Chapter 2

Langit masih berwarna pucat ketika Vester melangkah keluar dari rumahnya, membawa beban yang lebih berat dari sekadar tas di punggungnya. Pikirannya dipenuhi oleh ingatan-ingatan yang sudah lama terkubur, tapi sekarang datang kembali seperti arus deras. Dulu, hidupnya tak seburuk ini-atau setidaknya itulah yang dia yakini saat ini.

Saat masih kecil, Vester ingat bagaimana ia dan Alex, teman lamanya, sering bermain di lapangan belakang rumah, menendang bola seolah dunia hanya milik mereka berdua. Alex selalu lebih jago dalam hal olahraga, tapi dia tidak pernah sombong. Mereka dulu seperti saudara, tertawa, bercanda, dan bertengkar soal hal-hal kecil, tapi semuanya selalu selesai dengan satu pelukan atau lambaian tangan saat mereka pulang. Dunia mereka terasa sempurna.

Namun, waktu berjalan dan jarak memisahkan. Alex pindah ke sekolah lain, dan sejak saat itu, kehidupan Vester berubah. Di rumah, ia merasa lebih sering diabaikan, dan di sekolah, tidak ada lagi Alex untuk mendukungnya. Rasa rindu pada masa kecil itu kadang menyakitkan, tapi Vester tahu, tidak ada yang bisa dilakukan selain melangkah maju.

---

Setibanya di sekolah baru, Vester menyeka air mata yang masih membekas di pipinya. Hatinya terasa seperti diliputi kabut tebal, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil semakin membawanya jauh dari cahaya. Ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah di wastafel. Air dingin yang mengalir di kulitnya terasa seperti tamparan halus yang memaksanya kembali sadar. "Ayo, Vester, kamu bisa," gumamnya pada diri sendiri, meski suaranya terdengar lemah, nyaris putus asa.

Langkah kakinya kembali bergerak. Seorang guru perempuan menghampirinya di lorong sekolah, tersenyum ramah.

"Wali muridmu nggak datang ya, Nak?" tanya guru itu, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Vester menggaruk tengkuknya, gugup. "Iya, Bu... Maaf, saya datang sendirian."

"Nggak apa-apa. Ayo, saya antar kamu ke kelas," jawab guru itu, senyumnya masih terpasang.

Vester mengikuti dari belakang, langkahnya masih canggung. Setiap sudut sekolah ini terasa asing, seperti dunia baru yang belum ia kenal. Dinding-dindingnya menjulang tinggi, seakan-akan menatapnya dengan mata yang tak terlihat, memeriksa siapa dirinya dan apa yang akan ia lakukan di sini.

"Bu, saya di kelas berapa ya?" tanya Vester pelan, mencoba memecah keheningan.

"Kamu di kelas XI MIPA III, sesuai pilihanmu, kan?" jawab guru itu.

"Oh, iya, makasih, Bu," jawab Vester, meski dalam hati ia sedikit bimbang. Ia tidak yakin apakah pilihannya tepat.

---

Ketika mereka tiba di kelas, Vester berhenti di depan pintu, menatap ruangan besar yang penuh dengan anak-anak baru. Ia menelan ludah, mencoba menghilangkan kegugupan yang merambat di seluruh tubuhnya. Guru itu melangkah masuk lebih dulu.

"Anak-anak, perkenalkan ini murid baru kalian," suara guru itu menggema di seluruh kelas, membuat semua mata tertuju ke Vester. Ia menarik napas dalam-dalam.

"Nama saya Sylvester Dominic Putra, kalian bisa panggil saya Vester," ucapnya pelan, tapi cukup jelas. Beberapa murid tampak tidak terlalu peduli, sibuk dengan urusan masing-masing, tapi ada juga beberapa yang memperhatikannya dengan mata penuh rasa ingin tahu.

Di pojok kelas, beberapa cewek berbisik sambil memperhatikan penampilannya. Rambut Vester yang setengah putih dan tampangnya yang terkesan misterius tampaknya menarik perhatian mereka. Sementara itu, beberapa cowok tampak acuh, seolah kedatangan murid baru bukan hal yang menarik bagi mereka.

"Silakan duduk di bangku kosong di belakang," ujar guru itu. Tapi sebelum Vester bisa bergerak, seorang cowok di tengah kelas mengangkat tangan.

"Bu, boleh nggak dia duduk di samping saya?" suaranya terdengar tegas, penuh percaya diri. Cowok itu tinggi, dengan postur yang atletis dan aura yang terlihat dominan.

Guru itu mengangguk, tersenyum. "Oh, kamu sendiri ya, Alex? Silakan, Vester, duduk di samping dia."

Vester tertegun. Nama itu... Alex? Alex? Teman lamanya yang dulu? Dengan sedikit terkejut, Vester berjalan mendekati tempat duduk, hatinya berdebar lebih kencang.

Saat ia duduk di sebelah cowok itu, ia merasa campuran antara kegembiraan dan rasa tidak percaya. Apa mungkin ini Alex yang dulu?

"Hai, aku Vester," ucapnya dengan senyum canggung. "Kamu siapa?"

Cowok itu menatapnya dengan pandangan geli. "Aku yang buat nama Vester."

Vester tersentak. "Apa?!" suaranya terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan, membuat seluruh kelas menoleh.

"Kenapa kaget?" bisik cowok itu sambil menyengir.

Vester terdiam sejenak, memandang lebih dalam ke arah cowok di sebelahnya. "Kamu... Alex? Seriusan?"

Alex tertawa pelan, suara tawa yang familiar. "Iyalah, siapa lagi?"

Vester terdiam beberapa detik, mencoba mencerna semuanya. "Wah, Lex, sumpah, gue kangen banget sama lo!"

Alex hanya mengangkat bahu, tapi senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia senang bertemu lagi dengan Vester. "Halah, bisa aja lo. Jangan lebay, Vester."

Vester hanya bisa tertawa kecil. Di tengah rasa asing dan ketidakpastian, setidaknya satu hal terasa familiar-sosok Alex, teman masa kecilnya yang selalu ada.

---

Obrolan mereka terhenti saat seorang cewek dari barisan depan tiba-tiba menoleh ke arah mereka. Cewek itu tersenyum kecil. "Hai, Vester. Aku Zia," ucapnya dengan suara lembut tapi tegas. Wajahnya manis, dengan rambut hitam panjang yang membuatnya terlihat elegan.

Vester mengangguk sopan. "Hai, Zia. Senang kenalan sama kamu."

Tak lama, dua cowok lainnya bergabung. Salah satunya yang lebih tinggi memperkenalkan diri dengan suara berat. "Nama gue Daven, dan ini adik gue, Gaven."

Vester tersenyum. "Oh, kalian kakak adik ya? Gue kira kembar!"

Daven hanya tersenyum tipis, sementara Gaven mengangguk singkat. "Bukan kembar, tapi orang sering salah paham," ucap Gaven dengan suara lebih tenang dari kakaknya.

Sementara mereka berbicara, seorang cewek lain dengan rambut cokelat terang tiba-tiba muncul di antara mereka, wajahnya ceria dan penuh senyum. "Hai! Aku Vanilla," ucapnya sambil menyenggol bahu Vester dengan akrab. "Kamu seru juga, ya!"

Vester tersenyum, meski sedikit malu. "Haha, makasih, Vanilla."

Obrolan mulai mengalir dengan lebih alami, dan Vester merasa lebih nyaman dengan kelompok barunya. Meski pagi tadi hatinya terasa seperti diisi oleh beban tak tertahankan, kini ia merasa ada sedikit kelegaan. Hari pertama yang ia kira akan suram, ternyata tidak seburuk yang ia bayangkan.

Namun, di balik senyuman dan tawa, Vester tahu bahwa perjalanannya di sekolah ini baru saja dimulai. Dan siapa yang tahu apa yang menunggunya di hari-hari berikutnya? Dunia ini, dengan segala ketidakpastiannya, adalah medan yang harus ia taklukkan-dengan atau tanpa teman-teman barunya.

---

Setelah perkenalan itu, suasana kelas mulai tenang kembali. Guru mulai membagikan materi pelajaran, sementara Vester berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Di depannya, papan tulis yang dipenuhi dengan angka dan simbol terasa begitu nyata, tapi juga sedikit menantang. Namun, Vester selalu menyukai tantangan-dan meski dirinya sering merasa tertekan di rumah, ia tidak pernah menyerah dalam hal akademis.

Hari itu pelajaran pertama adalah matematika. Guru mulai menjelaskan soal trigonometri yang tampak rumit di papan tulis. Beberapa siswa tampak kesulitan, termasuk Zia yang duduk beberapa bangku di depan Vester. Vester melirik ke arahnya, melihat bagaimana Zia berusaha keras memahami setiap langkah, namun tampaknya ada kebingungan di wajahnya.

"Vester, lo ngerti soal ini nggak?" bisik Alex tiba-tiba dari samping, sambil melirik soal di bukunya.

Vester mengangguk pelan. "Iya, gue ngerti kok. Kenapa?"

Alex tampak sedikit frustrasi. "Gue udah nyoba beberapa kali, tapi hasilnya nggak sesuai."

Vester menatap buku Alex, melihat hitungan yang salah di tengah prosesnya. Dengan cepat, ia menyadari kesalahannya. "Lo salah di sini, Lex. Ini harusnya tambah, bukan kurang."

Alex mengernyit, lalu memeriksa ulang hitungannya. "Oh, iya, benar juga... Makasih, bro."

Melihat Alex tampak lebih paham, Vester tersenyum kecil. Tapi saat ia kembali fokus ke soal, tiba-tiba Zia menoleh ke belakang dan menatapnya dengan wajah penuh harap.

"Eh, Vester... Kamu paham soal ini juga?" tanya Zia dengan nada ragu. Ia tampak malu-malu meminta bantuan.

Vester mengangguk lagi. "Iya, mau aku jelasin?"

Zia tersenyum, jelas merasa lega. "Iya dong, please."

Dengan sabar, Vester mulai menjelaskan langkah-langkah soal itu kepada Zia, mulai dari cara menentukan sudut hingga operasi trigonometri yang benar. Ia tidak hanya menjelaskan, tapi juga mencoba memberikan analogi yang mudah dipahami. Zia terlihat kagum, dan di tengah-tengah penjelasan itu, beberapa murid lain mulai memperhatikan juga.

Daven, yang duduk tak jauh, juga ikut tertarik. "Eh, Vester, lo jago juga ya? Dari tadi gue ngeliatin lo jelasin ke Zia, kayaknya gue juga mulai paham."

Vester hanya tersenyum malu. "Ah, biasa aja kok. Gue cuma kebetulan ngerti pelajaran ini."

Gaven, yang duduk di sebelah Daven, mengangguk setuju. "Lo keren sih, Vester. Dari tadi gue juga bingung sama soal ini, tapi lo bisa jelasin dengan mudah."

Obrolan mereka akhirnya membuat guru matematika, Bu Erna, memperhatikan. Ia tersenyum puas dari depan kelas.

"Sepertinya ada yang sudah paham dengan baik ya. Vester, bagaimana kalau kamu coba bantu teman-teman yang lain? Bantu mereka memahami soal ini," ucap Bu Erna dengan senyum bangga.

Semua mata kelas tertuju pada Vester. Ia menelan ludah, merasa sedikit gugup. Namun, di balik rasa ragu itu, ia tahu ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak seperti yang orang-orang di rumahnya pikirkan. Ia bukan anak yang tidak berguna-setidaknya di sini, di sekolah ini, ia bisa menjadi dirinya sendiri.

Vester mengangguk perlahan. "Baik, Bu," jawabnya.

Ia berdiri dari tempat duduknya dan mulai berjalan ke depan kelas. Dengan percaya diri, ia mengambil kapur dari tangan Bu Erna dan mulai menulis solusi soal di papan tulis. Suara kapur yang menyentuh papan terasa menenangkan, seolah-olah Vester mengalirkan semua energi dan pikirannya ke setiap garis dan angka yang ia tulis.

Ketika ia selesai menjelaskan, semua mata kelas terpaku pada papan tulis. Beberapa dari mereka tampak terkejut, dan ada yang berbisik kagum. Zia menatap Vester dengan senyum lebar, sementara Alex menepuk bahunya dengan bangga.

"Lo keren, bro. Gila, lo baru masuk sekolah tapi udah kayak profesor aja," canda Alex dengan nada riang.

Vester tersenyum malu, tapi dalam hati ia merasa bangga pada dirinya sendiri. "Ah, nggak kok. Gue cuma kebetulan ngerti soal ini."

---

Sesi belajar di kelas itu akhirnya berubah menjadi diskusi kelompok. Vester, bersama dengan Zia, Daven, Gaven, dan Vanilla, mulai berbagi pemahaman mereka tentang materi pelajaran. Mereka tertawa dan saling membantu, menciptakan suasana yang lebih hangat di antara mereka. Vanilla yang ceria membuat lelucon sesekali, membuat kelompok mereka lebih santai meski pelajaran hari itu cukup sulit.

Ketika bel berbunyi, menandakan akhir pelajaran, Vester merasa lega. Ia duduk kembali di kursinya sambil menarik napas dalam-dalam. Di hari pertama ini, ia tak menyangka bisa secepat itu menyesuaikan diri dan bahkan membantu teman-temannya. Ia merasa diterima, meski awalnya penuh kecemasan.

"Vester, lo bener-bener jenius, deh!" seru Zia sambil mengemas buku-bukunya. "Lo bikin pelajaran yang rumit jadi keliatan gampang."

Vester hanya tertawa kecil. "Makasih, Zia. Gue cuma suka matematika aja, mungkin karena sering latihan."

Daven ikut angkat bicara. "Kalau ada soal susah lagi, gue pasti langsung nyari lo, Vest. Lo beneran jago."

Gaven mengangguk. "Gue setuju. Lo pintar banget, bro."

Vanilla, yang dari tadi sibuk dengan catatan pelajarannya, tiba-tiba ikut menyahut. "Eh, jangan sampai kamu pindah ke kelas lain ya, Vest! Kita butuh kamu di sini!"

Mereka semua tertawa bersama, dan di saat itu, Vester merasa seperti telah menemukan tempatnya. Di sekolah ini, di tengah teman-teman barunya, ia merasa dirinya lebih berharga. Dan meskipun masih ada bayangan masalah di rumah, setidaknya di sini, ia bisa menjadi dirinya yang terbaik.

Namun, Vester tahu, tantangan sebenarnya masih menunggu di depan. Hari ini hanyalah permulaan dari sebuah perjalanan panjang-perjalanan untuk membuktikan bahwa dirinya layak mendapatkan tempat di dunia ini, dan mungkin, juga di hati keluarganya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top