5
Langit memasuki ruang pameran agriculture yang diadakan departemen pertanian. Ia memiliki sebuah stand disana. Beberapa karyawan sudah diperintahkan untuk menjaga stand tersebut. Di dalam ruangan ia disapa oleh beberapa pelaku bisnis dibidang yang sama. Mereka memang saling mengenal karena tergabung dalam wadah organisasi yang sama.
Setelah berbasa basi sejenak Langit memasuki standnya. Banyak pengunjung yang bertanya mengenai sayur dan buah organik yang sedang booming. Juga membeli beberapa hasil produk mereka. Banyak juga yang bertanya dijual dimana, atau kebunnya dimana. Langit menjelaskan dengam ramah. Apalagi ia berencana membuka Agrowisata beberapa bulan kedepan. Sekaligus promosi untuk para coorporate dan pelaku bisnis pendidikan.
Sampai saat matanya menangkap sesosok tubuh yang amat dikenalnya dengan baik. Pria berpenampilan rapi yang telah menghancurkan kehidupan dimasa lalu. Dan sayangnya, darah pria itu mengalir dalam tubuhnya. David Dirgantara!
Langit berusaha bersikap profesional. Ia memberi senyum sekilas namun kali ini membiarkan bawahannya yang menyambut pria itu. Ia duduk sembari mendengarkan dan mengutak atik ponselnya. Tampaknya pria itu tertarik membeli beberapa macam sayur dan buah juga bibit. Mata mereka bertemu sekilas. Langit tersenyum, namun pria itu menyipitkan sedikit matanya. Seperti berusaha mengingat sesuatu namun tak berhasil.
Kemudian David meninggalkan stand milik Langit, meski sesekali menatap kearahnya. Tanpa menyadari bahwa laki laki yang berada dihadapannya tadi adalah putra kandungnya. Langit hanya tersenyum kecil. Ia sudah menyiapkan amunisi. Hanya tinggal mengeksekusi.
.
.
.
Sore itu, Langit menikmati kota Jakarta dari lantai lima belas kamar hotelnya. Dibawah sana jalanan sangat macet. Ia kembali menghirup kopinya. Ia akan berada disini selama dua hari. Terlalu jauh bolak balik ke rumah membuatnya harus menginap di hotel.
Pertemuan dengan David membuat dadanya sesak. Ada hal di masa lalu mereka yang belum selesai. Ia tahu dendam serta rasa marah itu tak pernah padam. Ada pertanyaan besar, apa salah ibunya sampai mereka harus hidup.seperti itu. Memang mereka tidak diusir, tapi rasanya tidak layak, kalau ibu diperlakukan sekasar itu. Tidak pernah sekalipun ayahnya mencari mereka. Seolah olah kepergian mereka membawa kegembiraan bagi keluarga baru ayah.
Ia akan menemukan cara untuk mendapat jawaban itu, sekaligus membalaskan dendamnya. Apapun itu. Ia sudah mapan sekarang, tidak lagi takut kelaparan. Langit cukup sukses sebagai pengusaha. Ia tidak punya hutang, juga punya banyak aset. Terbayang ibu tengah berbaring lemah. Penderitaan penderitaan datang silih berganti. Mereka harus sama menderitanya dengan Langit dulu.
Bukan hal mudah menjalani semua. Ia bukan menghancurkan seluruh kehidupan mereka. Ia hanya ingin agar rasa sakit yang pernah ia rasakan, juga dialami oleh Dimas
terutama. Musim selalu berganti. Demikian juga kebahagiaan.
***
David memasuki kantor. Ia merasa lelah setelah mengunjungi pameran yang berada di dekat kantor tadi. Ia bangga bahwa pelakunya adalah anak anak muda yang kreatif dalam mengambil peluang pasar.
Saat memasuki sebuah stand tadi, ia menemukan seorang anak muda disana. Entah kenapa dadanya terasa berdebar. Berkali kali mereka saling mencuri pandang. David merasa pernah melihatnya. Tapi dimana? Ia merasa tidak asing dengan pemuda itu. Tapi tampaknya pemuda itu juga tak mengenalnya. David menggelengkan kepala, usia sudah mengambil sebagian memorinya.
David merebahkan tubuh disofa. Usianya sudah menua. Dan hingga kini Dimas belum bisa dilepas. Putranya itu bukan decision maker. Dimas hanya seorang follower sejati
Itu yang sedikit mengganggu pikiran David. Sementara setelah kembali bersama Amara, mereka tidak pernah punya anak lagi. David menarik nafas panjang. Bayangan masa lalu kembali muncul. Saat sendiri seperti ini ia teringat akan Langit, sudah lama sekali mereka tidak bertemu. Dan ia yang tak ingin bertemu. Ada rasa bersalah yang dalam, terutama saat harus menyambangi makam kedua orang tuanya.
Dulu rasa bersalah itu tidak sebesar sekarang. Tapi kini? Kemana ia harus mencari mereka? Apakah Sitha masih hidup? Apakah Langit sudah menikah? Ia seumuran dengan Dimas. Jarak kehamilan Sitha dan Amara tidaklah jauh.
Perlahan mata tua itu mulai berkaca kaca. Tapi semua tak ada artinya. Sitha dan Langit sudah pergi jauh. Entah kemana! Amara benar, tidak ada gunanya menyesal.
***
Alea dan Danti tengah mengobrol di teras belakang rumah Narendra. Mereka sama sama menikmati kudapan yang sudah tersedia.
"Dan, kak Bagas udah lama ya kenal sama kak Langit?"
"Kayaknya sih udah, dari berapa tahun yang lalu gitu. Langit memasok bahan makanan untuk resto papanya. Kenapa?"
"Emang orangnya jutek gitu ya?"
Danti tertawa
"Enggak ah, malah cenderung pemalu kalau aku bilang. Nggak pernah banyak ngomong. Dia nggak betah ditempat ramai. Gugupan kalau ketemu orang baru"
"Pantes..."
"Kenapa ya"
"Waktu gue ketemu dia, dianya kayak yang cuek gitu"
"Apalagi sama perempuan, gak berani dia"
"Masak sih? Jangan jangan..."
"Kalau maksud lo dia gay. Elo salah. Dia straight kok. Kata mas Bagas. Mereka kan sering bareng"
"Maksud lo, dia sering sama perempuan...." Alea bergidik.
"Ah, udah rahasia umumlah, laki laki jaman sekarang begitu"
"Bagas...?"
"Dia kan dah dapet jatah dari gue" jawab Danti sambil memainkan kedua alisnya.
"Jangan bilang..."
Danti tertawa
"Kan banyak cara juga lea, bisa blow jobkan?"
"Elo yah kayak bener aja" ujar Alea sambil melempar bantal kursi pada sahabatnya itu.
"Tapi kak Langit baik kok. Aku sama kak Bagas berapa kali main ke lahan pertanian. Dan aku bebas bebas aja disana. Dia juga jago masak. Sering kita mancing di kolam ikan terus dia yang bakar, buat sambel sama numis sayur. Kami tinggal makan aja.
Orangnya bersih banget, rumahnya nggak ada debu sama sekali. Kalau kamu sih, kayaknya nggak cocok jadi istrinya"
"Ngaco kamu, aku sudah punya kak Dimas. Nggak berniat nyari yang lain. Apalagi tipikal kayak Langit"
"Jangan salah, banyak yang udah patah hati, jangan sampai kamu yang kesekian" balas Danti sambil tertawa lebar.
"Nggak bakalan" Alea tak mau kalah.
***
Langit tengah duduk disebuah ruang tunggu bank swasta nasional. Ia merupakan nasabah prioritas bank tersebut. Seperti biasa sambil menunggu ia memainkan ponselnya. Saat tengah menunggu tiba tiba seorang pria setengah baya duduk di dekatnya. Dengan ujung mata ia mencoba menilai pria tersebut.
Wajahnya menunjukkan kalau ia tengah ada dalam masalah besar, terlihat dari tarikan serta hembusan nafasnya. Tapi pria ini pasti bukan pria sembarangan. Karena ia duduk dalam satu ruangan bersama Langit.
Langit kembali menekuni ponselnya. Sampai kemudian teller tersebut memanggil namanya.
"Bapak Langit"
Ia bangkit dan menghampiri perempuan cantik tersebut. Teller baru!
"Kok banyak sekali ambil tunainya pak, kenapa nggak transfer saja?"
"Karyawan saya kebanyakan tidak punya rekening. Mereka petani jadi gaji mereka harus saya bayar tunai"
Perempuan itu mengeluarkan uang yang masih di banded dan berada dalam balutan plastik. Langit menerima kemudian memasukkan ke dalam tas.
"Bapak bawa pengawal?" Tanya perempuan itu lagi.
"Bawa" jawab Langit singkat. Kemudian meninggalkan ruangan. Sebelum menutup pintu, pandangannya kembali tertuju pada laki laki tua itu. Tangan rentanya sedikit gemetar.
Langit jatuh kasihan, ia memutuskan keluar dan menunggu dimobilnya. Lima belas menit kemudian laki laki itu menuju tempat parkir. Ia menenteng sebuah bungkusan yang pasti berisi uang. Pria itu tampak lelah, dan lengah. Ia tidak fokus pada jalannya.
Langit mengikuti dari belakang. Ternyata tujuan pria itu tidak jauh dari bank tersebut. Sebuah bangunan lama yang dipapan depan tertulis sebuah nama perusahaan pelayaran. Langit tahu, perusahaan itu sudah hampir bangkrut. Seseorang pernah menginformasikan padanya.
***
Dan sore ini ia akan bertemu dengan pria tua itu. Bapak Darma. Seseorang telah mengenalkan Langit padanya. Saat ini Langit mulai mencoba ekspansi ke wilayah bisnis lain. Masih dibidang transportasi. Yakni pengiriman barang melalui laut. Jasa kapal container cukup memiliki peluang bagus. Apalagi saat ini pelabuhan di daerah banyak yang sudah direnovasi. Sehingga memungkinkan bagi kapal kapal besar untuk sandar.
Pria itu muncul dengan senyum teduhnya. Langit berdiri sambil menjabat tangannya dengan erat. Kemudian mempersilahkan untuk duduk. Mereka segera membuka obrolan mengenai rencana kerjasama. Pak Darma menunjukkan proposalnya. Langit meneliti beberapa point penting. Kemudian bertanya sekilas. Ia sangat teliti untuk hal tersebut. Keemudian mencoret beberapa hal yang ingin dirubah. Pak Darma hanya menatapnya. Sampai saat Langit selesai.
"Kamu sangat bersemangat Langit"
"Yang masih muda harus seperti itu pak"
"Ya, saya juga dulu seperti kamu. Tapi setelah seusia sekarang, saya merasa lemah"
"Dalam hidup, segala sesuatu ada masanya pak"
"Ya" pak Darma menatap Langit dengan lembut. Mengamati jemari pria itu sekilas. Langit paham maksudnya. Karena itu ia segera berkata.
"Saya belum menikah pak"
"Maaf, saya tidak bermaksud mencampuri urusan pribadi kamu"
Langit hanya tersenyum mengangguk.
"Masih ada orang tua?" Tanya pak Darma lagi.
"Masih pak, ibu saya. Tapi stroke. Jadi tidak bisa beraktifitas normal.
"Ayah kamu?"
"Ayah dan ibu saya sudah berpisah, sejak saya masih kecil. Dan kami lose contact"
Pak Darma menatapnya kembali. "Pasti berat ya"
Langit menarik nafas dalam "cukuplah pak"
Tak lama mereka berpisah. Setelah pak Darma berjanji datang ke lahan pertanian milik Langit. Disana mereka akan menadatangani kerja sama. Langit pamit dengan sopan ia membungkukkan badan saat menyalami pak Darma. Membuat pria itu menepuk punggungnya lembut.
Bagi pak Darma mungkin itu hal biasa. Tapi bagi Langit yang begitu cepat kegilangan sosok ayah. Sangat merindukan sentuhan seperti itu. Ia merasa terharu. Tak mudah menemukan orang yang benar benar tulus dalam hidup. Perlakuan seperti ini tak pernah didapat saat masih bersama ayah. Ia bukan anak yang diinginkan.
Meninggalkan tempat pertemuan mereka, membuat Langit merindukan ibu. Sudah beberapa hari ini ia tidak pulang. Dialihkannya arah kendaraan menuju tol luar Jakarta. Ia ingin memeluk ibu, menghirup aroma tubuh ibu. Seluruh pekerjaannya disini sudah selesai. Saatnya beristirahat dan kembali kekehidupan nyata.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
06.05. 19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top