapati buku yang ia cari. Di sini hanya ada buku sejarah dan berbagai macam buku yang sama sekali tidak Piyi mengerti.

"Kenapa hanya buku-buku seperti ini?!" Keluhnya, mendesah kesal saat sudah merasa senang karena mendapatkan ruang baca yang Kav tunjukan tapi tidak berisi buku-buku novel fiksi keinginannya. "Nggak seru." Ujarnya, beberapa saat ketika
Tangannya bergerak mengambil satu buku yang baru saja menarik perhatiannya. Sebuah usaha melupakan karya Boy Candra. Piyi mengambil buku itu dan saat buku itu telah berada di tangannya-ketika ia membuka buku itu selebar foto yang terselip di dalam buku itu jatuh.

"Apaan ni?"

Piyi menatap lekat sebuah foto yang kini berada di tangannya. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa sosok perempuan cantik yang ada di dalam foto ini? Rambutnya pirang, tubuhnya tinggi semampai di sebelah pipinya terdapat lesung pipi yang membuat perempuan di dalam foto ini telihat begitu manis.

Bahwa melupakan kamu adalah sesuatu yang tidak pernah ingin aku lakukan. Aku sangat mencintaimu, Gita.

Kalimat yang tertulis di balik foto itu membuat Piyi semakin bertanya-tanya, apa perempuan ini mantan kekasih Kav? Atau mungkin mantan istri Kav? Piyi menggelengkan kepalanya pelan ketika memikirkan opsi kedua yang ada di otaknya.

Piyi duduk di sofa, kalimat yang tertulis di balik foto itu maksudnya apa? Apa sampai sekarang Kav masih mencintai perempuan itu? Piyi menghela nafas ada satu fakta yang ia lupakan, bahwa sampai sekarang ia tidak tahu mengapa Kav menikahinya secara tiba-tiba. Karena cintakah? Atau karena lelaki itu menyukainya? Tapi sepertinya kedua opsi itu tidak mungkin. Mana mungkin bosnya menyukai perempuan biasa seperti dirinya. Jika disandingkan dengan perempuan di dalam foto ini Piyi jelas sudah kalah jauh.

Lalu karena apa? Piyi semakin pusing. Ia kembali meletakkan novel itu pada tempat semula tetapi ia membawa foto itu keluar dari ruangan.

"Dapat bukunya?" tanya Kav, ia baru saja menutup laptop ketika Piyi memasuki kamar.

"Buku sejarah semua." Piyi duduk di tepi kasur.

"Nggak suka?" Tanya Kav.

Piyi mengangguk pelan.

Kav menatap jam dinding yang sudah menujukkan pukul setengah sepuluh malam. "Besok saja saya temani ke mal."

"Tuan serius?" Piyi tampak bersemangat.

"Kapan saya becanda?"

"Kapan ya, kayaknya nggak pernah deh. Orang Tuan kaku gitu." Ledek Piyi. Panggilan 'Tuan' dan sapaan 'Saya' masih belum berubah walaupun mereka sudah dua bulan menikah.

Kav tak berniat membalas ucapan Piyi, lelaki itu menempatkan diri di samping Piyi.

Piyi berdeham. "Saya boleh tanya satu hal nggak sama Tuan?"

"Banyak hal juga boleh." Kav menghadap ke arah Piyi.

"Emm...Tuan punya mantan nggak?" tanya Piyi ragu.

"Punya," jawab Kav santai.

"Berapa?"

"Cuma satu."

"I...ni bu..kan?" ragu-ragu Piyi menunjukkan foto yang tadi ia bawa kepada Kav.

Tubuh Kav menegang lantas ia mengangguk kaku. "Dapat dari mana foto itu?"

"Diselipan di salah satu buku di ruangan tadi." Piyi menatap Kav. "Kalau ini gimana?" Piyi membalik foto itu hingga Kav nampak memerhatikan dan membaca tulisan yang tertera di sana dalam hati.

Kav merebut foto di tangan Piyi lalu merobeknya menjadi beberapa bagian. "Saya sudah melupakan dia semenjak kehadiran kamu di hidup saya."

"Berarti saya cuma pelampiasan dong?" Piyi terkekeh kecil tetapi ada sebagian hatinya yang merasa tidak suka.

Kav menggeleng. "Nggak seperti itu, Piy." Kav mengambil tangan Piyi dan menggenggamnya erat.

"Alasan Tuan menikahi saya itu apa?" Tanya Piyi tiba-tiba ingin tahu.

"Saya mencintai kamu." Kav berucap tegas, ini pertama kalinya ia menyatakan cinta kepada Piyi.

Piyi memberanikan diri menatap mata elang milik Kav, ia mencari kebohongan di mata itu tetapi nihil Piyi tidak menemukannya. "Sejak kapan?"

"Sejak saya memutuskan untuk menikahi kamu." Kav balas menatap mata Piyi.

Piyi melepas genggaman tangan Kav. Perasaan cinta itu hadir bersamaan dengan Kav memutuskan menikahi dirinya, rasanya Piyi ragu akan hal itu.

"Kamu nggak percaya?" Kav menaikkan sebelah alisnya.

Piyi mengedikkan bahu seraya tersenyum tipis.

"Bagaimana perasaan kamu terhadap saya?" tanya Kav.

"Sama seperti apa yang Tuan rasakan terhadap saya," jawab Piyi, ia menarik napas sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Kalau Tuan berbohong perihal perasaan itu berarti saya juga begitu, tergantung Tuan."

"Kamu meragukan saya." Apa yang di katakan Kav terdengar seperti pernyataan bukan pertanyaan.

____

"Tan, kenapa Papa udah jarang ke sini? Rigel kan kangen." Bocah berumur 5 tahun itu merengek pada wanita paruh baya yang baru saja meletakkan sepiring nasi goreng di atas meja.

"Mungkin Papanya Rigel lagi sibuk, makanya belum bisa ke sini."

"Rigel nggak mau makan kalau nggak sama Papa." Rigel bersedekap dada, bibirnya mencebik kesal.

"Rigel harus makan, nanti Papa marah kalau Rigel nggak mau makan. Oh iya, Rigel, kan mau main ke time zone bareng Papa, kalau Rigel sakit gara-gara nggak makan gimana? Nanti batal dong ke time zonenya." Perempuan yang bekerja sebagai pengasuh Rigel itu mencoba membujuk.

"Tapi Papa kapan ke sini?" raut wajah Rigel tampak sedih.

"Nanti Tante telepon Papanya Rigel, tapi Rigel harus makan dulu."

Mata Rigel tampak berbinar "Telepon sekarang!" ucapnya tak terbantahkan.

"Nggak bisa, Rigel harus makan dulu."

"Janji ya abis Rigel makan, Tante bakal telepon Papa." Rigel mengacungkan jari kelingkingnya ke arah sang pengasuh.

Perempuan itu mengaitkan jari kelingkingnya pada jari mungil Rigel. "Janji."

Rigel memekik girang setelahnya ia duduk manis bersiap menyantap sepiring nasi goreng yang sudah tersedia untuknya.

#####

To be continued ...
Senin, 12 agustus 2019

Karya aslamiah02 jangan lupa follow akunnya ... makasih !!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top