Langit Di Atas Kita
---
“Kalau gue mati, jangan lupa bawain nasi padang ya buat di kuburan gue. Paling nggak, gue mati kenyang,” kata Bimo sambil tertawa. Teman-temannya, seperti biasa, hanya menanggapinya dengan tawa hambar.
“Nasi padang? Gue bawain McD aja deh, biar gaya dikit,” jawab Budi, sahabat terdekatnya. Obrolan seperti ini sudah jadi hal yang biasa bagi mereka. Bimo memang suka bercanda soal kematian—anehnya, tak ada yang pernah menganggap serius kata-katanya.
Sania, yang biasanya ikut tertawa, hanya tersenyum kali ini. "Nggak capek apa, Bim? Dari dulu ngomongin mati melulu."
"Eh, santai, gue masih hidup kok sekarang," sahut Bimo sambil tertawa.
Monica, yang lebih pendiam, ikut menimpali, “Kalau lu mati, mau pake bunga apa, Bim? Biar gue siapin dari sekarang.”
Bimo tersenyum lebar. “Wah, niat banget. Tapi kalau bisa, gue mau dikelilingi nasi padang, bukan bunga.” Semua kembali tertawa.
Namun, di balik tawa mereka, ada sesuatu yang tak kasatmata—rasa resah yang menyelinap di antara mereka, terutama Cinta dan Monica yang mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Meskipun begitu, mereka memilih diam, menutupi kegelisahan mereka dengan senyum palsu.
Diana menatap Bimo dengan ekspresi sedikit lebih serius. "Bim, lo sering banget ya ngomong soal mati. Gue jadi kepikiran, ada apa sebenarnya? Lo baik-baik aja, kan?"
Bimo mengalihkan pandangannya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Santai aja, Di. Gue cuma bercanda kok. Tapi kalau lo tanya apa gue baik-baik aja... yah, hidup ini kan nggak pernah mudah.”
Diana mengangguk pelan, merasa ada sesuatu di balik ucapan Bimo yang tidak ia ungkapkan sepenuhnya.
***
Di sela-sela waktu sekolah, mereka sering duduk di atap gedung sekolah, tempat favorit mereka untuk ngobrol. Suatu sore, ketika langit mulai berwarna jingga, Bimo menatap jauh ke atas, terlihat lebih serius dari biasanya.
“Gue tuh kadang mikir, ya,” kata Bimo sambil menatap langit. “Kematian tuh kayak langit. Jauh, tapi selalu ada di atas kita, nggak bisa dihindarin.”
“Aduh, Bim! Lu mulai lagi deh!” teriak Angga. “Serius amat sih, ngomongin langit segala.”
Budi pun juga menyaut, "iya Bim, sekali aja lu bicara normal bisa ga sih jangan bahas kematian melulu deh."
Vinny, yang dikenal sebagai yang paling peka di antara mereka, akhirnya angkat bicara. “Lu ada masalah, Bim? Kok belakangan ini obrolan lu kayak lebih berat gitu.”
Bimo menatap Vinny sejenak, lalu tersenyum. “Enggak, Vin. Gue cuma... belajar berdamai aja sama hidup. Yah, kadang mikir, kalau semua ini bakal berakhir, lebih baik kita nikmatin selagi bisa, kan?”
Monica, yang duduk di samping Vinny, menambahkan, “Iya, Bim. Hidup ini kan penuh dengan kejutan. Kita harus siap menghadapi semuanya, baik suka maupun duka.”
Teman-temannya terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berubah dalam cara Bimo berbicara. Diana menatapnya dalam diam, sementara Cinta dan Monica hanya memandangi langit yang sama, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang semakin menguat.
Sania menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa khawatir. "Bimo emang begitu, suka ngomong nggak jelas. Nggak usah dibawa serius."
Namun, di benak Vinny, sesuatu terasa salah. Bimo, yang selalu bersikap ceria, kini menunjukkan sisi yang berbeda. Meskipun teman-temannya tertawa, Vinny tak bisa menyingkirkan rasa khawatir.
***
Sore itu, setelah yang lain pulang, hanya tersisa Bimo dan Vinny yang duduk berdua di atap sekolah. Langit mulai berwarna jingga, dan suasana yang biasanya penuh canda menjadi tenang. Vinny merasa inilah saatnya untuk berbicara.
“Bim, gue tahu ada yang lu sembunyiin,” kata Vinny pelan, memecah keheningan.
Bimo menunduk, tidak langsung menjawab. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Lu bener, Vin. Gue capek pura-pura.”
Vinny menatapnya dengan cermat, menunggu kata-kata berikutnya.
“Ayah gue ninggalin kita waktu gue masih kecil, bahkan trauma yang disebabkan oleh mereka saat gua masih kecil masih membekas untuk gua hingga saat ini di. Dan sejak perceraian itu, hidup gue ngerasa kayak... kosong. Nyokap gue sibuk kerja, gue ngerasa sendirian di rumah. Gue berusaha ngelewatin semuanya dengan bikin kalian ketawa, tapi itu nggak cukup. Gue ngerasa nggak punya tempat buat cerita. Gue takut kalian nggak ngerti.”
Vinny menatap Bimo dengan mata penuh empati. “Kenapa lu nggak cerita dari dulu, Bim? Kita kan teman.”
Bimo tersenyum tipis. “Lu satu-satunya yang gue percaya, Vin. Lu peka. Yang lain terlalu sibuk ketawa sama lelucon gue, mereka nggak bakal ngerti kalau gue berhenti ketawa.”
Vinny terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia merasa bersalah karena selama ini, meski dekat dengan Bimo, ia tak pernah benar-benar tahu betapa berat beban yang sahabatnya pikul.
***
Beberapa hari kemudian, Bimo tidak ada kabar sama sekali. Awalnya, teman-temannya mengira Bimo sedang berusaha mengerjai mereka seperti biasa. Namun, ketika Budi dan Sania mencoba menghubunginya, ponselnya mati. Kekhawatiran mulai muncul.
Mereka memutuskan untuk mengunjungi rumah Bimo bersama. Setibanya di sana, pintu rumah terbuka sedikit, dan suasana sunyi menyambut mereka. Tanpa suara, mereka melangkah masuk, hanya untuk menemukan Bimo terbaring tak bernyawa di tempat tidurnya.
Vinny menangis, meratapi tubuh Bimo yang dingin. Budi berdiri kaku, perlahan memegang tangan Bimo, tidak mampu berkata-kata. Monica menggigit bibirnya, menahan isak yang tak tertahankan. Di meja samping tempat tidur, ada surat kecil dengan tulisan tangan Bimo:
---
“Untuk kalian, teman-teman terbaik gue. Maaf gue pergi duluan. Gue nggak bisa lagi terus berpura-pura kuat. Terima kasih untuk tawa yang pernah kita bagi. Kalian adalah bagian terindah dalam hidup gue, dan setiap momen bersama kalian akan selalu jadi kenangan yang gue simpan di hati. Tapi sekarang, gue ngerasa kayak beban ini terlalu berat untuk gue tanggung sendirian. Jangan lupa, nasi padang di kuburan gue, ya. Gue harap kalian bisa terus ketawa dan bahagia, karena itu yang selalu gue inginkan untuk kalian.”
– Bimo
***
Hari pemakaman Bimo, teman-temannya berkumpul di makamnya, membawa bunga dan... nasi padang, seperti yang ia minta. Meski suasana berat, mereka berusaha tetap tersenyum, seolah ingin menghormati cara Bimo menghadapi hidupnya.
“Gue nggak nyangka dia beneran serius soal nasi padang,” kata Budi sambil menaruh nasi padang di atas tanah dekat makam.
Angga, yang biasanya penuh canda, kini hanya diam, menunduk. Diana dan Sania berdiri di samping, air mata mengalir di pipi mereka. Sania menambahkan, “Kita nggak pernah tahu... dia bisa nyembunyiin semua ini di balik candaannya.”
Cinta, yang sejak awal diam, akhirnya berkata pelan, “Mungkin kita terlalu sibuk ketawa, sampe kita lupa buat nanya apa dia baik-baik aja.”
Monica dengan tangan gemetar mulai perlahan bicara dengan nada berat. “Dia selalu bikin kita ketawa, tapi kita nggak pernah nanya... gimana perasaan dia sebenarnya.”
Vinny berdiri paling dekat dengan makam Bimo, menatap batu nisan dengan tatapan kosong. Ia teringat percakapan terakhir mereka di atap sekolah, tentang langit dan kematian.
“Dia selalu ngomong soal langit,” gumam Vinny, “dan sekarang dia bener-bener udah pergi ke sana.”
Langit sore itu berwarna oranye keemasan, mengingatkan mereka pada percakapan yang sering Bimo angkat tentang langit dan kematian. Kini, di bawah langit yang sama, mereka tahu bahwa tawa tidak selalu berarti bahagia, dan Bimo telah memilih jalannya sendiri.
Selamat tinggal, Bimo.
---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top