chapter 23
Ingatan mudah lupa.
Semakin menua, segala kenangan begitu mudah terkikis masa.
Maka dari itu, aku ingin menulis tentang kita, menjadikannya abadi bersama semesta. Dalam bentuk sebuah buku yang suatu saat nanti akan dibaca oleh anak cucu kita.
Saat masa itu tiba, kita telah menua.
Bersama melihat mereka, bergantian membaca alur kisah kita di waktu muda.
Sederhana, tetapi hal itu akan terkenang sepanjang masa.
Piyi menyimpan diary mini berwarna abu itu ke dalam laci meja, ia memutar kursi agar menghadap ke arah Kav yang saat ini sedang bersiap untuk pergi ke kantor.
"Ai, hari ini aku ikut ke kantor ya," pintanya pada Kav.
Kav menaikan sebelah alisnya. "Ikut. Tumben banget kamu mau ikut aku ke kantor?" Kav yang sejak tadi sibuk memasang dasi memusatkan perhatiannya pada Piyi.
Piyi berdiri dari duduknya. "Bosan di rumah terus, lagian kan aku udah lama nggak ke kantor kamu. Kangen juga sama teman-teman aku di sana." Piyi mengambil alih dasi Kav dan membantu memasang dasi pada leher suaminya. "Boleh kan, Ai?" tanyanya meminta pada Kav berharap Kav tidak melarangnya.
Kav mengangguk diiringi senyumannya. "Tentu saja boleh, Ai. Aku malah senang bisa mengawasi kamu secara langsung," katanya, sejak Piyi hamil Kav memang selalu khawatir jika meninggalkan Piyi ke kantor, apalagi jika dia harus keluar kota untuk urusan pekerjaan.
Wajah Piyi berbinar cerah. "Makasih Ai." Senyumannya mengambang, ia senang Kav memberikannya izin untuk ikut dengannya.
Setelah sarapan Kav dan Piyi menuju kantor. Sebuah lagu berjudul Arasy cinta yang dipopulerkan oleh seorang penulis yang kerap di panggil Kay Abay itu di putar dari audio mobil mengiringi perjalan mereka.
Tuhan jaga dia selalu dalam lindunganmu.
Jaga cinta kami hingga mampu menyentuh arasy-Mu.
Jadikan dia pendampingku tak hanya di dunia ini, cinta yang abadi sehidup sesurga bersama.
Piyi ikut menyanyikan lagu yang kebetulan ia hapal. Perempuan itu menatap keluar jendela, memerhatikan aktivitas di sana. Sementara Kav hanya menikmati lagu itu dengan pandangan lurus ke depan. Fokus pada stir kemudinya.
"Ai," panggil Piyi tiba-tiba.
Kav menoleh sebentar pada istrinya . "Ya, Ai?" Kav menyahuti, lelaki itu menginjak padel rem ketika lampu hijau berubah menjadi merah.
"Kasihan banget deh anak itu." Piyi memerhatikan seorang anak kecil yang berdiri di pinggir jalan, anak itu membawa keranjang kecil berisi kue.
Piyi menoleh pada Kav ketika suaminya itu hanya diam saja. "Kasihan. Seharusnya dia sekolah, bukan malah cari uang." Piyi menambahkan dengan mata yang berkaca-kaca, naluri kemanusiaannya muncul begitu saja.
Kav tersenyum tipis. "Kamu tunggu di sini, aku samperin anak kecil itu dulu kalau gitu," kata Kav bersiap membuka pintu mobilnya.
"Beli kuenya, ya," pinta Piyi yang mendapat anggukan dari Kav, lelaki itu lalu turun dari mobil.
Piyi tersenyum, ia memerhatikan Kav yang sudah berjalan menghampiri anak itu. Di balik kaca mobil, Piyi ikut tersenyum kala melihat anak itu tersenyum disaat Kav membeli dagangannya.
Beberapa menit kemudian Kav kembali, Kav memasuki mobil dengan puluhan donat dalam kantong kresek yang dibawanya. Rupanya suaminya memborong dagangan anak itu.
"Dia pasti senang, Ai," kata Piyi usai Kav sudah duduk di sampingnya. Ia masih sempat menoleh pada anak itu dari kaca mobilnya. Lalu menoleh pada Kav yang
mengangguk dan tersenyum.
Kav kembali melajukan mobilnya ketika lampu merah sudah beralih ke lampu hijau.
"Ibunya sakit di rumah." Kav membuka suara, memberi tau perihal anak yang tadi ia beli kuenya itu, ia memang sempat berbincang sejenak dengan anak itu tadi.
Piyi mendengarkan. Ada raut kasihan yang ia rasakan. "Semoga Ibunya cepat sembuh." Doanya. Piyi mengusap air matanya, ia menangis.
Kav tersenyum. "Amin." Kav mengaminkan doa Piyi. Sebelah tangannya yang terbebas dari kemudi menghapus air mata Piyi dengan lembut. Ia mengerti bahwa perasaan Piyi sangat sensitif selama hamil.
"Aku mau cobain donatnya." Piyi mengambil satu donat dengan toping cokelat. Sebelum memakannya tak lupa ia membaca doa terlebih dahulu.
"Enak nggak?" tanya Kav, ia jadi ikutan ngiler melihat istrinya makan donat itu dengan lahapnya.
"Enak banget." Piyi menelan kunyahannya lantas menyodorkan donat yang sudah ia habiskan setengah itu ke depan mulut Kav. "Aaaaa." ia menyuruh Kav membuka mulut.
Kav menurut, ia menerima suapan Piyi dan satu gigitan donat sudah masuk ke dalam mulutnya. "Iya, enak," katanya sambil mengunyah.
Piyi mengambil sebotol air mineral di samping kursi, meminumnya hingga tersisa setengah.
Mobil Kav menepi, hal itu membuat kerutan muncul di kening Piyi. "Mau mampir ke mana?" tanya Piyi.
"Ikut aku yuk," ajak Kav, donat yang tadi dibeli ia tenteng.
Piyi menurut saja walaupun ia tidak tahu kemana Kav akan membawanya. Keduanya turun dari mobil.
"Masih banyak orang yang belum mengisi perutnya pagi ini," ujar Kav seraya menggenggam tangan Piyi, membawa istrinya itu menuju beberapa orang yang sedang duduk di bawah jembatan.
Sekarang Piyi paham maksud Kav. Kav akan membagikan kue yang dibelinya tadi.
"Assalamualaikum Ibu." Kav tersenyum ramah lalu menyerahkan dua donat pada wanita berjilbab merah muda itu. "Buat Ibu, di makan ya," ujarnya diiringi senyuman ramahnya.
"Wa'alaikumsalam. Terima kasih, Mas." Wanita yang tak lagi muda itu tersenyum hingga kerutan di wajahnya semakin tampak. "Semoga kalian selalu di beri kesehatan, rezeki yang lancar serta dimudahkan segala urusan ya, Nak," kata Ibu itu memberikan doa baiknya kepada Kav dan juga Piyi.
Kav dan Piyi tersenyum mereka mengaminkan doa si Ibu di dalam hatinya. "Makasih, Bu!" Kata Piyi mewakili Kav atas doa si Ibu. Lalu setelahnya mereka kembali melangkah untuk menghampiri kakek tua, untuk memberikan donat yang sama.
"MasyaAllah terima kasih." Mata kakek tua itu berkaca-kaca. "Semoga Allah selalu memberi nikmat tak terkira kepada kalian. Semoga kehidupan kalian berkah, dianugerahi keturunan yang sholeh dan shalihah. Amin." Kakek itu menadahkan tangan dan memberikan doa yang sama baiknya untuk Kav dan Piyi.
Kav dan Piyi tersenyum ramah. Mereka sama-sama mengaminkan doa yang kakek tua itu panjatkan untuknya. Kedunya melanjutkan untuk membagi donat itu sampai habis.
"Ketika kita berdoa meminta segala macam hal. Lalu Keberhasilan kita capai, segala macam jenis nikmat kita rasakan. Itu bukan berarti doa kita yang terkabulkan, bisa saja kan yang di kabulkan Allah lebih dulu doa dari anak kecil yang sudah aku beli donatnya, atau mungkin kakek tua tadi. Bisa juga beberapa orang lain yang menerima kebaikan dari kita lantas mereka mendoakan kita, lalu Allah lebih dulu mengambulkan doa mereka ketimbang doa kita. Tidak ada yang tau kan? Jadi teruslah berbuat baik kepada sesama walaupun apa yang kita lakukan itu sederhana, doa yang diucapkan akan berbalik kepada orang yang mengucap doa itu," jelas Kav panjang lebar, mereka sudah berada di dalam mobil.
Piyi tersenyum mendengar penjelasan Kav, lalu ia meraih satu tangan sang suami untuk di cium cukup lama. "Aku beruntung punya kamu, Ai. Kamu suami dan calon Ayah yang baik untuk anak-anak kita," katanya dengan mata kembali berkaca-kaca. Hmm dasar hormon hamil. Kav menggeleng namun tak ayal dia tersenyum lembut pada istrinya.
"Aku lebih beruntung memilikimu, Ai." balas Kav diiringi oleh tatapan lembut penuh cinta.
***
"Guys....."
Piyi berlari kecil ke arah teman-temannya ketika ia sudah di kantor Kav. "Kangen kalian," serunya, ia memaluk Tania, Dinda, Syila dan Shiren secara bergantian. Mereka langsung heboh sendiri.
"Woahhh Piyi ke mana aja baru ke sini kita juga kan kangen." Dinda menimpali, yang lain mengangguk dan merasa senang ketika melihat Piyi datang ke kantor ini.
"Aku bilang jangan lari tetap aja lari!" Kav muncul di belakangnya, ia menyusul Piyi sambil mengomel tak jelas, wajahnya terlihat panik walau saat ini matanya melolot, ia kesal karena Piyi mengabaikan peringatannya.
Piyi malah terkekeh. "Maaf Ai," ujarnya. "Aku lupa," tambahnya, merasa tidak bersalah karena sudah membuat suaminya khawatir.
"Pagi, Pak." Tania menyapa sopan pada bosnya, tatapan Kav seperti ingin menerkam. Ia jadi takut sendiri.
Dinda mengurai pelukan. Ia melakukan hal yang sama seperti Tania, menyapa bosnya.
Kav memutar bola mata. "Pagi," balas Kav seadanya. Lalu ia menarik Piyi dari rengkuhan Shiren dan Syila dan membawa istrinya untuk ikut dengannya.
"Mau ke mana, Ai?" tanya Piyi ketika Kav menggangam tangannya.
"Ke ruanganku," kata Kav tak ingin dibantah.
"Tapi kan aku masih kangen sama mereka, Ai, aku mau--" Piyi mengeluh, kesal pada Kav yang seenaknya.
"Mereka harus bekerja, jam makan siang saja kangen-kangenannya." Kav memotong cepat ucapan Piyi sambil terus membawa Piyi ke ruangannya.
Piyi menghela napas. "Gue ke ruangan dulu, makan siang kalian semua gue traktir," serunya sebelum ia menghilang dari tatapan mata teman-temannya.
Ucapan Piyi langsung mengundang sorakan gembira dari teman-temannya. Tetapi hal itu hanya bertahan sebentar, mereka semua kembali bungkam ketika Kav berbalik menoleh pada mereka dan memberikan tatapan tajamnya pada karyawannya yang adalah teman-teman istrinya.
"Kamu tuh bikin mereka takut aja, jangan galak-galak kenapa sih, Ai!" Semprotnya saat ia sudah duduk di sofa yang tersedia di dalam ruangan suaminya.
"Kamu juga takut, kan?" Kav melepas jas lalu meletakkannya di kepala kursi. Ia menggoda istrinya dengan menaik turunkan alisnya.
Piyi cemberut. "Dulu si iya tapi sekarang udah nggak lagi. Karena ternyata kamu tuh luarnya doang yang galak, aslinya sih enggak." Piyi tersenyum hangat pada Kav. Sekarang Piyi tahu bahwa sifat dan kebaikan seseorang tidak bisa diukur oleh sebelah mata tanpa kita tahu sifat asli orang tersebut. Contohnya saja suaminya. Meski dia terlihat galak tapi Kav memiliki hati yang baik.
Kav terkekeh pelan. "Itu berarti kamu sudah benar-benar mengenal aku."
"Aku kan istri kamu Ai, pasti kenal lah." Piyi menghampiri Kav yang mulai sibuk dengan laptopnya.
Piyi berdecak ketika Kav mengabaikannya, suaminya itu sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
"Aku ngapain di sini? Bosan." Piyi duduk di depan Kav, menopang wajahnya dengan kedua tangan di atas meja.
Kav melepas kaca mata yang baru saja ia pakai. "Baru sebentar, masa udah bosan aja."
Piyi menggembungkan pipinya, melihat wajah Piyi yang begitu menggemaskan membuat Kav tidak tahan untuk tidak mencubit pipi chubby istrinya itu. "Jangan kayak gitu mukanya, kamu bikin aku kepingin cium kamu tau, nggak!"
#######
To be continued ...
Sabtu 30 november 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top