Chapter 26
Saat ini Gita sedang duduk di taman belakang rumahnya. Tangannya memegang sebuah novel karya Boy Candra yang berjudul Origami Hati, Gita baru saja selesai membacanya.
Gita menutup buku, tatapannya fokus ke depan. Ada satu hal yang sedang ia pikirkan, tentang perasaannya yang mengakar semakin dalam. Gita menggeleng pelan berusaha menghalau bayang yang tiba-tiba saja muncul diingatan.
Gita menghela napasnya panjang mencoba mengusir bayangan itu. "Kenapa penyesalan selalu datang di akhir?" Ia bertanya pada dirinya sendiri.
"Seandainya penyesalan datang di awal maka tidak akan pernah ada manusia yang melakukan kesalahan."
Gita menoleh, ia tersenyum tipis. "Benar juga," ujarnya diiringi kekehan.
Mbak Rara duduk di samping Gita, perempuan itu adalah asisten rumah tangga yang baru bekerja dua hari ini di rumah Gita. Awalnya Gita hanya tinggal sendirian, karena keadaannya yang sakit membuat Gita memilih untuk mencari orang untuk membantu juga menjaganya ketika di rumah.
"Mbak Gita ngapain di sini? Mbak antar ke kamar ya," ujar Mbak Rara.
"Aku bisa sendiri kok, Mbak." Gita berdiri dari duduknya. "Aku ke kamar dulu," ujarnya yang mendapat anggukan dari Mbak Rara.
Gita meletakkan novel miliknya di atas meja, perempuan itu menghempaskan diri ke ranjang dan merasa bosan seketika. Ia bingung ingin melakukan apa, juga merasa sepi karena tidak ada teman untuk berbagi cerita. Lalu seketika ia ingat Piyi. Dan keinginan untuk menyuruh Piyi ke rumah telintas begitu saja.
Gita mengambil ponselnya yang tergeletak di samping dirinya untuk menelepon Piyi.
"Hallo, Assalamualaikum."
Gita mengucapkan salam ketika Piyi mengangkat panggilan darinya.
"Wa'alaikumsalam." Diujung telpon Piyi menyahaut sapaannya. "Ada apa, Ta?" Tambah Piyi bertanya.
"Kamu di mana, Piy? Bisa nggak kamu ke rumah. Aku ngerasa bosan ni butuh teman cerita." Katanya.
"Aku izin ke Kav dulu ya, Ta!"
***
Piyi turun dari mobil, perempuan itu merapikan jilbabnya terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu rumah Gita. Iya, Kav memberinya izin hal itu membuat Piyi senang.
Piyi mengetuk pintu, tak lama kemudian pintu kayu berwarna cokelat itu terbuka menampilkan seorang perempuan berjilab merah bata.
"Non Piyi, kan?" tanya Mbak Rara.
Piyi tersenyum. "Iya, Mbak."
"Ayo masuk, Non Gita ada di kamarnya." Mbak Gita mempersilakan. "Saya antar ke kamar Non Gita."
"Terima kasih Mbak." Piyi mengikuti langkah Mbak Rara.
"Non." Mbak Rara mengetuk pintu.
Pintu terbuka, disusul dengan Gita yang tersenyum setelahnya. "Masuk Piy," ujarnya.
"Mbak bikin minum ya," titah Gita mendapat anggukan dari Mbak Rara.
Piyi memasuki kamar bersama Gita. Perempuan itu mengedarkan pandang, kamar Gita terasa nyaman nuansa ungu dan putih mendominasi. Dua warna kesukaan Piyi.
"Kemarin seharin aku di temani Tante Laras," ujar Gita.
"Mama ngajak aku kok, tapi karena kemarin aku di rumah orang tuaku jadi nggak bisa ikut," balas Piyi.
"Nggak apa-apa yang penting sekarang aku bisa ditemenin sama kamu." Gita tersenyum. "Duduk dulu Piy, aku mau mandi." Gita mengambil handuk berwarna biru dari dalam lemari.
Piyi mengangguk saja, ia tetap berdiri walau Gita sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. Perhatian Piyi tertuju pada novel yang tergeletak di atas meja, tanpa ragu perempuan itu meraihnya. Membuka lembar demi lembar secara ramdom sampai akhirnya secarik kertas jatuh begitu saja. Piyi berjongkok untuk mengambilnya.
Dear Kav
Baru dua kata yang ia baca dari surat itu Piyi menahan napas saat nama suaminya disebut. Menguatkan hatinya Piyi mencoba membaca tulisan dalam ketas itu.
Surat ini untukmu. Tetapi, aku tidak akan pernah memberikannya padamu. Kenapa? Karena ini rahasia, cukup aku dan Tuhan saja yang boleh tau. Semoga semesta mendukung aku untuk menyembunyikan semua ini darimu.
Hari ini aku ingin jujur kepada diriku sendiri, perihal perasaanku yang masih utuh untukmu. Tidak bisa dibohongi bahwa aku masih sangat mencintaimu. Dari dulu, sampai sekarang disaat kamu telah menjadi milik orang lain.
Kini aku telah merelakanmu, ralat! Bukan merelakan aku memang sengaja melepaskan. Ini salahku yang dulu sempat mengabaikan kamu, membalas cintamu dengan balik membuat hatimu patah. Aku menduakan kamu pada saat itu, kesalahan fatal yang tak termaafkan lagi olehmu. Iya, ini memang sepenuhnya salahku.
Sekarang kamu telah bahagia bersama seseorang yang sudah tepat menjadi teman hidupmu. Sedangkan aku? Aku masih tergulung bersama perasaan yang tak kunjung hilang.
Aku bahagia melihat kamu mendapatkan seseorang yang begitu baik. Aku bahagia walaupun bukan aku yang menjadi alasanmu untuk bahagia. Bisa bertemu kembali denganmu, cukup membuat aku tenang.
Tubuh Piyi membeku. Jantungnya berdegup kencang. Sesak di dalam dada memberontak seakan membuat Piyi sulit untuk bernapas. Ternyata perasaan seorang istri tidak pernah salah. Inilah jawab dari kecemburuannya atas perhatian Kav pada Gita. Ternyata selama ini Gita si perempuan dari masa lalu suaminya memang masih mencintai suaminya. Sebuah fakta yang membuat hati Piyi seakan tersayat sembilu tak kasat mata.
Piyi mengangkat wajahnya, menahan bulir air mata yang menggantung di pelupuk matanya. Sakit rasanya, kenapa ia begitu bodoh sampai mengabaikan satu fakta ini. Bahkan ia dengan bodohnya juga menjadikan perempuan dari masa lalunya sebagai temanya. Secarik kertas di tangannya di ganggam erat dan diremasnya. Sekarang ia harus bersikap seperti apa terhadap Gita?
"Piy."
Tubuhnya kaku saat mendengar suara Gita di belakangnya. Piyi bergegas mengusap sudut mata, hampir saja ia menangis dan dipergoki oleh Gita. Buru-buru kertas itu ia masukkan ke dalam slig bag yang ia bawa, lalu menoleh pada Gita.
"Eh iya, Git, kamu udah mandinya?" Piyi tersenyum, terlihat seakan tidak terjadi apa-apa.
Gita mengangguk dan balas tersenyum. "Udah! Oia kita jalan-jalan ke mall yuk, aku mau cari-cari jilbab sama gamis," ajak Gita.
Piyi hanya mengangguk menerima ajakan Gita. Entahlah mendadak hatinya merasa tidak menentu.
Gita kembali ke kamar mandi untuk mengenakan pakaian. Saat itu Mbak Rara datang membawa segelas minuman untuk Piyi.
"Makasih Mbak," ujar Piyi.
"Sama-sama Non, silakan diminum." Mbak Rara keluar dari kamar setelah mengucapkan kalimat itu.
Piyi mematung, deretan kalimat yang tertulis di kertas milik Gita masih memenuhi otaknya.
"Aku senang banget bisa keluar dari rumah sakit." Gita mematut dirinya di depan cermin. Jilbab berwarna abu ia kenakan. Piyi hanya tersenyum, tidak tau ingin mengatakan apa?
Gita mengalihkan pandangannya dari cermin. "Habis ke mall enaknya kita ke mana ya, Piy? Aku pengen jalan-jalan lebih lama hari ini," kata Gita lalu menyelasaikan dandanan seadanya dan menghampiri Piyi.
"Piyi!" Karena tidak mendapatkan jawaban dari Piyi, Gita memanggilnya.
Piyi tersentak, perempuan itu mengerjap. Menarik diri dari lamunan. "Ahya, ada apa, Ta?"
"Kamu kenapa, Piy? Lagi ada masalah?" Tanya Gita karena tidak biasanya Piyi tidak pokus seperti ini.
Piyi mengusap wajahnya. "Maaf, Ta, aku kurang fokus."
"Kamu sakit?" Punggung tangan Gita mendarat di kening Piyi.
Piyi menggeleng. "Enggak kok, nggak papa." Piyi menyingkirkan tangan Gita dari keningnya. "Aku baik-baik aja."
Gita menghela napas. "Beneran kamu nggak papa? Kalau kamu sakit kita nggak usah jalan-jalan deh takutnya kamu kenapa-napa nanti." Kata Gita cemas.
Piyi tersenyum. Ia tidak bisa begitu saja mematahkan semangat Gita yang sudah senang ingin jalan-jalan dengannya. "Aku nggak apa-apa, Ta. Beneran deh." Piyi berdiri dari duduknya.
"Berangkat sekarang?" Ajaknya, meski Gita mencintai suaminya, apa iya Piyi harus membalasnya dengan kebencian? Bukankah cinta tidak bisa dikendalikan. Tidak memiliki rem untuk tahu kapan ia harus berhenti dan kapan ia harus jalan terus. Kodratnya, ia tidak bisa menyalahkan sang pemberi hati, dialah yang membolak balikan hati seseorang.
Gita mengangguk senang. "Ayo, Piy."
"Tapi kamu udah nggak apa-apa, kan, Ta, udah lebih baik, kan?" Kali ini Piyi yang bertanya. Dia tetap saja peduli pada perempuan yang mencintai suaminya.
Gita menggeleng lantas tersenyum. "Aku sudah lebih baik ko, kamu tenang aja, Piy." Ia merangkul tangan Piyi dan keluar dari dalam rumah bersama-sama. Dalam hati Gita merasa bersalah pada Piyi.
"Ya Tuhan ia begitu baik kepadaku. Tapi aku dengan tidak tahu dirinya masih mencintai suaminya." Batin Gita merasa berdosa.
***
Gita sangat bersemangat, begitu juga dengan Piyi. Keduanya memasuki satu persatu toko. Seolah tak merasa lelah mereka terus saja berkeliling di mall.
Piyi mencoba melupakan isi surat itu. Kav sudah menjadi miliknya. Jadi, tidak perlu khawatir. Begitu kata hati Piyi.
Gita membawa beberapa lembar baju, menunjukkanya pada Piyi. "Semuanya bagus deh, iyakan?" Gita mengambil kesimpulan.
"Aku mau yang ini." Piyi menyambar gamis berwarna cokelat dari tangan Gita.
"Ah curang, aku juga mau yang itu," ujar Gita diiringi decakan.
"Kamu cari warna lain aja." Piyi meneliti deretan baju di sampingnya. "Ini," ujarnya menunjukkan model baju yang sama tetapi berbeda warna.
Gita langsung menyambutnya. "Lucu deh, kita kembaran,"
"Yaudah yuk bayar," ajak Piyi. Mereka berdua membayar barang yang dibeli. Setelah itu memutuskan untuk memasuki gramedia.
Alunan lagu Tulus menyambut kedatangan mereka.
"Kamu mau beli novel apa, Piy?" tanya Gita, tangannya menjelajahi rak buku best seller.
"Ini." Piyi menunjukkan novel dengan sampul berwarna hijau pada Gita. "Kamu yang mana?"
Gita tampak berpikir setelah itu tangannya bergerak meraih sebuah novel. "Assalamualaikum Calon Imam." Gita tersenyum seraya membaca judul novel di tangannya.
Piyi terkekeh. "Calon imamnya udah ada belum?" tanya Piyi.
Gita hanya tersenyum kecil, tidak menjawab pertanyaan Piyi.
Setelah dari toko buku mereka beristirahat sejenak di hall mall.
Gita memijat pelipisnya ia merasa pusing. Tak lama kemudian darah kental mengalir dari hidung perempuan itu.
Gita menutup hidungnya dengan tangan. "Piy, aku lupa bawa tisu," ujar Gita.
Dengan panik Piyi mengambil tisu dalam slig bag miliknya lalu menyerahkan benda itu pada Gita.
"Kita pulang sekarang, Ta," ujar Piyi yang dibalas anggukan pelan dari Gita.
Piyi membantu Gita berdiri. Beberapa paper bag berisi belanjaan di tenteng oleh Piyi.
Baru saja Gita berdiri, perempuan itu jatuh pingsan. Piyi ikut terjatuh karena dirinya tidak kuat menahan bobot tubuh Gita.
"Tolong!" Piyi berteriak sambil menangis, dalam waktu sekejap orang-orang sudah berkerumun.
***
Dengan langkah tergesa Kav menyusuri lorong rumah sakit. Lelaki itu meninggalkan meeting karena Piyi meneleponnya sambil menangis. Hal itu membuat Kav sangat khawatir.
Dari jauh Kav bisa melihat Piyi yang sedang mondar-mandir gelisah. Kav langsung memeluk Piyi ketika tiba di depan istrinya itu.
Tangis Piyi pecah, ia membenamkan wajahnya di dada Kav. "Semuanya salah aku," ujarnya meracau.
"Bukan salah kamu, Ai." Kav mengeratkan pelukan.
Piyi semakin terisak. "Gimana kalau Gita--"
"Jangan lanjutkan." Kav memotong cepat ucapan Piyi. "Kamu tenang ya," ujarnya.
Piyi meluapkan tangis dalam pelukan Kav, cukup lama seperti itu sampai Piyi mengurai pelukan.
"Ai," ujar Piyi seraya menatap lurus manik mata Kav.
"Apa?" Kedua tangan Kav mendarat di pundak Piyi.
"Kalau Gita selamat, aku mohon menikahlah dengan dia." Kayanya yang membuat tubuh Kav membeku mendengarnya.
Kedua tangan Kav langsung terlepas dari pundak Piyi. Kalimat yang di lontarkan Piyi seperi petir di siang bolong, tak terduga.
"Apa maksud kamu?" tanya Kav pelan dan tajam.
"Menikah lah dengan Gita." Piyi mengulang ucapannya.
Kav terkekeh pelan lalu menggeleng. "Disaat situasi seperti ini, kamu masih sempat-sempatnya aja bercanda ya, Ai."
"Aku serius." Piyi menekan ucapannya dan wajahnya memang terlihat serius.
"A--pa?" Lidah Kav tiba-tiba terasa kelu. Ia menggeleng pelan.
Piyi meriah tangan Kav lalu menggenggamnya. "Aku mohon Ai, menikah lah dengan Gita." Piyi memohon dengan sungguh-sungguh.
Kav melepaskan genggaman tangan Piyi. "Kenapa kamu mengajukan permintaan konyol seperti ini. Kamu tau aku gak bisa melakukan itu?" Sorot mata Kav berubah dingin.
"Ini bukan permintaan konyol, aku serius dengan ucapanku," ujar Piyi. "Menikah lah dengan Gita," lanjut Piyi dengan suara yang tercekat dan lirih. Ia juga tidak tahu kenapa ia meminta hal yang sudah pasti akan menyakiti hatinya sendiri.
Kav menggeleng tegas. "Nggak akan! Dan tidak akan pernah." Kav mengunci Piyi dengan tatapannya.
"Aku mohon." Piyi kembali menganggam tangan Kav.
"Aku sudah memiliki kamu, bagaimana mungkin aku menikah dengan Gita." Kav membalas genggaman tangan Piyi. Tangan mungil istrinya itu terasa dingin.
"Aku rela dimadu," ujar Piyi setelah diam beberapa detik.
Kav menggeleng keras, ia tak percaya dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Piyi. Lelaki itu mencengkram kuat pundak Piyi. "Dengar aku baik-baik. Aku tidak akan pernah melakukan apa yang kamu minta. Aku tidak akan pernah menyakiti kamu."
Piyi membuang pandang, tidak berani membalas tatapan Kav. "Aku yang meminta, sungguh aku tidak apa-apa. Aku ikhlas."
"Tidak ada wanita yang ikhlas diduakan." Tekan Kav tajam.
Piyi memberanikan diri menatap Kav. "Aku memberi kamu dua pilihan. Menikah dengan Gita, aku masih akan bersama kamu. Atau menolak permintaanku, dan kamu ceraikan aku."
Kav mengacak rambutnya frustasi. "Aku nggak akan pernah bisa menyakiti kamu!" Nada suara Kav meninggi.
"Pilihan ada di kamu, Kav."
"Aku tidak akan memilih, kamu istriku, hanya kamu Ai. Tidak akan ada perceraian, tidak akan ada menduakan." Kav tetap pada pendiriannya.
"Kamu menolak menikah dengan Gita?" Piyi bertanya setenang mungkin. "Kalau gitu ceraikan aku sekarang juga!"
"Tidak akan pernah!" Kamu dengar kan? Tidak akan pernah Piyi Latusena!" Kav mulai tersulut emosi, matanya berkilat marah.
"Kalau kamu tidak ingin berpisah dari aku, menikahlah dengan Gita. Aku mohon." Piyi menjatuhkan diri, kedua lututnya menjadi penopang. Perempuan itu menunduk dalam.
Hening, Kav diam tanpa kata. Dua menit kemudian lelaki itu menyamakan tinggi dengan Piyi.
"Aku akan menikah dengan Gita," ujarnya yang mampu menciptakan senyum dibibir Piyi. Senyuman yang Piyi tampilkan berbanding terbalik dengan keadaan hatinya yang hancur berantakan.
"Janji, kalau Gita selamat kamu akan menikahinya." Piyi menatap Kav sendu.
Kav memejamkan matanya sejenak sebelum mengangguk. "Aku janji." Katanya lemah dan tidak punya pilihan lain.
Pintu ruang ICU terbuka, seorang dokter keluar dari sana.
Kav dan Piyi beranjak berdiri. "Bagaimana keadaannya, Dokter?" Kav dan Piyi bertanya serempak, keduanya menanti jawaban dokter dengan was-was.
######
To be continued..
Minggu 8 desember 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top