1 SR

Saya googling, ternyata salah satu metode berbicara dengan orang buta dan tuli itu adalah dengan cara menulis ditelapak tangannya. Ada juga sebagian yang menggunakan huruf braille. Unik ya, selalu ada cara untuk menyelesaikan masalah.

Pengetahuan  saya bertambah, semoga kalian juga.

☘☘☘

Langit membawa beberapa tandan pisang dari kebun. Setelah memutuskan tinggal disini. Mereka tahu, bahwa berkebun adalah satu satunya cara untuk bisa bertahan hidup. Saat itu mata dan pendengaran ibu belum seperti sekarang. Walau pandangan samar, ibu masih sanggup ke ladang. Langit hanya bertugas membantu. Mereka kembali menanami kebun peninggalan kakek. Terutama pisang dan sayur sayuran.  Namun sekarang, ia lah yang menjadi tulang punggung.

Beruntung kerja keras itu sudah membuahkan hasil. Mereka bisa bertahan hidup dari situ. Setiap pulang sekolah Langit akan ke kebun. Memindahkan anak pisang ke lahan yang masih kosong sekalian memanen buah yang sudah tua.  Juga menanam, memupuk dan  memanen sayuran. Beruntung di desa mereka ada pengumpul hasil ladang dari kota. Sehingga bisa langsung dijual untuk mendapat uang.

Biasanya setelah memanen, Langit  membawa sayuran seperti kangkung dan bayam ke rumah. Ibu akan mengikat, baru kemudian dijual. Selesai semua Langit akan mandi, dan makan malam. Terakhir ia mengerjakan tugas sekolah. Selesai semua akhirnya ia bisa tidur nyenyak.

Sama seperti sore ini, sepulang dari kebun, ibu memberikannya segelas air putih. Langit meminum sampai tandas

"Sudah tua pisangnya Lang?" Tanya ibu.

Langitt tak menjawab, ia hanya menyerahkan pisang hasil panen ke tangan ibu. Biasanya ibu akan merabanya. Kemudian menentukan apakah sudah cukup tua atau belum.

"Yang ini, kamu peram dulu. Supaya matangnya merata. Gimana yang kemarin?"

Tanpa menjawab Langit segera mengeluarkan pisang yang sudah matang sempurna dari tempat memeram. Dan kembali meletakkannya ditangan ibu.

Ibu meraba sesisir pisang yang disodorkan Langit.

"Besar ya Lang."

"Iya bu" jawab Langit. Meski ia tahu kalau ibu tak bisa mendengar jawabannya.

"Kamu antar ketempat langganan biasa. Langsung minta uangnya. Habis itu kamu ke warung bu Bedah. Beli beras dua kilo sama garam. Jangan lupa telur dua dan ikan asin."

"Iya bu" jawab Langit lagi. Kemudian menyentuh tangan ibunya pertanda pamit.

Ia segera mengumpulkan sepuluh sisir pisang tersebut. Memasukannya dalam satu keranjang kemudian menjunjungnya. Mengetuk satu persatu rumah pelanggan mereka. Semua pisang habis dalam sekejap. Kemudian ke warung bu Bedah. Membeli semua pesanan ibu.

Tak lama ia kembali ke rumah. Ibu menyambut dengan sukacita. Langit menyerahkan sisa uangnya. Ibu meraba uang tersebut satu persatu. Kemudian mengumpulkannya dalam sebuah dompet besar.

"Uang pendaftaran kamu masuk SMU sepertinya sudah cukup. Berapa kemarin Lang?"

Langit meraih telapak tangan ibunya. Kemudian menulis angka  dengan jarinya.

"Oh, dua ratus lima puluh ribu?"

"Besok minta sama ibu ya, sebelum berangkat."

Langit kembali menuliskan kata iya pada telapak tangan ibu. Itu satu satunya cara mereka berkomunikasi. Dulu, ia masih bisa berbicara dengan ibu, meski harus mengeluarkan suara sekeras mungkin. Tapi sekarang tidak bisa sama sekali.

Pernah ia ingin membawa ibu ke dokter spesialis. Tapi gagal karena biayanya sangat mahal. Mereka tidak sanggup. Pernah juga ia mengusulkan untuk menjual saja perhiasan ibu supaya bisa berobat. Tapi ibu menolak tegas. Katanya perhiasan itu untuk biaya kuliah Langit nanti.

Meski buta dan tuli, ibu tetap bersikeras agar ia sekolah. Kemarin waktu ujian SMP selesai. Sebenarnya Langit memutuskan untuk berhenti. Ia tidak sanggup menjalankan hidup seperti ini. Kadang di kelas ia tertidur karena terlalu lelah. Ia juga tidak bisa mengikuti kegiatan apapun. Karena hari harinya hanya diisi dengan bekerja.

Tapi ibu marah besar, saat ia mengutarakan niatnya.

Flashback.

"Kamu hanya bisa membalaskan dendam ibu dengan keberhasilanmu. Anaknya kuliah, kamu juga harus bisa kuliah. Anaknya nanti jadi sarjana, kamu juga harus bisa. Karena cuma itu senjata kita melawan mereka.

Kita membalaskan perbuatan mereka dengan keberhasilan kamu. Mereka akan tertawa kalau kelak kamu jadi gelandangan, jadi babu, jadi kuli bangunan.  Tapi mereka akan tertunduk kalau kamu bisa setara dengan mereka.

Buktikan kalau kamu tidak akan pernah kelaparan, mencapai apa yang bisa mereka capai. Kalau kamu bisa seperti itu baru ibu bisa bahagia. Bisa kan kamu membahagiakan ibu dengan keberhasilanmu?"

Langit hanya menatap ibu. Mata itu kembali berkaca. Ia menghapus airmata dipipi ibu yang mulai keriput. Kemudian meraih telapak tangan ibu. Menulis rangkaian huruf sebagai pengganti lalimatnya.

"Langit janji bu, langit akan berhasil. Langit akan mencapai mimpi ibu. Ibu jangan menangis, ibu harus kuat dan sehat. Supaya nanti ibu bisa melihat Langit berhasil."

Ibu memeluk langit, hatinya lega. Karena putra semata wayangnya masih mau mendengarkan kata katanya.

***

Sepanjang masa SMU, Langit tetap seperti dulu. Kegiatannya tidak berubah. Bahkan bertambah, ia diminta membantu paklik Diran. Sayang, menjelang akhir kelas dua. Tukang pengumpul yang biasa mengambil sayur dan buah dari kampung mereka berhenti. Karena.merasa sudah tua dan tak sanggup lagi. Sore itu, kebetulan Langit pergi ke kota kecamatan. Dan ia bertemu dengan paklik Diran disana. Disebuah warung kopi disudut pasar.

"Apa kabar paklik." sapa Langit penuh hormat sambil menyalami pri iru.

"Oalah, Langit, sini duduk le. Piye kabar ibumu?"

"Sehat paklik."

"Kamu ngapain kesini Lang?"

"Beli buku tulis. Sambil ngantar pisang. Paklik istirahat?"

"Iyo, pak lik dah ndak kuat. Tapi di rumah saja yo ndak betah. Wong sudah dari muda paklik jadi pengumpul. Kamu kenapa nggak jadi pengumpul juga? Untungnya lumayan lho le."

Sejenak langit terdiam.

"Tapi aku ndak tahu dijual kemana paklik. Dan nggak punya modal juga."

"Begini, mumpung paklik masih hidup. Nanti tak kenalken sama pedagang dipasar yang dulu jadi langganan paklik. Sebagai modal, kamu pakai dulu mobil yang di rumah. Kalau nanti kamu rasa jalan. Baru beli mobilmu sendiri. Sayang kalau langganan paklik nanti kabur ke orang lain semua. Lagian mobil itu juga nggak ada yang menggunakan. Anak anak paklik, sudah besar semua.

Paklik sayang sama kamu. Kamu kerja keras untuk ibumu juga. Ndak pernah macem macem. Selalu nurut sama orang tua. Supaya kamu nanti juga bisa sukses. Jadi ibumu bisa bangga sama kamu"

"Tapi aku ndak bisa nyetir paklik"

"Paklik ajari, ndak susah kok"

Langit remaja terdiam, ia berusaha mencerna kalimat paklik Diran. Sepanjang jalan pulang Langit mengayuh sepedanya sambil merenung. Kalau ia mengikuti apa kata paklik, bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan kebun ibu?

Tapi tawaran itu terlalu menggiurkan untuk ditolak. Ia akan bisa mengumpulkan uang lebih banyak. Terutama untuk modal kuliah nanti. Saat ini ia akan liburan naik kelas. Mau naik ke kelas tiga SMU. Kenapa tidak dimanfaatkan saja? paklik yang akan mengajarinya menyetir. Pasti ia akan sangat gagah nanti. Bisa menyetir, seperti orang orang kaya yang menjadi pelanggannya selama ini. Seperti pak Dono yang kerja di kecamatan.

Langit menepuk kepalanya, eling ngit.... bisiknya dalam hati. Dicoba dulu, kalau berhasil kan lumayan. Modalnya bisa pakai uang tabungan untuk kuliah nanti.

.
.
.

Sampai dirumah, Langit segera menemui ibu yang sedang duduk diamben halaman belakang. Ia memeluk ibu dari belakang. Ibu meraih tangannya, dan membawa Langit duduk disampingnya.

"Sudah selesai beli bukunya?"

"Sudah bu." jawab Langit tulis langit ditelapak tangan ibu. Perempuan mengangguk mengerti.

"Bu."

"Apa?"

"Tadi aku ketemu Lik Diran."

"Terus?"

"Paklik menawariku jadi pengumpul. Menggantikan dia"

"Lha sekolahmu piye?" Tanya ibu. Nadanya sudah mulai meninggi.

"Bulan depan aku libur. Aku coba dulu ya bu."

"Kamu akan capek."

"Aku coba dulu saja ya bu. Siapa tahu, hasilnya bisa bantu bantu aku untuk biaya kuliah nanti."

Ibu mengelus wajahnya. Akhirnya tersenyum dan mengangguk. Ia tahu putranya tidak akan mudah menyerah. Ah, anaknya sudah besar.

"Kamu jerawatan sekarang" ucap Sitha saat menemukan beberapa bintik diwajah sang putra.

"Iya bu."

"Kamu sudah besar, sudah suka sama gadis gadis?"

"Enggaklah bu, aku akan cari uang sama sekolah dulu."

Langit benar, ia tidak pernah tertarik pada lawan jenis. Baginya perempuan hanya membuat kepala pusing. Seperti teman temannya yang sudah berpacaran. Harus menjemput kekasihlah, mentraktirlah, uring uringan karena pacarnya ngambek. Bikin susah saja.

Pekerjaannya sudah terlalu banyak. Sehingga tidak ada waktu untuk dibuang percuma. Bukan tidak ada yang suka padanya. Langit cukup tampan, meski tidak berkulit putih seperti artis korea. Tubuhnya terpahat katena kerja keras. Kulitnya gelap karena selalu berada dibawah terik matahari.

Meski tidak banyak, tapi pasti ada yang menyukainya. Namun Langit memilih berkonsentrasi pada pekerjaan dan sekolah. Ia tidak ingin karena pacaran maka ibu terabaikan. Kebahagiaan ibu adalah tujuan utamanya.

Perlahan ia merebahkan tubuh dipangkuan ibu. Semilir angin sore dan belaian lembut dikepala membuatnya tertidur. Langit terlalu lelah hari ini. Pagi tadi ia ke kebun, kemudian bersepeda pulang pergi ke kecamatan. Tidur dipangkuan ibu membuat letihnya terbayar lunas.

***

 
Ternyata belajar menyetir tidaklah terlalu sulit. Tiga hari kemudian paklik sudah membawanya ke jalan sepi. Ia hanya harus lebih memperhatikan perseneling dan rem. Letih bersepeda bolak balik sejauh enam belas kilometer setiap hari ke rumah paklik terbayar sudah.

Pagi itu, langit kembali ke kota. Bersama paklik ia mengelilingi pasar. Yang merupakan bekas pelanggan paklik.  Mereka menyambut dengan antusias. Dan berpesan agar Langit membawa sayuran yang segar seperti biasa dibawa paklik Diran.

Ia juga diajari bagaimana cara menyusun sayur  di bagian belakang mobil agar semua tetap segar. Mengenalkan Langit pada para petani. Cara pembayaran. Berapa harus dibeli dan berapa harus dijual. Ternyata pekerjaan paklik cukup rumit. Namun Langit belajar dengan cepat. Ia tidak mau selamamya menjadi petani. Ia harus juga bisa menjadi juragan. Seperti orang orang kaya dikampungnya. Supaya ibu bangga punya anak seperti dia.

Siang ini hari pertama ia mulai menjadi pengumpul. Dengan sepeda ia mengelilingi ladang orang orang di kampungnya yang tidak bisa dilewati oleh mobil. Baru kemudian membawa ke rumah. Menaikan keatas mobil. Paklik masih membantunya. Dan sore itu mereka berangkat ke kota.

Pukul delapan malam keduanya sudah sampai  disana. Segera para pedagang pasar mendatangi mobil. Mengambil barang barang pesanan yang sudah diikat satu oleh Langit. Dalam satu jam pekerjaannya selesai. Mereka tiba kembali ke desa setelah terlebih dahulu membeli sebungkus nasi goreng untuk ibu sebagai oleh oleh.

Sampai di rumah Langit terbelalak setelah menghitung uangnya. Ia tidak menyangka keuntungan bisa sebegitu besar. Penghasilannya selama ini tidak ada apa apanya. Langit sampai menangis. Kalau seperti ini terus, tidak mustahil ia bisa kuliah. Ia bersyukur bisa bertemu dengan orang sebaik paklik Diran. Yang bersedia membantunya untuk memulai usaha ini.




***

Happy reading

Maaf untuk typo

26.04.19

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top