chapter 22
Piyi berdzikir di atas sajadah yang ia bentangkan tadi seusai ia salat subuh, mukena bermotif bunga masih melekat di tubuhnya. Jemarinya tak henti-hentinya menggulir bola-bola tasbih yang saat ini sedang ia genggam, perempuan itu melafalkan zikir dengan nada yang terdengar merdu dan lirih.
Selesai dengan aktifitasnya. Piyi mulai membereskan sajadah dan mukena miliknya. Perempuan itu membuka gorden, hari masih terlalu pagi matahari bahkan belum menampakkan diri. Piyi duduk di kursi, jemarinya mengetuk dagu. Bingung harus mengerjakan apa pagi ini. Kav belum kembali dari rumah sakit hal itu membuat Piyi malas untuk memasak. "Ngapain ya?" Piyi bertanya pada dirinya sendiri.
Pandangan mata Piyi fokus menatap awan kelabu dari jendela yang sengaja dibuka olehnya, perempuan itu sedikit mendongak. Cukup lama berpikir akhirnya Piyi menemukan suatu hal yang ingin ia kerjakan. Piyi mengambil pena juga diary mini dari dalam laci mejanya.
Bibir Piyi mengukir senyum, pena di tangannya mulai bergerak menulis untaian kata pada diary berwarna abu di depannya. Piyi rindu menulis, sekarang perempuan itu kembali melakukan hoby yang sudah cukup lama ia tinggalkan itu.
Tak perlu waktu lama, Piyi selesai dengan aktifitasnya. Perempuan itu menoleh bersamaan dengan terdengarnya ketukan di pintu.
Piyi beranjak untuk membuka pintu, perempuan itu membekap mulut ketika melihat apa yang saat ini berada di depannya. Sebuah boneka beruang berukuran besar, mungkin besarnya sama dengan ukuran tubuh Piyi. Bukan hanya boneka, sebatang cokelat juga se-bouquet bunga ada bersama boneka itu.
Mata Piyi berbinar cerah, ia memeluk boneka itu dengan gemas. Setelahnya ia meraih se-bouquet bunga mawar putih lalu menghirup aromanya dalam-dalam. Dengan tidak sabar, ia juga membuka bungkus cokelat dan memakannya dengan semangat.
"Kamu nggak cari tahu siapa yang udah ngasih itu ke kamu?" Piyi menoleh ke arah sumber suara, Kav melangkah santai menghampirinya. Pria itu tersenyum pada istrinya.
Piyi ikutan tersenyum, ia paham yang memberikan semua ini pasti Kav. Tapi Piyi tau Kav hanya menyindiri dirinya karena terlalu bersemangat dengan semua pemberiannya. "Makasih, Ai." Kata Piyi masih dengan mulut penuh cokelat yang dikunyahnya.
Kav terkekeh melihat itu, lelaki itu menggelengkan kepalannya. "Permintaan kamu sebagai pacar sudah aku penuhi, gimana? Senang, kan?"
Piyi mengangguk semangat. "Senang banget," ujar Piyi seraya menangkup wajah Kav, di sisi bibirnya belepotan cokelat tanpa ragu ia menciumi seluruh wajah sang suami.
Alih-alih senang, Kav malah berdecak. "Nggak kira-kira kalau nyium," ujarnya seraya mengusap wajahnya yang belepotan karena terkena cokelet dari mulut istrinya, tapi meski begitu Kav tidak bisa menutupi perasaannya, kalau ia senang melihat Piyi sesenang ini.
Melihat wajah kesal Kav, Piyi malah terkekeh. "Kamu lucu, Ai, wajah kamu belepotan sama coklat!" ujarnya, mencubit gemas pipi Kav dan ia kembali terkekeh.
Kav meringis kecil. "KDRT tau nggak?!" Ia meraih tangan Piyi agar perempuan itu berhenti menyiksa dirinya dengan cubitan-cubitannya.
Piyi lagi-lagi terkekeh. "Habisnya kamu ngegemesin," katanya manja, "Jadi pengen cubit kamu terus." Tambahnya, membuat Kav cemberut lucu.
Kav merendahkan posisi tubuhnya, ia mensejajarkan tingginya dengan perut Piyi. "Pasti kamu nih yang sengaja bikin Mama kamu nyiksa Papa," ujarnya seraya menyentuh perut Piyi dan mengusapnya lembut, penuh kasih sayang.
Piyi terkikik geli lalu mengacak rambut Kav sampai berantakan. Ia benar-benar gemas pada suaminya itu.
Kav menghela napas panjang, ia mendongak menatap Piyi. "Lakukan apa saja asal kamu senang," ujarnya diiringi senyuman hangatnya.
Piyi menggigit bibir bawah menahan senyum. "Ai," panggilnya seraya meraih pundak Kav agar lelaki itu berdiri.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Aku punya sesuatu buat kamu," katanya.
Kav mengangkat sebelah alisnya, ia merasa penasaran. "Apa?" Ia bertanya, Piyi tak menjawab. Perempuan itu malah berlari kecil memasuki kamar tidurnya, ia kembali dengan membawa diary mini miliknya lalu menyerahkannya kepada Kav.
"Ini apa?" Kav malah bertanya usai Piyi menyerahkan buku diary miliknya.
"Baca aja," suruhnya dan Kav mengangguk, menuruti permintaan Piyi.
Bahagia kini telah ku genggam, bersama dia yang memang telah Tuhan pilihkan untukku.
Tuhan, terima kasih karena sudah menjadikan dia sebagai tambatan hatiku. Tempatku berpulang yang selalu bersedia menampung resah yang datang.
Aku mencintainya dengan banyak alasan, menerima kehadirannya dengan perasaan tenang. Menyebalkan, salah satu sikapnya yang menjadi alasan kenapa aku mencintainya begitu dalam.
Aku mempunyai banyak harapan, aku ingin membangun sebuah istana bersamanya. Istana yang aku beri nama cinta luar biasa, istana yang letaknya di dunia juga di surga. Semoga cintaku dan cintanya, mampu meraih ridho-Nya.
Kav tersenyum. "Kamu yang buat?" tanyanya dengan binar haru.
Piyi mengangguk antusias. "Iya."
"Sini peluk." Kav merentangkan kedua tanganya meminta Piyi masuk ke dalam dekapannya.
Piyi menyambut pelukan lelaki itu dengan senang
"Mari membangun istana bersama," bisik Kav lembut dan hangat tepat di samping telinga Piyi.
Piyi mengurai pelukan dan mengangguk. Ia merasa bahagia.
"Semoga Allah selalu memberkahi rumah tangga kita, Ai." Doa dan harapan Kav.
Piyi mengangguk "Amin." Ia mengamini doa yang Kav ucapkan dengan harapan dan doa yang sama pula. Mereka masih berpelukan. Kav senang memeluk Piyi seperti ini dan Piyi juga senang dipeluk seperti ini oleh Kav.
"Kamu betah peluk aku yang belum mandi?" Kav berniat menggoda istrinya.
Sontak Piyi mendorong tubuh Kav, perempuan itu menutup hidung bergaya seperti orang yang ingin muntah.
"Halah sok-sok an." Kav menarik tubuh Piyi kembali, ia mengapit kepala sang istri di lengannya. Hal itu membuat Piyi tidak mampu menahan tawanya.
Piyi meredakan tawa. "Oh, iya. Bagaimana keadaan Rigel, Ai?"
"Alhamdulillah sudah bisa pulang. Dia pulang sama Mama tadi pagi." Kav dan Piyi memasuki kamar.
"Syukurlah. Aku lega dengernya."
"Yaudah aku mau mandi dulu," kata Kav.
"Kamu sudah makan?" tanya Piyi saat mereka sudah di dalam kamar mereka.
"Belum, Ai." Kav menjawab sambil membuka pakaiannya, bersiap mandi.
"Kalau gitu aku masak, kamu mandi dulu aja," ujar Piyi yang diangguki oleh Kav.
***
Sebelum pergi ke kantor, Kav lebih dulu mengantar Piyi untuk menjenguk Rigel yang saat ini sedang bersama Laras dan Bibi. Kav tidak memasuki rumah, bahkan lelaki itu tidak turun dari mobil karena ia harus segara ke kantor.
"Mama," ujar Piyi ketika Laras membuka pintu. Mata perempuan itu berkaca-kaca ketika mendapati mertuanya dengan penampilan yang berbeda. Tubuh tinggi semampai Laras dibalut dengan gamis berwarna merah bata, rambut hitam sebahu yang biasa tergerai ditutup dengan jilbab hitam yang menjuntai sampai perut.
Laras tersenyum, ia memeluk Piyi. "Terima kasih, berkat kamu Mama bisa jadi seperti ini." Laras mengurai pelukan lantas menghapus air mata Piyi.
Piyi menggeleng. "Semua karena Allah, Ma," ujar Piyi seraya meneliti penampilan Laras sekali lagi. Ia kagum dengan mertuanya itu, Laras mampu mengenakan jilbab sesuai syariat islam. Sedangkan Piyi masih mengenakan jilbab yang menampakkan bagian dada.
"Aku kagum sama Mama, dalam waktu singkat Mama mampu berubah. Bahkan sekarang Mama lebih baik dari aku." Air mata Piyi menetes membasahi pipi.
"Jangan memuji Mama seperti itu, Piy, kita tidak boleh memuji orang secara berlebihan. Kita juga tidak boleh menganggap seseorang buruk hanya karena sebuah penampilan. Karena bisa saja orang yang kita anggap buruk akan berubah menjadi lebih baik dibanding kita. Tidak ada yang tahu, kan? Karena yang menurut manusia baik belum tentu baik menurut Allah, pun sebaliknya. Segala kesempurnaan hanya milik Allah, keburukan milik kita, manusia yang tak pernah luput dari dosa," jelas Laras. Setelah hubungannya dengan Kav kembali membaik, Laras memantapkan dirinya untuk memperbaiki diri, ia mendatangi kajian di beberapa tempat, ia juga berguru pada seorang ustadzah.
Piyi tersenyum kecil mendengar penuturan Laras.
"Jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain, hal itu bisa menimbulkan penyakit hati. Sangat berbahaya," ujar Laras lagi. "Maaf ya Mama jadi terkesan menggurui kamu," lanjut Laras diiringi kekehan.
"Aku sama sekali nggak merasa digurui. Malah aku senang, ucapan Mama barusan menyadarkan aku." Piyi tersenyum.
Laras ikutan tersenyum. "Yaudah, ayo kita masuk," ajaknya yang diangguki oleh Piyi.
"Rigel di mana, Ma?" tanya Piyi.
"Ada di kamarnya, samperin sana. Mama mau ke dapur dulu." Laras pamit sementara Piyi melangkah menuju kamar Rigel.
Pintu kamar Rigel tidak tertutup rapat, Piyi bisa melihat Rigel yang sedang bersandar di kepala Ranjang, satu tangannya memegang robot ultraman.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam, Tante Yi." Rigel menjawab salam bersamaan dengan itu Piyi berjalan mendekati Rigel ia duduk di tepi ranjang Rigel.
"Rigel kenapa? Kok mukanya sedih gitu sih." Piyi membelai lembut surai rambut Rigel.
"Tente." Rigel menatap Piyi. "Rigel mau tanya, tapi Tante harus jawab jujur ya," katanya.
Piyi mengangguk. "Tante akan jawab jujur."
"Jangan bohongin Rigel ya, janji." Rigel mengacungkan jari kelingking ke arah Piyi.
"Janji." Dengan senang hati Piyi mengaitkan jari kelingkingnya pada jari mungil Rigel.
"Tante nggak boleh bohong. Karena bohong itu dosa," kata bocah kecil itu yang membuat Piyi tersenyum oleh kalimatnya.
"Iya sayang, Tante tahu! Sekarang ada apa, coba kamu tanyakan ke Tanta, maka Tante akan menjawabnya dengan jujur." Ia mengusap kepala Rigel.
"Mama Gita sakit, kan Tante?"
Pertanyaan Rigel sukses membuat Piyi kaget ia tak menyangka kalau Rigel akan melontarkan pertanyaan seperti itu.
Melihat Piyi hanya diam, Rigel kembali bertanya. "Waktu itu hidung Mama berdarah. Mama sakit apa Tante?" tanya Rigel masih dengan kalimat yang terdengar cadel khas anak seusianya.
Piyi menetralkan ekspresi wajahnya untuk tetap tenang. "Iya, Mama Gita sakit. Tapi Rigel jangan khawatir, Insya Allah Mama Gita bakalan secepatnya sembuh," Piyi tersenyum lembut.
"Yang bener Tante?" Pertanyaan Rigel mendapat anggukan mantap dari Piyi.
"Jadi, Bintang nggak boleh sedih lagi ya. Kalau Bintang sendih Bulan juga akan ikutan sedih." Raut wajah Piyi berubah muram, ia meraih boneka berbentuk bulan di samping kasur Rigel lantas menggerak-gerakkan benda itu.
"Bintang? Kenapa Tante Yi panggil Rigel Bintang?" Kening Rigel berkerut, bocah iru merasa penasaran dan ingin tau.
"Karena kamu itu memang Bintang. Rigel itu adalah nama Bintang yang paling terang dari rasi Orion."
"Wah, masa sih Tante." Wajah Rigel berbinar.
"Iya, jadi Rigel nggak boleh sedih, masa salah satu Bintang paling terang bersedih? Bintang harus tetap bersinar, jangan muram apalagi sampai padam."
"Rigel nggak akan sendih lagi kalau gitu." Rupanya ucapan sederhana Piyi mampu mengubah suasana hati Rigel. Bocah itu sudah kembali bersemangat. Ia menghambur memeluk Piyi. Piyi menerima pelukan Rigel. Rasa sayangnya pada bocah ini tumbuh begitu saja.
#########
To be continued ...
Kamis, 28 November 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top