Chapter 4

Setelah melewati hari yang penuh ketegangan, Vester melangkah ke rumah dengan perasaan campur aduk. Setiap langkah terasa berat, seolah ia membawa beban dunia di pundaknya. Begitu memasuki rumah, ia disambut oleh suara ayahnya yang menggema di ruang tamu.

“Vester! Ke sini sekarang!” suara ayahnya menggema, mengusir rasa tenang yang ingin Vester ciptakan.

Vester menelan ludah, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Ia melangkah perlahan menuju ruang tamu, di mana ayahnya sudah menunggu dengan ekspresi marah.

“Leonaz bilang lo memalak uangnya sebelum berangkat sekolah! Apa bener itu?” suaranya menggelegar, menambah berat suasana di ruangan itu.

Vester merasa perutnya mules. “Pak, itu tidak benar! Dia yang berbohong!”

Ayahnya menatapnya tajam, matanya penuh kecurigaan. “Bohong? Kenapa dia harus bohong? Lo yang pasti lagi cari masalah lagi!”

“Pak, please! Dia yang suka bikin ribut! Aku nggak mau berurusan sama dia!” Vester berusaha menjelaskan, tetapi ayahnya sudah terlanjur marah.

“Bangsat! Jangan lo anggap remeh masalah ini! Lo pikir lo bisa terus begini?!” Ayahnya tiba-tiba mengangkat tangan dan menampar Vester dengan keras, membuat Vester terhuyung ke belakang.

Rasa sakit itu menusuk hingga ke jiwanya. Vester menatap ayahnya dengan mata penuh kebingungan dan luka. “Kenapa, Pak? Aku engga bersalah!”

Leonard, kakaknya, yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri. “Ayah! Cukup! Lo nggak bisa terus gini sama Vester! Dia nggak salah!”

Ayahnya memandang Leonard dengan kemarahan yang sama. “Lo tahu apa? Anak ini selalu membuat masalah! Apa lo mau dibodohi sama dia juga?”

“Gue percaya sama dia! Leonaz itu yang gak jujur!” Leonard menegaskan, suaranya tegas. Namun, ayahnya tidak mau mendengar.

“Jangan berani-berani membela dia! Kalau lo tidak mau hidup di bawah atap ini, silakan pergi!”

Vester merasa hatinya hancur, rasa sakitnya bukan hanya di pipi tetapi juga di jiwa. Dia berharap bisa berteriak, tetapi suaranya terhalang oleh air mata yang mulai menggenang.

Ibunya tiba-tiba muncul, wajahnya cemas. “Sudah, sayang. Kita bicarakan ini baik-baik. Jangan ada yang marah,” ujarnya lembut, mencoba meredakan ketegangan.

Ayahnya menggeleng marah. “Cukup! Anak ini harus belajar! Jangan terus melindungi dia!”

---

Malam itu, Vester terbaring di tempat tidurnya, merasakan nyeri di pipi dan rasa sakit emosional yang semakin menumpuk. Ketika handphonenya bergetar, ia melihat nomor yang tidak dikenal. Dengan ragu, ia membuka pesan itu. "Siapa yang ngechat malam malam gini?" Batin Vester.

Alex: “Hey, ini Alex! Dapat nomor lo dari Bu Daisy. Gimana kabarnya?”

Vester merasa sedikit lega. Ia membalas pesan itu, ingin mencari hiburan dari kesedihannya.

Aku: “Eh, Alex! Lagi ngapain?”

Alex: “Baru selesai latihan basket. Lo di mana?”

Aku: “Baru pulang. Ada masalah di rumah.”

Alex: “Apa lagi? Kenapa lo selalu bisa ribut?”

Aku: “Leonaz bilang aku memalak dia. Ayahku percaya dia, padahal aku nggak!”

Alex: “Gila, lo serius? Nggak mungkin dia berani fitnah lo gitu. Lo harus buktiin anjir!”

Aku: “Iya, aku tahu. Tapi sekarang, aku lagi pengen main game dulu aja deh buat relaxing.”

Alex: “Yok lah, mabar! Kita bisa push rank, biar lo lupa masalah.”

Vester merasa semangatnya kembali. “Oke, ayo! Kita coba main!”

Alex: “Mantap! Lo mau pakai hero apa? Gue butuh yang jago.”

Aku: “Gue pilih assassin. Kalo ada yang nyerang, gue pasti bisa atasin!”

Alex: “Oke, jangan ragu-ragu ya. Kalo ada musuh, langsung serang!”

Mereka terus chatting sambil bermain, mengobrol ringan tentang karakter dan strategi dalam game. Vester merasa dunia nyata mulai jauh sejenak.

Alex: “Lo udah di lobby? Gue siap nih!”

Aku: “Baru masuk, sabar! Kita cari cara biar menang!”

Alex: “Oke, yang penting fokus! Lo jaga lane ya.”

Aku: “Santai, gue bisa. Kalo ada yang ganggu, gue cabut ke belakang.”

Alex: “Haha, jangan cabut, bro! Kalo lo cabut, gue juga cabut!”

Aku: “Gue janji nggak bakal cabut, asalkan lo janji juga.”

Alex: “Deal! Kita bisa hajar semua musuh!”

Tetapi saat mereka asyik bermain, tiba-tiba pintu kamar Vester terbuka, dan ayahnya muncul dengan wajah marah. “Lo masih main game?!” teriaknya, suaranya membuat jantung Vester berdegup kencang.

“Pak, ini cuma sebentar…” Vester berusaha menjelaskan, tetapi ayahnya tidak memberi kesempatan.

“Gue udah bilang, lo harus bantu di rumah! Ini semua salah lo!”

Vester merasa hatinya tertegun. “Tapi, Pak… Ini baru sekali…”

Ayahnya mendekat, menatapnya tajam. “Hentikan semua ini! Gue tidak mau lihat lo main game lagi sampai lo bisa berperilaku!”

Vester hanya bisa menunduk, merasa dunia gelap di sekelilingnya. “Ya, aku mengerti, Pak.”

Setelah ayahnya pergi, Vester merasakan sakit di hatinya semakin dalam. Ia menatap handphonenya, berharap bisa kembali ke dunia yang lebih menyenangkan.

Alex: “Lo masih di sini, bro?”

Aku: “Iya, baru mau tidur. Ayahku marah lagi.”

Alex: “Sumpah, lo harus sabar. Besok kita main lagi, ya?”

Aku: “Iya, besok kita lanjut. Thanks, Alex. Lo bikin hari ini jadi lebih baik.”

Alex: “Biarin aja. Yang penting lo tahu kalo lo nggak sendirian.”

Vester mengangguk meski Alex tidak bisa melihatnya. Ia merasa terharu dengan perhatian Alex. “Gue rasa lo sahabat terbaik yang pernah ada.”

Alex: “Haha, lo berlebihan. Tapi terima kasih, bro. Kita harus terus bareng!”

Aku: “Setuju! Kalau lo ada masalah, bilang ke gue ya!”

Alex: “Tentu dong! Kita tim!”

Mereka terus chatting hingga larut malam, menambah semangat Vester. Dengan semua rasa sakit yang ia alami, Vester tahu bahwa dukungan Alex adalah cahaya di tengah kegelapan. Ia merasakan kehangatan persahabatan mereka, meski luka di hatinya masih membekas.

Dengan semangat baru, Vester berusaha menutup mata, berharap untuk bangkit di hari esok dan berjuang melawan semua rintangan yang menghadangnya.

Tapi sayangnya tidak semudah itu untuk berbaring dengan lelap, Vester merasakan rasa yang aneh hingga membuatnya tidak bisa tidur.

---

Malam semakin larut, tetapi Vester masih terjaga di ranjangnya. Pikiran-pikirannya berputar tanpa henti, menggulirkan semua peristiwa yang baru saja terjadi. Setiap kali matanya terpejam, bayangan ayahnya dan kata-kata kerasnya kembali menghantuinya, membuatnya terbangun dan gelisah.

Dalam keheningan malam, handphonenya bergetar lagi. Vester meraih ponselnya dengan ragu, melihat nomor yang tidak dikenal muncul di layar. Ia mengernyit, sedikit curiga, tetapi rasa penasaran lebih mendominasi. Dengan jari yang bergetar, ia membuka pesan tersebut.

Gaven: “Hey, Vester! Ini Gaven. Dapat nomor lo dari Zia. Apa lo baik-baik aja?”

Vester merasa sedikit terkejut, namun senang ada yang mengkhawatirkannya. Ia membalas dengan cepat.

Aku: “Gaven! Iya, gue baik-baik aja. Cuma, banyak pikiran.”

Gaven: “Gue lihat lo di kamar mandi tadi pas di sekolah, and seperti lo lagi ada masalah pribadi juga ya, sifat lo keliatan banget.”

Vester terdiam sejenak, hatinya bergetar mendengar itu. “Lo lihat?”

Gaven: “Iya. Gue di kamar mandi sebelah, jadi kebetulan bisa denger. Maaf ya, lo pasti ngerasa nggak enak.”

Vester merasa hatinya terbuka. Tak ada yang lebih menenangkan selain berbagi beban dengan seseorang yang mengerti. “Gak apa-apa. Di sekolah gue cuma di ancem kecil aja dan tadi ayah gue marah karena Leonaz bilang gue memalak dia. Padahal, itu semua bohong.”

Gaven: “Gila, seriusan? Leonaz memang sering nyari masalah. Kenapa lo nggak bilang ke orang tua lo yang sebenarnya?”

Aku: “Gue udah coba, tapi mereka lebih percaya sama Leonaz. Mereka nggak ngerti bagaimana perasaanku. Rasanya kayak di bawah tekanan, bro.”

Gaven: “Lo nggak sendirian, Vester. Gue tahu gimana rasanya. Orang tua kadang suka buta sama fakta.”

Vester merasa ada yang menghangatkan hatinya. “Makasih, Gav. Gue ngerasa kayak semua orang di rumah benci sama gue.”

Gaven: “Nggak, itu cuma perasaan lo aja. Mungkin mereka lagi marah dan nggak tahu cara ngomongnya. Lo harus tetap kuat.”

Aku: “Gue pengen banget punya tempat yang aman, di mana bisa jadi diri sendiri tanpa dihakimi.”

Gaven: “Gue ngerti itu. Kalo mau, kita bisa lebih sering ngobrol. Mungkin bisa bantu lo lebih baik.”

Aku: “Iya, please. Gue butuh temen. Kadang gue ngerasa sendirian banget.”

Gaven: “Jangan khawatir, bro. Kita bisa mabar lebih sering. Lo bisa curhat sambil main, biar lebih ringan.”

Vester merasakan beban di pundaknya sedikit terangkat. “Makasih, Gav. Gue lagi butuh sahabat yang paham.”

Gaven: “Tentu! Dan kalo ada masalah di rumah, langsung bilang ke gue. Kita bisa cari jalan keluarnya bareng-bareng.”

Aku: “Gue janji. Gue lebih baik berbagi daripada menyimpan sendiri.”

Vester terus menulis, merasa lebih ringan saat bercerita. “Gue juga tadi sempat mau nangis, tapi nggak mau nunjukkin ke orang tua.”

Gaven: “Lo boleh nangis, Vester. Itu manusiawi. Menangis nggak berarti lo lemah.”

Akhirnya, Vester bisa merasakan ketenangan. Dengan Gaven di sisi lain, ia bisa curhat panjang lebar tentang semua beban yang dipikulnya. Mereka berbicara tentang banyak hal—tentang teman-teman, hobi, dan impian mereka. Perlahan, malam yang gelap itu terasa lebih cerah.

Aku: “Makasih, Gav. Lo bikin malam ini jadi lebih baik. Sekarang gue udah mulai tenang.”

Gaven: “Iya, jangan ragu buat chat gue kapan aja. Tidur yang nyenyak, bro.”

Aku: “Lo juga, Gaven. See you tomorrow.”

Setelah mengakhiri chat, Vester merasakan kantuk mulai menyerangnya. Ia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar yang gelap. Dengan semua rasa yang ia bagikan, ia bisa merasakan ketenangan yang selama ini hilang. Perlahan-lahan, matanya terpejam dan ia terlelap dalam tidur yang lelap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top