4. I Want Her Magic Touch Cause Maybe Then You'd Want Me Just as Much

WARNING

BOYS LOVE

The work focused on boys/boys relationships

===========

Playlist:

Girl Crush

*HS cover*

***

"Skala satu sampai sepuluh?"

"Kalau gue ngasih nilai tinggi, apa itu bikin lo senang?"

"Nope."

Senyum Tyaga terkulum. "To be honest, bibir lo lebih lebar, permukaannya sedikit lebih kasar dibanding bibir Riana, tapi-"

"Gue nggak minta lo bandingin, gue nanya how does it taste." Lantang memrotes.

"Denger dulu," tahan Tyaga sambil sibuk mengemudikan city car ibunya untuk mengantar Lantang pulang. "Ini ada hubunganya dengan taste yang lo tanyakan."

"Gue nggak peduli, langsung aja berapa."

"Kenapa? Lo nggak suka dibandingin sama cewek?"

"Bukan soal sama cewek, nggak ada orang yang suka dibandingin sama siapapun."

"Oke ... oke," gelak Tyaga senang. "Hmmm ... tujuh."

"Tujuh?" Lantang memekik tak terima. "Nggak terlalu pelit, tuh?"

"Tujuh itu udah bagus tahu buat pemula." Tyaga mengelak, menggelak lebih kencang melihat Lantang tak puas dengan pendapatnya. "Nilainya bisa nambah, kok, kalau kemampuan lo terus dilatih."

"Kayak gue sudi aja latihan buat lo," decih Lantang sebal, membuang tatapan ke jendela yang gelap sejauh mata memandang.

Untuk Lantang yang tak berpengalaman, berciuman dengan Tyaga tak tergambarkan oleh angka. Bukan hanya karena sahabatnya seorang pria, teknik berciuman Tyaga memang mampu membungkus seribu satu kecemasan di benaknya hingga redam. Setiap pagutnya syarat akan perasaan bersalah, tapi sangat, sangat mendebarkan. Ia bisa mencecap rasa manis tersisa dari puntung rokok yang diisap Tyaga di bibirnya, hangat rongga mulut dan deru napas mengembus kulit wajahnya. Sensasi menyengat, panas, memompa libido yang membuat dadanya seperti akan meledak kapan saja.

Semua itu, ada di atas angka sepuluh.

"Kissing selalu terasa hebat," kata Tyaga. "Sensasinya selalu berbeda tergantung dengan siapa lo ngelakuinnya. Ciuman ... seks ... adalah beberapa hal yang bisa lo rasakan keajaibannya tanpa perlu akal sehat. Menurut gue ... physical relationship nggak akan mengubah diri lo yang sebenarnya. Kalau lo nggak gay, ya lo nggak gay, siapapun yang lo cium."

"Gimana lo tahu semua itu?"

"Gue rasain aja."

"Apa lo yakin lo nggak gay?"

"Nggak, gue nggak yakin. Terus terang ... sejak malam itu ... gue nggak lagi yakin yang mana diri gue yang sebenarnya."

"Terus lo ... mmm ... lo suka sama gue, atau gimana?"

Tyaga terkesiap. "Yaaah ... kalau gue nggak suka, gue tentu nggak akan ngerasa ciuman sama lo enak dan ingin terus mengulangnya sampai detik ini. Tapi kalau suka yang lo maksud itu perasaan ingin memiliki, memonopoli, gue rasa enggak. Waktu gue bilang kalau lo emang udah nggak mau gue cium, gue nggak akan nyium, gue sungguh-sungguh. Daripada kehilangan lo sebagai teman, berhenti nyium lo jelas jauh lebih mudah."

"Kalau dengan Riana?"

"Dengan Riana ...," ulang Tyaga, mengambil jeda untuk berpikir. "Gini ... dalam hubungan cowok dan cewek ... lo nggak bisa nyium dia, pengin tidur sama dia, kalau dia maunya pacaran dulu sama lo. Lo harus terima konsekuensinya, lo harus antar dia jalan, datang ke rumahnya minimal seminggu sekali, ngantar dia pulang, ngelayanin dia beromantis-romantis ria, itu udah basic rule dunia percintaan. Lo nggak bisa terus terang bilang ke dia bahwa lo cuma pengin nyalurin libido doang, so it's complicated."

"Jadi maksudnya lo nggak suka sama Riana, atau gimana?"

"Balik lagi ke omongan gue sebelumnya. Kalau gue nggak suka, gue nggak akan mau ngelakuin basic rule dunia percintaan dengannya, ngapain? Tapi waktu dia ngajak putus dan yakin maunya kayak gitu, ya gue nggak maksa."

"Lantas ... apa bedanya dengan yang lo lakuin ke gue?"

Tak ada tanggapan, Tyaga malah menukikkan alis. "Lo sendiri gimana?"

"Emang jawaban gue akan memengaruhi jawaban lo?"

"Ya enggak, gue juga pengin tahu."

"Kalau gue punya pilihan ... gue ingin balik ke malam itu dan mencegah semua ini terjadi. Satu-satunya hal yang salah di antara kita adalah apa yang terjadi malam itu. Kalau ciuman pada malam itu nggak terjadi, kita nggak akan seperti ini."

"Lan, kalau malam itu yang duduk dekat api unggun sama gue bukan lo, belum tentu orang itu mau gue cium. Tahu maksud gue?"

Lantang menggeleng.

"Taruhlah gue tetep akan nyium siapapun yang duduk di sisi gue malam itu, bukan lo, gue nggak yakin kami akan berlanjut seperti lo dan gue sampai detik ini."

"Jadi ini salah gue karena nggak nolak?"

"Bukan," desah Tyaga. "Lo harus belajar menerima bahwa lo memang nggak keberatan kalaupun pasangan lo bukan perempuan. Kayak gue. Lo nggak perlu ngelabelin diri gue apa, gue juga nggak peduli, tapi gue nggak nyangkal, atau menganggap malam itu adalah sebuah kesalahan kayak apa yang lo lakukan barusan. Malam itu hanya kebetulan terjadi. Ada atau tidaknya malam itu, lo ..., juga gue ... suatu saat tetap akan tahu soal ini. Itulah kita-"

"Jadi kita berdua ini apa menurut lo?"

"Lan ...."

"Menurut lo aja, deh," seru Lantang bersikeras.

"Gue nggak tahu," jawab Tyaga lemah.

"Kalau gue gay ... kenapa gue nggak tahu apa-apa sebelum ciuman itu terjadi?" Lantang mempertanyai dirinya sendiri. "Itu yang bikin gue pengin kembali ke malam itu dan mencegah semuanya terjadi."

"Gue nggak tahu, Lan ... yang jelas ... gue nggak mau berpikiran rumit kayak yang lo lakuin sekarang. Prinsip gue ... kalau gue nggak suka, gue nggak lakuin. Kalau gue lakuin, berarti gue nggak keberatan, berarti gue suka, gue menikmatinya. Lagian ... kalau sebelumnya lo nggak punya pengalaman sama perempuan, dan ternyata lo senang ciuman sama gue, apa yang mencegah lo berpikir bahwa lo mungkin gay? Sampai suatu kejadian baru menjawab keresahan lo lagi, lebih baik lo menerimanya, daripada mikirin hal yang nggak mungkin terjadi."

"Gue masih belum puas," kata Lantang. "Gue nggak yakin karena apa yang kita lakuin hanya sebatas pelepasan hasrat, nggak ada perasaan, nggak ada rasa ingin memiliki ... gue ngerasa kita hanya menikmati tantangan dan ketagihan sensasinya. We're both boys, we love to conquer something, kayak main game yang nggak kunjung kita menangkan. Lo tipe yang menyukai permainan, lo tetap bermain sebab itu bikin lo senang, sedangkan gue enggak. Gue ingin tahu kenapa kita nggak kunjung menang, kenapa kita berputar di labirin ini. Kalau gue ada perasaan ingin memiliki, kalau gue cinta sama lo ... gue akan lebih mudah ngakuin-"

"Lo mungkin memang nggak cinta sama gue, tapi coba lo pikir ... apa seorang cowok perlu cinta kalau ada cewek cantik telanjang minta ditidurin?"

"Maksud lo?"

"Lan ... it has nothing to do with love, lo gay atau enggak. Ini urusannya sama berahi, nggak yang rumit-rumit kayak perasaan. Intinya lo nggak jijik ciuman sama gue, alat kelamin lo berdiri gara-gara ciuman itu, bahkan tanpa gue sentuh. Lo nggak gitu kalau memang nggak doyan. Intinya lo mau, lo suka. Titik. Ya Tuhan ... gue nggak suka ngerusak cara berpikir lo yang terorganisir itu, tapi gue gemas lihat lo resah setiap hari. Just face it, lanjut jalan, sambil lo figure it out. Yang gue lihat ... lo diem, bingung, dan menyangkal. Kalau memang lo ingin bukti buat diri lo sendiri, lo lihat sekeliling, or search deep inside. Dan yang paling penting ... ini 2018, Lantang ... siapa yang peduli dengan siapa, atau pakai bagian mana dari diri lo buat muasin diri? Seharusnya nggak ada."

"Gue sedang questioning myself, Tyaga, bagaimana gue melakukannya, itu hak gue."

Tyaga mengetatkan geraham, menarik napas dalam-dalam.

"You fucked a girl, dan lo suka. Sekarang lo nyium gue, dan lo suka juga. Okay, gampang buat lo, kan? Sedangkan gue? Gue kaget, gue nggak tahu apa yang terjadi sama gue. Kalau lo nggak mau dengerin gue, turunin gue di sini."

"Gue nggak akan nurunin lo di sini."

"Lo harus nurunin gue di sini, kalau di depan rumah, ibu bisa tahu gue nggak balik ke bimbel buat ngambil kartu gue yang ketinggalan dan malah keluar sama lo."

Tyaga menepikan mobil.

"Lan, gue ...."

"It's okay," potong Lantang sambil melepas sabuk pengaman. "Lo nggak perlu minta maaf, nggak ada yang bisa dipaksain soal gimana kita nerima diri sendiri. Tapi kalau lo benar being gay cuma persoalan nafsu, gue rasa itu nggak akan mengganggu banyak orang. Gue yakin nggak sesederhana itu dan gue akan nyari jawabannya."

"Hey ... I'll see you tomorrow?"

Lantang menutup pintu mobil tanpa menjawab.

Tak menanti sampai mobil Tyaga memutar pergi, Lantang berjalan cepat dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Kepalanya selalu terasa penuh dan sesak akan pengetahuan baru tentang dirinya ini. Ia tak yakin akan mampu melewati ujian masuk perguruan tinggi beberapa bulan lagi kalau masih belum tahu jawabannya.

Masalahnya, apa yang ia lakukan dengan Tyaga tak membuatnya bahagia. Ia tak merasakan getar-getar cinta, inilah yang membuatnya terus diselimuti ragu, tapi ia juga tau ucapan Tyaga jauh lebih benar dari sejuta penyangkalannya.

Bagaimana kalau aku gay, bukan hanya sedang butuh sensasi baru dalam melepaskan libido, bukan hanya karena ciuman dengan Tyaga sangat menegangkan, rusuh hati Lantang.

Bagaimana kalau aku tak kuat menghadapinya?

Bagaimana kalau-

"Lantang!"

-ibu tahu?

"Kamu kok jalan kaki aja?"

Lantang tergeragap, napasnya terengah. Di tengah kalut isi kepalanya, ia bahkan tak sadar langkahnya sudah begitu dekat dengan rumah. Di depan halaman, Bestari dan Rangga-suaminya- tengah membuka pagar, seorang pria yang tak asing namun belum dikenal oleh Lantang berdiri di antara mereka.

Kepala Lantang tunduk, tak siap menghadapi kemungkinan terburuk saat batinnya tengah carut marut.

"Halo, Lantang," sapa pria asing itu.

Ia pasti sudah diberi tahu ibu namaku, pikir Lantang gamang.

Sebenarnya, tetangga barunya bahkan sudah melihat koleksi foto masa kecil Lantang yang selalu dijadikan topik pembicaraan dengan setiap pengunjung pertama kali rumah mereka, bukan hanya tahu namanya.

"Kamu udah ketemu sama Pak Benny, Lantang, mungkin dia nggak ingat," tutur Bestari, lebih ceria dari biasanya.

"Di depan toko buku tadi sore," pria itu mengingatkan, senyumnya tersirat penuh makna.

Lantang memberanikan diri mengangkat wajah, membalas senyum itu dengan angguk hormat. Melihat wajah bapak dan ibunya, ia menduga si pria asing tidak bicara lebih banyak tentang dirinya daripada itu.

"Aku yang nanya di mana Jalan Kemuning," sambung pria yang sama. "Luksa Benyamin, Lantang. Panggil Ben saja, kita seumuran."

Bestari dan Rangga tertawa renyah.

"Sepuluh tahun yang lalu," tambah Ben bercanda.

Rangga menyahut, "Bukan lima belas?"

Ben pun bergabung dengan keceriaan keduanya. Namun, karena ketegangan di wajah Lantang tak kunjung surut, ia salah tingkah sendiri dan memutuskan bukan saat yang tepat menggoda pemuda malang itu dengan sikap tahu sama tahu.

"Well Kelihatannya Lantang sedang nggak enak badan," katanya. "Anyway ... terima kasih untuk sambutan ramahnya, ya, Bes, Rangga."

Lantang melirik sang ibu yang menatapnya kecewa. Tapi, ia memang bukan pemuda yang mudah berbasa-basi, tak banyak yang bisa ia lakukan selain menjawab kekesalan ibunya dengan menaikkan alis.

"Makasih, ya, Luk-"

"Ben saja," ralat Luksa Benyamin, yang lebih suka dipanggil Ben. Seolah menjelaskan pada Lantang, Ben mengulang kisah yang sudah diutarakannya di depan Bestari dan Rangga di dalam. "Namaku sebenarnya Lukas, Luksa adalah nama saudara kembar siam-ku. Kami dipisah sebelum usia satu tahun, tapi dia tidak hidup lebih dari satu minggu kemudian. Ibuku mengabadikannya dalam namaku."

Lantang tersentak, seketika-entah mengapa-ia makin merasa tak enak setelah apa yang terjadi tadi sore.

"Tunjukkan ke dia di mana bekas lukanya, Ben," suruh Bestari bersemangat.

Lantang mendelik padanya.

"Kapan-kapan saja," Ben tertawa. "Aku pamit dulu, Bes, Rangga, makan malamnya sangat enak. Semoga Lantang masih kebagian ayam panggangnya."

"Jangan khawatirin itu," kibas Rangga ramah. "Anak-anak selalu lebih suka makan mie instan."

Pipi Lantang bersemu merah, bola matanya memutar kasar, sebal selalu diperlakukan seperti anak-anak di depan para tamu.

"Mampirlah besok," ucap Ben pada Lantang, terkesan sambil lalu, tapi terdengar sungguh-sungguh dari sudut pandang Lantang. Apalagi setelah insiden tadi sore, Lantang merasa ia tengah diperintah.

Bestari melambaikan tangan. "Selamat malam, Ben."

"Selamat malam semua," balas Ben.

Begitu tetangga baru itu memunggungi mereka bertiga, Lantang memberondong keduanya dengan pertanyaan, "Tunjukkan ke dia di mana bekas lukanya? Apa maksud ibu nyuruh dia begitu? Apa aja yang kalian bicarakan sampai dia cerita sejauh itu? Jangan-jangan kalian pakai kisah-kisah lucu masa kecilku lagi buat bahan pembicaraan? Ya ampun, aku sudah sembilan belas tahun, jangan ceritain itu ke orang asing!"

"Salah siapa kamu malah pergi udah tahu mau ada tamu?" serang balik Bestari lebih galak. "Lagi pula dia nggak sepenuhnya orang asing, dia salah satu cucu Eyang Trisna yang sudah lama tinggal jauh dari sini."

"Ketemu tanda pengenalnya?" Rangga juga ikut bicara, tapi dengan nada yang lebih manusiawi.

"Ketemu," jawab Lantang, belum bisa mengusir kesal.

"Kunci pagar, Lan," suruh Bestari. "Terus bantu ibu cuci piring."

"Tapi aku baru nyampai."

"Oh ... kamu udah makan malam?"

"Belum."

"Mau makan malam?"

Lantang mengalah dan hanya bisa mendengkus membiarkan ibunya masuk duluan ke rumah. Ia berbalik berniat menutup pagar, tapi Rangga menahan lengannya. Dari saku celananya, pria yang menikahi ibunya itu mengeluarkan selembar kartu dan ditunjukkannya pada Lantang. Tak punya alasan berkelit, Lantang pasrah jidatnya diketuk pelan oleh kartu tersebut sebelum diserahkan.

"Bapak nemu di atas meja kamarmu," kata Rangga. "Lain kali kalau mau bohong, harus rapi."

Lantang menyeringai.

"Tapi, nggak ada lain kali," tambah Rangga, kali ini lebih tegas. "Kamu sudah dewasa, jangan banyak bohong sama ibumu. Sekarang, kunci pagar dan bantu dia cuci piring, kalau nggak mau bapak aduin soal kartu itu."

"Tapi kartunya udah sama aku, bapak nggak punya bukti."

Rangga menjewer daun telinga putra Bestari, tak sungguh-sungguh, sebelum berniat meninggalkannya. "Coba aja," tantangnya.

"Bapak ... apa tetangga baru kita tinggal sendiri?"

"Iya," jawab Rangga. Tapi, kemudian ia seperti teringat akan sesuatu. "Kamu ketemu sama dia katanya tadi sore, kan?"

"Sepertinya begitu."

"Apa waktu itu hidungnya udah luka?"

Degub jantung Lantang terlewat satu detakan. Gugup. "Aku ... nggak merhatiin, kenapa?"

"Dia ngalamin insiden nggak menyenangkan di depan toko buku waktu mau mampir ke agen ekspedisi antar kota, kalau kalian ketemu di sana, apa kamu nggak sempat lihat kejadiannya?"

Berharap setengah mati salah tingkahnya tak kentara, Lantang menggeleng. Terlalu kuat.

Tyaga, nih 😂😂😂

Kemarin siapa ya yang ngusulin Minho di Maze Runner buat jadi Tyaga, saya langsung oh iyaaa pas banget! Cuma bukan Ki Hong Lee-nya, tapi ini, nih fan art-fan art Minho-nya yang Tyaga bangeeet astaga 😂😂😂

Vote sama komennya jangan malu-malu, yaaa...!

Saya tunggu kamu juga di Instagram Senna_anovel dan facebook page dengan nama yang sama.
Nunggu 100 followers mau bikin GA 😘😘😘
Itu akun khusus cerita boyslove saya, yang Kincirmainan19 tetep ada.
Muach!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top