chapter 20
Kav berjalan tergesa menuju kamar Rigel. Sedangkan Piyi jauh tertinggal di belakangnya, perempuan itu tidak mampu menyeimbangi langkah lebar Kav, merasa lelah kalau harus berjalan cepat.
"Rigel, kamu nggak papa, Sayang?" tanya Kav saat ia sudah duduk di tepi ranjang Rigel. Kav menyentuh kening bocah itu dengan punggung tangannya. Tatapannya memancarkan kekhawatiran kepada Rigel.
"Den Rigel demam tinggi, Tuan," Bibi memberitahukan.
"Pah," lirih Rigel.
"Iya, kenapa sayang? Di mana yang sakit?" Kav mengelus lembut rambut Rigel.
"Mama mana, Pah?" Bukannya menjawab Rigel malah balik tanya.
Kav menoleh ke arah Piyi yang baru saja memasuki kamar Rigel. "Itu Mama," ujarnya diiringi senyuman.
Rigel menggeleng. "Itu Tante Yi, bukan Mama Rigel!"
"Hai Rigel," sapa Piyi ramah.
Rigel sama sekali tak menanggapi sapaan Piyi, ia hanya melirik sekilas ke arah perempuan itu. "Pah, Rigel mau Mama Gita." Rigel mengguncang pelan pergelangan tangan Kav ia mulai merengek.
Kav menatap Bibi yang masih setia berdiri di samping ranjang Rigel. "Gita nggak ada ke sini, Bi?" Tanyanya dan kembali menatap Rigel.
Bibi menggeleng. "Sudah lebih dari seminggu Non Gita tidak ke sini, Tuan. Ponselnya juga tidak aktif," jelas Bibi memberitahu Kav.
Kav menghela napas panjang. "Kita bawa Rigel ke rumah sakit," ujarnya seraya membantu Rigel untuk duduk setelahnya menggendong tubuh lemas Rigel.
"Sayang, tolong ambil kunci mobil di laci." Kav mengedikkan dagunya, Piyi langsung menuruti perintah Kav.
"Bibi ikut, Tuan?" tanya Bibi yang saat ini membuntuti Kav dan Piyi.
"Bibi di rumah aja," ujar Kav yang mendapat anggukan dari Bibi.
Berada di beranda, Kav memanggil satpam yang berjaga meminta bantuan untuk membawa mobil menuju rumah sakit. Sebelum itu Kav juga menyuruh saptam itu untuk memasukkan motor miliknya ke garasi.
"Ai, Rigel nggak papa?" tanya Piyi, pandangannya fokus menatap Rigel yang saat ini berada dalam pangkuan Kav. Mereka sudah memasuki mobil.
"Kamu liat kan? Kenapa masih bertanya?" Kav menjawab tanpa menoleh ke arah Piyi.
Piyi menghela napas pelan. "Ai," panggilnya lagi.
"Apa?" Kali ini Kav menoleh, kerutan di dahinya tampak jelas.
"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan sama kamu."
"Bicara aja."
"Nggak bisa sekarang."
"Hmm." Kav hanya menggumam. "Pak, lebih cepat!" ujarnya pada satpam yang mengemudi.
Piyi menyandarkan punggungnya, ia merasa lelah. Perempuan itu memejamkan mata satu tangannya mengelus permukaan perutnya dengan lembut.
***
"Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Kav pada dokter yang baru saja selesai memeriksa keadaan Rigel.
"Tenang Pak, putra anda baik-baik saja, hanya demam biasa. Mungkin sebentar lagi panasnya akan turun." Dokter itu tersenyum. "Besok juga sudah bisa langsung di bawa pulang," lanjutnya.
"Syukurlah kalau begitu." Kav bernapas lega. "Terima kasih, Dok."
Dokter itu mengangguk. "Yasudah, kalau begitu saya permisi dulu," ujarnya setelah itu keluar dari ruangan.
"Alhamdulillah, kamu baik-baik saja, Sayang." Kav tersenyum menatap Rigel.
"Pah, Rigel mau Mama," rengek Rigel lagi.
"Rigel, nanti Mama datang ke sini. Sebelum Mama datang kamu sama Tante Yi dulu ya." Kav berusaha membujuk.
"Iya, Rigel sama Tante Yi dulu." Piyi tersenyum, ia mengelus lembut pipi gembul Rigel.
"Nggak mau." Ucapan Rigel disertai gelengan.
Kav dan Piyi saling pandang, helaan napas keluar dari mulut Kav.
"Rigel tidur dulu ya, nanti pas Rigel bangun bakalan ada Mama di sini."
Mata Rigel langsung berbinar, bibirnya yang pucat mengukir senyum. "Beneran, Pa?"
Kav mengangguk. "Benar sayang, sekarang Rigel tidur. Jangan lupa baca doa." Kav memberikan satu kecupan di kening Rigel.
Piyi mengikuti apa yang dilakukan Kav, perempuan itu tersenyum. "Cepat sembuh sayang," ujarnya.
"Terima kasih Tante Yi. Tante baik tapi maaf, Rigel maunya sama Mama bukan Tante," ujar Rigel.
Piyi hanya tersenyum, usapan lembut dari Kav di pundaknya membuat Piyi merasa lebih baik atas penolakan yang baru saja dilayangkan Rigel untuknya.
"Dia hanya belum terbiasa," ujar Kav menenangkan, ia tau kalau Piyi merasa tidak nyaman.
"Nggak papa, Ai. Aku paham." Piyi meraih tangan Kav yang berada di pundaknya, menggenggam tangan itu lantas mengecupnya.
Kav tersenyum, ia tenang karena Piyi bisa mengerti. "Rigel sudah tidur, aku harus cari Gita. Aku tidak ingin membuat Rigel kecewa. Disaat dia bangun nanti Gita harus ada di sini," ujar Kav.
Piyi menuntun Kav keluar dari ruangan. "Ada yang mau aku bicarakan," ujar Piyi.
"Nanti saja, aku harus cari Gita."
"Penting." Piyi menatap mata Kav tepat di maniknya.
Melihat raut wajah Piyi yang mamelas akhirnya Kav mengangguk.
"Gita ada di sini."
Kening Kav berkerut mendengar penuturan Piyi. "Maksud kamu?"
"Dia dirawat di rumah sakit ini juga, Ai."
"Di rawat? Dia sakit?" Lagi-lagi Kav bertanya.
"Leukimia."
Ekspresi terkejut langsung tercetak jelas di wajah Kav. "Leukimia? Kamu bercanda!"
"Aku serius Ai, dia sakit leukimia dan dirawat di rumah sakit ini." Mata Piyi berkaca-kaca disaat mengingat Gita.
Kav merasa lututnya lemas, lelaki itu bersandar di tembok. "Kamu tau dari mana?"
"Beberapa hari yang lalu disaat aku cek up, aku bertemu dengan dia. Gita memang nggak bilang sama aku kalau dia sakit. Tapi, dokter yang menangani dia yang memberi tau ke aku," jelas Piyi.
Kav menegakkan badan. "Aku ingin bertemu dengannya."
Piyi mengangguk. "Ayo."
***
Air mata Gita terus mengalir bersama dengan gerakan tangannya yang tak berhanti menyisir rambut dengan jemari. Perempuan itu menggigit bibir bawah kencang-kencang agar isak tangisnya tak terdengar.
"Assalamualaikum."
Gita mendongak, perempuan itu dengan sigap menghapus air mata yang sialnya tetap mengalir juga. Ia berusaha tersenyum menatap Kav dan Piyi yang kini sedang berdiri di ambang pintu. "Wa'alaikumsalam." Gita menjawab salam.
Gita sudah tidak bisa lagi mengelak. Tangisnya pecah ketika Piyi memeluknya dengan erat.
"Kamu kuat," ujar Piyi.
Gita mengurai pelukan. "Piy, rambut aku rontok." Ia menatap gumpalan rambut yang berada di telapak tangannya.
Piyi membekap mulut, ia tidak sanggup menahan tangis. Mulutnya membuka tutup tidak tau harus bicara apa.
"Kamu kok nangis?" Gita menangkup wajah Piyi. "Jangan nangis Piy, yang sakit kan aku, yang kepalanya bakalan botak kan aku. Kenapa kamu ikutan nangis." Bibir Gita mencetak tawa tetapi air mata ikut menyertainya.
Piyi terus terisak, mulutnya tak sanggup berucap. Gita benar-benar perempuan kuat. Bahkan, pada saat seperti ini Gita menghadapi semuanya seorang diri. Seandainya Piyi dan Kav tidak datang menengok, mungkin Gita akan menangis sendirian, tidak ada tempat untuk membagi kesedihannya.
Piyi tersenyum disela tangisnya. "Aku nggak apa-apa," ujarnya.
"Sejak kapan seperti ini?" Kav yang sedari tadi hanya diam buka suara, ia berdiri di samping brankar Gita.
Gita menatap Kav. Perempuan itu mengedikkan bahu. "Mungkin sudah lama, tetapi aku baru mengetahuinya beberapa waktu yang lalu." Tangis Gita sudah reda, walau sesekali perempuan itu masih sesegukan.
"Aku hanya bisa berdoa, semoga Allah secepatnya memberi kesembuh untukmu." Kav tersenyum tulus.
"Amin." Gita tersenyum, ia mengamini ucapan Kav.
"Kamu pasti sembuh." Piyi mengenggam jemari Gita, seolah dengan cara itu ia mampu menyalurkan sebuah kekuatan.
"Semoga." Gita tersenyum. "Oh, iya. Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanya Gita, ia menatap Kav dan Piyi secara bergantian.
Kav mengacak rambutnya, frustasi. "Rigel sakit, Ta. Dia pengen ketemu kamu," ujar Kav.
"Sakit apa?" tanya Gita berubah khawatir.
"Cuma demam. Tetapi tetap saja aku khawatir."
"Dia pengen banget ketemu sama kamu Ta." Piyi menimpali.
Gita menghela napas panjang, perempuan itu menunduk. "Aku juga pengen banget ketemu sama dia. Tapi aku nggak mau dia tau kalau aku sakit." Gita mendongak. "Aku nggak mau liat dia sedih," lanjutnya.
Hening sempat hinggap, ketiganya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai akhirnya Piyi bersuara.
"Pakai jaket aku, Ta, dengan begitu Rigel nggak akan tau kalau kamu juga pasien di sini." Piyi menyuarakan idenya.
Gita dan Kav tersenyum. "Ide bagus." Keduanya serempak berucap.
Piyi melepas jeket miliknya lalu membantu Gita untuk mengenakannya. Setelah sudah siap, Piyi membantu Gita untuk turun dari brankar.
Mereka keluar dari ruangan, berjalan bersisian. Piyi menggandeng lengan Kav, menopang kepalanya pada lengan kekar suaminya.
"Kamu kenapa?" tanya Kav.
"Sedikit pusing."
Sontak Kav menghentikan langkah. "Kamu harus istirahat," ujarnya menatap Piyi dengan tatapan khawatir.
"Kenapa?" tanya Gita.
"Ta, sepertinya aku harus mengantar Piyi pulang. Kamu nggak apa-apa kan menjenguk Rigel sendirian?"
Gita mengangguk. "Nggak apa-apa."
"Aku nggak apa-apa kok Ai, kalau kita pulang siapa yang akan jaga Rigel," ujar Piyi.
"Aku yang jaga, Piy," ujar Gita. "Aku akan minta temani suster." Gita melanjutkan ucapannya ketika melihat tatapan ragu dari Piyi.
"Kita pulang ya," ajak Kav.
Piyi mengangguk. Sepertinya ia memang harus beristirahat. Karena semenjak hamil ia memang gampang lelah dan pusing.
#######
To be continued...
Minggu, 17 November 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top