Chapter 5

Pagi menjelang, sinar matahari perlahan menembus celah-celah tirai kamar Vester. Dengan mata yang masih setengah tertutup, ia meraba handphonenya di atas meja kecil di samping ranjang. Getaran pelan membuatnya sadar bahwa ada pesan masuk.

Ternyata dari Gaven.

Gaven: "Pagi, Ves! Gimana perasaan lo hari ini?"

Vester tersenyum tipis, sedikit lega melihat Gaven menyapa duluan. Ia segera membalas dengan tangannya yang masih agak lemas.

Aku: "Pagi, Gav. Gue lumayan mendingan sih, thanks to you."

Gaven: "Baguslah. Tapi lo masih oke kan? Gue khawatir banget sama lo."

Aku: "Yup, lebih baik sekarang. Lo sendiri gimana?"

Gaven: "Gue baik. Hari ini lo siap ke sekolah? Mau bareng sama gue?"

Aku: "Gue siap kok, tenang hari ini gue sama Alex, tapi sekarang gue mau mandi dulu."

Gaven: "Oke, siap Ves."

Vester tersenyum kecil membaca pesan itu. Ada sesuatu yang membuat paginya terasa sedikit lebih ringan. Ia bangkit dari tempat tidur, mengambil handuk, dan menuju kamar mandi. Air dingin yang mengalir dari shower membuat pikirannya kembali segar setelah malam yang cukup melelahkan.

Selesai mandi, Vester buru-buru memakai seragam sekolah. Namun, belum sempat ia merapikan bajunya, suara keras dari lantai bawah membuatnya tersentak.

“Vester! Cepetan turun!” teriak Leonaz dari bawah dengan nada marah.

Vester menghela napas panjang, merasa hari ini akan jadi hari yang berat lagi. Tanpa banyak bicara, ia segera menuruni tangga. Namun, setibanya di bawah, ayahnya, Ghanama, sudah menunggu di ruang makan dengan wajah yang penuh kemarahan.

“Kenapa lama banget sih turun?! Gak bisa lebih cepet dikit, hah?” suara ayahnya menggema di seluruh ruangan, disertai tatapan tajam yang langsung menusuk hati Vester.

“Aku cuma mandi sebentar, Pa,” jawab Vester pelan, berusaha untuk tidak membuat suasana semakin buruk.

Namun, itu tidak cukup bagi Ghanama. Dengan gerakan cepat, tangan ayahnya yang besar langsung mengayun dan menghantam pipi Vester dengan keras. “Jangan ngelawan, Vester! Gue udah bilang, cepetan turun kalau dipanggil!”

Vester terhuyung ke samping, menahan sakit yang menjalar dari pipinya. Napasnya tercekat, matanya terasa panas, tapi ia menahan tangisnya. Ia tidak ingin memperlihatkan kelemahannya di depan ayahnya.

“Sudah, Pa!” tiba-tiba suara ibunya memecah suasana. Ibu Vester, yang sejak tadi diam di dapur, akhirnya melangkah maju, mencoba meredam situasi. “Ayo kita makan dulu, jangan bikin masalah pagi-pagi.”

Dengan wajah dingin, ayahnya duduk kembali di kursinya, menggerutu pelan. Vester diam, menunduk, dan mencoba mengatur napas. Ibunya, yang selalu menjadi penengah di antara mereka, menatap Vester penuh perhatian. “Ayo makan dulu, Nak. Kamu butuh energi buat sekolah.”

Mereka semua duduk di meja makan dalam keheningan yang penuh ketegangan. Suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring menjadi satu-satunya suara di ruangan. Vester menunduk, mencoba makan dengan cepat agar bisa segera menyelesaikan semua ini. Perutnya terasa mual, bukan karena makanannya, tapi karena suasana di rumah ini yang selalu penuh tekanan.

Selesai makan, Vester bergegas untuk bersiap berangkat. Tapi, sebelum ia sempat keluar rumah, ibunya memanggilnya. “Vester, kamu sini dulu. Ibu mau ngomong.”

Vester menghentikan langkahnya dan berbalik, mengikuti ibunya ke ruang tamu. Wajah ibunya terlihat lembut, tapi ada kekhawatiran yang jelas terlihat di matanya. “Ada apa, Bu?”

Ibunya menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di sofa dan menatap Vester dengan penuh perhatian. “Nak, Ibu tahu belakangan ini kamu kelihatan lebih murung. Ada apa sebenarnya?”

Pertanyaan itu membuat Vester terdiam. Sejenak, ia merasa semua emosi yang selama ini ia tahan mulai mengalir ke permukaan. Tenggorokannya terasa kering, dan tanpa bisa ditahan, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Ibu... aku gak kuat lagi,” suaranya bergetar, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. “Ayah selalu marah... Leonaz terus nyalahin aku... aku gak tau lagi harus gimana...”

Seketika, tangisnya pecah. Seluruh beban yang selama ini ia tahan, kini tumpah begitu saja. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, membiarkan air mata mengalir tanpa henti.

Ibunya segera meraih Vester, menariknya ke dalam pelukan. “Sshh, gak apa-apa, Nak. Ibu ada di sini...”

Vester menangis dalam pelukan ibunya, merasa aman untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tangisan itu keluar begitu saja, bersama dengan semua kesedihan, kekecewaan, dan ketidakmampuan untuk memahami kenapa dunia di sekitarnya terasa begitu keras.

“Aku cuma pengen punya rumah yang damai, Bu... Aku cuma pengen semua orang berhenti nyakitin aku...” Vester berkata di sela-sela tangisnya.

Ibunya membelai rambut Vester, suaranya lembut dan penuh kasih sayang. “Ibu tahu, Nak. Ibu tahu kamu kuat. Tapi jangan pernah merasa sendirian. Ibu selalu ada buat kamu.”

Tangis Vester perlahan mereda. Ia menarik napas panjang, meski masih terisak, dan merasa sedikit lebih tenang. Pelukan ibunya, meski tak bisa menghapus semua luka, setidaknya memberikan sedikit ketenangan yang ia butuhkan.

“Ayo, Nak. Kita hadapi hari ini bersama-sama. Kamu gak sendirian,” bisik ibunya.

Dengan hati yang sedikit lebih ringan, Vester bangkit, menyiapkan mentalnya untuk pergi ke sekolah. Setidaknya, hari ini ia tahu bahwa masih ada seseorang yang benar-benar peduli dan memahami perasaannya.

Vester masih berusaha mengendalikan emosinya ketika mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Dari sela jendela, terlihat Alex yang sudah menunggunya di luar, mengenakan jaket hitam dan helm di tangan.

“Ves! Ayo, kita berangkat!” panggil Alex dengan suara lantang, sambil melambaikan tangan ke arah jendela.

Vester menghapus sisa air mata yang masih mengalir, berusaha terlihat tenang. Namun, matanya yang memerah dan wajahnya yang kusut jelas tidak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis. Ibunya, yang duduk di sampingnya, segera menggenggam tangannya dengan lembut.

“Nak, jangan tunjukkan kelemahanmu di depan orang lain. Kamu kuat, kamu bisa hadapi ini. Cuci muka dulu, biar lebih segar,” kata ibunya penuh kasih, mengusap pipinya yang lembab.

Vester mengangguk pelan dan berjalan ke kamar mandi. Ia memercikkan air dingin ke wajahnya, berusaha menghilangkan jejak tangisan yang masih tersisa. Meski begitu, bayangan kejadian tadi pagi masih menghantui pikirannya. Dengan napas yang panjang, ia mencoba menata dirinya dan kembali keluar.

Saat ia membuka pintu rumah, Alex sudah berdiri di samping motornya, menatapnya dengan tatapan cemas. Vester tersenyum tipis, berusaha bersikap normal, namun Alex tidak semudah itu dibohongi.

“Lo nangis, Ves?” tanya Alex langsung, suaranya terdengar serius. Tatapannya tidak berpaling dari Vester.

Vester buru-buru menggeleng, meskipun ia tahu matanya yang merah pasti sudah memberi jawaban. “Enggak, Lex. Gue baik-baik aja kok, cuma tadi ada urusan keluarga sedikit.”

Alex menatapnya dalam-dalam, tidak puas dengan jawaban itu. Dia tahu betul Vester sedang menyembunyikan sesuatu. “Serius lo? Gue nggak percaya. Lo keliatan jelas banget abis nangis.”

Vester menunduk, berusaha menghindari tatapan Alex yang penuh perhatian. “Cuma masalah keluarga, Lex. Beneran, nggak ada yang serius.”

Namun, Alex tidak menyerah. Ia turun dari motornya dan berjalan mendekat ke arah Vester. “Gue tau ada yang lebih dari sekedar masalah keluarga. Lo bisa cerita ke gue kalau ada apa-apa, bro. Jangan disimpen sendiri.”

Vester menggigit bibir bawahnya, terdiam sejenak sebelum akhirnya berbicara lagi. “Gue nggak pengen nambah beban lo, Lex. Ini urusan gue, gue harus bisa ngadepin sendiri.”

Alex meletakkan tangannya di bahu Vester, menatapnya dengan penuh kesungguhan. “Ves, gue sahabat lo. Kalo lo ada masalah, lo gak perlu hadapin sendiri. Gue di sini buat lo, kapan pun lo butuh.”

Vester menunduk, merasakan sedikit kelegaan dari kata-kata Alex. Meski ia belum siap menceritakan semuanya, setidaknya ia merasa tidak sendirian. Ia menepuk lengan Alex pelan dan menghela napas panjang. “Thanks, Lex. Beneran deh, gue hargain itu. Mungkin nanti kalo gue siap, gue bakal cerita semuanya.”

Alex tersenyum tipis dan mengangguk. “Oke, gue tunggu. Yang penting sekarang, lo jangan nahan semua sendirian. Gue selalu ada buat lo.”

Vester tersenyum kecil, meski dalam hatinya masih ada beban yang berat. Namun, kehadiran Alex membuatnya merasa lebih tenang. “Ayo ke sekolah sekarang. Gue nggak mau makin telat.”

“Alright,” jawab Alex sambil memasang helmnya. “Tapi inget, kapan pun lo butuh gue, langsung bilang. Gue nggak mau lo ngadepin hal berat sendirian.”

Vester hanya mengangguk, lalu naik ke motor di belakang Alex. Mereka pun meluncur menuju sekolah. Angin pagi yang sejuk terasa di wajahnya, sedikit mengurangi ketegangan yang masih bersisa di pikirannya. Sepanjang perjalanan, Alex terus mengobrol, mencoba membuat suasana lebih ringan. Candaan-candaan Alex, meskipun tidak selalu lucu, setidaknya berhasil membuat Vester tertawa sedikit.

Setibanya di sekolah, Vester merasa lebih siap menghadapi hari ini. Meski perasaan berat dari rumah masih membebani, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Alex ada di sampingnya, selalu siap mendengarkan kapan pun ia butuh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top