13. Need a Little Time to Wake Up Wake Up

WARNING

BOYS LOVE

The work focused on boys/boys relationships

===========

Playlist:

(What's The Story) Morning Glory

*OASIS*

Lantang membelalak seolah dirampas paksa kembali ke alam sadar. Setengah nyawanya masih menggantung di alam mimpi, setengahnya lagi tengah mencoba mencerna apa yang terjadi. Pintu kamarnya digedor kencang, pemuda itu mengumpat menyadari suara naga betina yang mengaum dalam bunga tidurnya tadi ternyata hanya suara gedoran dan teriakan Bestari yang menyuruhnya bangun karena matahari sudah tinggi.

"Ya, sudah bangun!" teriak Lantang.

"Cepat turun, buang sampah ke depan sebelum mobil sampah datang!"

Sesuatu masih mendengung di tempurung kepala Lantang bahkan setelah derap langkah Bestari bertolak dari depan pintu kamarnya tak lagi terdengar.

Tahu mood ibunya mungkin masih tak bagus setelah kejadian semalam, Lantang memaksakan diri bangkit. Sambil menggosok sudut mata yang masih setengah terpejam, Lantang sampai juga di anak tangga paling bawah. Kuapnya makin lebar dan bersuara kencang saat Bestari mengingatkan sekali lagi tentang membawa plastik sampah keluar sebelum truck pemungut melintas pukul tujuh pagi. Setelah hingga larut malam dikuliahi tentang bahaya merokok—miliknya ataupun bukan puntung rokok temuan itu, sang ibu tak peduli—ia masih sangat mengantuk dan berniat tidur lagi begitu kedua orang tuanya berangkat ke kantor nanti.

"Lan," panggil ibunya tepat saat Lantang mengungkit handle pintu. "Suruh bapak masuk dan mandi, ya? Keburu telat."

"Memang bapak di mana?"

"Ngobrol di depan sama Ben."

Lantang melanjutkan membuka pintu dan tercenung sejenak melihat pemandangan agak jauh di depannya. Di depan pagar rumah Ben, Rangga berbincang akrab dengan pria itu. Mungkin agak terlalu akrab karena dilihatnya Ben tak segan menyentuh bahu Rangga saat ia tertawa entah oleh sebab apa.

Jika ditilik dari usia, ayah sambungnya memang masih muda. Enam tahun di bawah Bestari, dan hanya tiga, atau empat tahun lebih tua dari Ben—yang menurut informasi Rangga—berusia 34 tahun. Wajar jika mereka mudah akrab, batin Lantang. Mendadak, ia ciut nyali. Jika ayahnya lebih akrab dengan Ben dibanding dirinya, ia takut cepat atau lambat rahasia besarnya terungkap.

"Bapak." Lantang memanggil sambil membuka pintu pagar. Rangga dan Ben serempak menoleh. "Dipanggil ibu, katanya kalau nggak segera siap-siap, nanti terlambat."

Sesudah melambai pada Ben, Rangga setengah berlari masuk rumah.

"Selamat pagi, Lantang," sapa Ben manis padanya.

Lantang mengangguk tak acuh. "Pagi," balasnya, kemudian meletakkan plastik sampah rumah tangganya ke dalam bak pembuangan.

Dilihatnya Ben menyeberang mendekatinya.

"Ngobrol apa sama bapak?" tanya Lantang.

"Macam-macam," jawab Ben, merapatkan mantel tidur yang sama dengan kemarin. Tato di pahanya mengintip sedikit, demikian juga kaus tidur tipis ber-colar rendah di balik bahan mantel.

Lantang mengerling, ada warna hitam serupa dengan yang dilihatnya di paha Ben, menjulur dari dada kirinya. Ia menahan diri tak bertanya. Masih terlalu pagi untuk penasaran, batinnya.

"Cepat sekali akrab sama bapak," kata Lantang.

"Yah ... dia memang senang beramah tamah orangnya," tanggap Ben. Ia menambahkan sewaktu raut ingin tahu Lantang begitu mudah diterka. "Kami satu almameter, Lan. Dia seniorku dan kami sudah sangat lama nggak bertemu. Dia lulus dengan gemilang, sementara aku putus di tengah jalan."

Dahi Lantang makin berkerut. "Serius?"

Ben mengangguk, tapi tampak sekali ia juga seperti kelepasan bicara.

"Belum," kata Lantang mendahului. Nadanya agak sengit. "Kalian belum cerita, kalau itu yang mau kamu tanyakan."

Senyum Ben terkulum. "Well ... kita baru bertemu, masih ada banyak sekali yang belum kuceritakan padamu. Jadi nanti—"

"Tapi kebetulan sekali, ya?" Lantang menggumam, sama sekali tak mendengarkan ucapan Ben.

Ben membenarkan. "Ya, memang kebetulan."

"Tapi banyak sekali ya kebetulannya?" tambah Lantang lagi. "Dulu kalau tak salah ayah pernah juga tinggal di sini, cuma aku kurang paham kapan. Ibu hanya bercerita sepintas sebelum kami pindah ke sini. Apa kalian saling kenal sejak kecil?"

"Tidak juga, tidak terlalu, sebenarnya."

"Tapi akrab di universitas?"

Ben mengerjap. "Tidak juga"—tertawa canggung—"wow ... kamu benar-benar penuh rasa ingin tahu. Gini ... aku memang tahu siapa Rangga Dirgantara, bintang kampus, cerdas, tampan, aktivis, supel, humoris, dan lain-lain ... tapi nggak lebih daripada itu—"

"Tapi itu lebih daripada sekadar mengenal biasa."

"Karena dia seniorku, jadi aku tahu."

Lantang manggut-manggut. "Apa kita harus selalu tahu siapa saja senior kita di kampus?" tanyanya.

"Tidak juga—"

"Aku tidak suka menghafalkan wajah dan nama orang. Di sekolah, aku hanya tahu nama-nama anak yang pernah sekelas denganku, guru-guru yang kebetulan mengajar, hampir tidak ada kakak kelas yang pernah kusapa. Oh tapi aku tahu Magda, Riana—karena dia berpacaran dengan Tyaga—, Ana, mereka anggota cheers yang paling menonjol," cerocosnya. "Aku juga tahu Fabian ... karena dia menggangguku saat kelas sepuluh. Tyaga menonjoknya."

Ben yang kali ini mengangguk-angguk. "Emmm ... kamu nggak perlu khawatir. Dunia kampus tak terlalu berbeda, sebenarnya, malah ... lebih terasa individualisme-nya, aku juga tak banyak bergabung dengan kerumunan. Sama denganmu."

"Oh ... oke ...."

"Hey." Ben mencolek pipi Lantang, membuat bocah itu terkejut dan menggosok kasar pipinya karena kaget. Ben terpingkal. Tanyanya, "Kutunggu di rumah begitu mereka berangkat?"

Terang saja, wajah Lantang memerah malu. Ia hanya sanggup mengangguk dan buru-buru masuk rumah, bergabung dengan bapak dan ibunya di ruang makan. Hasratnya untuk tidur lagi sudah lenyap, ia duduk di sisi Rangga, memenuhi setengah piring dengan nasi goreng. Sambil menusuk selembar telur dadar dengan garpu, Lantang bertanya, "Bapak dulu sekampus ya, sama Ben?"

Sendok yang sudah hampir masuk ke mulut Rangga tertahan, matanya melirik.

"Masa?" sahut Bestari lebih cepat.

Rangga melanjutkan suapan nasinya. "Ehm, memang aku belum cerita?"

Bestari memicingkan mata, mengingat-ingat. "Kayaknya belum."

"Dia juniorku di kampus, waktu dia masuk, sih, aku udah mau keluar. Aku cuma tahu dia karena dia dulu pernah tinggal di sini—"

"Tapi tidak akrab waktu kecil," sambar Lantang polos.

"Iya, memang tidak terlalu," kata Rangga membenarkan.

"Di kampus juga nggak begitu akrab," sambung putranya, malah sok lebih tahu.

Rangga lagi-lagi hanya mengangguk saja, melanjutkan sarapan sampai habis, lalu pergi mandi. Ditinggal berdua saja dengan ibunya, Lantang langsung pindah duduk di sampingnya. Dengan mulut penuh, ia membisik. "Ibu tahu nggak, Ben sudah pernah menikah?"

"Oh ya?" Bestari tak terlalu peduli, menggigit seiris tomat dan menyuap sesendok nasi terakhir di piringnya. "Ngomong-ngomong soal sekampus, ibu juga baru tahu. Biasanya bapak kalau ketemu teman lama selalu paling semangat cerita, mungkin dia lupa."

Ucapan Bestari membuat Lantang termangu. Ia juga merasa aneh, dia bicara cukup banyak soal Ben kemarin dengan ayahnya, mengapa sampai tak ingat menyebutkan detail seperti itu? Memang sepertinya tidak terlalu penting, tapi kalau dia tahu duluan mereka pernah sekampus, tak akan aneh jika sang ayah begitu cepat menerima, atau menyalurkan informasi kepada tetangga barunya itu.

"Apa rencanamu hari ini, Nak? Nggak ada bimbel kan hari ini?"

Lamunan Lantang buyar. "Belajar di rumah."

"Jangan keluyuran, ya?" pesan Bestari. "Soal Tyaga ... kasih tahu dia, meski kondisi keluarganya sedang tak baik, jangan sampai ia bertindak gegabah. Kamu dulu pernah juga mengalami, kasih dia masukan yang baik, oke? Dan yang utama ... ibu nggak mau dia merokok di rumah. Kamu tahu nggak merokok itu ...."

Lantang sama sekali mengabaikan panjang lebar kuliah pagi Bestari yang seperti siaran ulang kuliahnya semalam. Ia lebih asyik mendaftar dalam ingatan, apa saja yang ingin ditanyakannya mengenai Luksa Benyamin. Pertama-tama mengenai tatonya. Lalu status pernikahan, juga masa lalu kembar siamnya. Tentang hobi melukisnya, tumpukan kanvas yang menyita perhatiannya tempo pagi, dan sekarang pertanyaannya bertambah, tentang kehidupan perkuliahannya dengan sang ayah.

Lantang buru-buru menggelengkan kepala, yang terakhir tak terlalu penting, pikirnya.

Kedua orang tua Lantang baru meninggalkan rumah mengendarai satu mobil tepat pukul tujuh, seperti biasa. Tak langsung mandi, Lantang lebih dulu menyelesaikan target memecahkan soal matematika yang tinggal beberapa nomor saja. Sesekali ia mengintip ke bawah, siapa tahu bisa melihat sosok Ben di teras, atau halaman, tapi tak ada. Ia sengaja berlama-lama supaya Ben tak berpikir ia buru-buru ingin menemuinya.

Ponselnya lebih dulu mengedip. Nama Tyaga terpampang di layar.

"Gimana? Is everything okay?" sambar Tyaga tanpa salam sapaan.

"Semuanya beres," jawab Lantang. Semalam setelah mengalami malam panjang yang tak mengenakkan, Lantang memang sempat cerita pada Tyaga sebelum tidur. Tyaga—seperti yang bisa diduga—berniat langsung ke rumah dan membela sahabatnya bila saja Lantang tak melarang keras. Bisa makin runyam, kata Lantang tadi malam.

"Gue boleh ke sana sekarang?" Tyaga bertanya. "Soal tetangga lo gimana? Lo belum cerita apa-apa lagi. Apa kalian sempat ketemu juga?"

Disinggung mengenai Ben, Lantang refleks kembali mengintip ke bawah lewat celah tirai tipis jendelanya.

"Jangan ke sini dulu, deh," saran Lantang. Lesu karena tetap tak ada tanda-tanda kemunculan Ben. Ia mencari-cari alasan supaya tetap bisa mengunjungi Ben pagi ini. "Gimana, ya ... nyokap freaked out gitu semalam, dia nyaris nggak percaya itu bukan puntung rokok gue. Dan seperti yang bisa lo prediksi, begitu tahu itu punya lo ... ya, gitu, deh ...."

"I am so sorry," ucap Tyaga penuh sesal.

"Soal Ben ... gue semalam sempat disuruh nyokap mampir antar oleh-oleh, gue udah jelasin dan dia ngaku dia cuma salah paham—"

Tyaga menyambar. "Jelasin apa lo ke dia?"

"Gue bilang itu cuma bercandaan, tapi kayaknya dia paham kita dekat dalam tanda kutip."

Tak ada suara dari seberang.

"Kenapa? Lo keberatan kita dianggap dekat dalam tanda kutip?" tuduh Lantang karena Tyaga tetap tak bicara. "Gue sih udah males jelasin, gue pikir ... paling mau disangkal kayak apa ... dia udah lihat sendiri."

"Nggak ... gue malah aneh karena lo ngomongnya ... santai gitu, biasanya lo kan panik kalau topik pembicaraan udah ke arah sana."

"Mau gimana lagi?" Lantang beretorika. Pemuda itu menopang dagu, mengetuk-ngetuk pulpen ke meja gara-gara bosan. Ia sedang tak ingin mengobrol dengan Tyaga sekarang, pikirannya dipenuhi bayangan melewati hari mengupas lebih dalam sosok Luksa Benyamin yang begitu misterius.

"Gimana lagi apa?" Tyaga ternyata menanggapi celetukan Lantang.

"Yah ... udah kepalang basah. Gue cuma berharap dia nggak bocorin apa-apa ke bapak, atau ibu. Kalau iya ... habis deh gue."

"Kalau dia sampai ngomong aneh-aneh, gue bunuh dia!" timpal Tyaga serius.

Mendengar nada sungguh-sungguh dari lawan bicaranya, Lantang mencium ada yang tak beres dengan Tyaga Aharon. Biasanya, menanggapi hubungan mereka, Tyaga lah yang selalu jauh lebih tenang dan santai, kadang ia masih bisa membuat lelucon yang bagi Lantang sama sekali tak lucu saking serius permasalahan ini bagi Lantang.

"Hey ... are you okay?" Lantang menyelidik.

"I am not," jawab Tyaga lebih cepat dari perkiraan sahabatnya.

"Ada apa? Mama sama papa lagi?"

Meski tak melihat, Lantang bisa membayangkan bagaimana ekspresi Tyaga yang menjawab dengan bercerita. "Habis subuh tadi papa tau-tau datang. Mereka berantem parah, saling teriak kencang sampai gue dan pembantu rumah pada bangun. Dia bilang dia bakal usahain supaya gue nggak kemana-mana, pokoknya intinya dia nggak mau cerai karena nggak mau gue dibawa pergi, padahal di sini gue diurusin juga enggak. Karena mereka berantem di dalam kamar, gue nggak tahu apa yang dia bikin ke mama. Ujungnya, dia pergi lagi. Waktu mama ke kamar gue, gue lihat mukanya lebam. Kayaknya mereka nggak cuma berantem mulut—"

Lantang memekik ngeri.

Tyaga terus melanjutkan. "Sejak awal gue tahu segalanya nggak akan selancar yang mama pikir, tapi nggak nyangka aja jadi begini. Ini gue lagi nganter dia ke tempat pengacaranya. Habis ini dia mau diantar visum, dan gue disuruh balik duluan."

"Astaga, Tya ... gue nggak tahu mesti ngomong apa," tanggap Lantang berempati. "Itu ngeri banget, sekarang keadaan lo gimana?"

"Gue nggak apa-apa, tapi gue pengin ketemu lo, Lan ...."

"Yah ... ya udah ... ayo kita ketemu." Lantang berucap pasrah.

"Gue ke sana, yah?"

"Em ... Gimana kalau gue aja yang ke sana?" tanya Lantang.

"Lo ada bimbel?"

"Ada." Lantang berdusta. "Gue ke sana siang, ya? Gimana?"

Tyaga mendesah berat. "Oke ... jangan lama-lama, ya," pelasnya. "Gue butuh lo, Lan, gue pengin ngomong banyak sama lo."

"Oke ... gue ngerti. Get a grip, okay?"

Lantang memutuskan panggilan dengan perasaan bersalah setelah memastikan Tyaga akan baik-baik saja dalam perjalanan pulang. Hari masih pagi, tapi sudah begitu berat buat Tyaga, pikirnya. Namun, jujur saja, meski mungkin akan pahit bagi Tyaga bila pengadilan melarangnya ikut sang ibu, dia lebih senang jika Tyaga tak kemana-mana.

Lantang tak terlalu paham bahwa seorang anak yang sudah dewasa sejatinya sudah diperbolehkan memilih sendiri dengan siapa mereka tinggal setelah orang tuanya bercerai.

Ia memang ingin memisahkan diri dari Tyaga, tak ingin apa yang mereka lakukan selama ini berlanjut hingga mereka dewasa, tapi tidak dengan terpisah jarak demikian jauhnya. Lantang melenguh, kebingungan. Ia berjalan mondar-mandir memikirkan Tyaga, kemudian memutuskan bertengger di kusen jendela.

Melamun.

Di tengah terdamparnya ia dari dunia nyata, sayup-sayup terdengar burung bersiul. Seiring kesadarannya yang perlahan kembali sepenuhnya dari lamunan, siulan itu makin kencang, dan Lantang pun sadar itu bukan suara burung, melainkan bunyi buatan manusia. Jantungnya seakan jatuh ke lutut saat ia melihat ke bawah menemukan Ben tengah menyumpal mulutnya dengan jari, bersiap bersiul lagi.

"Hati-hati," imbau pria itu, alih-alih membunyikan peluit lidahnya.

Lantang mengusap dadanya berulang kali, bersyukur tak tergelincir jatuh menimpa deretan anggrek koleksi ibundanya.

"Kamu sudah mandi, Lantang?" Ben bertanya setengah berteriak, tanpa melangkah keluar dari balik pagar rumahnya. "Kamu jadi ke sini, atau mau terus di sana? Kalau nggak jadi, aku mau ke kota sebelah buat nyari cat dan peralatan melukis."

"Jadi!" seru Lantang cepat, buru-buru melompat ke dalam.

"Mau ikut belanja?" tawar Ben.

"Nggak, terima kasih." Lantang menjawab sopan. Kalau tidak memikirkan Tyaga, mungkin dia akan mempertimbangkannya. "Aku ke sana setelah mandi. Tunggu."

"Kutunggu."

Lantang sudah menarik diri, tiba-tiba kembali lagi menampakkan batang hidungnya pada Ben. Beri tahunya, "Aku hanya melamun, sama sekali nggak merokok."

Ben tersenyum lebar, mengacungkan dua jempolnya ke arah Lantang. "Aku tahu. Bir juga tidak, ya?"

"Tidak," jawab Lantang, membalas dengan menunjukkan kedua tangan kosongnya ke udara. "Jangan lupa kasih tahu bapak soal ini, okay?"

Tawa Ben makin keras. "Okay," serunya senang. Ia masih menengadah sampai Lantang benar-benar tak kembali lagi ke jendela.

Senyum masih membayang samar di bibir saat melangkah kembali masuk rumah.

Okay see you tomorrow, ya!

Kayak sebelumnya, saya akan post satu part hari ini dan satu part besok, jadi 13 dan 14.

Part 15 baru akan di-up kalau dua part ini udah minimal 300 votes aja, komennya yang banyak tapi nggak boleh spamming, LOL. Nanti part 15 post, part 16 hidden, request via IG seperti part 8 yang lalu. Will be notified in part 15.

So ... yang masih nunggu cetakan Senna, tolong komen di sini, ya? Yang serius aja. Bilang: aku, mau, atau apa aja terserah buat saya ngira-ngira harga cetaknya sama percetakan.

Yang silent reader, geez, get the fuck out of here, Lantang is specially written for my BELOVED readers only. Huahaha!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top