12. You See Through Me I See Through You
WARNING
BOYS LOVE
The work focused on boys/boys relationships
===========
Playlist:
Catching The Butterfly
*THE VERVE*
"Di sini saja," kata Lantang. "Aku harus buru-buru."
"Buru-buru? Mengapa?"
"Aku mau ... em. Belajar."
"Oh ... belajar." Ben menyeletuk kecewa. "Kamu sudah lulus SMA, kan?"
"Aku sedang menyiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi tahun ajaran depan."
"Ah ... ya ... ya ... mau ngambil jurusan apa nanti?"
"Teknik arsitek, seperi ayahku," jawabnya cepat, ingin segera menyudahi percakapan dan berharap ditinggal ke dalam usai menjawab. Bayangan canggung semalam masih menggelayuti benaknya. Bahkan, cara Ben menatapnya terasa tak sama lagi dengan sebelumnya.
Ia tahu itu cuma perasaannya, tapi kekhawatiran Tyaga tadi siang tak mampu ia tepis begitu saja.
"Piring ini perlu sedikit dicuci," kata Ben. "Ayo, masuklah. Aku punya beberapa buku yang mungkin bisa kamu baca saat diterima nanti."
Lantang mengernyit.
"Aku tahu sedikit tentang seni desain, dulu mantan istriku juga mahasiswa arsitektur," imbuhnya santai, yang seketika mengejutkan Lantang. Namun, seolah tak peduli, Ben meneruskan kalimatnya. "Sudah lama memang tak kusentuh, tapi aku masih menyimpan buku-buku lama mengenainya. Oh kenapa? Ayahmu nggak memberi tahu?"
Ayahmu nggak memberitahu? Merasa aneh, Lantang menggeleng. Apa saja yang mereka bagi dalam waktu sesingkat tempo hari? Hanya sambil menanti ibunya menyiapkan makan malam, pikir Lantang.
"Sudahlah, ayo, masuk dulu saja," bujuk Ben. Kemudian, dengan suara lebih rendah ia mengimbuhi. "I've been waiting for you. Rangga bilang ... ada sesuatu yang mau kamu katakan, kan?"
"Apa yang mau kukatakan?" Lantang menggumam bingung. Tapi, sebelum Ben menjelaskan, ia sudah lebih dulu paham. "Soal permintaan maafku? Bukannya sudah?"
"Memang sudah, tapi ada baiknya kamu masuk, supaya dia pikir kita sudah menyelesaikan segalanya dengan baik."
"Tapi bukannya memang sudah?"
Raut ramah Ben perlahan memudar. "Kalau kamu terus bersikap begini, aku khawatir hubungan kita akan kembali ke awal. Ayahmu mungkin sudah tahu siapa yang memukulku, tapi tentunya kamu belum menceritakan apa penyebab terjadinya pemukulan itu, atau bahkan soal ... kamu tahu, kan?"
Lantang masih berusaha menahan lengannya yang disentuh Ben, "Dari mana kamu tahu aku belum cerita semuanya ke bapak?"
Bibir Ben mengatup rapat, ia menarik embuskan napas tanpa suara, seraya kemudian merogoh saku celana dengan tangan yang tak memegangi piring. Setelah mengutak-atik sebentar, ia menunjukkan pada Lantang layar ponsel yang menerangkan adanya percakapan antara si pemilik kontak dengan kontak lain yang disimpan dengan nama Rangga beberapa menit lalu. Lantang mengetatkan rahang.
Sedekat apa ayahnya dengan pria ini sebenarnya? Baru bertemu beberapa hari, mengapa layaknya sudah cukup akrab sampai menyusun rencana di belakangnya? Lantang yakin ayahnya tak punya maksud buruk, tapi apa perlu beliau berbuat sejauh itu? Ia merasa dijebak. Dengan berat hati, Lantang akhirnya menyanggupi ajakan persuasif Ben yang menyentuh lengannya samar, tanpa paksaan sama sekali.
Begitu mereka berdua berada di balik pintu rumah Ben, pria itu berkata serius. "Dengar ... aku sama sekali tak bermaksud memaksa kalau memang kamu nggak ingin terlalu akrab denganku, Lantang. Tapi, kamu harus tahu ... ayahmu berusaha melindungimu supaya tak ketahuan Bestari dan aku sudah mengatakan bahwa aku akan membantunya. Kalau kamu tidak terlihat berbincang lama denganku, dia akan berpikir kamu menganggap enteng persoalan ini dan segalanya malah akan berlarut-larut."
"Aku minta maaf," ujar Lantang, tak menyangka ternyata Ben justru berusaha memahami keadaannya.
"Kamu mau minum apa?"
"Nggak usah."
"Lantang. Kamu mau minum apa?"
Lantang sontak menelan ludah, tapi bersikeras menolak. "Nggak usah—"
"What did I do to you, Lantang?" sergah Ben bertanya, menggeleng samar sambil bersiap meninggalkan ruang tamu. "What did I do that I deserve this kind of attitude?"
Kelopak mata Lantang membuka lebar tepat setelah ia sepenuhnya dipunggungi Ben dan ditinggal sendirian. Ia bertanya-tanya, apa benar Ben membuat ekspresi terluka setelah penolakannya, atau ilusi cahaya semata karena sebagian lampu di rumah itu sudah padam? Yang jelas, Lantang merasa bersalah.
Ia melangkah masuk, menuju dapur.
"Apa ada coke?" tanyanya di ambang pintu.
Ben yang tengah memindah kue dari piring ke piring, mengangkat alis. "Sudah malam, bagaimana kalau susu?"
Lantang mencebik, baru saja ia ingin bersikap lebih baik.
"Maaf. Apa kamu sudah terlalu dewasa untuk minum susu? Bagaimana kalau ... orange juice?" Ben menahan senyum. Pemuda yang berdiri jauh darinya itu mengangguk. "Duduk lah."
Duduk di kursi meja makan yang sama dengan pagi hari sebelumnya, Lantang menanti sampai Ben selesai mencuci piring ibunya dan menghampirinya dengan segelas jus jeruk. Sesudah mengucapkan terima kasih, ia meneguk sedikit jus di tangannya. Hanya permukaannya saja. Lantang tidak terlalu suka asam. Diletakkan kembali gelas itu di meja.
Matanya menjelajah.
Dibanding pagi kemarin, rumah Ben sudah terlihat jauh lebih bersih dan rapi. Sudut-sudutnya sudah tak berdebu, beberapa kardus dirapikan di sudut dan jumlahnya sudah jauh berkurang. Lubang-lubang didinding disumbat dengan paku baru dan digunakan untuk memasang lukisan, serta pajangan-pajangan kecil.
Sewaktu pria itu bergabung bersamanya di meja makan, sudut mata Lantang tak lagi menemukan tumpukan benda persegi yang kemarin bersandar di tembok menuju pintu belakang. Ia tersenyum menyambut Ben.
"Kenapa kamu nggak bilang apa-apa soal ayahku?" Lantang bertanya tanpa basa-basi lagi.
Ben menopang dagu, menatap Lantang yang menjatuhkan tatapan ke permukaan jus berwarna jingga. "Karena rumit. Kalau kubilang, kamu pasti panik. Kemungkinan ... kamu nggak akan jujur karena berpikir ayahmu sudah tahu semuanya."
"Aku masih nggak jujur meski ayah tahu semuanya," ungkap Lantang.
Kedua alis Ben naik.
"Ingat puntung rokok yang kumasukkan saku tadi malam?" tanya pemuda itu. "Kamu benar. Aku malah lupa membuangnya."
Ben menutup mulutnya sendiri.
"Senang?" sengit Lantang malu.
Tak urung, Ben tertawa tertahan. "Sudah jatuh, tertimpa tangga judulnya," celetuknya tanpa bermaksud meledek. "Apa kata ibu?"
"Dia hampir nggak percaya bahwa puntung rokok itu punya Tyaga."
"Tapi kamu juga merokok, kan?" sahut Ben.
"Tapi puntung rokok itu MEMANG punya Tyaga."
"Oke ...." Ben menyerah. "Terus? Bagaimana tanggapan ayahmu? Dia nggak cerita, kan, kalau Tyaga yang mukul aku ke ibumu?"
Lantang menggeleng, kembali menunduk ke permukaan jus jeruknya. "Aku nggak bilang Tyaga mengutil saat insiden pemukulan itu terjadi," katanya. Saat mengucapkan kalimat itu, manik matanya menangkap tatapan Ben tanpa mendongakkan kepala. "Apa aku bisa memintamu nggak bilang ke ayah soal ini?"
"Wooow ...." Ben mendesah takjub. "Ini seperti lembaran-lembaran rahasia yang rumit. Apa yang kamu bilang ke ayahmu? Dia pasti nanya kan kenapa Tyaga memukul?"
"Kubilang Tyaga sedang resah karena orang tuanya mau bercerai," jawab Lantang lemah, merasa tak enak pada Tyaga karena dalam semalam ia sudah menceritakan kisah kelam hidup sahabatnya sendiri pada dua orang lain—yang satunya bahkan orang asing—meski Tyaga tak secara spesifik meminta Lantang menyimpannya sebagai rahasia, atau apa.
"Itu bohongan?" Ben bertanya. "Soal orang tua Tyaga."
"Bukan, itu memang benar-benar terjadi."
Mulut Ben menganga sebelum kemudian tertawa pelan, jari-jarinya mengetuk meja. "Luar biasa, jadi hanya kamu lah yang pegang seluruh rahasia. Ibumu belum tahu siapa yang memukulku, tapi dia tahu puntung rokok itu milik Tyaga. Ayahmu sudah tahu siapa yang memukulku, merahasiakannya dari ibumu, tapi kamu diam-diam memberi tahu rahasia Tyaga untuk menyembunyikan alasan kenakalan kalian dari mereka berdua."
"Perceraian orang tua Tyaga bukan rahasia, semua orang pada akhirnya akan tahu!"
"Tapi Tyaga tak tahu kan kalau kamu pakai alasan itu alih-alih jujur tentang apa yang kalian lakukan?"
Lantang menunduk lesu. "Iya, sih ... aku nggak punya pilihan lain," keluhnya. "Aku juga bilang ke bapak supaya merahasiakan kaleng birnya yang hilang dari ibu, selain soal pemukulan itu, sebab kalau ibu tahu ... dia pasti akan benci sama Tyaga. Aku hanya bilang supaya bapak menceritakan tentang perceraian orang tua Tyaga, tapi mewanti-wanti ibu supaya tak membahasnya di depan Tyaga."
"Oh my God ... Lantang," gumam Ben.
"Ya, kan? Akujuga nggak percaya aku malah menceritakannya padamu," keluh Lantang menyesal.
"Mungkin aku harus menarik pendapatku soal kamu. Mungkin kamu bukan anak baik-baik kalau bisa menyusun skenario kebohongan semacam itu ... pada akhirnya ... yang kelihatan baik hanya satu orang saja, yakni kamu. Tyaga tampak buruk dari segala sudut pandang orang yang tahu mengenai serangkaian kejadian ini, tapi dirinya sendiri tak tahu bahwa semua orang sudah tahu. Aku jadi penasaran ... apa yang Tyaga akan pikirkan soal ini?"
"Tapi ini buat kebaikan semua orang!" sanggah Lantang bersemangat. "Semua ini diawali keusilan Tyaga sendiri. Kalau dia nggak berbuat kriminal dan memukul orang yang ternyata tetanggaku, sampai ayahku tahu ... semua ini nggak akan jadi rumit."
"Jadi kamu nggak akan bilang ke Tyaga kalau ayahmu sudah tahu?"
Lantang menggeleng.
"Sebab kalau dia tahu, dia juga jadi tahu bahwa kamu membocorkan rahasianya, kan?"
"Sekali lagi—"
Ben memotong. "Oke ... perceraian itu bukan rahasia," katanya. "Tapi tetap saja ... kamu adalah orang pertama yang ia beri tahu. Dia mungkin nggak menyangka kamu menggunakan hal itu untuk menyelamatkan diri."
"Menyelamatkan diri?" Lantang memekik. "Aku menyelamatkan dia. Kalau bapak dan ibuku tahu dia mengutil—"
"Bapak ibumu, kan?" Ben bertanya, kemudian meminum minumannya sendiri.
Seketika, Lantang yang sudah berapi-api, padam kembali. Ia mendengkus. "Tyaga juga nggak akan suka kalau bapak dan ibuku menyuruhku menjauhinya. Kalau aku bilang yang sebenarnya, mereka pasti akan menyuruhku berhenti bersahabat dengan Tyaga."
"Oh ya?"
"Yah ... mungkin ...." Lantang seperti berkumur-kumur. Paling tidak, ibunya pasti murka. Mungkin tidak lantas dilarang berteman, tapi mereka akan diawasi terus-menerus. Bagaimanapun, bapak dan ibu Lantang terlanjur menyayangi Tyaga. Satu kenakalannya tak langsung akan menghapus kebaikan Tyaga terhadap Lantang selama ini. Mungkin.
"Tapi kupikir ada benarnya." Ben sekonyong-konyong berubah pendapat. "Kamu dan Tyaga sangat ... dekat, kan?"
Lantang—mau tak mau—merujuk kalimat Ben dengan kejadian semalam. "Ada yang harus kuluruskan," katanya. "Tyaga sama sekali tidak seperti yang kamu duga. Dia sama sekali tidak menindasku, kami hanya bercanda."
"Tadinya, aku memang sempat yakin kamu di bawah pengaruhnya. Maksudku ... bukan hanya setelah aku melihat pertengkaran kecil kalian di halaman belakang sekolah saja, tapi juga saat kita bertatap muka di depan ruko, sebelum Tyaga tiba-tiba muncul, dikejar-kejar, dan akhirnya melayangkan pukulan padaku."
Lantang bersabar, menahan diri untuk tak berkomentar.
"Wajahmu saat itu ... jelas tak tahu menahu," kata Ben, melengkapi. "Jadi kupikir ... anak ini pasti dipaksa, atau—"
"Kamu sempat menuduh aku yang menyuruh Tyaga," Lantang mengingatkan.
"Aku hanya menggoda karena sudah menduga reaksimu pasti lucu," kekeh Ben. "Kalau memang kalian bersahabat baik dan tak ada lagi yang kamu sembunyikan, kurasa tak ada yang perlu kurisaukan. Kita sudah tak punya ganjalan lagi, kamu bisa bilang begitu kepada ayahmu."
Lantang mengangguk, tapi ia masih resah, terlihat dari bagaimana ia menggigiti bibir bawahnya. "Kamu ... nggak punya pertanyaan apa-apa lagi?"
Ben menyatukan alis di tengah. "Tak ada."
"Soal aku dan Tyaga?"
Gantian Ben yang menggigiti puncak bibir atasnya sendiri. "Kalian sangat dekat, kan?"
"Tyaga bilang ... it will pass," kata Lantang polos.
Ben mengalihkan tatapan, melindungi bibirnya yang tersenyum dengan kepalan tangan. Ia bersandar di punggung kursi, memperhatikan gerak-gerik Lantang yang justru bertanya bagaimana menurut Ben tentang ucapan Tyaga.
"Aku ... tidak punya teori macam-macam soal hubungan dua orang manusia yang saling membutuhkan, whether it will pass, or it's who you are ... sama saja. If it's love, it will win, if it's not, it will find a way—"
"Itu bukan cinta," decih Lantang meremehkan.
"Nafsu?" tanya Ben.
Lantang tak menjawab, nafsu juga sama saja tak enak di telinganya.
"Apapun itu," kata Ben. "Kamu nggak berutang penjelasan pada siapapun, Lantang. Nggak juga padaku. Jangan khawatir, aku sudah cukup dewasa untuk mengunci mulutku sendiri. Kamu nggak perlu bertanya, tentu saja aku akan menyimpannya untukku sendiri."
"Thanks," ucap Lantang kikuk.
"Sama-sama." Ben tersenyum tulus. "Jadi ... kuharap kamu nggak menghindariku lagi. Begini, aku memang pernah tinggal di sini, tapi itu duluuu sekali dan cuma sebentar, aku tak punya kenalan siapapun. Kalau kamu berkenan ... aku ingin kita berteman. Semua orang di sini pergi kerja pagi, pulang malam. Aku bekerja dari rumah saja, rasanya aku nggak lihat ada kehidupan selain dari rumah kita berdua."
"Apa pekerjaanmu, Ben?"
"Sebelum ini aku bekerja sebagai interior designer, tapi aku juga mengambil pekerjaan lepas yang berkaitan dengan segala macam desain, brand logo, kemasan, apa saja yang bisa kuutak-atik di depan komputer. Apa saja yang tak lagi harus kudatangi dari pagi sampai malam karena kondisi kesehatanku tidak begitu baik."
"Ada apa dengan kondisi kesehatanmu? Lalu kanvas-kanvas itu ... itu juga pekerjaanmu? Apa benar kamu sudah menikah? Di mana memangnya bekas operasi pisah kembar siammu, Ben?" berondong Lantang antusias.
Ben tersenyum geli. "Aku akan jawab satu-satu nanti, pelan-pelan saja. Ke sinilah kapanpun kamu mau, aku akan ceritakan padamu semuanya. Daripada belajar sendiri, kamu bisa belajar di sini, sementara aku bekerja. Kita bisa mulai hubungan baik dengan saling menemani. Bagimana?"
"Boleh saja, tapi sebentar lagi aku juga akan pergi dari sini," sahut Lantang pelan.
"Oh iya ...." Ben menepuk meja dengan buku jarinya. "Aku hampir lupa, mau tunggu sebentar biar kuambilkan buku-buku yang kubilang?"
"Boleh—"
Belum lagi beranjak, bel pintu rumah Ben berdentang. Terdengar suara Bestari memanggil nama putranya.
"Ibumu." Ben mendesis, berbalik arah. "Bagaimana ini? Bukunya masih ada di ruang baca dan sebagian belum kusisihkan."
"Oh kapan-kapan saja!" kata Lantang, meneguk setengah sisa jusnya demi kesopanan.
"Aku akan carikan dan berikan padamu besok, bagaimana?"
Nama Lantang dipanggil lagi dari luar.
Ben meringis. "Kurasa tak ada pilihan lain."
"Dia masih senewen soal puntung rokok itu, ya Tuhan ...," gerutu Lantang, menyahut piring di meja dan mengikuti Ben ke arah pintu depan.
"Lantang ..., Ben ...," panggil Bestari dari balik pintu.
"Ya, sebentar," sahut Ben sambil tergopoh-gopoh.
"Apa dia mengganggumu?" tanya Bestari cemas bahkan sebelum pintu dibuka. "Ya ampun, anak itu selalu banyak tanya...."
"Sama sekali tidak, Bes, tunggu sebentar Lantang sedang meghabiskan susu-nya," dusta Ben sambil tertawa sewaktu Lantang meninju pelan bahunya.
Sebelum ibunya makin marah, Lantang buru-buru meraih handle pintu. Saat hendak membukanya, Ben menahan jemarinya hingga membuat pemuda itu menoleh lagi.
"Datang lagi besok pagi," kata Ben, lembut, tepat di daun telinga Lantang yang memerah menahan malu.
"Buat bukunya?" bisik Lantang gugup.
"Buat menemaniku," jawab Ben sambil tersenyum diagonal sebelum menggantikan Lantang menyambut tamu. Begitu berhadapan dengan wanita yang melahirkan Lantang, senyum Ben bertambah lebar, terlalu lebar seperti senyum palsu.
"Maaf aku menahannya terlalu lama," katanya pada Bestari.
"Oh ... apa dia mengganggumu? Selalu saja berlama-lama kalau disuruh mengantar sesuatu," Bestari mendesah panjang, sementara Rangga yang ternyata menemani di balik punggungnya mengangkat bahu memohon maklum.
Lantang menyela. "Ibu yang nyuruh aku nunggu Ben mengganti piringnya."
"Seharusnya nggak perlu pakai dicuci segala, Ben," kata Bestari tanpa menghiraukan kata-kata putranya. Piring dalam dekapan Lantang berpindah di tangannya. "Sekali lagi ... maafkan kalau dia terlalu banyak pertanyaan, Ben.
"Tapi, aku nggak—"
Bestari memotong sanggahan Lantang lagi dengan bertanya pada Ben, "Dia banyak tanya, kan?"
"It's okay," jawab Ben riang. Ditepuknya bahu Lantang sekali sambil menatapnya. "Kami baru saja sedikit lebih akrab dari sebelumnya. Iya, kan, Lantang?"
Sesuai janji, hari ini update lagi, ya. Part depan di-update nunggu part 11 dan 12-nya 300 votes kayak biasa.
Gimana?
I've told you ... Ben is like a box full of secrets.
By the way ... yang ngikutin polling Tyaga di Instastory siapa, nih? Battle pertama yang menang Christian Yu, yaaa ... battle kedua kalau menang lagi berarti fix.
Sebenernya saya pengin bikin note tambahan buat promote cerita penulis lain yang temanya gay theme, mulai postingan part depan, deh, ya. Yang mau dishare ceritanya di postingan part depan DM IG aja, yaaa!
See you di part selanjutnya!
Kin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top