chapter 17

"Mama." Kav merasa tenggorokan nya tercekat ketika menyebut kata 'mama'. Lelaki itu tidak mampu mengeluarkan banyak kata.

Mata Laras berkaca, pandangannya mengabur menatap ke arah Kav yang kini menggenggam erat tangannya. "Coba ulangi sekali lagi," pinta Laras, merasa belum percaya jika Kav mau kembali memanggil dirinya mama.

Kav menatap mata Laras tepat di maniknya. "Mama, maafkan Kav." Kav mengecup lembut punggung tangan Laras dalam genggamannya.

Tanpa kata. Laras menarik tubuh Kav, mendekap erat putra yang selama ini dirindukannya. Menyalurkan seluruh perasaan rindu yang mengikat erat dirinya. "Mama yang seharusnya meminta maaf sama kamu, Kav. Mama belum bisa menjadi Ibu yang baik buat kamu selama ini." Air mata Laras luruh sudah. Diusapnya punggung Kav yang bergetar, ia tahu bahwa putranya itu juga sedang menangis.

Kav menggeleng, ia tahu mamanya salah karena sudah meninggalkan dirinya dan papa, tapi sesalah apapun Kav tidak boleh bersikap seperti itu terhadap mamanya sendiri. Ia hanyalah seorang anak yang tidak berhak membenci mamanya. Dan Kav salah sudah bersikap seperti itu.

"Maaf, Ma, Maaf. Maafkan Kav, Kav salah karena sudah membenci Mama, biar bagaimanapun Mama tetap Mama Kav! Kav sudah bersikap durhaka sama Mama."  Kav terisak, ia memeluk Laras semakin erat.

Laras menggeleng--membantah ucapan Kav, perempuan itu mengurai pelukannya dan menatap putranya dengan pandangan lirih. "Kamu bukan anak durhaka, Nak, kamu anak kebanggaan Mama," ujarnya seraya menangkup pipi Kav. "Maafkan Mama ya, Nak, karena sempat meninggalkanmu dan Papamu." Sesalnya pada Kav.

"Kita lupakan semuanya, Ma, Kav sayang Mama, Mama tidak boleh meninggalkan Kav lagi,"ujarnya lirih dengan tarikan napas leganya karena perasaan bencinya menguap entah kemana dan tergantikan perasaan haru.

Laras tersenyum sendu dan menatap Kav terharu. "Mama lebih menyayangimu, Kav." Laras kembali memeluk Kav. Ia tidak percaya jika Kav akan semudah itu memaafkan dirinya. Mungkin semua ini ada campur tangan menantunya, dan Laras merasa bersyukur memiliki menantu seperti Piyi.

Piyi yang menyaksikan kejadian itu ikut menangis. Ia lega, bahagia dan juga terharu melihat hubungan antara suami dan mertuanya kembali membaik.

Laras menatap Piyi. Lantas ia beralih memeluk menantunya itu. "Terima kasih sayang, berkat kamu hubungan Mama sama Kav kembali baik," ujarnya tulus.

Piyi tersenyum di balik pelukan Laras. "Berkat Allah Mah, semua berkat Allah. Allah-lah yang telah membolak-balikkan hati manusia. Berkat-Nya jugalah hati Kav bisa luluh untuk meminta maaf kepada Mama," kata Piyi sambil tersenyum menatap mertuanya.

Laras menangis haru, ia meraba jilbab yang dikenakan Piyi lantas membelai lembut pipi menantunya itu. "Piy, mau kah kamu membantu Mama untuk berubah menjadi orang yang lebih baik," pinta Laras dengan sepenuh hati.

Piyi tersenyum. Ia senang mendengar permintaan mama mertuanya. "Dengan senang hati, Ma," ujarnya kembali memeluk Laras.

Kav tersenyum melihat mama dan istrinya terlihat akrab. Piyi memiliki hati yang selembut sutra. Berkat nasehat dari istrinyalah hati Kav terbuka hingga ia menyadari kesalahannya kepada mamanya dan akhirnya meminta maaf.

***

Aroma masakan terendus indra penciuman, di atas meja sudah tertata beberapa makanan. Laras dan Piyi kompak memasak pagi ini.

Kav menarik satu kursi di samping Piyi. "Enak nih kayaknya," ujarnya.

"Pasti dong!" Piyi tersenyum bangga.

"Ayo dicoba." Laras menimpali. Perempuan itu mengambilkan nasi untuk Kav dan menantunya.

"Makasih Ma," ujar Kav.

"Sama-sama sayang." Laras mengambil nasi untuk dirinya sendiri.

"Jangan lupa baca doa." Piyi mengingatkan.

"Hampir aja lupa." Kav terkekeh pelan. Setelahnya ia membaca doa sebelum mulai menyantap makanan.

Piyi menikmati sup buatan Laras. Di tengah-tengah makan, perempuan itu merasakan perutnya bergejolak, mual. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Kenapa? Nggak enak ya?" Laras memerhatikan gerak-gerik menantunya.

Piyi menggeleng. Setelahnya ia berdiri, berlalu bergitu saja.

"Loh?" Kav menampilkan raut wajah bingung, ia menatap Laras.

"Susul," kata Laras pada Kav.

Kav menurut, ia menyusul Piyi dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat panik.

Di kamar mandi, Piyi memuntahkan isi perutnya. Perutnya terasa mual luar bisa.

Kav datang, lalaki itu memijat tengkuk Piyi. "Kamu kenapa? Sakit? Perlu ke rumah sakit?"

Piyi menghiraukan ucapan Kav, perempuan itu membasuh wajahnya. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskan nya secara perlahan.

"Kamu nggak papa, Kan, Ai?" tanya Kav khawatir.

"Perut aku mual banget." Piyi memegangi perutnya dan wajahnya sudah terlihat pucat.

Kav jadi semakin khawatir. "Magh kamu kambuh? Tapi, perasaan kamu makan teratur," kata Kav bingung dengan Piyi yang tiba-tiba saja muntah-muntah.

Piyi menggeleng. "Aku nggak tahu."

"Kenapa Piy?" Laras menghampiri, mertuanya ternyata ikutan menyusul.

"Mual, Ma." Kav mewakili Piyi menjawab.

Raut wajah Laras yang sebelumnya panik, seketika berubah ceria. "Kamu hamil, Nak," kata mama melemparkan pertanyaan yang membuat Piyi dan Kav melongo.

"Hamil?" Kav dan Piyi saling menatap satu sama lain.

"Iya, kamu hamil, kan." Laras berkata lagi yang membuat Kav dan Piyi kembali tercengang, tak percaya dengan ucapan mama.

Kav mengerjap. "Masa si, kamu hamil, Ai." Kali ini Kav yang bertanya pada Piyi. Kalimat lelaki itu sudah terdengar senang.

"Nggak tau aku kan belum pernah periksa." Piyi menatap bingung mertua dan suaminya. Tentang masalah kehamilan ia begitu buta pengetahuan. Sehingga saat mertuanya menerka jika dirinya hamil, tentu saja Piyi menjadi bingung. "Tapi masa iya aku hamil, orang aku cuma muntah-muntah biasa." Piyi menambahkan, tidak mau membuat mertua dan suaminya begitu berharap. Karena jika dirinya tidak hamil, bisa saja ia mematahkan harapan dan kesenangan suami dan mertuanya.

Laras tersenyum. "Mungkin aja kan, Nak, bulan ini apa kamu sudah mendapatkan tamu bulananmu?"

Piyi terlihat berpikir. "Kayaknya bulan ini aku belum datang bulan, Mah," Piyi baru ingat jika stok pembalut di kamarnya masih utuh. Tapi, ia kah dirinya benar hamil?

Laras menjentikkan jarinya. "Kemungkinan kamu benaran hamil, kan. Lebih baik kita pastikan saja sekarang apakah kamu benaran hamil atau tidak? Bagaimana jika kalian ke rumah sakit?!" Laras memberi usulan.

Kav mengangguk semangat. "Mama benar, ayo kita periksa Ai," ajak Kav pada Piyi penuh semangat.

"Tapi, Mama nggak ikut. Nggak papa, kan?" Raut wajah Laras tampak tidak enak. "Ada urusan yang harus Mama selesaikan," lanjutnya.

"Nggak papa, Ma." Piyi tersenyum. "Doakan yang terbaik aja untuk Piyi, ya. Semoga calon cucu Mama beneran sudah hadir di perut aku," ujarnya tersenyum pada mertuanya. Ada perasaan senang yang menyusup ke dalam dada Piyi jika ia sungguhan hamil. Rasanya menjadi seorang ibu pasti akan sangat menyenangkan.

"Pasti sayang." Laras mengusap pelan pundak Piyi. Setelahnya Kav dan Piyi bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.

***

Piyi sudah selesai melakukan pemeriksaan, sekarang ia dan Kav sedang berada di rungan dokter yang tadi memeriksa Piyi.

"Bagaimana, Dokter?" Kav bertanya tidak sabaran.

Dokter Naina, yang kebetulan dokter perempuan yang memeriksa Piyi tadi tersenyum menatap pasangan suami istri di hadapannya. "Selamat, Pak, istri Bapak positif hamil," kata Dokter Naina yang berhasil menerbitkan senyuman di bibir Kav.

Kav menatap Piyi sekilas lalu kembali menatap dokter Naina. "Serius kan, Dok?" tanya Kav, ingin memastikan ucapan dokter Naina kembali.

Dokter Naina mengangguk dan memberikan senyuman penuh keramahtamahannya. "Yah, kalian akan menjadi orang tua."

Kav dan Piyi serempak mengucap alhamdulillah.

"Kandungannya sudah berusia delapan minggu." Dokter Naina menjelaskan. "Dijaga kandungannya ya, Bu, Makan-makanan yang mengandung gizi seimbang. Dan kurangi aktivitas yang membuat Ibu mudah kelelahan karena kandungan Ibu Piyi masih terlalu muda," kata Dokter Naina memberitahu.

Kav dan Piyi mengangguk atas saran dokter sp, OG, di depannya.

"Aku hamil, Ai." Piyi menatap Kav, matanya berkaca-kaca. Ada rasa tak percaya bahwa dirinya akan menjadi seorang Ibu secepat ini. Allah telah memberikan amanah kepada dirinya dan Kav.

Senyuman Kav mengambang, ia memeluk Piyi. Meluapkan rasa bahagia.

"Terima kasih, Dokter." Piyi menyalami dokter Naina mengucapkan rasa terima kasihnya dengan senyuman yang kembali ia berikan pada dokter spesialis kandungan di depannya.

"Jaga kesehatan ya, Bu," pesan dokter Naina. Ia lalu menatap Kav. "Istrinya dijaga Pak," ujarnya diiringi senyuman.

"Pasti dok," balas Kav.

Kav dan Piyi keluar dari ruangan, keduanya bergandengan tangan. Senyuman masih terukir di bibir mereka.

"Ai, itu bukannya Gita." Piyi menatap sosok perempuan yang sedang berjalan di koridor rumah sakit. Saat tiba-tiba saja matanya tak sengaja menangkap sosok Gita.

Kav memincingkan matanya. "Iya, ngapain dia di rumah sakit?" gumam Kav bingung.

"Samperin yuk." Piyi melangkah ke arah Gita.

"Hai." Gita menyapa lebih dulu ketika ia lebih dulu melihat Kav dan Piyi tiba di hadapannya. "Kalian ngapain di sini?" Gita bertanya.

Piyi tersenyum. "Abis periksa kandungan, Ta," kata Piyi terselip nada bahagia di dalamnya dan Gita bisa merasakan itu.

Mata Gita berbinar. "Kamu hamil, wah sudah berapa minggu, Piy?"

Pertanyaan Gita dibalas anggukan oleh Piyi. "Delapan minggu," katanya senang.

Gita memeluk Piyi. "Selamat ya, Piy," katanya ikutan senang.

"Terima kasih, Ta." Piyi membalas pelukan Gita. Sekian detik kemudian keningnya berkerut ketika merasakan bahu Gita berguncang, perempuan itu terisak.

"Ta?" panggilan Piyi tak mendapat respon, Gita semakin terisak. Piyi menatap Kav, lelaki itu mengedikkan bahu pertanda tidak tahu.

"Kamu kenapa Ta?" Piyi bertanya khawatir.

Gita mengurai pelukan, ia menyusut air matanya. "Aku bahagia dengar kabar ini Piy, sekali lagi selamat ya."

Piyi tersenyum kikuk. "Kamu nggak papa kan, Ta?" Piyi merasa tidak enak, biar bagaimanapun Gita adalah mantah kekasih dari suaminya.

Gita menggeleng, lalu tersenyum. "Aku nggak papa, Piy," katanya tulus, karena memang tidak ada hal yang ia risaukan ketika mengetahui Piyi hamil.

"Kamu ngapain di sini?" Kav tiba-tiba bertanya, mengalihkan segala perasaan tak enak yang dapat Kav tangkap dari diri istrinya.

"Mau jenguk temanku, Kav." Gita beralasan.

"Oh," ujar Kav seadanya dan tidak bertanya lagi.

"Emm, yaudah kalau gitu kita duluan. Kamu belum mau pulang, kan?" Piyi menatap Gita. Ia hendak pamit.

Gita tersenyum. "Duluan aja, Piy, hati-hati di jalan ya!"

Piyi tersenyum. Setelahnya ia dan Kav berlalu pergi.

Gita menghela napas panjang, ia menatap nanar gumpalan kertas yang sudah ia remas dalam genggamannya. Ia merasa sedikit lega karena tangis yang sedari tadi ia tahan bisa di tumpahkan. Walaupun rasa sesak karena suatu hal yang di simpannya itu tidak akan pernah hilang.






######

To be continued ...
Senin, 28 oktober 2019
Karya aslamiah02

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top