Chapter 4
Tepat pukul 9 pagi tadi akad nikah Piyi dan Kav dilaksanakan, saat itu status Piyi telah resmi berubah menjadi istri dari seorang Ai Kavyar Adiyaksa Syarief, sekarang Boss menyebalkan itu telah menjadi suaminya. Rasanya masih seperti mimpi buat Piyi.
Dan pada malam ini bertempat di Ballroom sebuah gedung berbintang lima resepsi mereka akan di gelar. Warna putih mendominasi ruangan, terlihat elegan. Ratusan tamu menghadiri acara, panggung pengantin berhiaskan bunga mawar berwarna biru, Lampu kecil warna-warni membuat panggung itu terlihat semakin indah. Kursi pengantin bak kursi kerajaan bertengger manis di atas panggung, di sampingnya terdapat dua kursi untuk orang tua mempelai wanita dan pria. Karpet merah tergelar memanjang dari pintu depan menyambut para tamu yang akan menginjak ruangan resepsinya dengan Kav. Piyi tidak pernah membayangkan akan mendapatkan resepsi semewah ini dihari pernikahannya.
Kav dan Piyi sudah berdiri di depan kursi, menyalami setiap tamu undangan yang datang mengucapkan selamat pada mereka. Kaki Piyi sampai terasa pegal karena sudah cukup lama berdiri, para tamu seolah tak ada habisnya. Semakin banyak saja padahal hari sudah semakin beranjak malam.
"Bagaimana kalau Tuan Kav sama istrinya kita suruh dansa? Setuju?" seorang MC bertanya dengan semangat.
"Setuju!" teriak para tamu undangan menyambut godaan MC.
"Bagaimana Tuan Kav, apakah anda setuju dansa dengan istri anda?" MC itu menatap Kav sambil tersenyum menggoda kedua mempelai.
Kav mengangguk, tamu undangan bersorak sementara Piyi melotot garang ke arah Kav.
"Kenapa?" Kav menaikkan sebelah alisnya, bingung. Menatap Piyi yang sepertinya keberatan.
Piyi menggeleng, menghela napasnya lelah "Nggak bisa dansa," katanya, hanya berharap pesta segera usai, tamu undangan segera pulang dan ia bisa merebahkan dirinya di tempat tidur bukannya malah berdansa dengan bos menyebalkannya ini, ehh--suami deng, bukankah status mereka telah berubah?
Kav seakan tak peduli oleh penolakan Piyi "Saya ajarin," lalu mengambil tangan Piyi dan membawanya turun dari pelaminan.
"Ihh nggak mau, saya nggak bisa."
"Saya tidak menerima penolakan," bisik Kav. Yang disambut sorak sorai dari para tamu undangan.
Piyi mendengus. "Nyebelin!"
Kav telah membawa Piyi ketengah-tengah ruangan, dimana para tamu undangan telah mengelilinginya.
Piyi jadi malu dan risih. "Seriusan deh nggak bisa," ucap Piyi masih menolak berharap Kav tidak memaksanya.
"Diam!" Kav memberikan tatapan tajamnya, memperingati.
Alunan musik nan lembut mulai terdengar di telinga Piyi. Menandakan jika ia dan Kav harus segera memulainya.
Perlahan, tangan Kav melingkar di seputar pinggang Piyi. Lalu menarik Piyi lebih merapat padanya.
"Saya harus apa?" tanya Piyi merasa bingung
"Lingkarkan kedua lenganmu dileher saya." Kav memerintah dan Piyi pun menuruti intruksi Kav.
"Pelan-pelan, ikuti gerakan kaki saya," ucap Kav lagi memberikan perintahnya saat Piyi sudah mengalungkan kedua lengannya di leher Kav, Piyi mengangguk. Aroma mint dari tubuh Kav membuat degup jantung Piyi berdebar hebat.
Kav menatapnya begitu intens, mereka bergerak mengikuti alunan musik yang diputar. Piyi semakin gugup, ia memalingkan wajahnya tak mau menatap hitam legam dari tatapan Kav yang menembus hazelnya.
"Tatap mata saya!" Kav ingin berdansa sambil menikmati wajah cantik istrinya. Tapi Piyi yang malu tak mengidahkannya, ia hanya menatap tamu undangan yang tersenyum-senyum menatap ia dan Kav.
Rahang Kav mengetat, kesal karena Piyi tidak mendengarkan perintahnya. "Kamu masih tidak mau menatap saya." Kav lebih dekat, ia menekan tubuhnya pada tubuh Piyi, membuat Piyi memelotinya dan mau tidak mau ia akhirnya menatap Kav.
Kav tersenyum puas, tangannya yang berada di balik punggung Piyi bergerak perlahan--mengusap punggung Piyi lembut. "Saya rasa kamu sedang gugup, istri?" Kav meledek, "Terpesona, eh?" Katanya percaya diri.
Piyi mendengus, "Jangan percaya diri, Tuan." Keduanya saling menatap dengan kaki yang terus bergerak mengikuti alunan musik.
Jantung Piyi semakin menggila, tatapan mata Kav begitu lembut. Di mana tatapan tajam yang biasa Piyi dapatkan? Tidak ada lagi. Yang ada saat ini hanyalah senyuman lelaki itu yang tidak hentinya ia dapatkan seharian ini.
Kav tersenyum. Sebelah tangannya dengan berani mengusap wajah istrinya. "Saya rasa bukan saya yang terlalu percaya diri. Tapi, kamu yang terlalu malu untuk mengakuinya, istri."
Piyi langsung menunduk. Wajahnya memerah. Seandainya bisa ia akan mengangkat kedua tangannya melambai ke arah kamera pertanda bahwa ia menyerah, tidak kuat beradu pandang dengan Kav. Belum lagi panggilan 'ISTRI' yang dialamatkan lelaki itu untuk dirinya semakin membuat Piyi gugup bukan main. Piyi sibuk mengatur degup jantungnya saat Kav lagi-lagi kembali berulah dengan menyatukan keningnya pada kening Piyi, membuat ujung hidung mereka bersentuhan. Piyi sampai memejamkan matanya, merasa malu dan canggung setelahnya.
Gila, tidakkah ini terlalu dekat? Batin Piyi merasa gugup bukan main.
***
Pukul 12.00 saat malam semakin larut, acara resepsi yang sejak tadi begitu melelahkan usai juga, Piyi akhirnya dapat bernapas lega. Tapi tidak juga saat ia mengingat kalau ia telah menjadi istri bosnya saat ini. Kav membawa Piyi pulang ke rumahnya. Sekarang dan seterusnya mungkin dia akan tinggal bersama lelaki itu.
"Tuan, tunggu! Saya susah jalan, bantuin saya." Piyi kesal, perempuan itu kesusahan berjalan dengan gaun pengantin yang beratnya naudzubilla hampir mengalahkan beratnya beban beras sekarung. Ia begitu kesulitan dengan langkahnya tapi Kav nampak tidak peduli.
Kav menghentikan langkahnya tepat sebelum menaiki anak tangga menuju kamar.
Piyi cemberut. "Tungguin kek," ucapnya ketika sudah berdiri di hadapan Kav.
Kav berjongkok membuat Piyi mengerutkan keningnya, heran.
"Naik!" perintah Kav.
Sekarang Piyi paham dengan maksud Kav, perempuan itu menghela napas. Kalau ia menolak, sudah dipastikan Kav akan mengeluarkan kalimat keramat itu 'tidak terima penolakan'. Menyebalkan!
Piyi membungkuk, menempelkan dadanya pada punggung Kav dan kedua tangannya mulai ia lingkarkan di leher Kav, kedua tangan Kav mengunci Kaki Piyi ketika perempuan itu sudah menaiki punggungnya.
"Berasa gendong anak kecil," Kav mulai beranjak berdiri, menaiki tangga sambil menggendong Piyi.
Piyi di belakangnya mendengus. "Emang anak kecil kok, puas!"
Kav memilih untuk tidak membalas ucapan Piyi. Lelaki itu terus melangkah sampai akhirnya berhenti di sebuah kamar.
Piyi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar ketika Kav telah menurunkannya di atas tempat tidur.
"Kenapa?" tanya Kav.
"Kamarnya gede banget," komentar Piyi.
Kav terlihat biasa saja, kamar lelaki itu bahkan lebih besar dari ini. "Kenapa? Kamu nggak suka?" Tanyanya, sambil melepaskan jas yang sejak tadi menempel ditubuhnya
Piyi memalingkan wajahnya saat Kav membuka kancing kemejanya. "Su .. suka kok," katanya gugup.
"Bagus," Kav duduk di samping Piyi setelah melepaskan kemeja putihnya dan menyisahkan kaos putih polos yang menjadi dalamannya.
Hening, tidak ada percakapan sama sekali, Piyi sibuk dengan pikirannya yang mulai berkelana jauh, perempuan itu tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Sedangkan Kav sibuk memperhatikan ekspresi wajah Piyi yang menurutnya terlihat aneh.
Kav menjentikkan jarinya, membuyarkan lamunan Piyi. "Jangan melamun!"
Piyi merasa canggung, "Maaf." Berduaan dengan seorang lelaki adalah hal yang baru untuk Piyi.
Piyi berdehem, menetralkan kegugupan di dalam dirinya. "Saya mau mandi," katanya, lebih baik mandi daripada bingung ingin melakukan apa. Disamping bosnya membuat Piyi merasa gugup.
Kav mengangguk. "Itu kamar mandinya." Kav menunjuk satu pintu. Piyi mengangguk lantas berdiri. Ia bergegas memasuki kamar mandi.
Setangah jam berlalu, Piyi merutuki dirinya di dalam kamar mandi setelah membersihkan dirinya ia baru ingat jika ia tidak membawa pakaian ganti. Bagaimana ini? Piyi tak mungkin berlama-lama di kamar mandi jika tidak ingin masuk angin. Akhirnya Piyi terpaksa membuka pintu kamar mandi itu, dan mulai menyembul kepalanya, keluar.
"Tuan Ai," panggilnya.
Kav menoleh, lelaki itu sudah nampak segar sepertinya ia sudah membersihkan dirinya di kamar mandi lain.
"Apa?"
"Saya nggak bawa baju ganti." Kata Piyi.
Kav berjalan ke arah lemari lelaki itu mengambil baju miliknya. "Untuk sementara pakai baju saya dulu." Kav menyodorkan kemeja berwarna putih.
Piyi menatap ragu ke arah kemeja itu. "Itu pasti pendek." Dia meneliti baju yang Kav sodorkan kepadanya. Lalu menggeleng.
"Terserah jika kamu tidak mau saya tidak akan memaksanya. Lagi pula saya tidak keberatan kalau kamu tidak memakai baju."
Piyi melebarkan matanya, menatap tajam Kav, yang ditatap tajam malah tampak santai-santai saja.
"Tapi saya malu, masa pakai baju pendek sih." Piyi mengeluh.
Kav menghela napasnya, lelah. "Tidak perlu malu, saya suami kamu." Kav menarik tangan Piyi membuat perempuan itu memekik, takut pintu kamar mandi terbuka lebar.
"Ihhh--"
"Pakai jika tidak ingin masuk angin." Kav meletakkan baju itu di tangan Piyi. Lalu berlalu, saat Piyi menutup pintu kamar mandi.
"Tuh, kan pendek." Piyi keluar dari kamar mandi sesaat setelah ia sudah memakai kemeja milik Kav yang panjangnya di atas lutut.
Kav kembali mengehela napas dengan ocehan istrinya. "Kamu merepotkan saya," ucapnya lalu keluar dari kamar.
Piyi mencebikkan bibirnya kesal. Sesaat kemudian matanya berbinar saat melihat Kav kembali masuk ke kamar dengan membawa apa yang Piyi inginkan.
"Itu ada? Dapat dari mana?" Piyi menyambut piyama yang Kav sodorkan, ia masih saja cerewet.
"Pinjam sama pelayan." Jawabnya asal.
"Makasih." Piyi tersenyum singkat dan ia kembali memasuki kamar mandi untuk mengganti pakaiannya lagi.
Kav tersenyum kecil. "Kamu itu unik, Piy," gumamnya pelan.
Lalu semenit kemudian pintu kamar mandi kembali terbuka. "Taraa!" Piyi keluar dari sana dengan semangat.
"Jangan teriak ini bukan hutan!" ucap Kav kesal, sambil merebahkan dirinya di tempat tidur.
"Iya, iya maaf," Piyi menatap pada Kav. Kav mendekati saklar lampu dan mematikan lampu kamarnya--menggantinya dengan lampu tidur.
"Kok dimatiin lampunya. Gelap, kan!" Piyi lagi-lagi mengeluh.
Kav memejamkan matanya, lelah. "Saya mau tidur,"
"Tidur?" gumam Piyi.
"Hmm." Kav bergumam, sudah memejamkan matanya, "Kamu masih ingin berdiri disitu? Tidak ingin tidur?"
Piyi menggaruk kepalanya mendengar pertanyaan Kav. "Emm...saya."
"Sini!" Kav memerintah, membuka matanya dan menepuk sisi ranjang di sebelahnya
Ragu-ragu Piyi mendekat ke arah Kav, duduk di tepi ranjang yang Kav tepuk.
"Saya .. saya takut..."
"Buang jauh-jauh pikiran kotormu itu." Kav memotong cepat ucapan Piyi.
"Tap..."
"Saya tidak akan melakukan apa-apa kalau itu yang kamu takutkan!" lagi-lagi Kav memotong ucapan Piyi.
Piyi berdecak. "Saya belum selesai ngomong."
"Berisik! Cepat tidur," Kav menarik tangan Piyi membuat perempuan itu jatuh tepat di samping Kav.
"Tu..."
"Tidur!" Kav membekap mulut Piyi agar perempuan itu bisa diam.
"Ish, tangan Tuan bau," Piyi menyingkirkan tangan Kav dari mulutnya.
"Diam!" Tubuh Piyi menegang kala Kav menariknya ke dalam pelukannya.
"Tidak apa-apa," ucap Kav pelan. "Tidur, kalau kamu berani ngomong lagi saya akan melakukan hal yang kamu takutkan," ucapan Kav sukses membuat Piyi bungkam, menutup mulutnya rapat-rapat.
######
To be continued...
Senin, 22 Juni 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top