15. I'm Free to Say Whatever If It's Wrong or Right It's Alright
WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Whatever
*Oasis*
"Kita nggak akan melakukannya sekarang, bukan?"
Ben tak menghiraukan pertanyaan Lantang. Ia mencoba membenahi pose duduk pemuda itu di atas sebuah meja bundar berkaki rendah yang lapisan kacanya sudah dipindahkan. Berkali-kali, ia harus memperingatkan punggung Lantang yang secara natural agak melengkung, dan dagunya yang selalu kembali turun.
"Apa aku benar-benar harus telanjang?"
Mata Ben yang semula memincing fokus menentukan sudut terbaik untuk diambil gambarnya melebar dan beralih menatap Lantang.
"Aku tidak harus telanjang?" Lantang menyimpulkan, meringis malu. Apalagi ketika Ben menggeleng menjawab pertanyaannya. Sontak, pose yang sudah diatur Ben berantakan gara-gara Lantang meringkuk menutup wajahnya yang merah menahan malu.
Ben tertawa.
"Kamu bilang dilukis sama seperti bayi anakmu!" seru Lantang defensif. "Dan dia telanjang!"
"Ayo Lantang," ajak Ben serius, ditariknya lengan Lantang dan dipaksanya berpose seperti semula. "Aku nggak akan langsung melukismu, kamu akan berpose seperti ini setiap kali kita bertemu sampai kamu hafal dan terbiasa, sebab saat aku mulai membuat sketsa kamu tak boleh bergerak sama sekali sampai aku puas."
"Apa harus seperti itu?" tanya Lantang ragu. "Kalau tidak telanjang, apa nggak sebaiknya diambil fotonya saja?"
"Tidak akan sama," decap Ben. "Aku harus melihat emosimu saat berpose, warna kulitmu, ke mana helaian rambutmu terbang tertiup angin, gambar tak bergerak tak akan bisa memberiku seluruh gambaran nyata. Aku ingin melukismu, bukan melukis potretmu, kamu mengerti bedanya?"
"Entahlah ...," kata Lantang lesu.
"Hey." Ben menyentuh dagu Lantang dan mendongakkan kepalanya. "Apa kamu berharap dilukis tanpa busana?"
Lantang menjauhkan dagunya dari sentuhan Ben dengan gerakan kasar. "Aku hanya memikirkan alasanku kalau bapak dan ibu sampai tahu!"
"Tapi kamu kelihatan kecewa waktu kubilang kamu nggak harus telanjang," ujar Ben, sambil mengerling menggoda.
"Enggak!" sangkal Lantang tajam.
Ben melangkah ke arah pandangan Lantang terbuang gara-gara ucapannya. Ia duduk di pinggir meja, mengadu wajahnya dengan muka Lantang yang merengut antara marah dan malu. Lantang masih berusaha mengalihkan arah pandangannya, namun hanya perlu mengerjap sekali, Ben seolah memberi perintah agar Lantang melihat pada inti matanya. Dengan tatapan terkunci pada Lantang, Ben membisik. "Kalau kamu nggak keberatan ... aku akan dengan senang hati melukismu tanpa busana, dan aku janji akan merahasiakannya dari siapa pun."
"Tidak, terima kasih." Lantang melengos. "Aku bukan perempuan! Apa bagusnya melukis laki-laki telanjang!"
"Sama bagusnya dengan melukis perempuan telanjang," sambar Ben cepat. "Kulitmu, Lantang, tanpa menyentuhnya pun, kelembutan permukaannya bisa kubayangkan dengan mudah. Warnanya seperti memendarkan cahaya. Lekuk tubuh pria sama-sama bisa meningkatkan gairah sensualitas-bukan hanya kepada lawan jenis, atau hanya kepada penyuka sesama pria-dan di atas semua itu ... tubuh manusia adalah objek seni terindah dan menantang untuk dituangkan di atas media. Would you"-Ben gesit meraih jemari Lantang dan mengusap buku-buku jarinya sebelum sempat diambil kembali oleh si empunya-"be my first-and probably last-naked male model, Lantang-siapa nama lengkapmu?"
Lantang menahan senyum. "Lantang Hastungkara," sebutnya.
"Lantang Hastungkara," sebut Ben mengulang. "Seorang pria yang bersungguh-sungguh menuntaskan masalah, will you be responsible to your name?"
"Bagaimana kamu tahu artinya?" tanya Lantang curiga.
Ben mengerjap sepersekian detik sebelum berdeham. "Kamu harus dengar betapa Bestari tanpa lelah mengagung-agungkanmu," katanya kemudian. "Dalam satu jam sambil menghabiskan ayam panggangnya yang lezat, aku sudah bisa menulis riwayat hidupmu tanpa kamu tahu."
Lantang mengebas jemari Ben, mendengkus dan membuang ekspresi malunya ke arah jendela yang terbuka lebar. Dalam satu jam, pikirnya, ibunya bahkan tak tahu banyak tentang Ben, padahal dia paling suka bertanya. Masa dia sampai sudah memberitahu arti namanya yang tak lazim? Sayangnya, perasaannya terlalu melambung untuk bertanya lebih jauh.
"Bagaimana?" tanya Ben lagi, hati-hati.
"Aku akan mempertimbangkannya," kata Lantang pelan.
"Telanjang atau tidak, lukisan itu akan tetap jadi," tekad Ben.
"Oke," ucap Lantang sepakat. "Apa kita akan latihan lagi?"
"Ya, kita latihan lagi, kemudian aku akan memasak sesuatu untuk makan siang, tapi mungkin agak lama."
"Kenapa?"
"Karena makananku harus sesuatu yang direbus atau dipanggang, aku tidak boleh makan gorengan dan apapun yang berlemak berlebihan dan lain-lain, dan lain-lain, pokoknya membosankan, aku tak mungkin memaksamu memakan makanan yang sama."
Ben memperhatikan Lantang tertawa melihatnya meracau.
Saat tawanya berhenti, Lantang baru sadar ia tertawa sendiri sementara Ben menatapnya bulat-bulat seakan Lantang adalah manusia yang datang dari masa lalu dan membuatnya rindu akan sesuatu. Hingga beberapa detik kemudian, mereka berdua saling diam, saling menyelami satu sama lain. Ben lah yang menghentikan kebisuan itu dengan mengembuskan napas kasar lewat mulut dan menepuk pipi Lantang dua kali.
"Ayo, habis makan siang ... kamu boleh pergi," katanya.
"Kapan kira-kira kita mulai?"
"Setelah kamu bisa berhenti bicara dan bergerak kurang lebih satu jam nonstop setiap sesi, dua sampai tiga sesi setiap pertemuan."
"Kenapa kedengarannya sulit dari caramu bicara? Aku BISA nggak bicara selama satu jam penuh!"
"Oh ya? Coba mulai sekarang."
"Maksudmu diam, nggak boleh batuk, nguap, atau apa?"
"Iya."
Lantang tercenung. "Memangnya ada orang yang bisa begitu satu jam penuh kecuali dia sedang sendirian ..., atau tidur?"
Ben tersenyum, mengacak rambut Lantang gemas. "Aku cuma bercanda, tentu saja kamu bisa bicara ... kalau kamu mau lukisannya nggak jadi-jadi."
"Apa aku boleh bilang Tyaga aku akan dilukis?"
"Kalau akhirnya kita akan melukismu dalam keadaan tanpa busana, sebaiknya kita rahasiakan ini dari siapa pun. Oke? Sekarang tutup mulutmu, dan angkat dagumu sedikit."
Sesudah itu, sepanjang pagi hingga menjelang tengah hari, Ben dan Lantang mengurung diri di studio lukis yang semua jendelanya dibiarkan terbuka lebar. Lantang baru pulang setelah melahap masakan Ben pada waktu makan siang dan bertolak ke rumah Tyaga mengendarai motor bebeknya. Sepanjang perjalanan ia menyenandungkan lagu-lagu gembira, senyum lebar di bibirnya tak surut sedikit pun, ada yang beriak dalam sanubarinya, sesuatu yang hangat mengalir dalam dadanya, hal yang tak biasa. Tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Ben bukan lagi sekadar seseorang yang menempati rumah kosong di seberang rumahnya, di mata Lantang pria itu seperti sebuah pengalaman baru saking banyaknya misteri dan rahasia yang dibawanya. Lantang tak pernah merasa diterima, dan dimengerti sedalam ini sebelumnya. Ia bahkan jauh lebih jujur kepada Ben, dibanding dirinya sendiri selama ini. Begitu keluar dari rumah tetangganya, ransel di punggung pemuda kurus itu seolah memberat, sarat akan begitu banyak pengetahuan untuk bekal di masa depan. Dia seperti melihat dunia dengan cara baru. Cara Ben. Cara yang lebih lembut dan simpatik dalam menengok ke dalam dirinya sendiri. Kata gay itu mendadak tak jadi momok baginya. Ketika Ben dengan lugas menceritakan masa lalunya, Lantang merasa ia akan jauh lebih baik-baik saja.
Aku gay. Aku mungkin gay, rapalnya.
But it's okay, tambahnya.
Maybe not that okay, but I'll be alright, tekadnya.
"Free to be whatever you, whatever you say, if it comes my way it's alright," senandungnya, semakin kencang semakin dekat ia dengan rumah Tyaga. "You're free to be wherever you, wherever you please, you can shoot the breeze if you want!"
Sekarang ia tahu mengapa ia selalu resah, selalu merasa tak berada di tempat seharusnya, tak merasa cocok dengan kebanyakan orang, ia berbeda dan tak pernah merasa sebangga itu menyemat kata berbeda sebelum melangkah keluar dari rumah Ben siang ini. Pikiran polosnya melesat membumbung tinggi menembus awan-awan, yang ingin ia lakukan sekarang adalah membagi gagasan itu dengan Tyaga. Ia tak peduli apa yang menimpa sahabatnya, ia yakin Tyaga pun akan jauh merasa lebih baik jika tahu bahwa pada akhirnya semua tergantung bagaimana kita menerima diri sendiri. Seperti Ben.
"Lantang?"
Berdiri Lantang terhenyak. Dadanya yang sesak oleh perasaan gembira seketika buyar mendapati siapa yang membukakannya pintu. Dengan sigap begitu tersadar kembali dari keterpanaan, Lantang melepas helm dan mengangguk pada Aharon, ayahanda Tyaga. Menyambut jabat tangannya yang terulur.
Sudah sangat lama sejak terakhir kali Lantang bertatap muka dengan beliau, mungkin yang terakhir sudah lebih dari satu tahun lalu. Meskipun Tyaga buah cinta perkawinan campuran, tapi ia sangat mirip ayahnya. Melihat Aharon seperti melihat Tyaga puluhan tahun kemudian. Hanya bentuk mata Tyaga yang mengingatkannya pada sang ibu.
"Mau ketemu Tyaga?" tanya Aharon sebelum menyilakan Lantang masuk.
"Iya, Pak," jawabnya hormat.
"Ada di kamarnya, masuklah." Pria itu memberi ruang untuk Lantang. "Siang-siang begini nggak pergi kuliah, ya?" tanyanya saat pintu kembali ditutup.
"Saya belum kuliah," kata Lantang kikuk. "Tahun depan, mungkin, karena tahun lalu gagal ujian masuknya. Sekarang saya sedang mempersiapkan diri."
"Mau ngambil jurusan apa?"
"Teknik arsitek."
"Kamu tahu Tyaga mau ngambil jurusan apa tahun depan?"
Ragu, tapi karena memang Tyaga hampir tak pernah membicarakannya, Lantang menggeleng.
Aharon menarik-embuskan napas panjang. "Cobalah bujuk dia supaya mau kuliah di sini tahun depan, Lan, dia dekat sekali sama kamu, kan?" Ia menepuk mantap lengan kurus Lantang dengan tangannya yang besar dan kuat. Lantang bergeser dari berdirinya. "Kalau dia kuliah di sini, kalian bisa bareng terus, kan? Kamu nggak mau kan dia pindah ke tempat ibunya? Nggak ada orang yang akan peduli sama dia di sana. Ibunya saja-"
Tanpa sadar, Lantang mendongakkan kepala yang sedari tadi terkesan menunduk khidmat, terkejut di akhir kalimat Aharon saat menyebut ibunda Tyaga. Ada rasa tak terima di diri Lantang saat telinganya menangkap tendensi negatif ketika Aharon mengucapkannya, sementara ia tahu persis apa yang terjadi. Sama dengan ayahnya yang dulu bercerai dengan ibunya, pria di depannya ini tak setia.
Reaksi reaktif Lantang yang kemudian menghentikan Aharon tepat di sana.
"Naiklah," suruh Aharon kemudian.
Baru beberapa langkah Lantang menjauh, ia dipanggil kembali.
"Terima kasih sudah nemenin Tyaga selama ini," kata pria itu.
Lantang mengangguk dan hendak kembali berbalik melangkah pergi. Namun urung.
"Katakan padanya ...," ujar Aharon, yang menahan berlalunya Lantang. "Aku masih berharap dia tinggal di sini, aku nggak akan mengganggu hidupnya kalau dia enggan melihatku lagi, aku akan siapkan masa depannya, tapi kumohon bantu aku meyakinkannya untuk tinggal, Lantang."
"Kenapa ... bapak tak coba meyakinkannya sendiri?" tanya Lantang berani.
"Aku sudah mencoba, Nak, tapi sepertinya semuanya sudah terlambat. Siapa pun akan lebih didengarnya selain aku."
"Saya nggak bisa janji," ucap Lantang. "Tapi saya akan coba."
Lantang mungkin tak akan mencoba apa-apa, hanya supaya dibiarkan pergi. Keputusan sepenting itu, ia justru ingin melihat Tyaga menentukannya sendiri. Kawan sebayanya itu selalu hanya mengikuti arus, saat ia seharusnya menentukan masa depan dengan memilih kemana melanjutkan pendidikan saja, ia tak punya gambaran. Jika Lantang, memintanya tinggal, kemungkinan Tyaga akan melakukannya. Namun, apakah itu yang terbaik baginya? Lantang tak berniat bertanggung jawab, apalagi menanggung risiko jika permintaannya bukan hal yang tepat bagi Tyaga. Toh, sejauh apa pun, mereka akan tetap berteman, sebab jarak tak bisa memisahkan persahabatan.
Sambil mengetuk pintu kamar Tyaga, Lantang mengeluhkan segala antusiasmenya yang lenyap sebagai akibat dari pertemuan tak terduganya dengan ayahanda sahabatnya. Tak ada sahutan. Lantang mengungkit handle pintu.
Mencoba tanpa suara, Lantang melongok ke dalam. Hal pertama yang dilihatnya adalah punggung lebar Tyaga yang membelakangi pintu. Dari naik turun bahunya yang teratur, Lantang menduga Tyaga sedang tidur. Ia masuk setelah menutup pintu. Setengah berjinjit, pemuda itu mengintip benar tidak dugaannya dari sisi lain tempat tidur.
Bahu Lantang jatuh iba. Wajah tidur Tyaga tampak begitu damai, meski bekas air mata dan bengkak kelopak matanya menunjukkan bahwa mungkin ia baru bisa tidur setelah huru-hara tadi pagi terjadi. Kondisi Tyaga mengingatkan Lantang pada derita serupanya dulu. Setiap tidur, ia pasti menangis. Bagaimanapun neneknya selalu menghibur dan membacakannya cerita, ia tak bisa berhenti meratapi keluarganya yang tercerai berai. Ayah dan ibunya berseteru, sedangkan ia diasingkan ke tempat sang nenek.
Lantang duduk di tepi ranjang melepas sepatu dan menanggalkan jaket.
Ia berbaring dan berguling pelan ke sisi Tyaga.
Menunggu, hingga lelah matanya, dan entah sejak kapan ikut terlelap.
Saat terbangun, Tyaga tengah menatapnya.
"Hey," sapa Tyaga lembut.
"Hey," balas Lantang sama lembutnya.
"Sejak kapan lo di sini?" Tyaga bertanya.
Lantang melirik jam di dinding. "Satu jam yang lalu, gue ketiduran."
"Kok lo nggak bangunin gue? Bangun-bangun kaget, ada monyet putih ngorok di depan gue," candanya. "Serius. Lo ngorok."
Tyaga tetap tak meralat meski Lantang mencapit hidungnya sampai ia mengaduh.
"Lo ketemu dia?"
Lantang mengangguk.
"Ngomong apa dia?"
"Dia minta gue meyakinkan lo buat kuliah di sini, supaya lo nggak dibawa pergi jauh dari gue."
Senyum miring tergambar getir di bibir Tyaga. Perlahan, ia mengubah posisi tidurnya menjadi telentang. Sambil menatap langit-langit di atas kepalanya, ia tak bersuara, diam berpikir sendiri seolah lupa Lantang berada di sisinya. Ia baru mengekeh dengan suara parau saat Lantang menjentikkan jari kuat-kuat ke puncak hidungnya.
"So? Lo mau meyakinkan gue enggak?" tanyanya saat tawanya berhenti. Seraya menanti Lantang menjawab, Tyaga tengkurap menggunakan lengan untuk menyangga tubuhnya sendiri. Kepalanya menoleh ke Lantang yang telentang di sampingnya.
Lantang membalas tatap Tyaga tanpa jawaban.
"Dia udah di sini waktu gue sampai rumah. Gue bahkan udah males nemuin, malas berdebat. Udah habis respek gue ke dia. Kalau boleh jujur, gue nggak mihak siapa pun. Mama juga ke gue sama aja, cuek, nggak peduli. Dia lebih akrab sama sakit hatinya, lupa sama sekali ada gue di rumah ini-"
"Bukan berarti dia nggak peduli," sanggah Lantang. "Waktu itu gue malah dititipin di rumah nenek, masih mending lo bisa lihat wajahnya tiap hari. Saat itu gue ngerasa dibuang, sampai ke tahap di mana gue menganggap semua kerumitan itu adalah salah gue. Kalau aja gue nggak ada, ibu nggak akan serepot itu. Nggak akan semenderita itu."
"Terus? Apa yang lo lakuin?"
"Nangis."
"Cengeng." Tyaga mencemooh.
"Gue masih kecil waktu itu," bela diri Lantang. "Lo juga nangis. Makanya gue nggak bangunin lo, masih ada sisa air mata di muka lo tadi."
Tyaga mencibir, tak mau mengaku.
"Apa yang papa lo bilang tadi?" Lantang bertanya hati-hati. "Dia nggak ngejelasin ke gue, sih, tapi gue ngerasa ada yang dia tahan waktu nyebut-nyebut ibu lo."
"Nyokap sama bokap gue kan emang nikah campuran, Lan. Buat nikah sama bokap, dia pindah agama. Kata bokap sejak nyokap diam-diam ibadah pake cara lama, mereka udahan, tapi hanya secara agama, bukan hukum. Dugaan gue sih, bokap nggak mau cerai sebelum gue cukup umur karena hak asuhnya akan jatuh ke nyokap. Sekarang nyokap minta cerai karena-kayaknya-dia mau nikah juga, entah sama siapa," sahut Tyaga tenang. "Dia tahu niat nyokap ngajak gue pindah ke luar negeri, makanya dia uring-uringan, mau nempuh jalur hukum supaya gue tetap tinggal."
"Serius lo? Terus, lo percaya?"
"Gue nggak tahu lagi siapa yang mesti gue percayai sekarang. Gue bahkan nggak peduli siapa yang benar. Saat perpisahan belum tercetus, gue diabaikan. Kenapa saat mereka akhirnya mutusin udahan, harus gue yang dijadikan objek pertengkaran? Gue nggak paham."
Hening.
"Kalau kemarin gue lebih ingin ikut mama setelah apa yang dialaminya, sekarang yang gue ingin hanya pergi dari sini. Ke mana pun supaya gue bisa kembali diabaikan-"
Lantang tergugah mendengar pedih ucapan Tyaga, ia memeluk sahabatnya erat, meletakkan kepalanya di pundak kokoh yang ia dekap. "Just stay," bisiknya. "Jangan minta diabaikan karena gue nggak akan mau mengabaikan lo...."
Mata Tyaga terpejam, hangat pipi Lantang di pundak, serta ucapannya yang menentramkan mendesirkan darahnya secara perlahan. Tubuhnya terusik, tangannya menahan tubuh Lantang supaya tetap rapat. Dengan satu gerakan cekatan, Lantang sudah terhimpit di bawah tubuhnya. Pasrah menerima lidah Tyaga menyerbu masuk ke dalam mulutnya.
Hai,
Part depan nggak akan dipost di Wattpad, ya, kalian pasti udah tahu kenapa. Saya nggak usah jelasin lagi. Hihi... Jangan lupa follow IG @ Senna_anovel karena nanti pasti request file lewat DM IG itu.
Nanti akan tetap ada part 16 di sini buat tata cara dapetin file, kurang lebih sama, kok, tapi ya yang request duluan, akan dapat file-nya duluan. Saya akan post tata caranya kalau part 15 paling enggak udah ada 250 vote, okaaay? Gampang dong 250 aja.
Now time for question you have to answer!
1. Dari skala 1-10 (1 yang paling jelek, 10 yang paling bagus) kamu suka pair Ben X Lantang
2. Dari skala 1-10 (1 yang paling jelek, 10 yang paling bagus) kamu suka pair Tyaga X Lantang
3. Do you dislike Ben? Why?
Buat yang nunggu open PO Senna, 90 Days, Dimas dan Yusuf, ATS-BDC, serta buku-buku Mario Bastian, jangan lupa masukkan cerita SENNA dan 90 Days di library kamu supaya kalau saya post open PO-nya, kamu akan tahu, okay?
See you next part!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top