9. Just Let Me Know, I'll Be at The Door, Hoping You'll Come Around
WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Meet Me in The Hallway
*HS*
***
Lantang tak paham, mengapa ia tak bisa beranjak dari jendela.
Semalaman ia menghadapi setumpuk latihan ujian yang bahkan tak satu nomor pun sanggup ia selesaikan membaca soalnya saja, jangankan menjawab pertanyaan. Ia menopang dagu, menjentikkan jari-jari di pipi, melamun menatap pantulan dirinya di kaca jendela yang membaur dengan bias lampu malam dan bayangan ranting pohon rambutan. Paling-paling, jika lelah ia akan mendesah panjang dan menyandarkan punggung di kursi, lalu kembali merenung, padahal pikirannya nyaris kosong.
Tampak dari pantulan kaca, waker di sisi tempat tidur yang berkedip saat angka sepuluh berganti sebelas menghenyakkan lamunan pemuda itu. Dia teringat belum mengunci pintu. Sambil menyeret langkah membawa serta ponsel di tangannya, malas-malasan ia menuruni anak tangga, menyusuri semua pintu dan jendela rumah untuk ia kunci dan tutup tirainya, juga memadamkan lampu-lampu.
Bersamaan dengan diputarnya kunci pintu terakhir di rumah itu, ponsel di tangan Lantang berbunyi.
"Belum tidur?" sapa Bestari begitu panggilannya dijawab.
"Masih belajar," dusta Lantang.
"Ibu cuma mau ngingetin kamu buat cek sekali lagi pintu dan jendela sebelum tidur," katanya.
"Aku tahu," kata Lantang. "Ini lagi ditutupin satu-satu. Aku udah makan malam, seharian nggak ke mana-mana karena Tya ke sini," lapornya sebelum ditanya.
Bestari mengulum senyum di sana, disambut sang suami yang juga turut mendengarkan. "Pinter. Ibu pulang besok malam, atau hari Minggu."
"Gimana nenek?" Lantang bertanya.
"Hmmm ... next time ... kamu ikut aja, Nak. Nenekmu tinggal satu-satunya, dia nanyain kamu tadi," jawab Bestari.
Lantang terdiam.
"Lantang?" panggil Bestari.
"Apa itu artinya nenek nggak baik-baik aja?"
Bestari gamang, melempar tatapan kepada Rangga yang serta merta mengangguk. "Nenekmu sudah tua, sejak serangan jantung kedua memang sudah sulit kondisinya. Jadi kalau kesehatannya ngedrop sedikit begini ... dokter selalu mewanti-wanti supaya kami siaga. Minggu depan ... kalau keadaannya nggak membaik, ibu ke sini lagi."
"Minggu depan ajak aku, Bu," kata Lantang, menyesal. Lagi pula, dia sudah tak sebebas dulu di kamarnya sendiri. Tak bisa merokok di jendela karena ada yang mungkin mengawasi. Sambil berkata begitu, Lantang mengintip ke seberang jalan, sebagian lampu di dalam rumah mendiang eyang Trisna masih menyala.
"Oke, sekarang kamu tidur, ya. besok lagi belajarnya. Paling-paling juga kamu main game-"
"Aku belajar!" sanggah Lantang kesal.
Bestari tertawa kecil. "I love you, selamat tidur, yah?"
"Ya."
"I love you," imbuh sang ibu menegaskan.
"I love you too! Ya ampun," balas Lantang menyengal.
"Jangan nakal, lho, bye, Sayang ...."
Saat memutus panggilan ibunya lebih dulu, Lantang terdiam mengingat puntung rokok yang dibuang Tyaga ke halaman rumahnya. Jangan nakal, ya, kata ibunya baru saja. Kalau dia menemukan puntung rokok itu besok, dia pasti akan berpikir Lantang memang berniat nakal dengan menghindari kunjungan dadakan mereka ke rumah nenek.
Alih-alih memutar kunci ke kanan untuk kedua kali, Lantang justru menolak kuncinya ke kiri dan membuka pintu sedikit, seukuran badannya. Ia harus menemukan puntung rokok itu, tekadnya seraya kemudian melangkah ke luar, hati-hati menuju di mana kira-kira Tyaga menjatuhkan sesuatu yang akan dianggap sebagai bukti kenakalannya jika lebih dulu ditemukan oleh sang ibu. Ia merunduk, membungkuk, menggunakan torch ponsel untuk menerangi kakinya menyisir rumput hias sehelai demi sehelai.
Ia tak menyadari seseorang mengarahkan penerangan ke arahnya.
"Siapa itu?"
Lantang meloncat, konsentrasinya menyisir rerumputan buyar seketika. Tepat saat matanya menangkap warna merah pembatas puntung rokok yang biasa diisap Tyaga, ia berbalik cepat. Jantungnya nyaris copot saat cahaya bulat terang menyorot tepat ke wajahnya.
"Lantang?" sebut seseorang yang mengarahkan senter.
Lantang melindungi matanya dari sinar menyilaukan itu sebelum si penyorot mengalihkannya ke arah lain.
"Ngapain kamu malam-malam begini?"
Serta merta, Lantang mengelus dadanya sendiri menemukan Ben tengah berdiri di balik pagar rumahnya. Ia sudah mengenakan mantel tidur yang dikenakannya saat menemui Lantang tadi pagi, wajahnya mengerut penasaran.
"Aku lagi mau ngunci pintu waktu kulihat ada orang mengendap di halaman rumahmu," terang Ben. "Ya ampun ... aku hampir nelepon keamanan!" imbuhnya sambil mengangkat ponsel di tangan kirinya.
Lantang hanya bisa menyengir. "Belum tidur?" tanyanya kikuk.
Ben menggeleng, membuka pagar dan berjalan mendekat. "Aku nunggu lampu rumahmu padam," katanya. "Aku tahu kamu sendirian, cuma mastiin kamu nggak kenapa-kenapa. Setelah padam, aku malah lihat ada yang mengendap. Kamu sedang apa malam-malam begini?"
"Aku ...." Lantang tak tahu harus menjawab apa.
"Kenapa? Kamu menjatuhkan sesuatu?" terka Ben.
"Ya." Lantang berdiri tegap, membuat gerakan wajar menginjak puntung rokok yang sudah ditemukannya. "Tapi nggak penting."
"Apa itu? Biar kubantu mencari." Ben mendesak.
"Aku sudah menemukannya," kata pemuda itu, makin gugup. "Bukan hal yang penting. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, selamat malam."
Tapi, Ben tak beranjak. Ia malah menyatukan alis, menganggap tingkah Lantang sangat aneh. Namun, karena putra tunggal pasangan tetangga yang baik itu tidak tampak ingin memberi tahunya sesuatu, akhirnya ia menggerakkan bahu dan mengangguk. "Oke, masuklah. Aku mau mastiin kamu masuk rumah dengan selamat."
Lantang mengernyit.
"Kenapa?" tanya Ben bingung.
"Kamu yang kenapa? Kenapa harus memastikanku masuk rumah dengan selamat?" sengit Lantang tersinggung.
"Karena kamu sendirian di rumah," jawab Ben enteng.
"Kamu juga sendirian di rumah."
Ben menggeleng samar melihat tingkah bocah di depannya. "Aku orang dewasa, Lantang, dan aku memang biasa sendiri."
"Aku bukan anak kecil," sergah Lantang, makin seperti anak kecil. "Aku juga biasa apa-apa sendiri, aku anak tunggal."
Terang saja, Ben tertawa. Tapi, demi menghargai sikap defensif Lantang, ia tak mengatakan apapun lagi. "Kalau begitu aku permisi," pungkasnya.
Tak ada yang bergerak. Baik Lantang, maupun Ben, sama-sama menunggu salah satu dari mereka pergi lebih dulu.
Jelas sebenarnya tak ingin buru-buru pergi, Ben malah asyik mengevaluasi Lantang dari ujung rambut hingga ujung kaki, Lantang berdebar-debar dibuatnya. "Itu puntung rokok, kan?" tanya Ben sekonyong-konyong.
Lidah Lantang mendecap, tak ada gunanya mengelak lagi. "Kupikir kamu sudah mau permisi," katanya.
"Temanmu pasti membuangnya ke halaman dan kamu takut ibumu menganggap itu perbuatanmu, iya, kan? Apa mereka pulang besok pagi?"
Mendeham, bahkan tak mau lagi membahas bagaimana Ben bisa begitu tepat menebak, Lantang menjawab, "M-mungkin sore."
"Lalu kenapa nggak kamu cari besok aja?"
Sudah kepalang basah, sambil melenguh panjang Lantang membungkuk dan mengantongi puntung rokok itu di saku celananya.
"Itu bisa jadi bukti lain," tunjuk Ben ke arah saku Lantang. "Kecuali kamu berniat mencucinya sebelum ibumu pulang."
"Aku mau buang di dalam," kata Lantang, menaikkan dagu menyamarkan malu.
"Tapi tetap akan ada sisa bau tembakau di sana."
"Ibuku tidak mencuci," rutuk Lantang, mulai bosan meladeni Ben karena makin merasa terdesak. "Ada orang yang datang dua hari sekali untuk mencucikan pakaian dan bersih-bersih."
Tapi, Ben sepertinya masih asyik menanggapi. "Kamu yakin dia nggak akan mengadu?"
"Selama ini tidak!" sambar Lantang mengkal.
Dibentak sedemikian rupa, biarpun sudah bisa memprediksi reaksi remaja itu, Ben agak terkejut. Kalau ia teruskan, ia tahu anak-anak tak pernah suka dengan orang dewasa yang terlalu ingin ikut campur. Pada akhirnya ia mengangguk-angguk saja, tanpa senyum geli tersamar di wajah tampannya. Ia simpan ponsel dan tangan kirinya di dalam saku piama.
"Aku nggak bermaksud mendesak, aku hanya memberi tahu, siapa tahu kamu nggak mengira itu akan membuatnya mudah ketahuan." Ben mencoba menjelaskan. "Kalau gitu aku-"
"Thanks," gunting Lantang sebelum kalimat Ben selesai. "Mungkin akan kucuci daripada risiko ketahuan."
Ben mengatupkan bibir, mengulum senyum. Sikap manis Lantang yang begitu mudah berubah membuatnya enggan buru-buru pergi, padahal malam beranjak semakin larut. Ia tarik kembali Lantang dalam topik pembicaraan baru. "Kamu nggak jadi makan malam di rumahku."
"Oh iya ... kamu bilang nggak ingin bertemu Tyaga, jadi aku ...."
"Aku menunggu," imbuh Ben.
Mendengar pernyataan tersebut, bola mata Lantang membulat tak percaya, dan seketika merasa bersalah. Tyaga memang pulang setelah petang, mereka sudah makan malam di luar, perutnya kenyang dan tak mungkin sanggup makan apapun lagi, tapi seharusnya ia bisa menghormati undangan Ben dengan paling tidak muncul di rumahnya.
Karena Lantang gelagapan terlalu lama, Ben mengulur kembali. "Oke, kalau begitu selamat malam."
Namun, sebelum pria berperawakan langsing itu benar-benar berlalu, Lantang yang terpancing berhasil membuka mulutnya. "Maaf," serunya lantang, menghentikan langkah Ben yang sudah siap berbalik. Buru-buru, ia berusaha menjelaskan. "Karena Tyaga belum pulang sampai waktu makan malam, aku tidak enak kalau datang dengan perut kenyang."
Ben tersenyum maklum. "It's okay. I understand."
Tak kentara, Lantang mengembuskan napas lega.
"Tapi kita tinggal berhadap-hadapan, kamu bisa saja tinggal mengetuk pintuku dan bilang kalau kamu sudah makan malam," kata Ben tajam.
Rasa kosong dan lega di dada Lantang sontak kembali penuh dan berat. Dengan kedua alis menukik saat bicara, Lantang pikir lawan bicaranya sungguh-sungguh menyesalkan ketidakhadirannya. Ia sempat merasa sangat tak enak, tapi dengan cepat berubah pikiran ketika Ben tak kuasa menahan tawa menyaksikan ekspresi bersalahnya. Kalau Ben adalah Tyaga, ia pasti sudah memukul lengannya.
Berhubung ia belum terlalu mengenal Ben, terutama jarak usia mereka kelihatannya cukup jauh, Lantang hanya menggerutu masygul.
"Lain kali?" Ben masih menyisakan senyum di bibir setelah tawanya usai.
Lantang sepakat. "Lain kali," katanya.
"Masuklah," kata Ben, menunjuk pintu dengan gerakan kepalanya. "Nggak usah berdebat siapa yang lebih biasa sendirian, atau siapa yang lebih dewasa, sebab itu bikin kamu terdengar makin seperti anak kecil. Masuk dan biarin aku nunggu sampai kamu nutup pintu, orang tuamu pergi, aku orang dewasa yang tinggal paling dekat denganmu, jadi secara nggak langsung-dalam hubungan bertetangga-aku punya tanggung jawab atas keselamatanmu."
Lantang menurut tak membantah, ia berjalan mundur selangkah saat Ben mengingatkan. "Jangan lupa, kalau rumahku sudah siap, aku masih punya satu permintaan untuk kamu kabulkan."
Langkah Lantang urung. "Untuk tutup mulut?"
Ben menggeleng. "Untuk pertemanan baru kita? Kan kamu yang bilang ... hanya teman yang menyimpan rahasiamu dengan baik."
"Apa itu sesuatu yang kira-kira akan sulit kupenuhi?"
"Tentu saja tidak," sahut Ben yakin. "Seharusnya tidak."
Kedua mata Lantang memincing. Langkah yang semula mundur, malah terayun maju. "Bukan sesuatu yang melanggar hukum, kan?"
Ben menunjuk di antara mata Lantang dengan jari telunjuknya. "Kamu terlalu banyak nonton film."
"Ibuku bilang ... sekarang ini banyak orang dewasa yang tega mengambil keuntungan dari anak di bawah umur," katanya dengan nada curiga yang tak dibuat-buat. "Kamu nggak akan menyuruhku mengirimkan paket tak jelas ke orang tak dikenal, kan?"
"Astaga ...," desah Ben takjub. "Anak muda memang tinggi daya imajinasinya, ya?"
"Habis apa, dong? Kenapa tidak kamu katakan sekarang saja?"
"Karena kamu butuh mempertimbangkannya nanti setelah melihat apa yang akan kuminta darimu."
"Semakin mencurigakan."
Ben tertawa.
"Kalau butuh pertimbangan, itu artinya aku boleh keberatan?"
"Tentu saja."
"Lalu rahasiaku?"
Ben menarik napas panjang lewat hidung, lantas mendengung seperti lebah saat membuangnya. "Kita negosiasikan lagi nanti," cengirnya. Ditepuknya lengan Lantang sekali, kemudian diisyaratkannya agar pemuda itu masuk rumah.
Lantang masih punya satu pertanyaan lagi. Mengenai rahasianya. Sesuatu yang akan membuatnya susah tidur malam ini jika tak ia ajukan manakala ada kesempatan. Ia panggil nama Ben kembali saat langkahnya sudah hampir mencapai pintu setelah ia menimang baik-baik dalam hati. Tak urung, jantungnya berdebar kencang sewaktu Ben menyilakannya bicara.
"Tentang ... sekolah lamamu," buka Lantang terbata.
Ben menanti. "Ya, ada apa dengan sekolah lama kita?" tanyanya.
"Di hari kedatanganmu, apa benar kamu mampir ke sana?"
"Benar."
Lantang meneguk ludah. "Em ... lewat mana?"
"Lewat belakang," jawab Ben tenang. "Karena gerbang sekolah selalu tutup sebelum pukul tiga sore. Tak ada kegiatan ekstra pada akhir pekan, kurasa nggak ada yang berubah sejak belasan tahun lalu aku sekolah di sana."
Tawa santai Ben membuat Lantang ikut tertawa. Namun kering.
"Kenapa?"
"Aku dan Tyaga juga ada di sana sore itu," beri tahu Lantang setelah mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa.
Bibir Ben bebas dari senyuman sama sekali, yang jika Lantang ingat-ingat, jarang sekali wajah itu tak bersenyum sejak pertama kali mereka bertemu. Ya itu dia. Ben memiliki wajah tersenyum bahkan jika ia tak tersenyum sama sekali. Hampir seperti Tyaga, bedanya wajah senyum Tyaga menyirat jenaka, sedangkan Ben lebih misterius. Sekarang, diterangi lampu taman halaman rumahnya yang temaram, wajah itu datar. Menatapnya bulat-bulat.
"Aku tahu," katanya.
"Oh," celetuk Lantang salah tingkah. "Kamu nggak menyapa?"
"Aku belum kenal kalian, kan?" balas Ben.
Lantang menata hati. Mulai gundah karena tak bisa menentukan apakah Ben melihat apa yang ia lakukan dengan Tyaga, atau tidak.
"Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?" sambung Ben seolah menantang. "Apa aku melihat apa yang kalian lakukan?"
Lantang yakin jantungnya sudah copot. Ia menatap Ben ngeri, seperti melihat hantu.
"Aku melihat semuanya," tutur Ben.
"Semua?" Lantang tergeragap.
"Semua."
"Apa maksudmu 'semua'? 'Semua' ... semua?"
Ben medesah iba. Ia maju, memanjangkan lengannya untuk menyentuh Lantang, tapi pemuda itu menghindar. Menepis tangan yang menghampiri wajahnya ketakutan. "Hey ... it's okay ...," bujuk Ben lembut. "Lantang ... kamu selalu bisa cerita padaku, jangan takut. Aku nggak akan cerita pada siapapun, tapi kalau kamu merasa tak nyaman dengan cara anak itu memperlakukanmu ... kamu bisa melawannya, Nak, tidak usah takut. Okay ...?"
Gimanaaa part 8-nya? Puas?
Yang udah terima part 8 dan follow IG Senna_anovel, you're on my first priority readers. LOL. Akan ada beberapa part lagi yang hanya bisa dibaca oleh followers IG, ya, bukan hanya followers di Wattpad. Kenapa? Karena saya nggak mau aja part dewasanya dipost publicly. Kalau bikin story lain, ya sama aja, sih, ujungnya bisa dibaca sama sembarang orang. Saya bukan nggak ngepost part dewasa buat menghindari ngasih mature content, kok, saya mau pilih pembaca aja. Paling enggak, saya nggak bertanggung jawab sama orang-orang yang nyasar di cerita ini dan nemu adegan dewasa terus sakit mata, atau protes, atau apa.
Untuk part 8, sampai saya umumin lagi, masih bisa direquest dengan rules yang saya post di part 8, ya.
Palingan nanti saya stop saat cerita udah kelar, lalu sebagian dihapus untuk kepentingan pencetakan buku, atau alasan lain. Yang jelas ... yang baru nemu, silakan ajukan permintaan sesuai rules.
Anyway ...
We're currently seeking for the right prototype of Tyaga on Senna_anovel IG account dan saya amazed sih, kita kayaknya punya gambaran yang mirip-mirip sih soal si bebeb Tyaga ini, ya? Yang pada ngajuin aktor andalannya punya tipe muka dan badan dengan kemiripan satu sama lain gitu, yah paling kebentur usia aja, tapi semuanya bisa cukup representatif.
Next part, semoga kita udah bisa dapat gambaran paling deket sama image Tyaga, ya. Kandidatnya nanti disempitin jadi beberapa aja, terus kita pilih-pilih lagi buat seru-seruan. Penting nggak sih ginian? Enggak. Buat suka-sukaan aja. Yang jelas kita selalu punya bayangan masing-masing dari karakter yang kita baca. Jadi nggak usah ribet bahas cast penting enggak, kalau asyik buat dibahas, kenapa enggak?
Nunggu 300 votes ah, paling enggak, baru diupdate lagi. Jangan lupa komen, ya!
Muach.
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top