Chapter 5
Hari ini adalah pemandangan yang berbeda di kantor, saat biasanya Kav melangkah lebar dengan Piyi yang selalu mengikuti tergesa di belakangnya. Tapi kali ini berbeda! Bos dan sekertaris itu berjalan berdampingan dengan tangan yang bertaut mesra. Seluruh karyawan sampai menatap dua insan itu dengan pandangan takjub dan tak percaya.
Raut wajah Piyi mungkin datar dan biasa saja, namun berbeda dengan raut yang Kav perlihatkan, Kav selalu menampilkan senyuman menawannya di sepanjang langkahnya menuju ruangannya. Sungguh, pemandangan yang sangat langka. Tidak pernah mereka melihat bos mereka secerah ini di kantor. Apa mungkin ini efek karena lelaki itu habis menikah? Katanya raut pengantin baru akan terlihat berbeda setelah menikah. Mungkin ini yang mereka lihat. Bos mereka mungkin baru saja mendapatkan air di tengah gurun pasir, kekeringan dan setelah di basahi oleh air, akan kembali segar.
"Kamu sengaja kan bikin saya malu?!" Piyi mencebik sebal ketika mereka sudah berada di dalam ruangan Kav.
Kav duduk di kursi kebesarannya miliknya, seperti biasa ia sudah mulai pokus dengan pekerjaannya. "Kenapa?" Tanyanya, hanya menatap Piyi sekilas.
Mungkin wajah Kav terlihat biasa, tapi siapa yang tahu jika hati lelaki itu sedang berbunga-bunga. Piyi saja tidak tahu.
"Tau ah gelap," Piyi makin sebal. Ia sedang merasa tidak enak pada pandangan orang-orang kantor yang menatap ia dan Kav di sepanjang lobby kantor, tapi lelaki yang menjadi biang kekesalannya malah bersikap biasa saja.
Kav akhirnya mengangkat wajahnya, kali ini tatapannya serius menatap Piyi. "Sini!"
"Apa?" Piyi memicingkan matanya, memandang curiga pada Kav. "Mau apa si?" Tanyanya cemberut.
"Saya mau ngasih tau sesuatu sama kamu, sini saya bisikin," katanya membuat Piyi penasaran.
"Ngomong langsung aja kali." Ujar Piyi malas.
"Nanti ada yang dengar." Kav menatap Piyi serius, membuat Piyi makin kepo saja.
Piyi memicingkan matanya. "Awas ya kalau nggak penting." Katanya sebal.
"Iya, sini!"
Piyi tanpa menaruh curiga apapun akhirnya berjalan mendekat pada Kav. Wajah menggemaskannya terlihat menatap Kav penasaran. Membuat Kav tersenyum tipis, saat Piyi sudah mendekatkan wajahnya pada wajahnya Kav ia menanti Kav mengatakan sesuatu. Tapi Kav tak mengatakan apa-apa, membuat Piyi tidak sabaran.
"Apaan cepet--"
Cup ..
Mata Piyi melotot ketika Kav mendaratkan satu kecupan pada wajahnya tanpa aba-aba.
"Tuan," wajah Piyi yang begitu dekat dengab wajah Kav memerah. Ia menatap malu pada pria di depannya. Tidak menyangka kalau pria itu akan mencium dirinya.
"Hmm." Kav menggigit bibir bawahnya, susah payah menahan senyumnya, saat mendapatkan respon terkejut dari istrinya. Piyi mengatur debar jantungnya yang mendadak menggila karena ciuman singkat Kav.
Piyi malu,
Dia canggung!
Pertama kali dalam sejarah hidupnya ada seorang pria yang berani menciumnya selain ayahnya tentunya.
Ia mencoba bersikap biasa saja untuk menutupi rasa malunya.
"Diliat dari dekat gini, keliatan ya kalau bulu hidung Tuan itu keluar!" Katanya asal untuk menutupi perasaan gugupnya
Kav terbahak mendengar ucapan asal Piyi, merasa gemas, Kav memencet hidung Piyi.
"Nggak bisa napas!" Piyi menepis tangan Kav. Dan wajahnya bersemunya kembali kesal.
Melihat Piyi kesal, Kav makin bersemangat menggoda Piyi. "Mau saya kasih napas buatan?" Katanya, menaik turunkan alisnya menggoda Piyi.
Piyi melotot, menggeleng cepat-cepat. "Nggak, enggak! makasih, dasar mesum." Katanya, lalu menjauh dari Kav, takut jika lelaki itu beneran memberikan dirinya napas buatan.
"Mau ke mana?" tanya Kav ketika Piyi sudah sampai di ambang pintu dan istrinya hendak membuka pintu.
"Kerja lah," jawab Piyi acuh tak acuh mencoba bersikap biasa saja dan tidak lagi memikirkan tentang napas buatan.
Kav mengangguk. "Yasudah sana!" Usirnya membuat Piyi memutar bola matanya, dan lekas keluar dari ruangan bos merekap suaminya itu.
"Piyi guys!" teriak Dinda ketika Piyi sudah di luar dan sedang berjalan ke arah kubikel.
Rekan kerjanya menoleh menatap Piyi. "Wah pengantin baru." Tania nyeletuk sambil menghampiri Piyi.
Aldi ikut menghampiri Piyi. "Mbak Piyi, bagaimana perasaan anda setelah resmi menjadi istri dari seorang pengusaha muda sekelas Tuan Kav?" Aldi menggoda Piyi dengab berlagak seperti wartawan yang sedang mewawancarai selebritis ditengah-tengah gemerlapnya kasus-kasus yang menimpa para selebrita.
Piyi memanyunkan bibirnya, menatap kesal teman-temannya. "Apaan si." Katanya, mengambil duduk di kursi putarnya.
"Anyway, Piy, bagaimana malam pertama kamu dengan si bos?" Shiren temannya yang lain menimpali, perempuan itu ikutan melempari kekepoannya pada Piyi.
"Apa saj--
"Stop!" Piyi memotong cepat ucapan Shiren sebelum perempuan itu menyelesaikan kalimatnya.
"Mood gue lagi jelek, minggir lu pada!" Piyi mendorong pelan Aldi dan Shiren membuat dua manusia itu berdecak kesal, merasa gagal menjadi wartawan dadakan.
"Yah nggak asyik lo, Piy!" Kata Shiren,
"Piyi-nya mungkin lagi cape guys, wajar menjadi istri seorang Tuan Kav itu tidak mudah. Perlu kesabaran ekstra, iya nggak Piy?" timpal Dinda tanpa membaca situasi dan kondisi.
"Kalian mau bekerja atau cuma bercanda di kantor ini?" Kav tiba-tiba sudah berada di belakang mereka. Mereka serempak menoleh pada Kav, Piyi pun ikut menoleh. Lalu semua bungkam saat melihat tatapan tajam Kav, Aldi, Shiren dan Dinda lekas bergegas kembali ke tempatnya masing-masing, dia masih sayang sama pekerjaan mereka, bisa jadi gembel dadakan mereka kalau tiba-tiba saja Kav memecat mereka.
Kav menghampiri Piyi. "Kamu nggak enak badan?" tanya Kav.
Kening Piyi berkerut, tidak mengerti dengan maksud perkataan Kav. "Sehat kok."
Kav menempelkan punggung tangannya di dahi Piyi. "Hangat," ucapnya, membuat Piyi makin tidak paham oleh tingkah Kav.
"Biasa aja deh." Piyi ikut menyentuh dahinya.
"Ikut ke ruangan saya, istirahat!" ucap Kav tak terbantahkan.
Piyi cemberut, ia berdiri dengan malas. Ucapan Kav yang selalu diakhiri oleh tanda seru, selalu membuat Piyi kadang-kadang kesal juga. Bos yang merekap sebagai suaminya itu selalu tidak menerima bantahan.
Kav berjalan lebih dulu membiarkan Piyi mengekorinya di belakang.
Dinda bergidik ketika Kav dan Piyi sudah pergi. "Ngeri gue," ucapnya pada kedua temannya setelah Kav dan Piyi menghilang di balik ruangan.
"Nggak kebayang, Piyi tuh kayak dapat musibah sekaligus berkah dalam waktu bersamaan." Timpal Shiren.
"Udah, udah. Ntar Tuan Kav datang lagi pada nyaho kalian!" Tania memperingati. Gimana juga dia masih sayang pada gajih bulanannya. Yang membuat hidupnya sejahtera, bisa nyalon, manicure-pedicure, tekukur, entah apalah itu yang sering Tania lakukan di salon kecantikan tiap mendapat gajih bulanan.
Piyi menghempaskan dirinya di atas sofa yang tersedia di ruangan Kav. "Saya baik-baik aja padahal."
Kav menempatkan diri di samping Piyi. "Temani saya di sini."
"Ngapain? Saya, kan harus kerja." Katanya malas.
"Kamu lupa? Sekarang kamu istri saya, pemilik perusahaan ini." Kav bersedekap dada, arrogant.
Piyi mencibir. "Iya iya."
Kav berdiri ia mengambil beberapa berkas yang harus ia tanda tangani lalu kembali duduk di samping Piyi. Sekarang Kav sibuk dengan kertas di hadapannya. Sedang Piyi diam saja sembari memperhatikan Kav.
"Bosan," keluh Piyi, "memangnya saya nggak boleh kerja."
Kav menoleh lalu menarik kepala Piyi agar bersandar di pundaknya. "Kamu istri saya, nggak perlu terlalu memikirkan pekerjaan." Katanya lalu kembali melanjutkan aktifitasnya.
Satu kata yang Piyi rasakan 'nyaman' itulah yang Piyi rasakan ketika bersandar di pundak Kav. Perempuan itu memejamkan matanya, lama kelamaan mulai mengantuk dan tertidur pulas di pundak Kav membuat Kav yang melihatnya melirik gemas dan tersenyum tipis.
########
To be continued..
Senin, 29 Juli 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top