2. Feel in Pen

2. Feel in Pen

Beberapa hari telah berlalu. Waktu terus berputar dan benda langit masih berjalan sesuai siklusnya. Tidak ada yang berubah, bahkan hingga malam ini. Langit gelap tanpa bintang, namun dipenuhi awan kelabu yang samar-samar menutup cahaya bulan. Ditemani angin yang terus berembus halus, meninggalkan jejak suara tanpa bisa dilihat bagaimana rupanya. Ditambah dengan suara kembang api yang meletus di udara secara bergantian, setidaknya menghiasi kesunyian malam ini.

Di salah satu ruangan, ada seorang gadis yang sibuk merapikan meja belajarnya. Membuang semua kertas coret-coretan ujian matematika. Menata kembali semua benda pada tempatnya. Siapa lagi jika bukan Nadia. Suasana malam yang hirap, memberikan ketenangan yang melegakan untuknya. Hanya suara kipas angin yang sedikit berdecit mengisi kesunyian kamar ini.

Ting!

Sudut mata Nadia melirik notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya. Ada beberapa pesan yang membuatnya tersenyum simpul. Pesan dari salah satu anggota karang taruna di RT 06.

Kartar RT 06 (32)

Imam Amru: Jangan lupa nanti malam, ya, teman-teman. Jam delapan semuanya sudah harus kumpul di lapangan. Kita ada bakar-bakar buat tahun baruan. Gini, kan, Pak Ketua? @Donisyah

Doni Syahputra: Enggeh, betul.

Imam Amru: Asik!

Doni Syahputra: Jangan lupa bahan dan alat dibawa sesuai ketentuan kapan hari. Awas aja sampe ada yang ketinggalan!

Imam Amru: Ngeri! Bakal diapain tuh?

Doni Syahputra: Yo tak suruh pulang buat ngambil, Ru.

Dinayatul: Wah, gila! Besok dah tanggal satu, cuy! Cicilan belum lunas.

Doni Syahputra: Woy, Din! Masalah cicilan janganlah dibawa ke sini.

Dinayatul: Ya siapa tau ada yang mau membantuku sukarela, Don. Kuterima dengan hati yang lapang.

Nadia hanya dapat terkikik pelan membaca pesan demi pesan yang ia terima dari teman-temannya. Hanya gara-gara cicilan, seluruh anggota muncul dan ribut di sana. Dan, ia harus berlapang dada karena kebanjiran notifikasi.

Detik berikutnya, Nadia mengingat suatu hal. Ia mematikan ponselnya, mengabaikan puluhan pesan yang masuk, dan menyobek selembar kertas yang sudah tertulis sesuatu dari buku cokelatnya.

Dalam beberapa saat, Nadia menghabiskan detik waktunya untuk membaca kata demi kata yang sudah ia tuliskan di sana. Pandangannya meredup setelah kata terakhir terbaca. Hatinya bimbang. Jiwanya terasa seperti tertarik ke atas secara perlahan, membuat energi yang sengaja ia kumpulkan kembali berceceran.

Nadia mengembuskan napas panjang secara perlahan. Lelahnya menjadi berkali-kali lipat setelah membaca tulisan itu. "Semoga bisa tersampaikan dengan baik," harapnya dengan berbagai kecemasan yang mulai melanda.

Setelahnya, Nadia segera melipat kertas itu dan memasukkannya ke amplop berwarna biru. Ia lantas menyiapkan beberapa hal seperti piring plastik, pisau, dan kipas yang akan ia bawa pukul delapan nanti. Hingga kemudian, suara notifikasi kembali terdengar dari ponselnya.

Kartar RT 06 (32)

Doni Syahputra: Oh iya, Dek @Nadiafebri nanti dateng, kan?

Nadia Febriani: Dateng, Kak. Nanti kalo aku gak dateng, makannya gak pake piring dong, hahaha.

Doni Syahputra: Oh iya. Bener juga. Oke.

Dinayatul: Gimana, sih, Don? Gitu doang ditanyain.

Doni Syahputra: Bacot, Din!

Nadia kembali terkikik pelan membaca pesan yang baru saja masuk. Ia sudah tahu betul, bahwa dua manusia itu tidak bisa disatukan apapun alasannya atau akan menimbulkan keributan seisi alam semesta. Bisa-bisa hancur peradaban RT 06.

Lelah tertawa karena pesan-pesan itu, Nadia memilih untuk meletakkan kembali ponselnya dan duduk di kursi meja belajar. Ia berusaha untuk mengatur deru napasnya supaya lebih tenang dan teratur. Dengan sesekali melirik jam di dinding, masih pukul tujuh lewat lima menit. Masih ada setengah jam lebih untuknya mempersiapkan segala hal.

•••

Tepat pukul delapan kurang lima menit, Nadia mulai berjalan menuju lapangan RT yang terletak di belakang rumahnya. Sudah banyak anggota yang hadir. Mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang mulai menyalakan arang, mengupas kulit jagung, memotong sosis, menggelar tikar, bahkan ada juga yang sibuk adu mulut hanya karena hal kecil.

"Hai, Nad!"

Kepala Nadia lantas menoleh ke kanan, ke arah Dina yang barusan menyapanya. Ia tersenyum simpul dan menghampiri Dina yang sedang menyalakan kompor portabel. "Hai, Kak Din. Ini piring sama kipasnya."

"Kipasnya kasihkan Doni, Dek. Yang bakar-bakar biar cowok-cowok aja. Kita bagian bakar-bakar pake kompor." Dina berhenti sejenak, kemudian berbisik, "Biar baju kita gak bau arang, oke?"

Nadia tertawa pelan mendengarnya. Ia lantas mengangguk dan berbalik untuk menghampiri Doni yang duduk di sisi Utara lapangan. Lelaki itu sedang bertempur dengan arang, angin, dan api. Entahlah, mungkin lelaki itu ingin menjadi Avatar. "Kak Don. Ini kipasnya buat bakar jagung."

Doni mendongak dan tersenyum lebar. "Nah, sip. Makasih, Nad."

"Aku ke sana dulu, ya, Kak. Bantuin Kak Dina."

"Yoi."

Sepanjang jalan menuju tempat Dina, Nadia menyapu pandang di sekitar lapangan untuk menemukan sosok Amru. Dan ternyata, laki-laki itu sedang tertawa lebar di bawah pohon mangga dengan teman-temannya yang lain, sambil mengasah beberapa pisau yang akan digunakan.

Sejenak, Nadia menyempatkan diri untuk memandang lelaki itu dari jauh, dengan senyum simpul yang terbit di bibirnya. Entah apa yang ia pikirkan sejauh ini, namun ia sangat senang hanya dengan melihat lelaki itu tertawa.

Pandangan Nadia tiba-tiba meredup. Penerangan lapangan ini seolah tak memberikan pengaruh apapun pada pandangannya. Tangan kanannya meraba saku celananya dan kecemasan itu kembali melanda. Sungguh, ia tak tahu pasti ke mana jalan pikirannya saat ini. Ia hanya ingin, kertas ini tersampaikan pada pemiliknya dengan baik. Semoga, setelah acara ini selesai, semuanya berjalan sesuai harapan.

•••

Satu jam, dua jam, hingga tiga jam. Jarum jam sudah menunjuk pada angka sebelas. Itu artinya, sebentar lagi akan riuh suara kembang api. Menghiasi langit malam yang hampa tanpa ada bintang di sana. Bahkan, bulan pun tak tampak dengan jelas malam ini.

Sambil menunggu saat-saat kembang api dinyalakan, Nadia membersihkan beberapa sudut lapangan dengan mengumpulkan sampah yang tercecer di satu plastik besar. Ia juga mengambil kembali kipas dan pisau yang tadi ia gunakan. Jangan sampai hilang atau mama akan mengaum.

Belum sempat Nadia mengambil botol di samping pohon, seseorang menepuk pundaknya membuat ia sedikit tersentak. Ia lantas menoleh dan ada Amru di sana. Ternyata, Amru yang menepuk pundaknya. Dengan sisa tenaganya, ia tersenyum dan bertanya, "Ada apa, Ru?"

"Boleh ngobrol sebentar?"

Pandangan Nadia turun pada plastik merah yang ada di tangannya. Ia lantas mengangguk dan meletakkan plastik itu. Meskipun ini akan sangat menguras energinya, tetapi ini adalah kesempatan yang tidak akan pernah ia lewatkan begitu saja. "Boleh. Kenapa?"

Terlihat, Amru tersenyum simpul dan mengajak Nadia untuk ikut dengannya. "Ngobrol di sana aja, ya? Di samping ayunan. Biar gak terlalu canggung."

Setenang apapun Nadia, ia tetap manusia biasa yang akan sangat terguncang saat sesuatu yang ia kagumi menghampirinya. Hatinya kembali diguncang kecemasan. Ribuan teka-teki hinggap tanpa izin di kepalanya, menimbulkan berbagai persepsi buruk yang sebenarnya tidak ingin ia rasakan.

"Duduk sini!"

Untuk beberapa detik, Nadia bergeming di tempatnya. Melihat Amru mengajaknya duduk bersebelahan, seolah hanya ada dalam mimpi indahnya. "Kenapa, Ru? Mau ngobrol apa?"

Perhatian Nadia tak lepas sedikitpun, saat Amru menjawab pertanyaannya dengan mengeluarkan amplop biru yang tadi ada di saku celananya. Napasnya mendadak hilang dengan tenggorokan yang mengering secara tiba-tiba. Malam tahun barunya dipenuhi dengan ribuan kejutan tak terduga.

Amru menyodorkan amplop itu di hadapan Nadia dengan senyum yang masih sama. "Aku yakin, ini pasti dari kamu, kan?"

Keberanian yang tadi susah payah Nadia kumpulkan hingga ia harus meredam gejolak kecemasan yang luar biasa, kini sirna tanpa sisa. Tubuhnya membeku dengan arah pandang pada amplop yang ada di hadapannya sekarang, amplop biru yang Amru sodorkan padanya. Benar, itu miliknya yang tadi akan ia berikan kepada Amru, sebagai pengungkapan isi hatinya.

"Ini punyamu, kan, Nad?" ulang Amru.

Nadia bukan manusia yang pandai berbohong. Jadi, kepalanya refleks mengangguk, membuat matanya melebar saat menyadari apa yang ia lakukan barusan. "Maaf. Gak bermaksud kayak gitu, Ru."

Amru mengangguk saja dengan tawa pelan. Ia menarik kembali amplop yang ia sodorkan untuk dibuka dan diambil isinya. "Aku sudah baca, Nad. Ini bagus banget isinya. Makasih banyak, ya."

Tak ada yang berani Nadia lakukan. Ia hanya bergeming setelahnya. Kecemasan demi kecemasan menghantam kepalanya berulang-ulang, membuat mulutnya terbungkam tanpa tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini.

"Kapan kamu masukin ke tasku?"

Nadia tertawa kecil, kemudian menjawab, "Maaf, ya, Amru. Barangkali itu mengganggu kamu. Tadi aku masukkan pas kamu sibuk bakar jagung. Aku cuma mau berbagi rasa aja, gak lebih. Maaf."

Amru ikut tertawa pelan dan membuka kertas yang ada di dalam amplop itu. "Gak perlu minta maaf, Nad. Aku baca di sini. Boleh, Nad?"

"B-boleh."

Hal yang baru, namun tak terasa baru. Hal yang lama, namun bukan barang lama. Hal yang aku simpan, namun enggan untuk aku ucapkan.

Malam ini, langit hirap bak ditelan masa. Tak ada gemuruh yang menyapa, karena hanya ada angin yang setia berembus tanpa meninggalkan jejak.

Tiga tahun yang lalu, aku bertemu seseorang yang membuatku jatuh dalam lubang keajaiban. Aku menemukan ribuan mutiara yang tak dapat aku abadikan. Karena aku tahu, mutiara itu terlalu jauh untuk aku gapai dengan tanganku.

Mutiara itu jatuh pada netranya yang indah, senyumnya yang menawan, juga langkahnya yang terdengar syahdu. Malamku yang hirap, mendadak dipenuhi oleh bintang yang timbul di balik matanya.

Aku mengagumimu, sungguh!
Maaf untuk hal ini.

-dooaa

"Terima kasih, Nad."

"Gimana kamu bisa tahu kalo itu dari aku?"

"Gampang." Amru melipat kertas itu dan tersenyum simpul menghadap Nadia. "Cuma kamu satu-satunya cewek yang bisa nulis sebagus ini. Kamu itu, feel in pen. Semua yang kamu rasakan akan ada di setiap goresan penamu. Dan, nama terang yang kamu kasih. Dooaa, itu bacanya dua, kan? Kamu lahir bulan kedua, Februari. Benar, kan?"

Nadia tersenyum simpul. Rasa kagum yang tadinya menumpuk, kini semakin memenuhi hatinya. "Benar."

"Benar kata seseorang, gak akan rugi menyukai seorang Nadia Febriani, dan sudah terbukti bahwa aku gak rugi, Nad. Sama sekali gak rugi," balas Amru.

"Maksudnya?"

Senyum Amru melebar dengan pandangan ke langit. "Tiga tahun yang lalu, saat kamu memutuskan untuk jatuh ke dalam lubang keajaiban itu, tanpa kamu sadari, aku jatuh pada lubang yang sama."

Sunyinya malam sontak merebut suara Nadia dengan paksa. Tak ada lagi yang dapat ia katakan selain membalas senyum Amru yang benar-benar meruntuhkan hatinya. "Terima kasih, Ru."

Belum sempat Amru membalas, riuhnya kembang api di langit terdengar. Langit malam benar-benar dihiasi oleh gemerlap kembang api yang bersahutan dari berbagai tempat. Berbagai warna menyebar hingga memberikan ribuan warna di langit yang gelap ini.

"Sebuah keberuntungan bisa kenal kamu, Nad. Semoga kita bisa dipertemukan di titik terbaik menurut takdir Tuhan." Amru menoleh pada Nadia yang bergeming sambil menatapnya. Ia terkekeh pelan. "Selamat tahun baru, Nadia Febriani."

"Selamat tahun baru, Imam Amru Maulana."

—The End

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top