3. Touch Me, Baby, Can't You See That I am not Afraid?
WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Touch Me
*The Doors*
Tyaga Aharon adalah bungsu dan satu-satunya anak lelaki dari tiga bersaudara hasil pernikahan campuran. Kedua kakak perempuannya tidak lahir dari ibu yang sama dengannya, dan tak lagi tinggal di rumah orang tua mereka. Si sulung sudah berkeluarga, menetap di kota yang sama. Sedangkan putri nomor dua menjadi pramugari dan memilih tempat tinggalnya sendiri.
Dari rumor yang beredar, kakak keduanya yang cantik dan pintar menjadi simpanan seorang pengusaha kaya. Ayah dan ibunya tak pernah ingin membahas, atau mencari kebenaran tentang kabar burung itu, tapi Tyaga cukup yakin kemungkinan besar itu benar. Lain dengan Lantang yang sangat dekat dengan kedua orang tuanya, meski pria yang bersama ibunya bukan ayah kandung, Tyaga tak pernah berakrab-akrab dengan ibu bapaknya sejak sang ayah menikah lagi.
Keinginannya tak pernah ditentang, atau ditentukan. Apapun yang ingin ia lakukan, tak seorangpun melarang. Asal tak membuat onar dan menambah daftar hitam keluarganya, tak ada yang akan mengetuk pintu kamarnya. Ayahnya memberi uang saku sebulan sekali lewat transfer bank, sedangkan ibunya lebih senang mendekam di kamar. Tyaga bahkan lupa kapan terakhir kali mereka berbincang-bincang.
Semua orang melihatnya sebagai pribadi yang periang, tak pernah serius dalam menghadapi apapun. Hanya Tyaga yang tahu seberapa dalam ia menimbun permasalahan dan luka hati hingga orang terdekat baginya kini pun tak mampu meraba gejolak dan beban perasaannya. Selama ini, hanya di dalam kamar di mana semua kebutuhannya terpenuhi, Tyaga merasa bebas dan jujur pada perasaannya sendiri. Namun, sejak satu malam yang mengubah anggapan Lantang tentangnya, ia pun mulai meragukan kejujuran tersebut. Bahkan pada pantulan dirinya di cermin, Tyaga tak mampu lagi menentukan apakah yang ia ungkap dengan mulutnya sendiri adalah benar, atau hanya penyangkalan karena tak ingin menerima bahwa dirinya berbeda.
Di bawah kucuran air mengalir, Tyaga membasuh kepala dan sekujur tubuhnya hingga basah kuyup. Entah sudah berapa lama, yang mampu ia pikirkan dalam keadaan tanpa busana hanya sahabatnya sendiri. Ia masih muda, tak semua gadis ikhlas menyerahkan diri demi memuaskan gairah mudanya. Lebih sering, ia mencapai puncak dengan bermain-main sendiri dalam pikirannya. Namun, ia tak bisa lagi mengingat, sebelum bibirnya menyentuh bibir Lantang, siapa saja yang memenuhi fantasi gilanya saat memuaskan hasrat seorang diri.
Ia tak memungkiri, sejak pertama bertemu, Lantang memang sudah menyita perhatiannya. Pemuda itu membuatnya merasa lebih istimewa karena tak mudah akrab dengan yang lain, selain dia. Tiga tahun mereka menjadi karib, lebih akrab dari saudara kandung sendiri, tak sekalipun Tyaga punya hasrat menyentuhnya. Lantang adalah tempatnya berbagi canda, tawa, dan rahasia. Tak menyangka, satu inisiatif impulsif malam itu, di bawah pengaruh alkohol pula, telah membuka satu ruang yang selama ini ia tak tahu pernah ada.
Ujung ibu jari Tyaga menekan glans-nya sendiri. Otot-otot tubuhnya mengejang sebelum lepas luruh mengendur kembali. Selalu ada rasa sesal di penghabisan, tapi tak cukup besar untuk tak mengulang. Yang jelas, rasa bersalah gara-gara mengibaratkan sentuhannya sendiri sebagai bagian tubuh Lantang merajalela dan kadang tak mampu ia sembunyikan.
Kejadian tadi siang, yang sempat membuat Lantang murka, adalah bentuk melemahnya pertahanan Tyaga.
Usai mandi, Tyaga tak pernah lupa mengeringkan rambut dan membubuhkan sedikit vitamin mengingat jenis rambutnya mudah kering dan kusam. Meski menguarkan kesan cuek akan penampilan, sebenarnya pemuda itu merawat diri lebih daripada Lantang yang selalu tampil rapi. Sekadar berangkat tidur pun, ia memastikan tubuhnya bersih dan wangi.
I'd Rather Dance with You yang dibawakan apik oleh Kings of Convenience menyambut langkahnya keluar dari kamar mandi. Sebagian besar playlist dalam pemutar musiknya berasal dari referensi Lantang. Khusus lagu ini, Tyaga biasa mengulangnya dua, hingga tiga kali. Menurutnya, lagu itu menggambarkan jelas kepribadian Lantang dari sudut pandangnya.
Sambil bersenandung, Tyaga menghempaskan dirinya di atas tempat tidur. Dengan perut kenyang sesudah makan malam dan tubuh relaks sehabis diguyur air hangat, matanya terasa berat. Susah payah, apalagi diiringi musik lembut mendayu, pemuda bertubuh besar itu berusaha keras tetap terjaga. Paling tidak, ia harus kembali bangun untuk mengenakan pakaian.
Tak.
Kantuk Tyaga mendadak sirna.
Matanya membulat, telinganya menangkap suara ketukan yang berasal dari jendela. Suara itu tak kembali setelah ia menajamkan indra pendengaran. Mungkin ranting pohon, pikirnya. Jendela kamar pribadinya yang terletak di lantai dua memang sering terketuk-ketuk dahan pohon mangga tua yang sudah ada di sana sejak sebelum ia lahir. Jika tukang kebun panggilan ibunya tak datang tepat waktu, kadang Tyaga harus rela terjaga sampai pagi saking mengganggunya suara-suara itu.
Ia bangkit duduk di tepi ranjang, lalu sambil mengencangkan lilitan handuk di pinggang, berjalan menuju balkon berniat merapikan sedikit ranting-ranting yang akan mengusik tidurnya bila dibiarkan.
Betapa kagetnya Tyaga, begitu jendela ia buka, Lantang tengah bertengger di atas salah satu dahan yang tampak paling besar dan kokoh.
"Lo ngapain di situ?" pekiknya tertahan.
"Lo lama banget sih keluarnya?" malah protes Lantang. "Gue mau ngomong penting, bantuin gue ke situ."
"Kenapa lo nggak lewat pintu manusia aja, sih, monyet?" bentak Tyaga dengan suara rendah yang ditekan, khawatir. "Turun, Lan. Ambil tangga di sebelah gudang kalau nggak mau lewat pintu."
"Oke."
Benar-benar seperti monyet, remaja kurus itu bergelantungan dan merayap turun dari pohon. Tak sempat membuat Tyaga lebih cemas, dalam kurang dari semenit, kakinya sudah menapak kembali di atas tanah. Tanpa suara, ia berjingkat ke arah di mana telunjuk Tyaga mengarah, hilang sebentar dalam gelap, lalu muncul kembali membawa sebuah tangga lipat.
Di balkon, dengan kekuatan lengan Tyaga, Lantang berhasil melompat mudah dari puncak tangga lipat ke balik pagar.
"Gue ada berita buruk," kata Lantang, melirik samar ke lilitan handuk di pinggang Tyaga sebelum menyelinap masuk kamar.
Tyaga mengikuti masuk, tapi tak seantusias sahabatnya.
Di dalam, bukannya langsung bercerita, Lantang malah sibuk mengitari kamar dan meneliti pernak-pernik yang menghiasi ruang tidur kawan karibnya. Karena kondisi keluarga Aharon, Lantang atau kawan Tyaga yang lain hampir tak pernah menghabiskan waktu di sana padahal isi kamar ini tergolong paling mewah dan asyik untuk dieksplorasi. Kamar paling dewasa di antara yang lain, menurut pendapat kawan-kawan seusianya, Tyaga tak perlu menyembunyikan asbak, kaleng bir, bahkan majalah dewasa dari orang tuanya.
"Lo mau ngomong apa, sih, Lan?"
Masih memegang salah satu action figure koleksi Tyaga, Lantang teringat tujuannya kemari. Ia menepuk jidatnya sendiri, namun sekali lagi, fokusnya teralihkan. Alisnya menukik. "Kenapa lo nggak pake baju?" tanyanya polos.
Tyaga menggeleng samar gara-gara sikap Lantang. "Gue habis mandi."
"Pakai baju dulu," suruh Lantang. "Gue nggak nyaman lihatnya."
Bola mata Tyaga memutar. "We're both boys," decapnya.
Lantang tak membantah, tapi tak mengubah pendiriannya. Meski sama-sama pria, melihat Tyaga tak akan pernah sama lagi dalam keadaan tanpa busana. Ia sengaja membalik badan saat ekor matanya menangkap handuk di pinggang Tyaga meluncur di lantai.
"Oke, kenapa?" lanjut Tyaga lagi, diiringi suara pintu lemari pakaian yang menutup. "Lo udah bilang sama orang rumah ke sini? Naik apa lo?"
"Nah, itu yang mau gue ceritain ke lo!" sambar Lantang bersemangat, berbalik cepat.
Saat berhadapan dengan sosok tinggi besar yang masih belum mengenakan kaus, Lantang justru mematung. Mulutnya yang membuka tak jadi bercerita.
"Astaga ...," keluh Tyaga, paham. "Gue emang kalau tidur nggak pake baju, kenapa, sih, lo? Kan gue pakai celana, Lan."
Sontak, Lantang terkesiap. "Bukan begitu," kelitnya.
"Terus?"
Ludah Lantang tiba-tiba begitu susah tertelan. "Lo ... kapan, sih, work out?"
"Kenapa emangnya?"
Lantang menunjuk dada Tyaga yang berdiri beberapa langkah darinya. "Dari mana lo dapat otot-otot itu?"
"Lari pagi."
"Cuma lari?"
"Kenapa? Lo pengin?" Tyaga meledek. "Di basement kan ada home fitness papa, gue biasanya pakai beberapa jam sehari."
Bibir Lantang yang mengumpat kecil membuat Tyaga tertawa.
"Ini bukan apa-apa, biasa aja kali. Memangnya ... dada lo nggak begini?"
"Lo tahu dada gue nggak mungkin begitu," sungut Lantang, masih berdiri di tempatnya semula.
"Lo kelihatan penasaran banget soalnya," kekeh Tyaga sambil duduk di tepi tempat tidur. "Come here. Kalau lo penasaran banget, kenapa nggak coba lo pegang?"
"Oh, no thank you."
"Yakin?"
"Ngapain gue megang-megang? Nggak akan bisa juga bikin dada gue sama kayak lo gitu."
Tyaga menyembunyikan senyum gelinya rapat-rapat, menggantinya dengan gerakan bahu dan sikap tak acuh. "Oke, terus kenapa tadi lo ke sini?"
"Oh iya." Hati-hati, Lantang mengembalikan benda yang ia pegang ke tempatnya semula. Antusiasmenya kembali sedia kala, seperti anak kecil, ia melompat dan duduk di sisi Tyaga. "Jadi ... rumah kosong di depan rumah gue tahu-tahu ada penghuninya."
"Hm ...? Oh ya?"
Lantang tahu potongan ucapannya tadi tak akan cukup menarik perhatian Tyaga. Ia menambahkan, "Lo tahu nggak siapa penghuninya?"
Dahi Tyaga mengerut. "Sial," umpatnya.
"Kenapa?" tanya Lantang, bingung dengan reaksi Tyaga karena ia belum lagi mengimbuhkan keterangan. "Lo tahu emang siapa tetangga baru gue?"
"Ya nggak tahu, tapi jangan-jangan bapak-bapak yang gue pukul tadi sore?" terkanya.
Lantang malah tampak kecewa gara-gara ketepatan tebakan Tyaga. "Kok lo tahu?"
"Apalagi berita buruknya selain itu? Lo tiba-tiba ke sini, panik, terus bilang ada tetangga baru di depan rumah lo. Gue sempat lihat plat mobil orang itu memang bukan plat sini, jadi gue nyimpulin aja. Apa dia ngadu ke orang rumah lo?"
"Dia belum lihat muka gue," jawab Lantang gamang. "Gimana, dong, kalau dia ngadu? Nggak mungkin, kan, selamanya gue nyembunyiin muka dari dia? Rumahnya pas banget depan rumah gue, Tya. Kalau dia-terus dia-"
"Hey!" hardik Tyaga seperti biasa jika Lantang mulai panik. "Kenapa lo mesti setakut itu? Gue yang mukul dia, bukan lo."
"Sama aja! Gue juga di sana. Kalau ibu tahu gue ngutil-"
"Lo nggak ngutil," sergah Tyaga santai. "Gue yang ngutil. Lo santai aja, kalau dia ngomong sesuatu, lo salahin gue aja. Nggak masalah juga buat gue, paling gue disuruh minta maaf ke toko dan ganti beberapa kali lipat. Nggak usah panik."
"Tapi, Tya-"
"Udahlah ... lagian gue nggak yakin dia bakal sekonyong-konyong ngelapor, paling dia bakal ngomong sama lo empat mata, tapi nggak sampai ngadu. Dia kan penghuni baru, asal lo nggak bikin salah lagi, gue jamin dia nggak akan buka mulut."
Lantang belum bisa mengusir kalut dari wajahnya.
"Lan," panggil Tyaga. "Nggak apa-apa, tenang aja."
"Lo yakin?"
"Gue yakin."
"Kalau dia ngajak gue ngomong, terus gue harus bilang apa?"
"Lo bilang gue aja, nanti gue yang minta maaf dan nyelesaiin semuanya. Oke?"
"Bener?"
"Bener."
Barulah Lantang mampu mengembuskan napas lega diiringi tawa kecil Tyaga menyaksikan lenyap seketikanya kecemasan sang sahabat. Debar dadanya justru kembali berpacu saat tubuh Tyaga hempas di atas tempat tidur. Suasana mendadak canggung, setidaknya menurut Lantang. Ia tak berani banyak bergerak sampai kemudian tangan Tyaga menarik colar kausnya kuat-kuat dan menghempaskan punggungnya tepat di sisi pemuda itu.
Mereka berdua berbaring telentang, sama-sama menatap langit-langit bersih di atas kepala.
"Kenapa sih lo aneh banget?" tanya Tyaga, membuka pembicaraan.
"Nggak tahu," pendek Lantang jujur.
"Lo nggak nyaman sama hubungan kita sejak malam itu, kan?"
"Memangnya lo enggak?"
"Gue sih nganggapnya ya udah lah biasa, gue enak, lo enak, kenapa mesti pusing?"
"Tya ... kita sama-sama cowok ...."
"Gue tahu, tapi orang lain nggak tahu apa yang kita lakukan. Lo panik sendiri, bingung sendiri kan sama apa yang kita lakuin?"
Tak ingin berbohong, Lantang hanya bisa membisu.
"It will pass," kata Tyaga yakin.
"Kalau enggak?"
Keduanya mengembuskan napas berat.
Tyaga mengguling, tubuhnya miring menghadap Lantang yang masih berbaring telentang.
Ia melamun, ingin menyentuh bibir merah tipis namun lebar di wajah tampan pemuda di depannya, tapi tak berani. Ia tahu Lantang akan bereaksi menolak jika disentuh secara tiba-tiba. Tyaga selalu mengagumi warna kecokelatan bola mata Lantang yang begitu ekspresif setiap kali bibirnya mengoceh tentang apa saja. Puncak hidungnya yang tinggi dan ramping, tulang pipinya yang menonjol karena kurus, juga pucat kulitnya yang mudah berubah warna tertimpa sinar mentari.
Lamunannya terusik gara-gara Lantang tahu-tahu menoleh.
"Apa?" tanya Tyaga bingung.
Bola mata Lantang melirik ke atas, menjawab tanpa kata-kata. Rupaya, tanpa sadar jemari Tyaga tengah memainkan puncak rambutnya.
Tak ingin membuat suasana semakin aneh, Tyaga malah mengacak rambut Lantang sebelum berguling menjauh menghindari amukan sahabatnya.
Ternyata, Lantang tak berniat memperpanjang keusilan Tyaga. Ia bangkit duduk, dan malah mengulang pertanyaannya yang tak terjawab. "Will it pass?"
"Gue nggak tahu, Lan ...," jawab Tyaga letih.
"Gue nggak bisa kayak lo, nikmatin aja apa yang terjadi sekarang tanpa memikirkan efeknya di kemudian hari. We still have future-"
"Apa hubungannya masa depan dengan gue ciuman sama lo?"
Lantang termangu.
"Apa hubungannya masa depan kita kalau sampai gue berbuat lebih dari ciuman sama lo?"
"Itu berarti kita gay. Lo mau jadi gay?"
Tyaga melipat lengan dan menjadikannya ganjalan kepala. "Selain cara lo menyebut-nyebutnya sejak malam itu, gue sih biasa aja, mau jadi gay, kek, enggak, kek ... tapi kalau lo nggak mau gue cium lagi, ya nggak apa-apa."
Tak ada sahutan Lantang, Tyaga pun ikut bangkit. Pelan, ia bergeser dan letakkan dagunya di bahu Lantang. "Atau ... kita bisa terus ciuman dan ini jadi rahasia kita berdua seumur hidup," bisiknya. "Gue tahu ... lo nggak keberatan karena memang rasanya menyenangkan. Iya, kan? Kalau gue boleh jujur ... menegangkan dan mendebarkannya nyium lo jauh terasa lebih menantang dibanding saat gue nyium cewek."
Lantang melirik. "Lalu ... kenapa harus gue?"
"Kenapa harus lo? Lo pikir gue berencana nyium lo malam itu? Enggak, Lan. Sama kayak lo ... gue juga nggak pegang kendali apa-apa."
"Gimana kalau ada cowok lain yang mau ciuman sama lo selain gue?"
"Untuk saat ini ... gue belum punya bayangan ke arah sana, itu yang bikin gue yakin kita nggak perlu mikir kejauhan soal apa yang terjadi saat ini. Seperti apa yang kita lakuin malam itu, semua hal tak terduga bisa saja terjadi tiba-tiba ... cemas sekarang nggak akan ada gunanya."
"Terus?"
"Terus ...." Tyaga menggantung ucapannya, tak melanjutkan karena memang tak ada kelanjutan apa-apa. Sudah cukup banyak mereka bicara, pikirnya.
Lantang hanya mampu menahan napas saat jemari Tyaga menyelip di celah jarinya. Ia pasrahkan jari-jarinya dibimbing oleh Tyaga menyentuh dagunya sendiri dan menolehkan kepalanya menghadap pemuda itu. Sebelum matanya memejam, mulut Tyaga sudah lebih dulu membuka, siap melahap dua belah bibirnya yang bergetar.
Ia terhenyak, seluruh bagian tubuhnya seperti tersengat.
Menyambut keagresifan Tyaga, Lantang justru memikirkan apakah ciuman selalu terasa sememabukkan ini dengan siapapun? Dengan pria manapun?
illustration taking from pinterest
Mood-nya lagi nulis Lantaaang teruuus ... hahaha ... rasanya setelah 90 Days dan sempat dapet ide nulis The Roommate tapi stuck, I finally find the soul of a story I wrote. I wrote it like crazy, scenes after scenes are floating in my head, jauh dari laptop rasanya begitu menyiksa karena pengin terus menuangkan ide, rasanya menyenangkan banget kalau nemu momen kayak gini, tuh. Saya yakin penulis lain juga pernah merasakan hal yang sama. Semoga saya terus ada waktu dan lancar ide supaya update-nya juga nggak ngadat karena buat saya nulis gay theme itu benar-benar, deh, nikmat dan tantangannya beda kalau udah pegang ritme-nya. Sebenernya nulis apa aja juga gitu, cuma saya emang lebih susah pas nulis gay theme.
Cerpen yang saya janjikan di part lalu belum saya kirim, ya, ditunggu sampai agak banyak permintaan dulu biar sekalian. Sabar, ya ... lagian ceritanya memang beda banget, kok.
Follow Senna_anovel di IG, ya, saya share quotes, maybe quiz, or news tentang gay theme stories saya di sana.
Jadi, kalian udah nemuin sosok Tyaga di dunia nyata belum, nih? Kalau Lantang udah saya kunci di HS, ya? Jadi Tyaga itu campuran Indonesia dan Chinese, tapi yang kelihatan Chinese-nya dari bentuk mata aja, warna kulit dan lain-lainnya mirip banget sama papanya yang orang Indonesia. Nanti akan ada bagian di mana dia menceritakan silsilah keluarganya. Cuma kalau nggak ada juga nggak apa-apa, lah, dibayangin sendiri-sendiri aja. Yang penting saya udah dapat plot buat Harry Styles udah seneng. Muahahaha
BTW playlist yang saya kasih di sini nanti semua worth listening, lho, memang bukan lagu-lagu masa kini yang memenuhi chart musik, tapi bener-bener bisa mewakili the coming of age-nya Lantang Tyaga.
Remember to enjoy the story.
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top