11. Just Relax Take it Easy You're Still Young

WARNING

BOYS LOVE

The work focused on boys/boys relationships

===========

Playlist:

Father And Son

*CAT STEVEN*

Sesudah mematut diri di depan cermin, Lantang mengangguk puas pada pantulan wajah dan tubuhnya. Ia telah segar dan wangi sehabis mandi. Petang itu ia mengenakan kaus katun putih tipis yang biasa ia kenakan tidur, tapi dilapisi sweatshirt abu-abu dari bahan rajut. Sebelum keluar kamar, ia mengencangkan tali drawstring pants-nya hingga terasa paling nyaman.

Namun, langkah-langkahnya yang terlanjur cepat menuruni tangga sontak terhenti saat Rangga memanggil dari ruang kerja yang terletak di sebelah kiri tangga, tepat di bawah kamarnya. Ia urung membelok ke kanan menuju dapur dan memilih memenuhi panggilan sang ayah. Karena sudah kebiasaan, pemuda itu tetap mengetuk saat mununjukkan batang hidungnya di ambang pintu.

"Cepat masuk," perintah Rangga.

Dengan gesit dan lincah, Lantang bergelantungan di kusen sebelum mengekeh bangga menghampiri bapak sambungnya.

"Ada apa, Bapak?"

Rangga melepas kacamata baca dan meletakkannya di sisi Macbook. Ia perhatikan Lantang yang menanti maksud panggilannya dengan wajah tanpa dosa. Dengan suara rendah, setelah bersandar di punggung kursi dan mengaitkan jemari, ia menembak tanpa basa-basi. "Kamu ambil bir bapak di kulkas, ya?"

Lantang memaki tak kentara.

"Iya, enggak?" tanya Rangga serius. "Kalau enggak, nanti bapak tanya saja ke ibu, kok jumlahnya kurang satu, apa ibu yang minum ... atau—"

"Iya ...," potong Lantang tak bisa mengelak. Kepalanya menunduk supaya tampak sangat menyesali perbuatannya. "Bapak mau ngadu juga ke ibu?"

"Kenapa enggak?"

Lantang mendongak. "Aku udah sembilan belas tahun, lagi pula itu cuma"—berbisik—"bir."

Rangga mengembuskan napas, meneliti tingkah Lantang baik-baik. "Belum genap. Lagi pula, you shouldn't be drinking before 21," tegasnya.

"Tapi aku minum anggur natal kemarin," bantah Lantang.

"Itu special occassion, ples ... kamu minum di bawah pengawasan orangtua. Siapa yang tahu apa yang kamu lakuin setelah minum tanpa ada orang dewasa di sekitarmu?"

"Tapi—"

Rangga menyetop interupsi Lantang dengan mengangkat tangannya ke udara. "Ngapain aja kamu kemarin, hm? Untung ibumu bilang duluan soal puntung rokok itu, kalau enggak... bapak udah keburu nanya kenapa kaleng birnya berkurang satu!"

Lantang hanya bisa mendesah putus harapan, merasa percuma juga ia membela diri. Meski demikian, ia tetap mencoba. "Aku nggak ngapa-ngapain, sumpah demi apapun! Malah ... aku baru minum seteguk, terus aku dipanggil Ben dan kaleng bir-ku jatuh. Tumpah semuanya."

"Lalu ... puntung rokok itu? Punyamu, atau punya Tyaga?" Rangga menginterogasi.

"Sumpah juga demi apapun, itu punya Tyaga, Pak, aku mana berani merokok," bual Lantang.

Mata Rangga masih menyorot curiga. Sumpah demi apapun yang lolos dari mulut Lantang sejujurnya sama sekali tak mengubah praduga bersalahnya pada anak itu. Ia pun pernah muda, akhirnya memutuskan merokok atau tidak, wajar bila remaja pria seusia Lantang mencoba-coba. Dia hanya ingin putranya lebih terbuka padanya, jika sulit baginya jujur pada sang ibu.

"Jadi, apa hukumanku?" tanya Lantang lesu.

"Bapak belum selesai," kata Rangga. "Masih ada satu pertanyaan lagi."

Lantang menjatuhkan bahu.

Berniat membisik, Rangga memajukan kursi supaya jaraknya dengan Lantang berkurang. "Kamu lagi sama Tyaga nggak waktu dia mukul Benny sore itu?" tanyanya.

Kelopak mata Lantang membuka lebar, mengekspos bola mata cokelat terangnya bulat-bulat. Setelah beberapa detik berselang, pemuda berhidung mancung itu baru bisa membuka mulut dan bersuara. "M—maksud bap—bapak?" tanyanya terbata.

"Udah ... jujur saja," imbau Rangga.

Perlahan, badan Lantang mencondong ke depan. Rautnya masih panik. Setelah menoleh ke belakang memastikan tak ada ibunya menguping di pintu, ia membisik. "Tapi bapak kok tahu Tyaga yang mukul Ben?"

Mendengar pertanyaan Lantang, gantian Rangga yang nyaris tak percaya. Mulutnya melongo sekejap sebelum akhirnya menggeleng takjub. "Dasar anak nakal," kecamnya lirih, tapi tajam. "Benny yang cerita—"

"Ben?!" ulang Lantang nyaris memekik. "Ben?"—lebih pelan—"Ben bilang ke bapak? Kapan?"

"Dia memang nggak nyebut secara langsung bahwa itu Tyaga, dia nyebutin ciri-cirinya. Waktu malam kamu malah pergi nyari ID cardmu," jelas Rangga.

Napas Lantang yang sempat tertahan karena terkejut terbuang lega. Ia pikir Ben melanggar janjinya. Ia memang sudah siap kecewa, tak ada jaminan rahasianya akan aman, tapi sangat berharap Ben tak mengecewakannya.

"Ibumu lagi nyiapin makan malam waktu Benny cerita ke bapak soal insiden pemukulan itu. Ciri-cirinya mirip sama Tyaga, dan ... kamu. Bapak yang nyuruh dia nyimpan rahasia ini dari ibu, dan janji bakal ngasih kamu hukuman atas perbuatanmu."

"Tapi kenapa dia nggak bilang-bilang?" Lantang bertanya pada dirinya sendiri.

Rangga tak mendengarkan. "Kamu udah minta maaf ke dia?" tanyanya lagi.

Lesu, Lantang mengangguk. Karena tak akan mendapatkan jawaban dengan menanyai diri sendiri, Lantang menanyai ayahnya. "Kok dia nggak bilang bapak tahu?"

"Mungkin dia nggak menyangka bapak akan benar-benar nanyain, atau menghukum kamu. Malam itu dia juga bilang bahwa dia tak apa-apa," jawab Rangga. "Yang mau bapak tanyakan—"

Lantang menyahut. "Katanya tadi cuman satu lagi?"

"Itu kalau kamu menyangkal. Karena kamu udah mengakui perbuatanmu, jadi pertanyaannya nggak selesai di sini sampai ibumu manggil ke meja makan."

Lidah Lantang mendecap, pasrah.

"Yang mau bapak tanyakan." Rangga mengulang kalimat setelah memijit di antara matanya karena letih. "Kalian ngapain sampai mukul dia segala, hah?"

"Dia enggak cerita?"

Rangga menggeleng. "Kami keburu dipanggil ke meja makan, lalu pulang dari rumah nenek tadi ... dia sudah nggak seterbuka kemarin dan terus bilang nggak usah dibahas aja," jawab pria yang sudah menganggap Lantang darah dagingnya sendiri. "Kenakalan apa yang kalian perbuat sampai insiden itu terjadi?"

Lantang mendesah, mengeliat resah di kursinya. "Nggak adaaa—"

"Hey," hardik bapaknya. "Bilang sama bapak ... atau bapak aduin ke ibumu."

"Semua aja ngancam Lantang begitu," rutuk Lantang masygul.

"Ya kalau memang kamu pantas, kamu nakal, sudah banyak yang bapak tutupin dari ibumu. Waktu kamu menghilang pas Ben diundang makan malam, kamu ke mana?"

"Ke Tyaga."

"Menyusun rencana apa lagi kabur ke sana segala? Kamu pasti udah tahu kan ternyata tetangga kita adalah orang yang kalian celakai?"

"Nggak ada, aku nggak ngerencanain apa-apa!"

"Oke ... terserah kamu," kata Rangga, menyerah. "Jawab aja pertanyaan yang tadi."

"Tuh kan, semua nyecar aku. Nggak ada yang nanyain Tyaga, Ben juga nggak mau ngomong sama Tyaga," gerutu Lantang, masih berusaha mengelak.

Sayangnya, hal itu sudah tak mempan buat ayah sambungnya. "Lantang ... yang anak bapak itu kamu, bukan Tyaga," tegas Rangga, menahan kesal menghadapi usaha Lantang memanipulasi dengan tampang memelas. "Ben juga sama. Setelah bapak ngomong bahwa kemungkinan yang mukul dia itu sahabat anakku, jelas dia nggak mau ngebahas lebih lanjut sama Tyaga. Nah ... sekarang ... sebelum ibumu ke sini ... bilang, apa yang kalian lakuin sampai mukul Ben segala?"

Lantang menggoyang-goyangkan rahang, mengalih-alihkan tatapan dari Rangga yang mengawasinya, sambil menimang cepat. Alasan apa yang tidak mengharuskannya mengakui perbuatan Tyaga di toko itu, kalau ayahnya tahu mereka mengutil, nggak mungkin dia dilepas begitu saja, pikirnya ruwet.

"Lantang," sebut Rangga.

"Tapi ini rahasia, ya?" Lantang mulai memainkan strateginya. Rangga tak mau berjanji, tapi Lantang tetap melanjutkan ceritanya. "Soalnya ... Ben parkir mobilnya ngalangin motor Tyaga. Kami klakson-klakson, nggak ada yang datang mindahin mobil. Ya udah ... Tyaga kehilangan kesabaran waktu Ben muncul."

Dahi Rangga mengerut. "Tyaga? Hanya karena hal seperti itu? Kayaknya dia bukan tipe yang mudah naik pitam begitu."

"Soalnya Tyaga lagi gusar," tambah Lantang buru-buru. Walaupun sebenarnya, Tyaga tak sepenuhnya semanis dugaan orang tuanya. Dia juga mudah naik pitam dan melayangkan pukulan, apalagi dengan badan sebesar itu. Hanya dengan Lantang saja pemuda itu melemah lembut dan mudah menurut. Namun, bukan saatnya membetulkan anggapan orang tua, sebab akan panjang urusannya. Orang tua selalu melihat seorang anak dari apa yang anak itu perlihatkan, yang sebenarnya paling hanya berapa persen saja dari yang sebenarnya. Tak hanya dirinya, tapi juga Tyaga, atau siapapun—Lantang yakin—juga demikian.

"Gusar mengapa?"

Lantang mendeham membersihkan kerongkongan. "Tapi rahasia."

Mata Rangga memejam, menahan gemuruh dada yang sudah hampir meledak tak sabar.

"Pokoknya ... jangan dibahas di depan Tyaga, ya?"

"Lantang!" bentak Rangga keras, Lantang sampai harus mendesis mengacungkan telunjuk di depan bibirnya.

Takut bapaknya lebih marah, Lantang cepat-cepat membisik. "Mama dan papanya Tyaga tuuuh ... mau cerai!"

"CERAI?" seru Rangga tertahan, kemudian menutup mulutnya sensiri.

Tentu saja ia sangat terkejut dan tak mampu menyembunyikannya. Ia tahu Aharon, ayahanda Tyaga, sudah memiliki keluarga baru yang menyebabkan keretakan hubungan dengan istri sahnya, tapi tak menyangka saat akhirnya mereka memutuskan mengakhiri mahligai pernikahan. Keluarga Tyaga dan keluarganya berbeda keyakinan, dan dalam keyakinan keluarga Tyaga hal itu diperbolehkan. Dengan mulut membuka dan alis naik, Rangga mengonfirmasi lagi informasi tersebut yang diiakan oleh Lantang dengan anggukan kepala.

"Astaga ...." Rangga akhirnya bisa mengatupkan mulutnya kembali, mengelus dada. Segalanya secara otomatis menjadi pantas dimaklumi setelah apa yang ia dengar. Sementara itu, Lantang berdoa semoga sang bapak mematuhi syaratnya tak menyebut-nyebut perihal tersebut di depan Tyaga, ataupun Ben. Sebab, meski memang benar, jelas perceraian orang tua Tyaga bukan penyebab mereka memukul Luksa Benyamin.

"Terus? Apa dia baik-baik aja sekarang? Gimana ceritanya?"

"Ceritanya panjang," kata Lantang, membubuhkan nada penuh misteri. "Aku nggak mungkin membeberkan derita sahabatku, Pak."

"Oh ... Oke ...." Rangga mengangguk-angguk.

"Pokoknya Tyaga terpukul banget. Makanya waktu itu dia jadi emosional, Pak," imbuh Lantang supaya makin meyakinkan. "Tyaga juga malu, makanya bapak jangan bilang ke ibu soal pemukulan Ben. Habis nemu putung rokok itu, ibu bisa-bisa ngelarang aku main sama Tyaga lagi kalau tahu dia yang mukul Ben ... please ...."

"Tapi ... kalau ibu tahu apa yang terjadi sama keluarga Tyaga, mungkin ibu maklum—"

"Ya ampun, bapak ... bapak kayak nggak tahu ibu aja!"

"Sebenarnya ... wajar kalau ibu khawatir. Bukannya mau membatasi pergaulanmu, tapi kalau Tyaga punya kecenderungan emosional seperti itu ... kamu sebaiknya nggak usah terlalu dekat sama dia, Nak .... Bapak percaya kamu nggak mudah terpengaruh, tapi ... yah ... gimana, ya ... Tyaga sepertinya lebih dominan dalam pertemanan kalian... jangan sampai kamu terseret ke hal-hal yang kurang baik, ya?"

"Tyaga nggak kayak gitu, kok," sanggah Lantang tak terima. "Itu hanya akibat kelabilannya menghadapi berita buruk. Aku juga pernah ada di posisinya, jadi sedikit banyak aku paham."

"Ya ..., bapak ngerti. Pasti sulit buat dia menghadapi semua ini."

"Lagian ... Tyaga sebenarnya udah pengin minta maaf ... hanya saja ... Ben nggak mau ketemu sama dia."

"Mungkin dia butuh waktu."

"Lalu ... soal rokok itu—"

Rangga buru-buru mengebas tangannya ke udara. "Rokok itu wajar lah, nanti bapak yang meyakinkan ibu supaya nggak membahasnya. Kalau soal perceraian orang tua Tyaga ... nggak apa-apa, kan, dikasih tahu ibu?"

"Asal jangan dibahas di depan Tyaga."

"Oke ... sebab ... kalau kamu mau ibumu berhenti menyoal puntung rokok itu dengan Tyaga, kita harus punya alasan kuat buat menahannya. Or else ... takutnya Tyaga lagi labil dan tersinggung sama teguran ibu. Kalau soal rokoknya sendiri ... sudahlah, bapak juga mungkin masih ngerokok kalau ibumu nggak menjadikan berhenti merokok sebagai syarat menerima lamaran."

Lantang tertawa kecil. "Makasih, Bapak," ucapnya.

Wajah Rangga yang tegang sejak awal terjadinya perbincangan, mengendur. Senyumnya terkulum. "Ya udah sana ... makan malam, lalu pergi ke rumah Ben bawain oleh-oleh, sekaligus minta maaf lagi—"

"Kan aku udah minta maaf."

"Ya udah kalau gitu bilangin bapak yang minta maaf kali ini," kata Rangga, gemas lagi. "Sana cepat, keburu ibumu curiga kita ngobrol berdua kelamaan."

"Oke," ucap Lantang. Akan tetapi, meski sudah bangkit dan menata kembali kursi yang ia duduki, Lantang tak segera pergi. "Bapak ...."

Rangga yang sudah memakai kembali kacamata bacanya mendongak. "Hm?"

"Selain soal ... insiden pemukulan itu ... apa Ben nggak ngomong apa-apa lagi?"

"Kenapa?" Rangga malah balas bertanya. "Apa kalian melakukan kenakalan lain selain itu?"

"Enggak."

"Kalau begitu enggak, tak ada lagi. Segera ke dapur sebelum ibumu manggil. Bapak nyusul sebentar lagi."

Di dapur, Bestari menyambut dingin kehadiran putranya. Biasanya, ia akan repot mengomel dan menyuruh-nyuruh Lantang membantunya menyiapkan ini dan itu, malam ini Lantang didiamkan. Tempat duduknya pun bersih. Tak ada piring, tak ada sendok, tak ada gelas air putih.

Tahu diri, Lantang bangkit kembali untuk mengambil peralatan makannya sendiri.

"Cuci sendiri nanti kalau udah selesai makan," ketus ibunya.

Lantang mengatur alat makan tanpa menimbulkan suara, mengangguk saja.

"Awas, ya ... kalau ibu bisa buktiin itu bukan puntung rokok Tyaga, tapi punya kamu," geram Bestari, gemas melihat Lantang demikian santai dan tenang.

Setelah bincang-bincangnya dengan sang bapak, tentu saja Lantang berusaha menahan diri demi menghindari permasalahan baru. Ia duduk menanti suami ibunya bergabung dan makan dengan rapi dan patuh. Semua lauk dan sayur yang dia taruh di piring dihabisinya tanpa sisa. Begitu selesai, ia mohon diri dengan sopan, mencuci piring dan menanyakan apa yang harus ia bawa ke tetangga depan rumah.

"Ditungguin," perintah ibunya.

Lantang mencebik tak bersuara.

"Itu piring antik dari tante kamu, ditungguin sampai Ben selesai menggantinya di piring baru."

"Kalau gitu, pakai piring biasa saja," usul Lantang yang langsung disambut lirikan sadis sang ibu yang belum selesai makan.

Rangga diam-diam melirik putranya, memberi isyarat supaya menurut saja.

Gontai, Lantang mengangkut piring keramik lebar berisi macam-macam kue oleh-oleh keluar rumah. Langkahnya terayun berat dan malas. Sesudah semalam, dia begitu enggan bertemu Ben saat ini. Bukan karena benci, melainkan karena hal lain yang ia sendiri tak mampu melukiskannya. Setelah mengulur-ulur waktu, menutup pagar kembali padahal biasanya ia selalu lupa, sampai juga langkahnya di depan pintu rumah Ben.

Ia mengerling. Papan nama Eyang Trisna sudah hilang, berganti papan lain yang tak lagi baru berukir nama lengkap Ben.

Begitu menekan bel, pintu di depan hidung Lantang berbunyi. Seolah sudah menantinya di balik pintu, Ben muncul terlalu cepat, membuat Lantang terhuyung mundur.

"Lantang," sebut Ben lembut.

Lantang berusaha tersenyum. "Ada oleh-oleh," katanya seraya mengulurkan piring.

"Wow, banyak sekali," celetuk Ben, menerima angsuran tangan Lantang. "Sampaikan terima kasihku pada ibumu."

"Aku menunggu."

Ben menatapnya tak mengerti.

"Piringnya," terang Lantang. "Itu piring antik berharga punya ibu, dari tante."

"Oh ... baiklah. Akan kuganti segera," kata Ben menggantung. Matanya melirik penuh arti saat menyambung, "asal ...."

Lantang menahan napas, memincingkan mata menanti syarat yang diajukan Ben.

"Kamu masuk dulu," pungkas pria itu.

Jantung Lantang berdebar-debar tak keruan. 

Oh my God, lama banget sih updatenya woi. Cuma open part selanjutnya 300 votes aja lama banget, kalian pada ngapain, sih?

Ngahahaha! Enak, kan? Biasanya penulis dimarah-marahin gara-gara nggak update-update, sekarang penulis yang marah-marah karena nggak bisa update. 

Okay, now, listen up, kalau mau cepet update ya udah kerahkan vote dan komen yang banyak buat open part selanjutnya. Nggak banyak, sih, cuma 300 aja, kok. Sekali lagi, kalau dilihat dari jumlah file part 8 yang saya kirim, harusnya 300 vote itu mudah.

Makanya share2 cerita ini dan promote ke temen kamu yang suka gay theme supaya baca jadi cepet masuk vote-nya. LOL

Okay ...

Kali ini karena saya lagi syantique, tapi bukan sok syantique, saya bakal dobel update malam ini dan besok malam, gimana?

Jadi, besok, masuk 300 votes atau enggak, saya update part 12.

Tapi, buat ke part 13 hanya akan diupdate kalau part 11 dan 12-nya udah 300 votes.

Yang bikin saya bete banget kemarin tuh, bukan hanya lamaaa votesnya nyampe 300, malah ada yang unvote. WTF maksudnya apaaahhh?

Terus kalau kalian berhenti baca di sini juga sayang banget, saya masih punya banyaaak sekali kejutan di cerita ini. Siapa Rangga, siapa Ben, apa hubungannya, apa yang akan terjadi sama Tyaga, antara Tyaga dan Ben, antara Tyaga dan Lantang, apalagi antara Lantang dan Ben. Hmmm... part 17 akan kembali kita share seperti part 8, ya. So keep voting, commenting, and follow Senna_anovel di IG

See you tomorrow!

Love Wins,

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top