9

Langit tersentak. Ia menatap pak Darma tak percaya. Namun tak urung ia tersenyum kecil. Sambil mengetuk meja dengan pena ia bertanya.

"Bisa beritahu saya alasannya?"

"Maaf ini sudah menjadi keputusan keluarga besar. Kami sudah membicarakannya tadi malam."

"Setelah apa yang saya kerjakan, setelah begitu besar dana yang saya kucurkan. Bapak ingin mendepak saya? Bapak sangat tidak profesional" ucapnya tajam.

Darma terdiam. Ia diceramahi oleh pemuda ingusan soal profesionalisme. Seketika emosinya berbicara.

"Kami akan mengganti semua"

"Termasuk jasa saya?" Suara Langit terdengar dingin

"Semua"

Lama sang laki laki muda menatap seniornya dengan pandangan sulit diartikan. Akhirnya sambil menggeleng kepala ia meraih selembar kertas kosong, juga sebuah pena. Kemudian menulis sejumlah angka beserta perinciannya. Tak lama ia menyerahkan tulisan itu pada Darma. Membuat pria itu terbelalak.

"Angka awal adalah jumlah dana yang saya kucurkan sesuai perjanjian kita. Yang kedua saat kita di Samarinda. Bapak boleh cek ke bagian keuangan. Dan angka terakhir adalah jasa saya untuk membereskan segala masalah yang ada di Darma Lautan. Saya tidak pernah bekerja secara gratis.

Sekedar ingin agar bapak tahu, saya menunda pembangunan kawasan Agrowisata untuk menyelamatkan perusahaan bapak. Dan setelah semua beres, bapak mendepak saya?

Baiklah, meski kecewa saya beri bapak waktu seminggu untuk mengembalikan semua. Kalau tidak bisa, maka kita akan bertemu dipengadilan dengan tuduhan bapak melakukan malkontrak. Setelah ini urusan kita hanya akan melalui lawyer saya. Maaf saya berkata kasar karena bapak sudah membuang waktu saya selama dua bulan lebih"

Darma tertegun mendengar kalimat Langit. Tidak ada permohonan atau sesuatu yang meminta agar ia berubah pikiran. Langit menatapnya tajam. Ia tahu, investasi Langit sangat besar. Ia harus menjual delapan puluh persen asetnya agar bisa membayar hutang pada pria muda itu. Itu adalah harga yang mahal untuk menebus harga dirinya.

***

Sekeluarnya pak Darma, Langit kembali ke rumah. Ia menuju ruang Gym miliknya. Tanpa mengganti pakaian kerja ia menaiki treadmill. Mencoba menguras energi negatif yang bersarang dikepalanya. Langit tidak suka sikap Darma. Ini murni bisnis dan ia tidak bisa diperlakukan seperti itu. Sikap Darma memancing tindakan kasar dari seorang Langit.

Ia tidak akan membiarkan dirinya kalah. Setelah semua berjalan baik lalu ia dibuang? Semudah itu? Apa keluarga pak Darma itu anak TK yang tidak punya otak? Ia bisa melihat tatapan tak suka mereka terhadap keputusannya. Tapi, ini bisnis bung. Dimana pencapaian utamanya adalah keuntungan. Bukan permainan jualan anak anak setelah sore hari wajib bubar.

Langit menambah kecepatan larinya. Ia tertawa dalam hati, Darma mau bermain main? Baiklah, akan dilayaninya. Kita mulai, dan bida dipastikan bukan Langit korbannya.

***

Darma memasuki pekarangan rumah. Seluruh keluarga besar sudah menunggu. Terutama keluarga istrinya. Alea tampak berada diantara mereka. Darma memasuki ruang tamu dengan lesu. Istrinya segera bertanya

"Bagaimana pa?"

Darma mengeluarkan selembar kertas berisi tulisan tangan Langit. Meletakkanya diatas meja. Gayatri mengambil kertas itu dan terbelalak.

"Sebanyak ini?"

"Ya, dan dia memberi waktu satu minggu. Angkanya hampir delapan puluh persen aset kita"

Priyono tertunduk, ia tahu kalau mereka membayar itu maka semua akan jatuh miskin.

"Minta waktu tambahan pa"

"Itu sudah keputusan Langit. Karena kita malkontrak"

"Biar mama coba telfon"

Darma mengangkat tangannya.

"Langit bukan anak kemarin sore. Ia lebih kejam dari pembunuh. Jangan lagi menyulutnya. Kalau tidak ingin kita semua tertidur dijalanan. Sekarang bagaimana kita mencari uang sebesar itu selama seminggu"

Gayatri tertunduk, ia terlalu emosi kemarin.

"Mas Pri? Lahan sawit bagaimana?"

Priyono tergagap. Matanya berkedip tanda gelisah.

"Mas?" Tanya Gayatri sekali lagi.

"Aku sudah menggadaikannya ke bank. Untuk menutupi hutang hutangku"

"Yang atas namaku mas?"

"Termasuk didalamnya"

"Kok bisa?"

"Aku merubah surat kepemilikanmu sesaat setelah pembagian warisan ayah. Kebetulan selama ini kamu tidak pernah bertanya"

Gayatri terduduk lemas sampai kemudian tak sadarkan diri.

***

Maka disinilah Alea sekarang berada. Menunggu Langit di kantornya. Setelah pria itu mengatakan bahwa ia tidak bersedia berurusan langsung dengan orang tuanya. Setelah puluhan panggilannya tak diangkat oleh pria itu.

Tiga jam menunggu barulah Langit bersedia menerimanya. Setelah dua orang pria berdasi keluar dari ruangan pria itu. Tak lama Langit keluar dari ruangan. Menatapnya sekilas dan bertanya dengan suara dingin.

"Ada apa menemui saya?"

Alea sangat gugup, tatapan Langit begitu mengintimidasinya.

"Aku mau bicara dengan kakak"

Langit menarik nafas dalam. Dalam hati ia tertawa. Lalu kelinci mau merubah diri menjadi harimau? Tak akan bisa!

"Saya belum makan siang, saya yakin kamu juga. Ayo masuk kedalam, kita bicara sambil makan"

Alea tak punya pilihan lain. Ia mengikuti langkah panjang Langit dari belakang. Mereka duduk disebuah meja bulat berukuran sedang. Tak lama makanan datang. Nasi merah, tiga macam sayur dan juga ikan.

"Ibu sudah makan?" Tanya Langit pada perempuan yang mengantar makan siang mereka.

"Sudah pak"

Langit hanya mengangguk dan mempersilahkan Alea makan. Alea menurutinya.

"Jadi apa tujuan kamu kemari?"

"Mau membicarakan kesepakatan kakak dengan papa"

"Mereka mengutus kamu?"

"Tidak, aku datang atas inisiatif sendiri. Mama sedang sakit" jawab Alea sambil meminum air putihnya.

Langit tetap melanjutkan makan siangnya. Seolah apa yang dikatakan Alea adalah angin lalu.

"Saya hanya akan menanggapi melalui pengacara. Maaf saya tidak bisa mempercayai keluargamu lagi"

Alea menarik nafas panjang.

"Kak, tolong beri kami perpanjangan waktu"

Langit meletakkan sendok dan garpu dipiring lalu menatap Alea tajam.

"Alea, kita tidak berbicara mengenai uang dengan nilai puluhan ribu. Kita bicara mengenai uang dengan nilai puluhan milyar. Kamu bayangkan, seandainya uang itu saya biarkan di bank. Berapa keuntungan saya. Seandainya saya tidak membenahi perusahaan pak Darma, Agrowisata impian saya pasti akan segera terealisasi.

Kamu tahu, saya sudah bekerja keras memberikan waktu dan pikiran saya. Setelah semua beres, kalian melempar saya keluar dengan sengaja. Ini murni bisnis Alea. Saya tertarik pada angkutan laut memang. Dan saya sudah membuang begitu banyak waktu. Pertanyaan saya, kalau kamu jadi saya, negosiasi apalagi yang bisa meluluhkan saya.

Kita jangan bicara tentang kemanusiaan. Kita bicara tentang penghianatan papa kamu terhadap saya. Saya tidak akan menuntut beliau, kalau ia bersedia mengembalikan uang saya. Kalau beliau tidak sanggup. Kita bertemu di pengadilan. Dan kalian bisa kehilangan semua. Saya tidak main main"

Alea terdiam sambil memejamkan mata sejenak. Kamu cantik dengan mata terpejam. Suatu saat saya akan menikmati itu sepanjang malam.

"Tolonglah kak"

Langit menggeleng.

"Apa nggak ada jalan lain?"

"Ada"

"Apa?"

"Kamu jadi istri saya" jawab Langit sambil tertawa. Aku serius!

Membuat kedua bola mata Alea membesar seketika.

"Kakak becanda"

Langit hanya menyungging senyum samar. Tak bersedia menjawab pertanyaan gadis itu.

***

Alea menarik nafas panjang, ia berusaha menemui Dimas di kantornya siang ini. Hari ketiga setelah ancaman setengah becanda Langit yang menurutnya cukup serius. Setelah keluarganya berembuk pun tidak menemukan jalan keluar. Langit melalui pengacaranya menolak jalan damai. Karena memang pihak Darma Lautan yang tidak ingin melanjutkan.

Perlahan ia memasuki gedung berlantai tiga puluh itu. Kantor Dimas sendiri berada dilantai dua puluh. Alea menukar tanda pengenalnya dengan kartu tamu. Baru kemudian diantar satpam menuju lift. Ia tidak sendiri, banyak orang juga yang naik bersamanya.

Keluar dari lift ia disambut resepsionis. Kebetulan mereka saling mengenal. Sehingga tidak perlu menjelaskan, ia bisa langsung bertemu Dimas. Alea juga tahu seluk beluk kantor ini. Ia sering menemani Dimas saat lembur. Dimas yang memang tengah menunggunya segera menyambut kedatangan Alea.

"Kok tumben kemari siang siang?" Tanya Dimas

"Aku ada perlu sama kakak"

Dimas menatapnya heran, tak biasa kekasihnya muncul.di kantor tanpa alasan jelas. Apalagi disiang hari begini. Alea yang terus tertunduk seketika membuat Dimas bangkit dan mendekatinya.

"Kamu kenapa?"

Alea menatap mata Dimas. Ada kecemasan yang dalam disana.

"Kak..."

"Ya... kamu ngomong aja"

Alea bingung harus memulai darimana. Ia tidak berani. Takut dianggap perempuan matre dan tak tahu diri. Setelah memejamkan mata ia akhirnya berkata,

"Aku mau minta bantuan transport untuk anak anak yang mau ujian"

Dimas lega seketika.

"Ya ampun sayang, kamu aneh aneh aja. Bikin aku cemas" jawab Dimas sambil mencubit pipi Alea.

Gadisnya kembali tersenyum, meski dalam hati debaran itu semakin kuat. Ia tidak mungkin menceritakan aib keluarganya pada Dimas. Apalagi meminjam uang sebanyak itu. Tidak mungkin. Lalu ia harus kemana? Papa semakin terpuruk, mama juga. Om Pri tidak bertanggung jawab. Ia menghasut papa dan mama untuk melawan Langit. Dan saat emosi papa tersulut. Om Pri malah pergi dan tidak tahu lagi berada dimana.

Seandainya dulu papa tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Pasti tidak akan seperti ini. Mereka terancam kehilamgan segalanya kalau Langit benar benar menepati ucapannya.

Akhirnya Alea pamit. Meninggalkan rasa penasaran dalam hati Dimas. Tidak biasanya gadisnya seperti itu. Tadinya ia ingin mengantar Alea pulang. Tapi batal karena dipanggil papa ke ruangannya.

***

Alea tiba di rumah saat hari sudah sore. Ia melangkah menuju meja makan. Tidak ada makanan apapun disana. Perlahan dicarinya mama ke kamar. Tidak ada! Saat sedang menuju teras belakang, samar didengar kedua orangtuanya berbicara.

"Kita kalah ma"

"Apa tidak ada jalan lain?"

"Papa bingung sekarang. Kemarin mas Pri bilang kalau dia akan menjual semua miliknya asal Darma Lautan kembali kepangkuan keluarga. Ternyata malah kita jadi tahu kalau sudah ditipu habis habisan selama ini"

"Maafkan masku pa"

"Sudahlah ma yang papa pikirkan sekarang malah Alea. Kalau kita tidak punya apa apa lagi, bagaimana dengan dia. Selama ini juga dia tidak pernah bekerja secara formal. Apa nanti Dimas masih bersedia menerimanya? Lalu bagaimana kita bisa menikahkan dia kalau kita juga nggak punya uang?"

"Mama nggak tahu lagi pa"

"Besok pengacara Langit akan datang, membicarakan segala sesuatunya"

"Seandainya sejak awal kita biarkan Langit pada posisinya. Semua tidak akan sehancur ini pa"

"Sudahlah, papa yang salah. Langit memang betul, papa tidak profesional. Tidak seharusnya papa mengedepankan perasaan diabaikan pada saat Darma Lautan sudah membaik. Perusahaan itu hanya akan menjadi kenangan untuk kita ma"

Alea berdiri terpaku ditempatnya.



***

Happy reading

Maaf untuk typo

12.05.19





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top