5. I found an island in your arms, country in your eyes
WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Break On Through
*The Doors*
***
"Lantaaang!"
Tak ada sahutan dari kamar Lantang.
"Biarin aja lah, paling dia tidur lagi."
Pintu diketuk tiga kali lagi, masih tak ada jawaban.
"Tinggalin post-it aja di depan pintunya," tambah Rangga, kemudian menghilang ke kamar.
"Tck ...," Bestari mendecap, tak rela, menyusul suaminya melanjutkan menyiapkan bekal perjalanan. "Nanti dia ngambek nggak jadi kita ajak jalan. Kemarin dia ngerengek, katanya sepatunya udah jelek banget dan harus beli baru."
"Udah ... dia pasti ngerti. Mau gimana lagi, Kak Dhien minta kita ke sana sekarang."
"Apa nggak sebaiknya kita ajak aja?"
"Aduh ... aku nggak sanggup nyetir luar kota dibarengi dua orang adu mulut di dalam mobil, dia bakal makin bete kalau tahu-tahu harus pergi jauh."
"Tiap hari kita udah sibuk kerja, jarang punya waktu buat dia."
Sambil merapikan kaus di depan cermin, Rangga melirik istrinya. Tatapannya meredup kagum pada sosok wanita yang pasti sanggup mengorbankan apapun demi kebersamaan keluarganya. "Sayangku ...," ucapnya lembut.
Bestari mengangkat kepalanya yang tertunduk.
"Kita kerja buat dia juga, Sayang. Lantang sudah besar, semua anak seusianya sudah ingin mulai menata hidup mereka sendiri. Biarkan dia main, he will thank you one day."
"Aku cuma ingin bersamanya lebih lama, bentar lagi dia berniat sekolah ke luar kota ...," desah Bestari, sedih. Meremas ujung dress selututnya. Tanpa ia minta, sang suami meninggalkan cermin untuk memberinya pelukan. "Aku punya harapan yang jahat, Sayang."
Rangga membasahi bibir sambil tersenyum, mengadu pipi dengan pipi istrinya kemudian mengajaknya berciuman. "Don't say anything, don't say anything you will regret," bisiknya. "Let's go, nanti kita kesiangan."
Sementara itu, Lantang—tengkurap di atas tempat tidur—sayup-sayup mendengar perbincangan orang tuanya. Walaupun ia tahu mereka seharusnya pergi bertiga mendengar kabar kesehatan neneknya memburuk, tapi seperti yang dikatakan ayahnya, ia malas pergi tanpa rencana. Kecuali untuk hal-hal mengasyikkan, dia selalu bilang segalanya perlu direncanakan lebih dulu.
Ia baru mengangkat kepala saat mendengar mesin mobil menyala. Bibirnya tersenyum nakal begitu yakin ia sepenuhnya sendiri. Tak lupa merayakan keberhasilan, Lantang bersorak seperti anak kecil, jungkir balik hingga kasurnya porak poranda.
Bebas selama akhir pekan adalah kemewahan tersendiri. Dia bisa melakukan apa saja di rumah, merokok di dalam kamar, tidak mandi seharian, main game dengan televisi besar di kamar orang tuanya, bahkan mungkin ... minum bir.
Minum bir, pikir Lantang mantap.
Ambil sekaleng dan beli gantinya besok pagi, ia mengekeh dalam hati di depan pintu kulkas yang terbuka lebar, mencapai kaleng bir persediaan ayahnya yang disimpan agak tersembunyi. Tak peduli hari masih pagi dan perut masih kosong, Lantang nekat mencongkel kait kaleng bir di tangan dan meneguk isinya.
Break on Through membahana di seluruh penjuru rumah. Kapan lagi ia bisa menyetel musik kencang-kencang pada Sabtu pagi kalau orang tuanya tak ke luar kota? Ia korek laci meja belajarnya, suka cita menemukan sebungkus rokok yang biasanya hanya bisa ia isap sembunyi-sembunyi di luar bersama Tyaga. Tanpa pikir panjang, Lantang menyalakan sebatang, membuka jendela kamar lebar-lebar dan mengembuskan asap pertamanya ke udara.
Pagi yang cerah dan asap rokok memang perpaduan yang tak semestinya, tapi Lantang sedang terlalu gembira untuk peduli.
Tengah asyik menikmati kemerdekaan dengan duduk di kusen jendela ditemani ingar bingar psychedelic rock yang dibawakan apik oleh mendiang Jim Morisson, sebatang rokok, dan sekaleng bir, Lantang terbatuk melihat seseorang melangkah keluar dari pintu tepat di seberang rumahnya. Dia lupa kini ia punya lagi tetangga tepat di depan rumah.
Sejak Eyang Trisna sakit dan akhirnya meninggal, Lantang tak pernah khawatir ketahuan sedang merokok di atas singgasananya. Tempat itu hanya akan tampak dari depan, tapi tidak oleh tetangga kanan kiri. Sama dengan kamar Tyaga yang sering diganggu pohon mangga, sebuah pohon rambutan tumbuh rindang menyembunyikan rapat jendela kamar Lantang.
Di kusen kamarnya di lantai dua, Lantang membekukan diri. Abu rokoknya mulai panjang diembus angin. Ia berusaha keras tak membuat gerakan mendadak supaya Luksa Benyamin, yang lebih senang dipanggil Ben, tetap tak awas. Jika pria itu menoleh ke kanan sedikit, lalu mendongak—juga sedikit—ke arah atap rumah Rangga dan Bestari yang begitu ramah padanya semalam, tak mungkin ia luput menemukan anak tunggal keluarga itu tengah asyik minum bir dan merokok pagi-pagi buta.
Sayangnya, ia tetap menoleh ke kanan, dan tak lupa mendongak. Persis seperti yang dikhawatirkan Lantang.
"Pagi!" serunya ceria.
Lantang tak tahu apa yang harus ia lakukan. ia bisa saja membuang rokok di tangannya dan lolos dari Ben, tapi toh Ben tetap akan melihat kaleng birnya. Bahkan, mungkin akibatnya bisa lebih buruk kalau puntung rokok itu ditemukan Bestari saat menyiangi anggrek koleksinya.
"Lantang," panggil Ben, mengenakan sandal dan berjalan ke pagar.
"Y—ya?"
"Jari kamu bisa terbakar," tambah Ben santai.
Pasrah, Lantang menggilas puntung rokok di kusen, tepat di sisinya.
Diam-diam, Lantang menyingkirkan kaleng bir, hendak menyembunyikannya ke tepi meja belajar. Malang, kaleng itu jatuh menimpa piring bekas makan malam yang belum ia pindahkan ke kitchen sink semalam. Isinya yang masih penuh berhamburan membasahi lantai. Lantang hanya bisa mengumpat pelan sebab Ben sepertinya bisa mencium kepanikannya, tanpa harus mendengar suara kelontang yang tersamarkan dentum musik.
Ben, di balik pagar rumahnya yang hanya setinggi pusar, tersenyum geli.
"Ibu bapakmu keluar kan tadi pagi?" tanyanya, agak lantang. "Kemana mereka?"
"Ke tempat nenek," jawab Lantang.
"Menginap, ya?"
Lantang mengiakan.
Ben menyentuh telinganya sendiri.
Lantang meneguk ludah, melompat ke dalam dan mengurangi volume speakernya. Dengan patuh, ia muncul kembali di jendela.
"Terus kenapa kamu buru-buru?"
Lantang mengernyit heran, tak paham maksud pertanyaan Ben.
"Untuk sekaleng bir," terang Ben geli.
Muka Lantang pucat pasi.
"Jangan khawatir, aku nggak akan mengadu. Kenapa kamu nggak turun ke sini supaya kita bisa ngobrol?" usul Ben terus terang.
Merasa tak mengerti maksud ajakannya yang terlalu frontal, Lantang tak merespons.
"Kubuatkan sarapan," kata Ben. "Kalau hanya toast, aku sudah mengeluarkan toaster sejak semalam."
Lantang masih berusaha menolak. "Terima kasih, tapi aku udah ada sendiri."
"Turunlah," kata Ben, usulnya sudah berubah menjadi perintah. "Apa aku harus menjelaskan di sini kenapa kita harus ngobrol?"
Jakun Lantang bergerak kasar menelan ludah.
"Mau dibicarakan di sini?" Ben bertanya sekali lagi.
"Anda tak punya bukti," sahut Lantang, entah kenapa dia justru mengatakannya.
"Tapi penjaga toko itu punya." Ben merapatkan mantel tidur yang ia kenakan, wajahnya mulai tak seramah sebelumnya. "Jadi kamu mau kita membicarakannya di sini? Aku nggak keberatan, aku nggak merokok, napasku panjang, aku bisa terus bersuara lantang kalau kamu bersikeras—"
Lantang mundur dari jendela kamar sebelum Ben sempat menyelesaikan kalimat.
Jantungnya berdentum-dentum. Ia tak pernah merasa setakut ini sebelumnya. Kalau hanya jantungan gara-gara tingkah Tyaga, atau berdebar saat melakukan kenakalan, itu sudah biasa. Namun, tak sekalipun ia seceroboh ini. Lagi pula, di antara begitu banyak orang asing yang datang dan pergi di kota persinggahan itu, mengapa justru saksi mata kejahatannya lah yang kini menjadi tetangga dekatnya?
Bercelana pendek dan berkaus tanpa lengan, tak beralas kaki saking gugupnya, Lantang keluar rumah menghampiri bekas kediaman Eyang Trisna yang sudah puluhan tahun tinggal di sana sebelum meninggal, jauh lebih lama dibanding keluarganya.
Alih-alih menemukan Ben, Lantang mendengar suara mesin mobil menderu halus dari garasi. Dia bergeming memperhatikan pria dewasa yang baru saja melengserkannya dari kebebasan tak lama setelah tercecap, menanti di balik pagar sampai Ben keluar dari mobil.
Melihat Ben dari dekat tanpa kemeja rapi, atau kacamata hitam, Lantang langsung memperkirakan sosok Ben sewaktu muda. Dari tinggi dan rampingnya, kemungkinan ia kurus saat masih remaja, sama dengan dirinya sendiri. Rambutnya juga ikal, kakinya jenjang, hidungnya mancung, bibirnya pun tipis meski tak selebar miliknya. Ben membiarkan piama tidur sepahanya terbuka, kaus tipis membungkus dada kurusnya. Sekujur tubuhnya putih bersih, bahkan rambut-rambut halus di bawah pusar yang mengintip gara-gara boxernya agak melorot tumbuh tipis, berwarna terang. Transparan.
Kontras dengan bersih kulitnya, tepi pahanya sebelah kanan menyita perhatian Lantang.
"Kamu punya selang?" Ben bertanya.
Lantang tak mendengar. Ia tengah terpekur menyaksikan tato black work berdesain menyerupai kepulan asap pekat membumbung tinggi dari mata kaki hingga pangkal paha, berlatar hitam kelam.
"Lantang."
Itu adalah pertama kalinya Lantang melihat secara langsung desain tato yang begitu memesona. Sebagian besar desain tato yang dimiliki ayah atau kakak laki-laki kawan-kawannya selalu tampak seperti calon penyesalan di kemudian hari. Kadang terlintas di benak Lantang, apa yang mereka pikirkan saat memutuskan menempelkan desain buruk semacam itu di tubuh mereka.
Tapi desain tato di tubuh Ben itu ... dia akan membayar mahal untuk mendapatkannya.
"Lantang."
"Ya!" Kepala Lantang mendongak menatap mata Ben. Alisnya naik. Kaget menyadari dirinya tertangkap basah mengamati sesuatu yang tak seharusnya.
"Kamu ngeliatin apa?"
"Bukan apa-apa."
Ben sebenarnya tahu apa yang remaja itu perhatikan, tapi ia ingin menyimpan penjelasan tentang tatonya nanti-nanti saja. Tato itu memang merupakan kebanggaannya, tak sepenuhnya tanpa alasan kenapa dia sering memamerkan bagian tubuh yang satu itu seolah ia terlahir berhias sebuah maha karya.
"Kamu punya selang?" Ben mengulang, salah satu alisnya terangkat, memastikan kali ini Lantang 'bersamanya'.
"Selang?"
"Selang air, Nak," canda Ben, menahan senyum.
"Tidak punya," cicit Lantang, untuk apa dia menanyakan selang air, pikirnya.
Ben menunjuk halaman rumah pemuda yang seperti masih tersihir itu. "Itu bukan selang air?" tanyanya.
Lantang gelagapan dibuatnya. "Maaf, aku nggak paham maksud pertanyaannya. Iya, aku—ibu—punya selang air. Mau pinjam?"
"Iya."
"Buat apa?"
Ujung jari telunjuk Ben berpindah ke arah mobilnya. Seolah seseorang menjentikkan jari di kepalanya, Lantang mengutuk dirinya dalam hati, ia seketika paham apa maksud Ben menanyakan selang air. Mobil itu memang kelihatan sangat, sangat kotor dan sangat, sangat perlu mandi. Senyum Lantang melebar, berlari kecil kembali ke rumah.
Ben membukakannya pintu pagar dan menyilakannya masuk.
"Mau ditaruh di mana?" tanya Lantang ramah.
"Sambungkan dengan keran?" kata Ben, seolah tidak seharusnya Lantang bertanya. "Sampo mobilnya ada di garai. Asal bersih luarnya saja tidak apa-apa, nanti sore atau besok, aku akan bawa ke salon."
"Eh?" celetuk Lantang, bingung.
"Kamu tahu cara nyuci mobil?"
"Ya SAYA tahu, tapi kenapa kalimat tadi terdengar seperti ANDA menyuruh SAYA yang melakukannya?"
"Kupikir kamu tidak tahu cara nyuci mobil," gumam Ben. "Dengar ... meskipun aku bisa tahu dalam sekali lihat kamu hanya dimanfaatkan oleh temanmu berbuat kejahatan, tapi kejahatan tetap kejahatan, sekecil apapun andilmu di dalamnya."
Lantang masih berusaha mencerna ucapan Ben. Sewaktu pria itu akhirnya menyambung ujung selang ke keran tanpa bantuan Lantang dan menyerahkan ujung lain ke pemuda yang masih terbengong itu, baru ia terhenyak dan menampilkan mimik tersinggung.
Ben membalas tatapan Lantang tanpa dosa.
"Apa Anda mengancam saya?" tanyanya.
"Nggak, aku nyuruh kamu nyuci mobilku kalau mau aku tutup mulut. Satu, untuk terlibat dalam kenakalan remaja, punya andil dalam lecetnya hidungku, dan dua, untuk merokok dan minum bir—"
"Ibu tidak akan percaya."
"Oke," ucap Ben, masih memegangi ujung selang dan keran air. "Kita dengar pendapatnya saat ia kembali."
Lantang mulai goyah. "Soal kejahatan itu—bukan aku," serunya terbata. "Itu ...."
Alis Ben menyatu, menanti.
Tapi, Lantang mendadak ragu menyebut nama Tyaga. Ia punya harga diri sebagai pria, mana mungkin ia menyerahkan nama sahabatnya begitu saja?
Ia mengubah kalimatnya. "Soal kejahatan itu, oke"—Lantang membusungkan dada—"aku akui. Tapi rokok dan bir ... itu hak-ku. Aku sudah sembilan belas tahun."
"Aku memang agak janggal dengan caramu bicara, terlalu dibuat-buat agar terkesan sopan. Merujukku dengan Anda, dan dirimu sendiri dengan saya, bersikap seperti anak tunggal baik-baik, tapi tenyata hanya topeng untuk menyembunyikan kenakalanmu ... lalu menemui konsekuensi kecil saja langsung kelihatan aslinya. Kalau aku bersikeras memaksamu menuruti kemauanku ... hal mengejutkan apa lagi yang bakal kamu perlihatkan?"
Telinga Lantang sontak memerah, namun ia menahan diri menyadari posisinya. Padahal semalam ia tampak baik hati, sesal Lantang dalam hati. Ia sempat mengira akan diajak bicara baik-baik, dimaafkan, dan diberi kesempatan kedua. Bayangan indahnya lolos dari konsekuensi perbuatannya setelah sempat menikmati keramahan Ben di hadapan orang tuanya menguap, ia menunduk malu dan merasa tak punya muka untuk membela diri.
Lengannya terulur, telapak tangannya menghadap ke atas meminta ujung selang air dari tangan Ben.
"Jadi kamu nggak yakin lagi ibu bapakmu akan lebih percaya padamu?"
Lantang masih menunduk, tak menjawab.
"I hate being hit in the face for something I don't deserve," kata Ben tajam. "Apa kamu pernah dipukul di mukamu, Lantang?"
Pelan, Lantang menggeleng.
"Mau?"
Tegas, Lantang kembali menggeleng.
"Jadi kamu mau menerima konsekuensi perbuatanmu?"
Mengangguk.
"Tapi itu bukan perbuatanmu, kan?"
"Memang, tapi Ben," tutur Lantang berani, tangannya mencoba merebut ujung selang, tapi Ben lebih dulu menjauhkan benda itu dari jangkauannya. "kamu lebih tertarik menghukumku karena menurutku aku pura-pura jadi anak baik, kan?"
"Oke ...." Ben memutar setengah keran, perlahan air mengucur dari mulut selang. "Aku ingin mobilku bersih dan sarapan yang kubuatkan dihabiskan. Mengerti?"
Sekali lagi, Lantang mencoba merebut selang di tangan Ben dengan gerakan kasar penuh kemarahan. Namun, semakin kesal Lantang, Ben seperti semakin mudah mempermainkan emosinya. Ia mengarahkan ujung selang ke wajah Lantang seraya kemudian memaksimalkan putaran keran sehingga airnya menyembur kencang membasahi tubuh pemuda itu.
"What a nice view," ejeknya sebelum meninggalkan Lantang basah kuyup sendirian.
I am so excited to present you the closest image of Ben, ofcourse, Tom Hiddleston, because, why not?
Tom has been so gay gay as Loki, oh come on ... he's been so gay in most of his appearances, don't you think? Dia ini ganteng jelas, flamboyan, metroseksual, friendly vibe but also so cool, yawla ucul banget lah palagi kalau sebelahan sama Mas Brother.
"I promise you, Brother ... the sun will shine on us again" *mimisan*
Well ...even if in reality he's not (gay), but who cares? LOL
Mulai part ini, baru akan diupdate kalau vote-nya paling nggak 200, ya? Males aja kadang sama siders, boleh, dooong wkwk
Follow Senna_anovel di IG dan FB page, ya!
Muach!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top