Chapter 2
Pukul enam pagi, Piyi berdiri di depan gerobak penjual bubur Ayam. Usai salat subuh Piyi bergegas pergi ke kantor, sungguh menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan jika tengah malam Kav menelpon dan memintanya untuk datang pagi-pagi sekali ke kantor. Untuk apa coba? Dan ternyata Piyi diminta untuk membelikan bubur Ayam untuk lelaki itu sarapan. Hanya itu, Piyi kira ada hal yang lebih penting daripada membeli semangkuk bubur.
"Makasih Mas," Piyi menyerahkan selembar uang ketika penjual bubur Ayam menyerahkan pesanan miliknya. Perempuan itu begegas kembali ke kantor.
Saat ia sudah tiba di kantor lagi-lagi Piyi berjalan tergesa menuju ruangan Kav, ia ingin secepatnya terbebas dari lelaki itu.
"Ini pesanannya, Tuan." Piyi meletakkan seporsi bubur Ayam di atas meja.
Kav menatap bubur ayam itu dengan dahi berkerut. Lelaki itu mulai mengaduk bubur di hadapannya lantas memakannya, hanya sesendok.
"Tidak enak," ucap Kav santai.
Piyi melebarkan matanya, apa dia bilang? Tidak enak, sudah menyuruhnya pagi-pagi sekali datang ke kantor sekarang bosnya dengan mudahnya mengatakan tidak enak.
Piyi kesal, jika bukan bosnya sudah ia maki habis-habisan lelaki di depannya ini, namun alih-alih melampiaskan kekesalannya Piyi berusaha bersikap sabar.
Ia menghela napas lelahnya, "Terus Tuan nggak mau makan buburnya?" Piyi masih berusaha untuk tidak mencekik lelaki yang berstatus sebagai atasannya itu.
"Beli lagi di tempat lain." Dia memberikan perintahnya tanpa menghargai bubur yang sudah Piyi beli di pagi-pagi buta untuk dirinya.
Kepala Piyi rasanya sudah berasap saat bosnya dengan santainya mengatakan itu. Tapi beginilah nasib bawahan, selain menuruti perintah bosnya ia bisa apa?
Piyi mengangguk kaku lantas pergi begitu saja meninggalkan Kav.
Setengah jam kemudian Piyi kembali memasuki ruangan Kav lagi dengan membawa bubur Ayam baru yang ia beli dari tempat berbeda.
"Ini bubur pesanan Tuan yang saya beli di tempat lain." Dengan sopan Piyi menyerahkan bubur Ayam yang Kav minta sambil menyindir bosnya lewat perkataannya. Biar saja Kav merasa tersindir juga, Piyi tidak peduli.
Kav tidak menerima bubur yang Piyi sodorkan, ia hanya menatapnya sekilas. "Saya sudah tidak ingin memakanya lagi." Katanya santai tanpa rasa dosa sedikitpun, dan itu berhasil menaikan tingkat kekesalan Piyi
Rahang Piyi mengetat, segala umpatan kasar sudah menggantung di tenggorokan Piyi, namun tidak berhasil ia keluarkan jika ia tidak langsung ingat siapa lelaki di depannya ini, bosnya.
Kav melirik Piyi sepintas, "Makan!" dia malah memerintah Piyi untuk memakan bubur itu.
Piyi menganga mendapat perintah itu, "Tapi, Tuan..."
Kav memotong kalimat bantahan yang sudah pasti akan keluar dari mulut Piyi. "Makan sekarang!" perintah pria itu ketika ia menyodorkan sesendok bubur ayam ke dalam mulut Piyi. Tatapan Kav menatap tajam pada Piyi, hingga mau tidak mau Piyi menurut.
Dengan kesal Piyi memakan bubur Ayam yang sudah terlanjur masuk ke mulutnya. "Sekarang mau apa? Tuan mau nyuruh saya beli bubur Ayam ke mana lagi? Ujung Hongkong atau di mana?" Piyi meraih botol air mineral di hadapannya lalu meminumnya hingga tersisa setengah.
"Kamu nggak sopan! Itu air mineral saya," ucap Kav setengah kesal.
"Udah terlanjur keminum gimana dong? Apa harus saya keluarin lagi?" tanya Piyi kesal. Pagi-pagi sudah dibuat emosi, sial sekali bosnya ini.
Kav meraih botol yang baru saja Piyi letakkan lantas meminum airnya yang masih tersisa setengah. "Saya balas ciuman tidak langsung kamu."
Piyi melotot mendengar ucapan Kav. Tetapi ia menahan mulutnya agar tidak mengucapkan apa-apa. Lebih baik diam dari pada masalah makin panjang.
Kav berdiri dari duduknya lalu memakai jas hitam yang ia letakkan di kepala kursi. "Ikut saya!" ucapnya aroggant dan tak terbantahkan.
Piyi menghentakkan kakinya kesal, perempuan itu mendumel dengan kaki yang mulai melangkah mengikuti Kav.
"Masuk!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Piyi memasuki mobil mewah milik Kav.
"Jalan Pak!" ucap Kav setelah duduk di samping Piyi pada sopir pribadinya.
"Kita mau ke mana, Tuan?" tanya Piyi.
"Tidak usah banyak bertanya."
"Saya baru bertanya sekali."
Kav memberikan tatapan tajamnya pada Piyi saat lagi-lagu Piyi membalas kalimatnya.
Piyi mendengus. "Hati-hati itu mata keluar terus ngegelinding."
Kav hanya diam tak lagi membalas ucapan Piyi. Keadaan di dalam mobil hening sampai pada akhirnya mobil hitam itu berhenti di depan sebuah rumah mewah.
Kav turun dari mobil diikuti Piyi. Lelaki itu berjalan angkuh sementara Piyi terus-terusan mendumel tidak jelas di belakang Kav.
Memasuki rumah mewah itu Piyi dan Kav di sambut oleh beberapa pelayan berseragam yang serantak menggangguk hormat.
Piyi terus mengikuti langkah Kav sampai lelaki itu berhenti di dapur.
"La, tolong kamu keluar," ucap Kav pada pelayan yang bertugas di dapur.
Pelayan itu mengangguk lalu menuruti perintah Kav.
"Piy, tolong buatkan saya bubur Ayam."
"Saya yang buat, Tuan?" Piyi menunjuk dirinya sendiri.
"Telinga kamu masih normal, kan, untuk mendengar apa yang saya katakan?"
"Iya." Katanya terdengar malas.
"Kalau sudah selesai antar ke kamar Saya." Kav berlalu pergi begitu saja meninggalkan Piyi berkutat dengan bubur yang dipintanya.
___
Ketukan pintu mengalihkan perhatian Kav dari majalah bisnis yang sedari tadi ia baca.
"Masuk!"
Selang beberapa detik Piyi muncul dari balik pintu dengan semangkok bubur beserta segelas air putih yang tadi Kav pinta.
"Tutup pintunya!"
Piyi menggeleng, perempuan itu malah membuka pintu dengan lebar. "Kita bukan mahram, tidak baik kalau berduaan. Jadi lebih baik pintunya Saya buka untuk menghindari fitnah." Piyi berjalan menghampiri Kav lalu meletakkan apa yang ia bawa di atas meja.
Kav menaikkan sebelah alisnya. "Lusa kita menikah."
Mata Piyi membulat sempurna. "Barusan Tuan bilang apa?"
"Lusa kita menikah." Kav mengulang ucapannya.
"Sinting!" Piyi mengumpat, tidak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Kamu bilang apa barusan?! Kav melotot.
"SINTING!" Piyi setengah berteriak. "Tuan ngigo apa gimana sih ngomong gitu?" Piyi tidak habis pikir dengan jalan pikiran Kav. Membicarakan pernikahan semudah ia membicarakan iklim cuaca.
"Saya serius dengan apa yang saya katakan." Kata Kav santai tanpa beban.
"Kenapa tiba-tiba? Saya nggak ngerti apa maksud Tuan?" Piyi nampak kesal.
"Kamu bilang kita nggak baik berduaan, supaya jadi baik saya akan menikahi kamu. Kamu tidak ingin berdosa, kan? Yasudah kita menikah saja. Yang tadinya haram akan menjadi halal dengan cara itu," jelas Kav santai semakin terdengar nyolot di telinga Piyi.
"Gila sih gila." Piyi menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Saya belum siap menikah, apa lagi kalau harus menikah sama Tuan."
"Saya tidak terima penolakan. Lusa kamu harus menikah dengan Saya."
"Saya selalu menuruti perintah Tuan, tapi kali ini saya menolak dengan tegas. Menikah itu bukan perkara yang mudah, tidak segampang membalikkan telapak tangan, Tuan." jelas Piyi kesal.
Kav tetap tenang, dia tidak menanggapi kekesalan Piyi. Mengunyah bubur buatan Piyi lalu berkata, "Malam ini saya akan ke rumah kamu. Saya akan melamar kamu, meminta langsung kepada Ayah kamu." Ujarnya, membuat Piyi makin melotot.
"Oke, silahkan. Saya akan menerima lamaran Tuan seandainya Ayah saya menerimanya." Piyi berjalan ke arah pintu. "Saya pastikan Ayah saya tidak akan menerima lamaran anda." Piyi berlalu meninggalkan Kav.
Kav tersenyum tipis. "Ayah kamu pasti akan menerima saya." Gumam Kav dengan kepercayaan dirinya.
######
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top