10. All We Seem to Know is How to Show The Feelings That are Wrong

WARNING

BOYS LOVE

The work focused on boys/boys relationships

===========

Playlist:

Don't Go Away

*OASIS*

Tyaga memperhatikan Lantang melamun sambil menyedot coke di seberangnya. Ia menyanggupi ajakan Lantang untuk bertemu segera setelah membaca pesan singkat kawan karibnya tentang kejadian malam sebelumnya. Namun karena Tyaga baru bangun menjelang siang, mereka baru bertemu sore hari. Lain dengan nada yang terbaca di pesan singkatnya, Lantang sudah jauh lebih tenang.

"Jadi kayak gitu kelihatannya di mata orang lain," gumam Tyaga tak puas.

Lantang meliriknya. "Gue akan jelasin ke dia tentang hal yang sebenarnya terjadi nanti, begitu ada kesempatan."

"Kenapa nggak sekalian semalam lo jelasin?"

"Karena gue panik, Tya, gue langsung masuk-"

"Pasti dia mikir gue nge-bully lo," potong Tyaga jengkel, tangan besarnya mengepal di atas meja. "Pantesan dia nggak mau nerima maaf gue soal pukulan sore itu. Dia pikir emang gue orangnya suka bikin rusuh. Kenapa lo mesti takut sama dia?"

Lantang hanya mendengkus, membuang tatapannya ke luar melewati kaca jendela restoran makanan cepat saji satu-satunya di tempat itu.

Bukannya takut, lebih tepatnya Lantang tak tahu harus berkata apa. Ia terlalu syok untuk bereaksi selain menolak. Ben-dalam satu detik yang singkat-seperti mengubah pandangan tentangnya begitu saja. Ia seperti melihat anak itik tersesat yang harus segera diselamatkan. Sentuhan pria itu di pipinya sewaktu Lantang mematung terasa aneh, seolah mengandung makna tersendiri. Terasa sama seperti bagaimana Tyaga menyentuhnya setelah kejadian di bumi perkemahan dulu.

Kenapa ia memandangnya seperti itu?

Tanpa sadar, Lantang menggidik bahu.

Dan Tyaga menyadarinya. "Apa dia ngomong, atau berbuat sesuatu selain yang lo ceritain ke gue?" desaknya.

"Enggak." Lantang menggeleng tegas. "Hanya itu dan gue akan meluruskannya segera."

"Lan, gue memang keberatan dia nganggep gue kayak gitu, tapi gue lebih peduli kalau dia berbuat nggak baik sama lo."

"Berbuat nggak baik kayak gimana?"

"Ya apa, gitu," ujar Tyaga gusar. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Lantang, bicara dengan suara rendah, penuh tekanan."Kalau dia memang khawatir soal perlakuan gue ke lo, kenapa dia nggak nanya dari awal? Gue takut lo malah bakal diancam sama dia lama-lama, dia tahu lo takut kalau dia sampai ngadu ... lo baru kenal dia sehari, Lan, lo harus hati-hati."

Lantang malah tak memercayai apa yang ia dengar dari mulut Tyaga dan menggeleng meremehkan. "Kalau gue ngelihat kejadian yang sama terjadi sama tetangga gue, gue juga nggak akan langsung nembak nanya kali, Tya. Gue akan nyari saat yang tepat, atau malah nunggu dia sendiri yang cerita sama gue. Gue cuma ... cuma ...."

Lantang hanya bingung dengan cara Ben menyentuh dan menatapnya, tapi jika ia utarakan hal itu pada Tyaga, akan makin sulit menjelaskan apa yang ia maksud. Semua hanya mampu ia rasakan, tapi sulit ia ungkap dengan kata-kata.

Setelah membujuk Lantang supaya tenang, Ben dengan hati-hati membawa tubuh kurus remaja itu dalam pelukannya. Ia usap berulang kali bahu yang menggigil setelah rahasia besar itu terungkap, sampai akhirnya Lantang bernapas tanpa sengal, dan berusaha melepaskan diri dari tubuhnya. Ketika Ben menanyakan apakah ia merasa jauh lebih baik, Lantang kembali tertegun. Bukan hanya bertanya, jemari Ben mengusap pipinya. Buku jari telunjuknya yang berhenti tepat di dagu Lantang, menekannya lembut hingga bibir tipisnya menganga kecil ... itulah yang tak mampu ia gambarkan di depan Tyaga. Lantang malu sendiri diperlakukan seperti bagaimana Tyaga memperlakukannya oleh pria lain karena selama ini ia bersikeras pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan sudi jika bukan dengan Tyaga.

Ketika ia membayangkan apa yang akan dilakukan Ben terhadapnya, Lantang merasa tak mampu lagi menyangkal. Ini bukan hanya karena Tyaga, tapi karena memang dia tak keberatan jika kemesraan itu ia dapatkan dari sesama lelaki. Siapapun dia.

"Cuma apa?" sentak Tyaga tak sabar.

"Cuma panik," sambung Lantang, diam-diam bersyukur menemukan satu kata yang tepat dalam keadaan gusar. "Apa menurut lo rahasia kita aman?"

Tyaga tak menjawab, hanya alis tebalnya yang tak berhenti mengerut sejak tadi. Ia menatap Lantang penuh curiga. Baru setelah Lantang menyebut namanya lagi, ia lepas napas berat sambil mengetatkan rahang. "Dia nggak akan cerita, tapi gue yakin dia nggak akan ngelepasin lo begitu aja."

Lantang kembali cemas, Ben memang memintanya melakukan sesuatu yang sampai saat ini belum diungkapnya, apa itu maksud Tyaga, pikirnya. Sambil menggigit bibir mengintip ekspresi Tyaga, Lantang mempertimbangkan memberi tahunya, atau tidak.

Saat Tyaga Sekonyong-konyong menggebrak meja meluapkan kekesalan, Lantang segera membuang niatnya jauh-jauh.

"Kalau dia nyuruh lo ngelakuin sesuatu yang aneh, lo harus nolak, ngerti?" kecam Tyaga tanpa basa-basi. "Nggak usah nanya apa contohnya, gue yakin lo tahu apa maksud gue. Sekarang ini ... banyak orang jahat, Lan, nggak usah yang kita nggak kenal, orang terdekat kita aja bisa mengancam keselamatan kita. Jangan lo pikir karena dia tetangga lo, terus dia nggak mungkin berbuat jahat. Sekarang yang penting dia pegang rahasia lo, dia tahu lo takut rahasia itu terbongkar, bisa aja dia-"

"Bisa aja apa?" sahut Lantang. "Apa menurut lo lebih masuk akal kalau dia cerita ke bapak-ibu gue, gitu?"

"Ya iya lah, kebanyakan orang dewasa kayak gitu."

"Kemarin lo yakin dia nggak akan ngadu."

"Ya kemarin gue pikir dia cuma nangkap basah kita ngelakuin kenakalan anak-anak biasa, ini lain, dia ngelihat kita lagi begitu di halaman belakang sekolah. Dia tahu hubungan kita ke arah mana, tapi dia nggak bersikap kayak kebanyakan orang dewasa. Orang dewasa pada umumnya pasti bakal nyeramahin lo, apa lo nggak ngerasa ganjil? Ini kayak ... dia menganggap apa yang dilihatnya wajar, dan kalau memang dia berpikit gue nindas lo, kenapa dia justru menghindar bertemu gue? Dia punya dua alasan buat ngejauhin lo dari gue, kalau memang dia hanya mau lo terhindar dari masalah," papar Tyaga panjang lebar, emosional.

Sementara itu, Lantang di seberangnya hanya terpaku. Setelah dilihatnya napas Tyaga teratur kembali, Lantang justru bertanya. "Lo cemburu?"

Tyaga memelotot.

"You sounds jealous," kata Lantang sambil menggeleng-geleng. Ia bahkan tak menghiraukan sangkalan Tyaga kemudian. "Lo mikir terlalu jauh, gue sih mikirnya dia lebih peduli sama gue daripada lo karena gue tetangganya. Dia nggak mau ikut campur masalah kita karena dia tahu kita dekat, jadi dia nggak mau serta merta ngerusak hubungan kita, atau bisa jadi dia masih jengkel karena lo mukul dia. Karena itu pula dia mikir gue ada dalam pengaruh lo ...."

"Terserah lo aja, satu yang pasti dan menurut gue aneh banget," kata Tyaga.

Lantang menyeruput coke-nya sampai habis.

"Dia biasa aja ngeliat kita ciuman."

"We didn't kiss," sangkal Lantang.

"Almost." Tyaga bersikeras. "Dia pasti nggak bodoh lah, dia bisa nahan diri ngasih tahu lo apa yang dia lihat-yang mungkin buat sebagian orang sangat menjijikkan, orang lain mungkin udah teriak, atau nggak mau berurusan sama sekali ama lo-masa dia nggak bisa memprediksi apa yang kita lakuin selain apa yang dia saksiin?"

"Arrrgh! Pusing gueee," pekik Lantang sambil mengacak rambut frustrasi. "Misal pun dia nggak cerita apa-apa, tapi gue tetep aja aneh kalau ketemu, atau papasan sama dia. Apalagi kalau lihat kita bareng, dia pasti bakal langsung mikir ke arah sana."

"Menurut gue ini tetap aneh." Tyaga menggerutu sendiri. "Gue sempat yakin dia bakal nyuruh gue minta maaf, at least ke dia soal pukulan gue, ini enggak. Terlebih ... bahkan setelah dia nyaksiin apa yang kita lakuin dan menganggap gue penindas ... dia sama sekali nggak berniat menghentikan gue dengan ngajak gue ngomong, atau apa."

"Menurut gue dia hanya bersikap hati-hati," bantah Lantang. "Dia nggak mau main hakim sendiri, makanya dia nunggu gue yang nanya, atau cerita. Dia nggak mau gegabah."

Tyaga tak menyahut.

"Makanya gue bilang lo kayak orang cemburu, pikiran lo nggak jernih. Kalau lo pakai pikiran jernih, harusnya lo nggak mikir jahat, tapi mikirin dia bakal beberin rahasia kita atau enggak."

"Ya bukan lo yang dianggap tukang tindas, Bro, gue tersinggung lah."

"Ya udah sih entar gue lurusin. Kenapa jadi lo yang nggak santai?"

Sebagai penghabisan perdebatan sengit tersebut, Tyaga mendecap sambil bangkit untuk memesan makanan lain lagi. Namun, Lantang terpaksa tak bisa bergabung menyantap pesanan Tyaga, ibunya mengabari bahwa ia sudah sampai rumah lebih cepat dari rencana.

"Kalau dia aneh-aneh, lo kasih tahu gue. Ngerti?" pesan Tyaga sambil melepas Lantang duluan.

Sembari mengenakan helm dan menghidupkan mesin motor, Lantang mengangguk. Dalam hati, melihat reaksi Tyaga tadi, Lantang malah tak berniat memberi tahu apa-apa jika sesuatu terjadi.

***

Entah sengaja, atau tidak, Ben muncul saat Lantang selesai memarkir kendaraan di halaman rumah. Sosoknya tertangkap pantulan spion motor, tengah menjinjing plastik hitam yang kemungkinan adalah sampah rumah tangganya.

Gara-gara kepanikannya malam itu, Lantang tak punya nyali lagi bertatap muka dengan Ben. Begitu menanggalkan helm dan menyangkutkannya di spion, pemuda itu lari tergopoh masuk rumah. Sesudah menanggalkan sepatu dan meletakkannya di ujung tangga, ia berniat menyapa ibu bapaknya sebelum mendekam di kamar.

Anehnya, tak ada suara terdengar saat Lantang memasuki ruang tengah. Biasanya, obrolan di dapur terdengar dari sana. Si putra tunggal melangkah hati-hati, mendapati Rangga-suami ibunya-duduk di barstool menghadapi Bestari di balik meja dapur, tengah memilah-milah barang bawaan dari kota tempat neneknya tinggal.

"Halo," sapa Lantang canggung, mendekati bapaknya yang hanya membalas sapa dengan menaikkan alis. "Kenapa, nih?"

"Kamu dari mana?" tanya Bestari, mengulurkan tangan supaya disambut oleh putra semata wayangnya.

"Jalan-jalan," jawab Lantang, beralih menyambut punggung tangan Rangga. "Kok diem-dieman, nggak ada apa-apa kan di jalan?"

"Nggak ada," sahut Rangga dengan suara berwibawa. "Nenek sudah baikan waktu kami pulang."

"Aku pikir pulang besok," celetuk Lantang tanpa maksud apa-apa, mengintip jajanan apa saja yang dibawa ibunya dari kampung halaman.

"Kenapa memangnya?" malah balas tanya Bestari, curiga.

"Nggak kenapa-kenapa, cuma nanya aja. Semalem bukannya ibu bilang pulang Minggu sore, atau besok paginya?"

"Ini kan Minggu sore."

Alis Lantang menyatu. "Kenapa sih kok aneh nada bicaranya? Aku 'kan cuman jalan keluar sebentar, kemarin seharian juga aku di rumah."

"Iya ... nggak apa-apa, kok," kata Rangga tenang. "Bapak mandi dulu aja, ya? Gerah. Minggu depan kalau nggak ada halangan, kita jenguk nenek lagi."

"Iya, aku ikut aja Minggu depan. Di rumah juga malah dicurigai macam-macam." Lantang menyindir, berbalik arah mengikuti Rangga meninggalkan dapur.

"Memang siapa yang curiga?" tanya Bestari, menghentikan langkah Lantang. "Kamu pergi sih pergi, jangan lupa nutup jendela kamar, emang nggak bisa?"

Langkah Lantang terhenyak, tapi seketika perasaannya lega karena ternyata sikap aneh ibunya hanya akibat ia lupa menutup jendela kamar yang terletak di lantai dua. Ia melangkah mundur, dan baru berbalik di depan muka Bestari. Menyengir. "Habis ... kukira ibu baru akan pulang besok, sih ... tapi aku cuma pergi sebentar, kok. Cuma satu jam."

"Bahaya, tahu."

"Iya, aku minta maaf."

"Ada lagi yang mau diceritain selama ibu nggak di rumah?" Bestari bertanya, suaranya datar, tapi penuh maksud terselubung. Sambil memindahkan sebagian bungkus kue dari plastik besar ke piring saji, ia menunggu jawaban Lantang.

"Nggak ada," jawab Lantang, berusaha tak mengubah nada bicaranya. Supaya meyakinkan, ia menyahut sekeping kue dengan santai, membuka plastik bungkusnya agak kasar hingga menimbulkan suara berisik. Sekonyong-konyong, napasnya tertahan saat Bestari meninggalkan hadapannya untuk membuka kulkas.

Bir.

Lantang susah payah menelan ludah. Ia belum sempat membeli ganti kaleng bir yang diminumnya kemarin. Rasanya, tulang-tulangnya langsung lemas. Jari-jari yang semula bergerak lincah membuka pembungkus kue, membeku. Detak jantungnya berpacu seolah sedang ada turnamen balap kuda di dalam dadanya, matanya memejam, menunggu apa yang akan dikatakan Bestari setelah berlama-lama menata ruangan dalam kulkas untuk menyimpan buah tangannya.

"Kok masih di sini?" tanya perempuan itu.

Tenggorokan Lantang tercekat, tak sanggup mengatakan apa-apa saking ngerinya.

"Udah mandi sore?"

Sulit, tapi Lantang berhasil menggelengkan kepala.

"Ibu tadi masuk kamarmu, baju yang di atas kasur ibu bawa ke keranjang pakaian kotor. Ya ampun, Lan ... kamu udah mau sembilan belas, susah banget ngasih tahu kamu supaya ngurusin barang-barang kamu sendiriii aja. Kalau kamu masih kayak begini, nanti kalau jadi tinggal di luar kota gimana? Ninggal jendela dalam keadaan terbuka, kalau barang-barang kamu ilang semua, gimana?"

"Iya, aku minta maaf. Nggak akan kuulangi."

"Kalau bikin kesalahan selalu gitu."

"Pantesan bapak ikut aneh, pasti ikut ibu omelin juga, ya?"

"Ya habis ... belain kamu terus, kapan kamu dewasanya kalau kayak gitu?"

"Nggak ada hubungannya kaleee kedewasaan sama lupa nutup jendela, apalagi lupa naro baju di keranjang cuciaaan," dumal Lantang sambil melompat turun dari bar stool.

Sewaktu Bestari membalas dengan ocehan jauh lebih panjang dan tak kunjung usai, Lantang sudah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur kamarnya. Cepat-cepat, ia mengirim pesan pada Tyaga supaya datang membawakannya sekaleng bir. Sayangnya, Tyaga tak bisa karena ada urusan dengan mamanya. Lantang hanya bisa pasrah, berharap ibu bapaknya tak ingat hitungan terakhir kaleng bir yang tersisa di kulkas.

Baru saja menanggalkan baju, terdengar suara Bestari memekikkan namanya.

Lantang terduduk lemas dengan kepala menunduk di tepi kasur, memasang tampang menyesal saat pintunya dibuka lebar dalam satu gebrakan.

Jelas, minuman keras sangat dilarang oleh ibunya. Namun, sejak usia tujuh belas, Lantang sudah boleh ikut minum sampanye, atau anggur saat hari besar keagamaan. Dibanding merokok, minum bir seharusnya lebih bisa dimaafkan.

Itu pikir Lantang. Sampai Bestari menjinjing celana panjang yang dipakainya tidur semalam tepat di depan mukanya, ia masih belum paham.

Sebelum Lantang sempat menduga, Bestari memasukkan tangannya ke dalam saku celana yang dipegangnya, dan menumpahkan isinya ke lantai. Lantang memelotot, lalu memejam. Puntung rokok itu belum dibuangnya.

"Bisa kamu jelasin ini?" hardik Bestari tersengal.

"Itu punya Tyaga," jawab Lantang jujur.

"Bohong!" tuduh wanita itu, hidungnya mendengus seperti banteng yang dikibasi kain merah oleh matador.

Namun, karena merasa memang tak bohong, Lantang tetap pada pendiriannya. "Itu punya Tyaga, dia buang sembarangan jadi kupungut dan niatnya kubuang."

"Jangan bohong kamu!" Bestari menunduk, menuding hidung putranya. "Memangnya si Tyaga merokok apa?"

"Ya merokok lah," kata Lantang. "Dia udah sembilan belas tahun, mana ada anak sembilan belas tahun yang nggak nyoba-nyoba ngerokok."

"Kamu juga?"

"Enggak."

Jari telunjuk Bestari yang menuding hidung Lantang belum turun.

Lantang yang menurunkannya. "Aku nggak ngerokok," tegasnya meyakinkan. "Mana aku berani."

Perlahan, Bestari kembali berdiri tegak. Ia membusungkan dada, mencoba memercayai ucapan putranya walau sulit. "Oke ... kali ini ibu percaya. Nanti ... kalau Tyaga ke sini, ibu akan tanya."

"Tanya aja," tantang Lantang tanpa bermaksud kurang ajar. "Paling juga Tyaga mikirnya aku tukang ngadu."

Sambil menggulung celana Lantang di tangannya, wanita itu melanjutkan omelan. "Bukannya ibu mau cerewet, atau apa. Tapi merokok itu merugikan kesehatan, nggak ada bagus-bagusnya sama sekali, ngerti kamu? Kamu tahu nggak, Eyang Trisna itu meninggal karena apa?"

Lantang tak menjawab.

"Kanker paru-paru." Bestari menjawab sendiri.

"Ya ampun, Ibu ... Eyang Trisna itu meninggal usia tujuh puluh dua, kalaupun nggak kena kanker paru-paru, dia memang sudah saatnya meninggal."

Bestari bergerak gesit menemukan daun telinga Lantang dengan mudah meski tertutup rambut dan menjewernya.

"Iyaaa ... aku nggak merokoook," jerit Lantang kesakitan. "Ibu percaya sama aku, atau bukti yang nggak bisa bicara itu?"

"Bisa aja kamu ngelak," decih Bestari, melepaskan telinga putranya. "Nasihatin tuh si Tyaga. Buat apa dia ngerkok segala? Memangnya mama papanya tahu dia merokok? Pasti nggak tahu. Kalau ke sini nanti, ibu mau bicara sama dia."

"Ya udah bicara aja, kayak ibu bakal didengerin aja kalau ngomel-ngomel sama Tyaga. Paling juga dia iya-iya aja, di belakang nggak peduli," rutuk Lantang sebal.

"Pokoknya ibu udah usaha," kelit Bestari bersikukuh. "Sekarang kamu mandi sana buruan."

"Ya," ucap Lantang patuh.

"Kalau udah mandi, langsung turun ke dapur. Kemarin Ben nengokin kamu ke sini nggak?" tanya Bestari di ambang pintu.

Sebelum Lantang bisa mengucapkan sesuatu karena kaget dengan pertanyaan Bestari, wanita itu menambahkan. "Ibu minta tolong dia jagain kamu selama kami pergi. Kemarin pagi 'kan ibu belum sempat masakin kamu sarapan, waktu ibu mampir titip pesan, dia bilang nanti mau dia bikinin nasi goreng sekalian. Dia bikinin nggak?"

Ragu, Lantang mengangguk.

"Nah kalau gitu, nanti sehabis makan malam, bantu ibu antar oleh-oleh buat Ben."

"Tapi-"

"Nggak ada tapi."

"Tapi biasanya juga ibu yang nganter-nganter gituan," protes Lantang.

"Ibu nganter ke tetangga kanan kiri, kamu ke depan, sekalian bilang terima kasih."

Lantang memukul tempat tidurnya sendiri karena kesal tak mampu membantah. Padahal, dia sedang tak ingin bertemu dengan Ben. Kalau bisa selamanya.

Thank you ensiklopedea (on wattpad) udah dibikinin text animationnya. I love it!

Haiii

Ya ampun ... lama banget ya ini update-nya, habis nunggu vote-nya lamaaa, padahal sebelumnya pas mau dikasih hidden part cepet ajah. LOL. Not going to talk too much, 300 votes lagi buat open part selanjutnya!

Dalam waktu dekat open PO EBOOK ya, soalnya udah banyak yang nanya. Buku fisik mungkin habis lebaran kali.

Oh iya, nanti mau bikin polling image Tyaga di IG. Yang mau bikinin fan art juga diterima dengan lapang dada, I would love to receive and post it.

PS: Saya post Trivia Facts soal Lantang, Tyaga, dan Ben juga, lho, semua di-save di highlight Instagram. Trivia facts ini nggak akan secara gamblang dibahas di ceritanya, tapi bakal bikin kamu relate saat di part-part selanjutnya.

See you!

Kin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top