6 - Damai di Dunia

Heru terduduk lemas setelah Hana dan si polisi lalu lintas menjelaskan kronologi kecelakaan. Pria itu menangkupkan tangannya ke wajah, lalu menangis tanpa suara. Berulang kali ia berkata bahwa ia menyesal telah memperlakukan Ezra begitu buruk.

Petra memutuskan pulang. Rasanya, tak ada gunanya ia tinggal di rumah sakit lebih lama. Di rumah, ia menutup mulut rapat-rapat. Orangtuanya bingung melihatnya bertambah murung, tetapi mereka tidak pernah memperhatikan Petra cukup dekat sampai bisa menyadari bahwa putri mereka sedang menghadapi masalah. 

Minggu demi minggu berlalu. UAS datang menyita perhatian seluruh warga sekolah. Setelahnya tiba masa-masa menyenangkan. Selagi menunggu pembagian rapor, murid-murid menikmati minggu terakhir sekolah dengan berbagai lomba dan kegiatan menyambut Natal. Tentu, di saat para murid bersenang-senang, panitia Natal bekerja keras.

“Huft, capek.” Petra mengempaskan diri ke kursinya di kelas. Ia menelungkup di meja. Gadis itu baru selesai memeriksa dekorasi yang akan dipasang di aula sekolah pada puncak acara Natal. Setelah jam istirahat, ia harus ikut teman-teman sekelasnya membersihkan dan menghias kelas untuk lomba kebersihan antar kelas. 

Malas-malasan Petra mengangkat kepala dari meja. Sudah hampir sebulan Ezra dirawat di rumah sakit. Orangtua dan teman-temannya sudah berusaha meyakinkannya bahwa kecelakaan yang menimpa Ezra bukanlah akibat tindakannya, tetapi ia masih belum bisa menyingkirkan rasa bersalahnya pada Ezra. Petra percaya pada butterfly effect, hal-hal kecil yang memicu serangkaian kejadian yang lebih besar. Setiap hari, ia berdoa supaya bisa kembali ke masa lalu dan menghindari pertengkaran dengan Ezra.

Sebenarnya aku nggak lapar, tapi, daripada bekal makanannya rusak ….

Petra meregangkan badan. Dengan malas, ia merogoh tas ranselnya. Namun, ia tak dapat menemukan tas bekalnya di dalam ransel. Gadis itu menggerutu dalam hati begitu mengingat bahwa ia tidak mempersiapkan bekal makan siang pagi tadi.

“Ah, aku lupa bawa bekal,” gumam Petra lirih. Pagi ini, tidak ada yang mempersiapkan bekal makan siangnya. Orangtuanya pergi ke luar kota untuk menghadiri acara pernikahan teman kerja ayahnya.

“Hm?” sahut Natasya yang kebetulan lewat di samping Petra. “Kenapa bingung? Ikut ke kantin saja, yuk!” 

“Nggak usah, Nat. Lagian aku nggak lapar-lapar amat, kok.” Petra menggeleng lalu kembali menelungkupkan kepala ke atas meja. 

“Aku nggak akan pergi kecuali kamu ikut ke kantin,” sahut Natasya tegas. “Aku ngerti kamu lagi sedih mikirin Ezra, tapi aku nggak akan membiarkan kamu terus-terusan murung seperti ini. Bukannya kamu nggak boleh sedih, tapi kamu harus ingat untuk menyayangi dan merawat dirimu sendiri.” 

“Oke, aku ikut,” jawab Petra lemah. Ia bangkit dari kursi dan mengikuti Natasya. 

Sekembalinya dari kantin, Petra melihat Hana keluar dari ruang kepala sekolah. Suami Hana, Hendra, menyusul dari belakang. Seketika, mata Petra melebar. 

“Kak Hana!” Petra berlari-lari kecil menghampiri perempuan muda itu. “Gimana keadaan Ezra, Kak?” 

“Puji Tuhan, sudah jauh lebih baik. Besok dia sudah bisa keluar rumah sakit,” ucap Hana lega. “Mungkin baru semester depan dia bisa masuk sekolah lagi. Soal ujian dan pelajaran barusan kami urus dengan pihak sekolah. Kata kepala sekolah, Ezra nggak perlu khawatir ketinggalan pelajaran. Beliau bakal memastikan supaya dia bisa naik kelas bareng kalian pertengahan tahun depan nanti.”

“Berarti, setelah ini Ezra bakal balik ke rumah?” Kekhawatiran memenuhi benak Petra. “Maaf, Kak, bukannya aku mau kurang ajar, tapi … apa Om Heru bisa merawat Ezra sampai pulih sepenuhnya?”

“Untungnya enggak. Papa serius mau berhenti minum minuman keras. Untungnya, ada rekomendasi pusat rehabilitasi yang bagus dari salah satu temanku. Pembinanya seorang psikiater terkenal, jadi aku rasa ini bakal berhasil. Yah, sayang tempatnya di luar kota, jadi untuk beberapa bulan ke depan, Papa akan tinggal di sana.” Pandangan Hana menerawang ke langit biru. “Kemarin, aku dan Hendra mengantar Papa ke sana. Lokasinya bagus. Di kaki gunung, dikelilingi hutan pinus. Ah, semoga Papa bisa benar-benar lepas dari alkohol.”

“Jadi setelah ini gimana, Kak?” tanya Petra.

“Ezra bakal tinggal sama aku dan Hendra.” Hana melirik suaminya sambil tersenyum tipis. “Kami berdua sepakat untuk pindah kontrakan ke tempat yang lebih dekat ke SMA Pelita Hati, supaya Ezra nggak terlalu jauh buat berangkat sekolah.”

Petra ikut tersenyum lega. Dalam hati, ia bersyukur kepala sekolah bersedia memberikan akomodasi agar Ezra tetap bisa bersekolah, meski pemuda itu didiagnosis takkan bisa berjalan lagi kecuali muncul teknologi revolusioner dalam bidang kedokteran. Cedera parah pada syaraf tulang belakang Ezra karena kecelakaan itu menyebabkannya lumpuh dari pinggang ke bawah. 

“Sayang Ezra nggak bisa kembali seperti dulu, ya …,” gumam Petra. Sejak insiden kecelakaan, ia baru sempat beberapa kali mengobrol dengan pemuda itu lewat WhatsApp. Dalam pesan-pesannya sejauh ini, Ezra terdengar pasrah. Memang pemuda itu masih bersemangat untuk kembali ke sekolah, tetapi Petra tidak bisa mengabaikan kekecewaan dalam kalimat-kalimatnya lantaran tidak bisa lagi beraktivitas sebebas biasanya. 

“Aku sudah sangat bersyukur dia bisa bertahan hidup,” jawab Hana lembut. “Jujur, Ezra malah jauh lebih tabah daripada aku. Waktu pertama kali mendengar vonis dokter kepadanya, aku nggak bisa berhenti menangis. Justru Ezra yang akhirnya menenangkanku dengan kata-kata optimis.”

“Petra! Oi!” 

Sambil melambai, Daniel berlari-lari mendatangi ketiga orang itu dari arah Ruang OSIS. Ucapnya, “Ah, kebetulan, ada Kak Hendra dan Kak Hana juga. Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kalian soal keputusan panitia Natal.”

“Oh, ya? Keputusan apa?” tanya Hana.

“Kak, apa boleh kami ajak Ezra ke acara Natal sekolah? Ezra sudah bekerja keras supaya acara ini terwujud, jadi kami mau dia melihat hasil usahanya,” sambung Daniel. Ia menatap penuh harap.

“Wah, sepertinya agak susah, ya. Kamu tahu, kan, kalau sekarang Ezra harus pakai kursi roda ke mana-mana? Aku takut dia sedih melihat teman-teman seperjuangannya di OSIS beraktivitas normal.” Hendra menggaruk bagian belakang kepala. 

“Nggak, aku yakin Ezra pasti senang bertemu teman-temannya lagi,” tukas Hana. “Satu-satunya yang dia takutkan adalah kemungkinan dia harus pindah sekolah gara-gara kecelakaan itu. Waktu dia kuberitahu kalau dia tetap bisa sekolah di SMA Pelita Hati, dia senang sekali. Dia sudah nggak sabar pengen kembali ke sekolah.”

“Kalau Kakak berkenan, kami harap Ezra bisa datang lusa jam delapan pagi, satu jam sebelum pesta Natal dimulai. Kami mau mengadakan penyalaan pohon Natal bareng semua panitia,” lanjut Daniel. “Menurutmu ini ide bagus kan, Pet?”

“Iya, baru tadi pagi dia bilang mau kembali ke sekolah. Aku kirimin dia foto-foto persiapan aula, dan dia kagum lihat hasilnya.” Petra mengangguk.

Akhirnya, Hana dan Hendra setuju. Rasa lelah Petra seketika lenyap berganti bahagia. Ah, kehadiran Ezra pasti akan sangat menyenangkan!

***

Tanggal 23 Desember pun tiba. Pagi-pagi benar, para panitia siap sedia bekerja. Divisi dekor sibuk menyelesaikan penataan panggung. Divisi PDD memastikan kamera, laptop, dan proyektor berfungsi dengan baik. Divisi acara mondar-mandir memastikan acara berjalan sesuai rencana.

“Ezra datang!” Daniel mengumumkan ke seluruh aula. Sebuah mobil berwarna perak berhenti di depan beranda sekolah. Hana dan Hendra mengeluarkan kursi roda dari bagasi, lalu membantu Ezra turun. Serentak para panitia turun menyambut pemuda itu. Walau Ezra bertambah kurus, kecelakaan tidak menghilangkan raut cerianya. Matanya berbinar penuh semangat.

“Oi, teman-teman! Ada yang kangen aku?” seru Ezra seraya melambai. “Wah, kelihatan bagus, nih!”

“Ayo kita ke pohon Natal, Zra!” Daniel mengambil alih kursi roda Ezra dari tangan Hana.

Para panitia membawa Ezra ke lobi sekolah. Di sana, sudah terpasang pohon natal setinggi dua setengah meter yang terbuat dari kerangka kawat dan botol-botol plastik bekas. Lampu warna-warni terpasang dalam botol-botol transparan itu.

Selagi tim dekor membetulkan letak hiasan bola-bola dan bintang di pohon, Petra memberanikan diri mendekati Ezra. Dengan pandangan penuh tanya, pemuda itu menoleh padanya. Gadis itu mengumpulkan keberanian untuk berbicara.

“Maafkan aku ya, Zra. Sikapku dulu memang keterlaluan. Aku harap, kita bisa berbaikan lagi setelah ini,” ucap Petra.

“Soal itu, aku sudah maafin kamu dari dulu, kok.” Ezra tertawa ringan. “Kamu tahu, aku malah merasa semua kejadian ini adalah berkat buatku. Setidaknya, Papa benar-benar mau berubah sekarang. Hubungan Kak Hana dan aku juga jadi lebih dekat. Hal-hal itu yang aku syukuri.”

“Ke depannya, aku janji bakal jadi orang yang lebih baik, Zra. Aku … bakal selalu mendukungmu,” ujar Petra terbata-bata. Ucapannya nyaris tak terdengar karena malu. Ia menunduk, berharap Ezra tidak menyadari pipinya yang memerah.

“Aku juga, Petra,” sahut Ezra. “Aku sadar selama ini aku selalu menyimpan masalah-masalahku sendirian. Mungkin prosesnya nggak bakal instan, tapi aku akan mencoba mempercayai orang-orang lain di sekitarku, termasuk kamu. Terima kasih banyak buat segalanya, Petra.”

“Ayo, nyalakan pohonnya!” Gideon berseru sambil bersiaga memegang kamera. Serentak, para panitia menghitung mundur. Lampu warna-warni berkelap-kelip, sinarnya berkilauan bagai permata. Bintang di puncak pohon memancarkan cahaya keemasan yang lembut. 

Perjalanan memang masih panjang. Petra, si batu karang, tak pernah menyangka bahwa keberadaannya bisa menjadi peneguh bagi sosok yang selama ini ia anggap sebagai penolongnya. Ezra, si pertolongan, tak pernah menyangka bahwa segala pertolongan yang ia beri pada orang-orang di sekitarnya suatu saat akan berbuah manis. Namun, mereka yakin, selama mereka tetap saling menyokong, semua akan berbuah manis pada akhirnya.

Tamat

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top