chapter 16
Ada yang masih nungguin cerita ini nggak?
Jujur aja aku nggak update lama karena aku males ngetik, kenapa? Gara" nggak semangat. Pembaca cerita ini kebanyakan siders, itu alasannya.
Beri aku dukungan berupa vote dan komentar ya, biar aku semangat lagi.
Untuk kalian yang selalu mendukung cerita ini, terima kasih. Kalian salah satu alasan kenapa aku bisa melanjutkan cerita ini.
☘☘☘
"Sudah berapa lama kamu mengenal, Alpha?" Kav langsung menodong Piyi dengan pertanyaan ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Piyi menoleh pada Kav ketika suaminya terdengar bertanya. "Sudah dari zamannya kita kuliah bareng, Ai," ujar Piyi memberitahu, terdengar biasa saja namun tidak biasa untuk Kav yang mendengarnya.
"Apakah kalian dekat?" Kav melajukan mobil masih dengan pertanyaan yang terdengar seperti tidak senang.
"Hmm, nggak si, biasa aja. Emangnya kenapa sih?" Piyi menatap serius pada Kav, dia tidak menyadari jika suaminya sedang dalam mood tidak sedang bahagia ketika mengetahui Piyi mengenal Alpha.
Kav pokus dengan kemudinya. "Nggak papa," katanya singkat. Tapi Piyi belum puas dengan jawaban Kav sehingga ia bertanya lagi.
"Masa sih nggak papa?" Kening Piyi berkerut.
"Aku bilang nggak papa, ya nggak papa. Aku bukan perempuan yang bilang nggak papa tapi ternyata ada apa-apa!" Katanya mulai kesal dengan Piyi yang bertanya mulu.
Piyi tersenyum kecil. "Padahal aku berharap kamu cemburu loh, Ai."
Kav terkekeh. "Cemburu? Untuk apa aku cemburu? Cemburu tidak berlaku di dalam kamus hidupku," ujar Kav kelewat gengsi untuk mengakui kalau dirinya memang sedang cemburu.
Piyi cemberut, kesal dengan ucapan Kav yang sebenarnya dia tahu kalau Kav memang gengsian untuk mengakui rasa cemburunya.
"Kalau cemburu nggak berlaku buat kamu, itu berarti kamu nggak cinta dong sama aku." Piyi bertanya, ia sebenarnya mulai kepo dengan perasaan Kav kepadanya seperti apa? Kenapa Kav jarang menunjukan sikap kalau pria itu mencintai dirinya? Seperti perasaan cemburu salah satunya.
Kav menatap Piyi, satu alisnya terangkat seolah bertanya, apa maksudnya?
"Bukankah cemburu itu tandanya cinta? kamu pasti tahu itu, kan?" Piyi melempari pernyataan kepada Kav.
Kav mengangguk secara perlahan. "Nggak cemburu bukan berarti aku nggak cinta sama kamu, Ai," kata Kav dengan senyuman tertahan di bibirnya.
"Lalu apa?" Piyi bersedekap dada, wajahnya sudah teramat kesal.
"Aku mencintaimu." Kav tersenyum, satu tangannya yang ada di kemudi beralih tempat ke pipi Piyi, mengusap lembut pipi chubby itu.
****
"Mama!" Rigel berseru riang, kedua tangannya membentang menyambut kedatangan Gita.
Gita tersenyum, dikecupnya pipi gembul Rigel. "Mama kangen sama Rigel," ujar Gita.
"Rigel juga kangen sama Mama," balas Rigel. "Mama sendiri?" tanyanya.
Gita mengangguk seadanya. Ia tahu siapa yang Rigel cari.
"Papa mana?" Rigel menatap mata Gita tepat dimaniknya.
"Papa sibuk, kamu tahu itu, kan?" Gita membawa Rigel ke dalam gendongannya. Duduk di sofa, lalu memangku anak itu.
"Semenjak ada Tante Yi, Papa jadi jarang ke sini. Kenapa? Tante Yi ambil Papa ya dari Rigel? Apa Tante Yi juga ambil Papa dari Mama?" Mata bulat Rigel mengerjap, menunggu jawaban dari Gita.
Gita kembali tersenyum, lantas menggeleng. "Nggak gitu sayang." Tangan Gita terulur menyisir surai rambur Rigel dengan jemarinya. "Tante Yi nggak ambil Papa dari Rigel, Papa itu emang punya Tante Yi, punya Rigel juga." Gita mencoba memberi pengertian.
"Kok bisa gitu sih Ma?" Rigel kembali bertanya.
"Kamu belum mengerti sayang. Nanti, kalau sudah besar pasti Rigel paham."
"Rigel pengen cepet besar kalau gitu!"
Gita terkekeh. "Makanya makan yang banyak."
"Siap Ma, mulai besok Rigel bakal makan yang banyakkkkkkk."
"Pinter." Gita menjepit pelan hidung mancung Rigel.
"Mah." Panggil Rigel, anak itu menatap intens wajah Gita.
"Kenapa?"
"Hidung Mama berdarah, kenapa? Mama sakit?" Rigel langsung menangis melihat darah kental yang mengalir dari hidung Gita.
Dengan segera Gita mengambil tisu dari dalam tas yang ia bawa, kemudian mengusap darah itu sampai hilang agar Rigel tak lagi ketakutan.
"Udah sayang udah, Mama nggak papa." Gita mengusap air mata yang membasahi pipi Rigel.
"Tapi hidung Mama berdarah," ujar Rigel disela isak tangisnya.
"Mama cuma kecapean." Gita tersenyum meyakinkan. Mengusap punggung Rigel untuk memberi ketenangan. Didekapnya anak itu dengan penuh kasih sayang.
"Kita ke taman belakang yuk," ajak Gita.
"Ngapain Ma?" tanya Rigel, matanya masih tampak memerah walaupun ia sudah berhenti menangis.
"Liat bintang, mau?"
Senyuman Rigel mengambang. "Mau!" Anak itu mengangguk semangat. Wajahnya mulai kembali berbinar senang.
***
Malam ini Kav dan Piyi berniat ingin mengunjungi Laras. Meskipun hubungan Kav dengan mamanya belum membaik, tapi setidaknya Piyi bersyukur Kav sudah mau diajak berkunjung ke rumah Laras.
"Ai, minyak kayu putih aku yang di sini kemana ya?" Piyi bertanya pada Kav ketika sejak tadi ia tak kunjung melihat minyak kayu putih miliknya.
"Aku nggak pernah sentuh, jangan tanya aku," ujar Kav santai. Lelaki itu duduk di sofa menunggu Piyi yang sedari tadi belum siap juga.
Piyi cemberut. "Aku cuma tanya, kali aja kamu liat."
"Kamu, kan punya banyak. Kenapa ribet cari yang satu?" Kav berdiri dari duduknya, menghampiri Piyi.
"Itu tinggal satu-satunya." Piyi cemberut.
Kav menghela nafas panjang. "Nanti aku belikan segudang!" ujarnya asal.
Piyi berdecak, ia kembali mencari benda yang ia butuhkan itu di balik selimut sampai bawah bantal.
"Nanti beli, keburu kemaleman ke rumah Mama," ujar Kav, ia merasa jengah.
Piyi merotasi bola mata. "Yaudah ayo." Ia mengapit tangan Kav, menarik lelaki itu agar berjalan cepat.
___
Bentangan langit luas tampak begitu indah, bintang di atas sana seperti sengaja ditumpahkan. Gemerlapnya memberi cahaya di tengah kegelapan.
"Bintangnya ada berapa, Ma?" tanya Rigel.
"Banyak," jawab Gita sambil mengusap kepala Rigel penuh sayang.
"Banyak itu berapa?" Rigel menatap Gita. "Segini ya?" Ia mengangkat tangan, menunjukkan lima jarinya.
Gita tertawa pelan. "Banyak itu tak terhingga jumlahnya."
Rigel mangut-mangut mendengar jawaban Gita.
"Liat di atas sana, bintang yang paling terang itu Rigel." Telunjuk Gita mengarah ke atas.
"Kok Rigel sih, Ma? Rigel, kan manusia bukan bintang." Katanya polos khas anak kecil.
"Rigel tahu nggak arti nama Rigel itu apa?" Pertanyaan Gita dihadiahi gelengan kepala oleh Rigel.
"Rigel itu artinya bintang. Di langit sana, ada bintang yang namanya Rigel," jelas Gita.
Wajah Rigel tampak antusias. "Jadi, Rigel itu bintang, Ma?"
Gita mengangguk. "Iya sayang, Rigel adalah salah satu bintang yang sinarnya paling terang di langit." Gita merengkuh tubuh Rigel. "Kalau Rigel yang ini." Ia menekan pipi Rigel dengan jari telunjuk sebelum kembali berucap. "Bintang yang paling terang di hati Mama," ujarnya.
Rigel tersenyum, menggemaskan. "Rigel sayang Mama." Anak itu menenggelamkan dirinya di pelukan Gita.
"Mama lebih sayang kamu," balas Gita. Tanpa Rigel tahu Gita sedang sibuk mengusap darah yang kembali mengalir dari hidungnya.
######
To be continued ..
Sabtu, 19 oktober 2019
Karya aslamiah02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top