chapter 14

Vote dan komen yang banyak ya, biar nulis tambah semangat nulisnya. Oh iya yang belum follow akun pribadinya Aslamiah silahkan di follow, @aslamiah02. Terima kasih.

****

"JANGAN PERGI, RAS, KUMOHON JANGAN PERGI! JANGAN TINGGALKAN AKU DAN KAV."

Teriakan itu menggema di sepenjuru rumah kecil, suara keributan yang bukan sekali dua kali terjadi. Ini bahkan entah yang keberapa kalinya ia mendengar suara orang tuanya ribut seperti itu.

Kav remaja mengerjapkan matanya, kelopak matanya terbuka sempurna. Lagi, tidurnya terganggu oleh suara keras papa.

"Papa, Mama." Kav bergumam. Perasaan khawatir dan takut pada keributan orang tuanya membuat Kav inisiatif bangkit dari kasur yang ditidurinya. Ia lalu beranjak dan mendekati sumber suara keributan yang terjadi. Kav yang masih mengenakan seragam putih biru usai pulang sekolah dan belum sempat mengganti pakaiannya itu mematung di tempat ketika telinganya menyimak setiap percakapan yang terlontar dari mulut kedua orang tuanya.

"Ku mohon jangan pergi Ras, kita bisa berjuang sama-sama, aku janji aku bakal bekerja lebih keras lagi untuk kamu dan Kav." Syarief, papa Kav memohon pada Laras, tapi yang Kav lihat mamanya itu tak acuh pada papa dan perempuan yang Kav sebut mama itu enggan menatap pada papa. Hingga kalimat mama yang membuat hati Kav sedih meluncur.

"Aku nggak bisa. Aku nggak bisa terus-terusan tinggal bersama pria seperti kamu," ujar Laras, membuat Kav menggeleng kecil.

Tidak, Kav tidak ingin mama pergi! Kav ingin menahan mama.

"Kumohon, Ras," melihat papa lagi-lagi memohon. Kav di tempatnya mematung, melihat wajah papa yang memelas Kav tahu jika papa mencoba mempertahankan mama untuk mereka.

Kav harap papa bisa menahan kepergian mama, namun ketika mamanya berkata.

"Aku nggak sanggup kalau harus hidup miskin sama kamu!"  Nada suara Laras meninggi membuat Kav ketakutan. "Kamu udah nggak berguna sebagai laki-laki dan kamu nggak akan penah bisa memberikan apa yang aku mau lagi setelah perusahanmu bangkrut."

Ada sebagian hati Kav yang nyeri ketika mama berkata seperti itu. Kav saat itu mungkin hanya remaja smp, tapi seorang anak remaja jelas sudah begitu mengerti tentang permasalahan yang dihadapi oleh mama dan papa. Dan semua permasalahan itu hanya karena materi.

"Kita nggak akan hidup miskin Ras, aku masih sanggup memenuhi kebutuhan hidup kamu dan Kav." Syarief mencoba mengambil tangan Laras namun Laras menepisnya kasar.

Laras tersenyum sinis. "Kebutuhan aku kamu bilang? Kamu lupa perusahaanmu bangkrut, hutangmu di mana-mana. Dan sekarang bagaimana caranya kamu bisa memenuhi kebutuhanku?" Laras meremehkan Syarief. Membuat pria itu terdiam, dia tidak membalas ucapan Laras mungkin karena membenarkan ucapan istrinya yang ada benarnya.

"Sudahlah, akui saja kalau sekarang ini kamu hanyalah laki-laki miskin yang tidak berguna. Akui saja kalau kamu memang tidak bisa memberikan apapun lagi padaku." Laras berkata sinis. "Aku mau kita pisah, tidak ada gunanya lagi aku tinggal di sini," ujarnya seraya menyeret koper besar yang ia bawa.

"Kamu mau meninggalkan aku dan Kav disaat seperti ini? Aku mencintaimu Ras, Kav juga membutuhkanmu apakah kamu tidak memikirkan Kav sama sekali?!" Tekan Syarief, Kav di tempatnya menanti kalimat apa yang akan Laras katakan. Akankah mama memikirkan dirinya atau tetap meninggalkan ia dan papa.

"Aku tidak peduli! Kamu urus saja anakmu itu, aku ingin mencari kebahagiaanku di tempat lain."

Kav merasa sesak mendengarnya. Ketika Laras mulai melangkah dan hendak meninggalkan dirinya dan Syarief, Kav mulai mengejar Mamanya.

"Mama... Mama jangan pergi! Jangan tinggalkan Kav sama Papa."

Syarief dan Laras menoleh pada Kav yang kini telah berdiri di hadapan mereka. Mereka memang tidak sadar jika pertengkaran yang sejak tadi terjadi diantara mereka didengar oleh anak mereka.

"Kav." Syarief menarik Kav ketika melihat Kav yang mengejar Laras.

"Jangan tinggalkan Kav, Ma." Kav memohon dia menarik tangan Laras namun perempuan itu malah melepaskan tangan Kav.

"Mama mau pergi kamu sama Papamu saja, Kav."

Kav menggeleng, sementara air mata telah mengenang dipelupuk mata bocah berusia 15 tahun itu. "Mama Nggak sayang sama aku?"

Laras memegang pundak Kav. "Mama sayang sama kamu Kav, tapi Mama harus pergi. Jaga dirimu baik-baik, Nak," ujar Laras seraya mengecup lembut kening Kav. Terlalu egois untuk seorang ibu yang mengatakan menyayangi anaknya namun meninggalkan anaknya sendiri. Meninggalkan karena ingin mencari kebahagiannya sendiri. Pantaskah dia disebut mama oleh Kav?

"Jangan pergi Ras." Syarief berlurut di hadapan Laras masih mencoba menahan kepergiannya dan kembali memohon, sementara Kav hanya diam memerhatikan aksi sang Papa..

"Lepas!" Laras mendorong Syarief lalu melenggang angkuh. Bahkan ia sama sekali tidak menoleh lagi, sekedar untuk menatap Kav. Langkahnya begitu mantap seolah meninggalkan Kav bukanlah hal tersulit yang dilakukan seorang ibu.

"AKU BENCI MAMA, BENCI! MAMA NGGAK SAYANG SAMA KAV. KAV BENCI MAMA." Kav kecil berteriak, Laras menoleh sejenak mendengarkan kalimat Kav yang seakan menusuk hatinya, tetapi tekatnya untuk pergi sudah bulat.

Kav menangis, dan papa hanya bisa menenangkan Kav dengan memeluk putranya itu. "Sudah, Nak, Papa janji kamu akan selalu baik-baik saja bersama Papa meski tanpa Mamamu."

Dan sejak saat itu Kav membenci sosok ibu yang telah meninggalkan dirinya. Ia membenci Laras, perempuan itu telah meninggalkan dirinya dan papa disaat papa sedang dalam keadaan terpuruk. Secercah kesedihan mulai Kav rasakan saat itu.

Tetapi Kav yang cukup dewasa diusia remajanya saat itu lebih memilih untuk tidak larut dalam kesedihan, ia setia menemani papa membangun kembali perusahaan yang berada dalam ambang kehancuran saat itu. Meski ia harus tinggal di kontrakan sempit selama 2 tahun. Saat itu Kav sedang duduk di bangku kelas 11 sekolah menengah atas. Pergaulannya mulai liar, balap motor serta dunia malam menjadi kawannya pada saat itu. Pengaruh lingkungan serta kurangnya perhatian membuatnya memilih jalan yang salah. Suatu ketika saat ia bersama teman-temannya pergi ke club, di sana Kav bertemu dengan Laras. Saat itu juga Kav merasa jijik karena tahu bahwa sang Ibu sering bermain dengan lelaki hidung belang guna memenuhi kebutuhan hidupnya yang mewah. Kebencian Kav mulai menjadi, sejak saat itu ia tak lagi main ke club karena ia tidak ingin bertemu Laras. Kav mulai membenahi diri, ia akan membantu papa untuk kembali meraih kesuksesan perusahaan. Dan itu terbukti, usai lulus kuliah Kav berhasil membuat perusaahaan itu maju luar biasa sampai sekarang. Ia ingin Laras menyesal karena sudah meninggalakan dirinya dan papa.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Kav usai menyelesaikan ceritanya. Ia dan Piyi sudah sampai di rumah, duduk berhadapan di atas kasur.

"Aku nggak nyangka, Ai, maaf sudah membuatmu harus kembali mengingat kenangan buruk itu." Piyi mengelus pundak Kav, mencoba memberikan ketenangan pada suaminya. Sebab karena dirinyalah Kav harus kembali membuka luka lama yang sampai saat ini belum mengering.

Kav menggeleng perlahan. "Nggak papa, Sayang, memang sudah seharusnya aku menceritakan ini kepadamu, kamu berhak tahu karena kamu istriku."

Piyi mengangguk lalu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata. "Aku tahu kamu sakit hati, Ai, tapi apa tidak bisa kamu menghilangkan semua dendam dan amarah kamu pada Mama." Piyi menyentuh dada Kav, mencoba memberikan saran terbaiknya.

Kav terdiam memikirkan kalimat Piyi, sedang Piyi kembali berbicara. "Tidak baik menyimpam dendam terlalu lama. Apalagi dia ibumu sendiri, Ai."

Istrinya benar, tapi ia tidak tahu kapan bisa melupakan kebenciannya itu pada mama. "Semuanya butuh waktu." Akhirnya kata itu yang terucap dari bibir Kav.

Piyi mengangguk, semua memang perlu waktu. Bukankah luka akan sembuh seiring waktu yang berjalan, Piyi yakin Kav akan menyembuhkan lukanya sendiri. Dan suatu saat nanti ia yakin ibu dan anak itu bisa berdamai.

"Dan kamu harus tahu, Ai, kalau di dunia ini tidak ada yang namanya bekas ibu. Bagaimanapun keadaannya, mau seburuk apapun dia, Mama Laras tetap Mama kamu, wanita yang sudah memperjuangkan hidup dan matinya demi melahirkan kamu." Piyi mencoba membuka pikiran Kav, mencoba mencairkan kembali hati yang beku itu.

Melihat Kav tidak merespon, Piyi kembali melanjutkan ucapannya. "Allah pasti benci sama apa yang kamu lakukan, Allah membenci permusuhan karena itu sifatnya setan. Setan telah menguasai hati kamu Ai." Kali ini Piyi menepuk-nepuk dada Kav. "Surga kamu ada di telapak kaki Mama, ridho Allah ridho orang tua. Hidup kamu tidak akan tenang kalau terus seperti ini." Mata Piyi berkaca-kaca ia menatap lekat manik mata milik Kav yang tampak sendu, terlihat sirat penyesalan di dalam sana.

Kav memeluk Piyi, lelaki itu terisak. Mulutnya masih bungkam, lidahnya masih kelu untuk berbicara.

Piyi ikut menangis. "Allah saja Maha Pemaaf, masa kamu yang statusnya hanya seorang hamba tidak mau memaafkan orang yang juga seorang hamba? Ai, buka pintu hati kamu untuk memberi maaf pada Mama, ya." Piyi berucap di sela-sela tangisnya. Jujur ia merasa sedih melihat hubungan Kav dengan ibu mertuanya. Ia telah bertekat untuk membuat hubungan Ibu dan Anak itu menjadi baik, bagaimanapun caranya kerena memang itu lah yang seharusnya.

Kav mengurai pelukannya. "Aku akan mencobanya, Sayang," ujarnya pelan.

Piyi tersenyum lalu jemarinya bergerak menghapus jejak air mata di wajah Kav sebelum itu ia menghapus air matanya terlebih dulu. "Aku senang bisa melihat seorang Bos menyebalkan ini menangis." Piyi meledek Kav.

Raut wajah Kav berubah datar, ia menepis jemari Piyi di wajahnya.

Lagi-lagi Piyi terkekeh. "Udah, mending kamu istirahat sekarang pasti capek, kan!" ujarnya seraya melapas dasi di leher Kav.

Kav melepas jas serta kemeja menyisakan kaus putih polos yang membalut tubuhnya."Udah jam dua belas." Lelaki itu menatap jam yang menggantung di dinding.

"Kamu udah salat isya, kan?" tanya Piyi yang diangguki oleh Kav.

"Sekarang kamu gosok gigi, cuci muka, cuci kaki terus tidur," ujar Piyi seperti berbicara pada anak kecil.

"Kamu nggak tidur?" tanya Kav.

Piyi nyengir. "Belum ngantuk."

"Aku juga belum ngantuk," ujar Kav.

"Terus?" tanya Piyi.

"Ngapain ya yang seru?" Kav balik bertanya.

"Aku mau baca novel." Piyi beranjak tetapi tangannya di cekal oleh Kav.

"Kalau kamu baca novel yang ada aku di kacangin." Kav menarik tangan Piyi agar istrinya itu kembali duduk.

"Kamu ikut baca jadi kita sama-sama ngacangin." Kav mendelik mendengar usul Piyi.

Piyi terkekeh kecil. "Terus mau ngapain?"

Kav mengedikkan bahu.

Piyi memutar bola mata. "Main tebak-tebakan," ujarnya antusias setelah menemukan ide absurd yang melintas di otak.

"Boleh." Kav setuju.

"Oke aku yang mulai ya, hewan apa yang dimiliki kucing tetapi tidak dimiliki oleh hewan lain?" 

Kav tampak berpikir sejenak, sementara Piyi menunggu dengan semangat. Ia yakin kalau Kav tidak mampu menebak tebakannya.

"Hewan apa yang dimiliki kucing tetapi tidak dimiliki oleh hewan lain?" Kav mengulang pertanyaan Piyi. "Anak kucing," ujarnya diiringi senyum kemenangan.

Piyi mencebik lucu. "Kok bener sih? Aku aja waktu di kasih tebakan itu sama Dirga mikirnya lama," ujar Piyi kesal.

Kav tertawa. "Siapa dulu dong?" ujarnya seraya menepuk dadanya, bangga.

"Gitu aja sombong, sekarang kamu kasih tebakan ke aku."

Kav berdehem. "Kalau kamu nggak bisa jawab, aku minta hadiah ya."

"Aku pasti bisa jawab." Piyi mengangkat dagu tinggi-tinggi, menantang.

Kav mengut-mangut. "Sebutkan nama negara yang dalam penyebutannya bibir dan lidah tidak bergerak."

Piyi mengerjap. "Emangnya ada?"

"Ada."

Piyi nampak berpikir keras. Lalu mulai menyebutkan beberapa negara secara berurutan, lalu Ia berdecak setelahnya. "Semuanya gerak kali Ai, mana ada yang nggak."

"Ada, bisa jawab nggak? Atau nyerah?"

"Nyerah, tapi kasih tahu jawabannya." Akhirnya Piyi mengaku kalah.

"Hongkong," ujar Kav.

"Hongkong?" Piyi mengikuti ucapan Kav, mengulang kata Hongkong beberapa kali. "Bibir gerak Ai, nih mulut aku aja kebuka." Piyi menunjuk bibirnya yang maju beberapa senti.

"Aku bilangkan nggak gerak, bukan ke buka atau nggak."

"Curang kamu."

"Kok curang sih? Kamu aja nggak bisa jawab," ujarnya. "aku dapat hadiah dong ya?!" Kav menaik turunkan alisnya.

"Nggak bisa, nggak bisa, aku masih belum ter--"

Kalimat yang Piyi ucapkan terpotong ketika Kav membungkam bibir ranum itu dengan ciuman.

Jantung Piyi berdetak kencang ketika Kav mendorongnya lembut dan membuat dirinya terlentang. "Aku minta hadiahku ya, Sayang." Lalu lelaki itu tersenyum lembut sehingga Piyi tidak tahan dengan senyuman lembut itu dan akhirnya mengangguk.





######

To be continued ...
Sabtu, 28 september 2019
Karya aslamiah02

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top