11
Langit melangkah memasuki ruang pertemuan di kantor pengacaranya. Pak Darma sudah ada di dalam. Ia duduk sendiri, sesuai permintaan Langit pada Mathius. Ia ingun bicara berdua saja.
"Selamat pagi pak" sapa Langit sopan.
Darma hanya mampu menatap sendu kemudian mengangguk. Ia terlihat gelisah. Langit mengetahui apa yang dipikirkan pria itu. Hari ini adalah batas terakhir perjanjian mereka. Langit segera duduk dihadapan Darma.
Langit menarik nafas dalam sebelum akhirnya berkata
"Bagaimana?"
"Maafkan saya, tapi bisakah .... "
Lama Langit menunggu, tapi Darma tak kunjung melanjutkan kalimatnya. Pria tua itu semakin gelisah.
"Saya punya penawaran pak" ucap Langit akhirnya.
Pak Darma menatap tak percaya
"Apa?"
"Saya akan menarik ucapan saya. Bapak bisa tetap memimpin Darma Lautan. Tidak akan ada yang hilang satupun dari genggaman bapak. Saya juga tetap akan mengawasi jalannya perusahaan tanpa campur tangan yang terlalu jauh. Kita sama sama membangun kembali."
Darma menatap Langit tak percaya. Mungkinkah laki laki itu benar benar tulus? Tapi dari nada suaranya, ada yang terasa janggal.
"Apa yang kamu tawarkan,"
"Saya menyukai Alea.."
Dunia Darma terhempas, apa yang ia takutkan benar menjadi kenyataan. Seharusnya ia sudah bisa menebak jauh sebelum hari ini. Saat tatapan Langit tak pernah lepas ketika mereka makan maalm bersama.
"Jangan yang itu Lang. Tolong saya, Alea sudah memiliki kekasih. Jangan ganggu masa depannya"
Langit diam, tidak berkata apa apa. Ia menunggu kalimat selanjutnya dari pria tua itu. Meski Langit yakin pada akhirnya nanti Darma tak akan menolak. Senang sekali rasanya memainkan pemeran antagonis dengan topeng baik hati.
"Saya hanya menawarkan pak, keputusan ada ditangan bapak"
"Itu sama saja dengan saya menjual Alea." suara Darma terdengar bergetar menahan emosi.
"Bapak tidak menjual putri bapak. Saya hanya butuh jaminan agar kesepakatan kita tidak lagi terputus seperti ini. Lagi pula saya akan berkomitmen dengan putri bapak. Saya berjanji tidak menyianyiakannya. Ia akan menjadi istri saya satu satunya"
"Lang, tolong jangan Alea."
"Itu satu satunya hal yang bisa saya tawarkan. Bapak pikirkan saja lagi, agar semua bisa berjalan diatas jalurnya. Saya butuh sesuatu yang bisa saya genggam. Dan saat ini saya juga sedang membutuhkan seorang istri.
Alea adalah pilihan saya, karena saya tahu bahwa ia adalah perempuan rendah hati. Bapak sudah mendidiknya dengan baik. Saya tidak butuh seorang sosialita untuk menjadi istri saya. Saya hanya membutuhkan seseorang yang bersedia menunggu di rumah saat saya lelah bekerja.
Bapak boleh memikirkan dulu. Saya akan memberi waktu untuk bapak berembuk dengan keluarga. Terutama Alea."
Darma terdiam, apakah ia masih punya pilihan?
***
Alea sedang menunggu Dimas di sekolah. Pria itu berjanji untuk menjemputnya sore ini. Ia akan bicara pada kekasihnya. Kalau Dimas bersedia membantu, ia akan memilih kekasihnya itu. Kalau tidak, maka hidupnya akan berakhir pada Langit. Meski ia tidak yakin bahwa Dimas bisa membantunya.
Alea sudah pasrah, pada siapapun hidupnya berakhir, toh akan sama sama menjadi jaminan pembayar hutang. Hanya saja, jika ia berakhir pada Dimas. Maka ia akan berada dalam pelukan pria yang mencintainya.
Alea merasa putus asa, terlalu banyak yang harus diselamatkan. Seluruh beban itu ada dipundaknya sekarang. Tak sadar karena terus melamun, Dimas ternyata sudah berada di depannya sejak tadi.
"Kok dari tadi bengong?" Tanya Dimas mengagetkannya.
Alea tersentak, menatap Dimas dengan tatapan terluka.
"Ada yang kamu pikirin?"
Alea mengangguk.
"Ayo ngomong sama aku, siapa tahu aku bisa bantu."
Kalaulah hanya hal biasa, aku yakin kakak bisa bantu. Tapi kali ini aku tidak yakin lagi.
"Kita bicara diluar yuk kak."
Dimas hanya mengangguk. Mereka segera keluar ruangan. Memasuki mobil kekasihnya Alea semakin resah. Apakah ia akan tega menyakiti orang sebaik Dimas?
Tidak Alea, kamu bukan berkhianat. Kamu hanya ingin menyelamatkan keluargamu dari kehancuran.
"Kita kemana ya?"
"Ke pantai aja yuk kak."
Dimas mengangguk, kemudian mengarahkan mobilnya ke bagian utara Jakarta. Cukup lama sampai mereka benar benar sudah berada ditepi pantai. Dimas memiringkan tubuhnya sambil menatap intens Alea yang tengah meremas jemarinya. Pertanda kekasih Dimas tersebut tengah gelisah.
"Kamu kenapa sih sayang, kok kakak perhatikan beberapa minggu ini bawaannya begini terus? Kalau ada masalah itu dibicarakan jangan dipendam terus. Siapa tahu kakak bisa bantu."
Alea menatap kekasihnya, ia masih menimbang dalam hati apa yang harus dilakukannya.
"Kak,"
"Ya?"
"Aku..."
"Ngomong aja."
"Keluargaku dalam masalah besar."
"Maksudnya?"
Alea menatap Dimas kembali. Sampai kemudian ia menceritakan semua pada kekasihnya itu. Dimas terbelalak saat mengetahui banyaknya uang yang harus dibayarkan papa Alea.
"Sayang, jumlah itu besar sekali. Kenapa om Darma sampai sependek itu berpikir?"
"Papa terhasut omongan om Pri. Kakak kenal sama Kak Langit?"
"Belum pernah sih. Mungkin karena konsentrasi bisnis kami berbeda."
Alea hanya mengangguk. Akhirnya ia menyadari kalau Dimas tidak akan membantu. Kekasihnya tidak berkata apa apa. Entah, apa karena ia belum mengatakan permintaan Langit. Alea tahu, ini bukan masalah kecil. Dan Dimas juga tidak akan sudi membuang uang sebanyak itu.
"Kalian akan kehilangan segalanya?"
Alea mengangguk. Dimas menghembuskan nafas kasar.
"Apa dia tidak bersedia memberi tenggang waktu misalnya?"
"Ada kak. Tapi sudah deadline."
"Maaf Lea, angka sebesar itu kakak tidak punya. Tapi percayalah kakak nggak akan ninggalin kamu seperti apapun keadaan kamu nanti. Setelah kita menikah kakak akan mencoba membantu om Darma. Jangan takut ya, kakak nggak akan ninggalin kamu."
Alea lemas seketika, ia tahu kalau ia sudah tidak punya harapan lagi.
***
Alea membuka matanya pagi itu. Diluar tengah gerimis. Siang ini ia dan Langit akan bertemu dengan calon ibu mertuanya. Alea menahan debaran yang berdetak terlalu cepat. Rasanya ia tidak sanggup menjalani semua. Tapi inilah kenyataan itu. Setelah melewati banyak masalah.
Awalnya papa kurang setuju pada keputusannya. Namun Alea mencoba menjelaskan bahwa ia akan baik baik saja. Yang penting semua orang yang berhubungan dengan usaha keluarga mereka tetap merasa nyaman. Lagipula menurut Alea Langit adalah sosok yang bertanggung jawab. Meski kecewa ia berusaha menerima kenyataan.
Selesai mandi, ia turun kebawah. Hanya mama yang ada disana.
"Pagi ma."
"Pagi sayang, sudah mandi?"
"Sudah, mama sendirian?"
"Ia, papamu sudah ke kantor. Jadi ke tempat Langit?"
"Jadi ma, sebentar lagi kak Langit jemput."
"Dia di Jakarta?"
"Iya, kebetulan ada acara tadi malam. Jadi nginap disini."
"Lea,"
"Ya ma?"
"Kamu sudah ngomong sama Dimas?"
Alea terdiam, pertanyaan mama menohoknya. Sudah beberapa minggu ini mereka tidak bertemu, tepatnya Alea menghindari Dimas. Meski sebagian disebabkan karena pria itu tengah berada di luar negeri untuk liburan tahunan keluarga. Ia takut untuk berkata jujur. Iantidak siap.menyakiti Dimas.
"Belum ma." jawab Alea pada akhirnya sambil menggeleng.
"Kenapa belum? Apa kamu nggak takut kalau nanti dia tahu bisa menimbulkan masalah?"
"Aku nggak tahu ma. Aku masih merasa nggak enak. Lagian dia sedang liburan tahunan. Sekalian merayakan ulang tahun tante Amara."
"Mama juga sebenarnya merasa Dimas baik banget. Tapi mau bagaimana lagi. Mungkin ini yang terbaik supaya semua masalah selesai."
"Sudahlah ma, nanti aku pasti akan ngomong. Daripada saat hari H tiba tiba ada masalah."
Mamanya akhirnya hanya mengangguk setuju. Alea kembali beranjak menuju kamarnya. Selera makannya hilang sudah. Ia memilih berkemas dan menyiapkan diri menunggu kedatangan Langit.
Pukul sebelas mobil Langit memasuki halaman rumah. Alea sendiri yang membukakan pintu. Mamanya tengah mengikuti arisan. Akhirnya mereka berangkat bersama.
Sepanjang perjalanan Alea hanya diam. Pandangannya fokus ke depan. Langit menghentikan mobil sejenak didepan sebuah toko roti. Tanpa berkata apapun ia meninggalkan Alea sendirian. Tak lama Langit kembali sambil membawa dua gelas es milo dan dua buah croisant.
"Kamu makan ini dulu, kamu pasti kelaparan."
Alea menatap Langit tak percaya.
"Kakak tahu aku belum sarapan?"
"Mata kamu mengatakan itu. Tangan kamu dari tadi kamu letakkan diperut."
Alea tak menjawab. Kemudian sibuk dengan sarapannya. Setelah memberikan sebuah kepada Langit. Selesai menghabiskan rotinya Alea menyeruput habis milo.
"Kamu benar benar kelaparan."
"Aku tadi malas makan."
"Makan itu untuk hidup. Kalau manusia tidak makan bisa mati!"
Alea memilih tidak menjawab.
"Lea,"
"Ya kak,"
"Kakak mau bilang sesuatu,"
"Apa?"
Langit menarik nafas panjang. Ia hanya menyetir dengan tangan kiri. Tangan kanannya bertumpu pada dinding disebelahnya. Seolah sedang memikirkan sesuatu.
"Tidak apa apa," hanya itu jawaban Langit pada akhirnya.
Setelah melalui perjalanan yang cukup lama. Mereka sampai dikediaman Langit. Alea sudah hapal karena sudah dua kali kemari. Meski hanya sebatas ke kantor. Kediaman Langit sendiri terletak tepat disebelahnya. Dibatasi oleh pagar bambu cina.
Memasuki rumah besar berlantai dua tersebut membuat Alea merasa kagum. Halaman ditata dengan indah. Ada banyak jenis bunga disana. Juga sebuah kolam air mancur ditengah taman. Beberapa pohon yang cukup rindang ditanam di dekat pintu utama. Semua dipangkas dengan rapi.
Langit menghentikan mobil di dalam garasi. Namun ia tak segera keluar. Alea hanya menatapnya bingung.
"Kenapa kak?"
Langit menoleh dan menatap Alea lama. Sampai kemudian ia berkata.
"Ibuku penderita buta dan tuli. Ia juga baru sembuh dari stroke. Kalian tidak akan bisa berkomunikasi secara normal."
Alea menatap tak percaya.
"Aku akan berusaha menyampaikan apa yang kamu ucapkan. Ibu masih bisa berbicara meski kurang jelas."
Alea hanya mengangguk. Akhirnya ia ikut turun. Langit menarik tangannya yang dingin. Mereka melewati sebuah ruangan luas. Hingga akhirnya sampai diteras belakang. Disana tampak seorang perempuan tua duduk disebuah kursi roda. Didekatnya ada seorang perawat yang menemani.
Langit mendekati ibu dan memeluknya dari belakang. Kemudian mengecup kedua belah pipi ibu.
"Khhamu suthah.. fhuulang?" Kamu sudah pulang?
Langit meraih tangan ibu dan meletakkan dimulutnya sambil mengucapkan kata
"sudah"
Ibu tersenyum lebar. Ia mengelus rambut Langit dengan lembut. Perawat yang berada didekat mereka memilih meninggalkan teras. Melihat majikannya seperti butuh privasi. Alea mendekat dengan ragu. Sampai kemudian Langit meraih telapak tangan ibu, mulai menulis.
"Bu, Langit mau mengenalkan seseorang."
"Tiafha?" Siapa?
Laki laki itu meraih tangan Alea yang duduk didekat ibu. Ia mempertemukan kedua tangan ibu dan calon istrinya. Langit pindah kepinggir dan membiarkan Alea tepat berada dihadapan ibu. Ibu segera meraba wajahnya seketika tersenyum lebar. Kemudian berkata.
"Khhammu.. thantik. Nhama .. kkhhammffuu .. thiafha" kamu cantik, nama kamu siapa?"
Alea terpaku, tidak tahu harus melakukan apa!
***
Happy reading
Maaf untuk typo
Next part, kita akan ketemu dengan sudut pandang ibu.
15.05.19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top