3 - Rahasia Ezra

Dua minggu pertama kepanitiaan berjalan cukup lancar. Hanya tiga orang yang menghuni divisi PDD. Gideon sebagai ketua divisi, Petra sebagai desainer, dan Gracia sebagai fotografer. Biarpun Petra sempat kaget kala menyadari betapa banyak tugas yang harus dikerjakan sepulang sekolah, ia menikmati kerjasama barunya. 

Sepulang sekolah, Petra membuka aplikasi Canva di laptopnya. Ia kebagian tugas membuat poster-poster persegi berisi informasi pembukaan penerimaan sumbangan bakti sosial Natal yang akan diunggah di feed Instagram OSIS. Besok rencananya informasi itu akan mulai diunggah. 

“Kurang apa lagi, ya?” Petra mengerutkan dahi. Ia sudah mengirimkan draf tiga alternatif desain pengumuman itu ke grup para panitia divisi PDD, tetapi belum ada yang membaca pesannya. Meski ia sudah memasukkan semua informasi yang diperlukan, Petra masih merasa desain poster itu masih kurang enak dipandang.

Oh iya, aku bisa minta pendapat Ezra! Petra berlari-lari kecil ke Ruang OSIS. Selama seminggu terakhir, ia jarang melihat pemuda itu berkeliaran. Di antara jam pelajaran, Ezra lebih sering berkumpul dengan pengurus OSIS lainnya. Barangkali sibuk, pikirnya sambil menatap langit mendung. Embusan angin membuatnya menyesal tidak membawa jaket. Musim kemarau sudah hampir berakhir. Banyak murid mulai berpakaian lebih hangat, termasuk Ezra yang kini sering terlihat mengenakan jaket hoodie kelabu.

Dari tangga lantai dua, Petra bisa melihat Ezra memasuki ruangan. Namun, tiba-tiba langkah Petra berhenti tepat di ambang pintu. Gadis itu tertegun. Di sudut ruangan, Ezra berdiri. Pemuda itu baru saja melepaskan jaket. Memar-memar baru berwarna ungu gelap dan luka-luka gores yang masih memerah memenuhi kedua lengannya. Saat pemuda itu bergerak, Petra bisa melihat memar serupa di dekat tengkuk pemuda itu, mengintip di bawah kerah kemeja putihnya.

“Ezra!” serunya. “Kamu kenapa? Kok … mendadak bisa begini?”

“Lho, Petra, kamu belum pulang? Aku, uh, jatuh dari motor,” jawab Ezra ragu. “Kejadiannya, eh, sekitar dua atau tiga hari lalu. Biasa, lah, kamu tahu sendiri jalanan sekitar sini banyak polisi tidurnya.” Pemuda itu tertawa sumbang.

“Nggak. Aku nggak percaya. Sikapmu akhir-akhir ini sama sekali nggak wajar, Zra,” bantah Petra. Tangannya terjulur ke depan, berupaya meraih pundak Ezra. “Kalau memang cuma gara-gara jatuh dari motor, ngapain kamu susah payah nyembunyiin luka-luka itu? Kamu pikir aku sebodoh itu sampai bisa kamu bohongi?”

“Bukan apa-apa, Petra. Aku cuma agak ceroboh. Nanti juga sembuh sendiri.” Ezra menyingkirkan uluran tangan Petra, lalu kembali memakai jaketnya. Pemuda itu memalingkan wajah. Tampak jelas ia tidak nyaman dengan pembicaraan itu.

“Please, kasih tahu aku, Zra. Aku janji nggak bakal bilang siapa-siapa. Apa ada yang bully kamu? Atau, apa kamu diam-diam berantem sama seseorang?” Petra makin keras mendesak. “Kalau kamu ada masalah, tolong jangan disimpan sendiri, oke?”

“Berhenti ngurusin urusan orang lain seenaknya, Petra!” Mendadak, Ezra membentak. Tatapannya tajam menusuk. 

Refleks, Petra mundur selangkah. Untuk pertama kali, Ezra membuatnya takut. Jawabnya lirih, “Aku … cuma khawatir sama kamu, Zra. Kita ini teman, kan? Aku rasa aku berhak tahu siapa yang sudah melukai kamu seperti ini—”

“Karena kamu memang peduli, atau cuma penasaran?” tukas Ezra kasar. “Seandainya aku bilang, pun, kamu bisa apa? Mendatangi orang itu sambil marah-marah, dan berharap keadaan membaik secara ajaib? Jangan ngawur!”

“Zra ….” Petra hendak menjawab, tetapi si pemuda bergegas melangkah pergi. Lama gadis itu berdiri memandangi punggung Ezra, berharap pemuda itu akan menoleh ke belakang. Namun, hingga mobil antar jemput datang, ia tak melihat Ezra lagi. 

Sambil menahan sedih, Petra pun memasuki mobil bertipe minibus itu. Ia memasang earphone dan duduk di pojok belakang. Musik ia setel keras-keras. Namun, ia tak sanggup menenggelamkan kecamuk dalam pikirannya. Maka, diam-diam ia menggigit bibir, berusaha menahan tangis.

***

Sejak percakapan itu, Ezra menghindari Petra. Pemuda itu pun perlahan menarik diri. Ia mulai sering lambat merespons di group chat panitia, dan tidak lagi rutin memberi makan kucing. Makin lama, makin besarlah rasa bersalah Petra. Beberapa kali gadis itu menyisihkan uang jajannya untuk membeli makanan kucing, berharap Ezra akan datang bila ia menunggu di tempat pemuda itu biasa berada. Namun, hasilnya nihil. 

Pada suatu sore yang mendung di awal bulan November, dalam Ruang OSIS, Petra termenung memandangi laptop. Satu setengah bulan menjelang acara, para panitia mulai sering bekerja ekstra sepulang sekolah. Petra harus membuat desain backdrop yang akan dipasang di panggung, tetapi masalah Ezra telah membuat otaknya buntu. Di sampingnya, Gideon duduk sambil merancang sketsa tata letak panggung. Daniel, Wakil Ketua OSIS, berdiri agak jauh sambil meminum es jeruk dalam kantong plastik.

“Lho, belum selesai juga, Pet?” tanya Gideon. “Bukannya kamu ngerjain ini sudah dari tiga hari yang lalu, ya?”

“Nggak tahu, nih, aku lagi nggak punya ide.” Petra memijat dahinya yang mulai terasa berat. “Kayak, jelek banget tata letaknya. Mau ditambah hiasan, malah kelihatan norak. Tapi, kalau dikurangi, kelihatan terlalu polos. Ah, bingung. Akhir-akhir ini aku banyak pikiran.”

“Ngomong-ngomong, kamu sama Ezra lagi berantem, ya?” Pemuda bertubuh gempal dan berkacamata itu bertanya lagi. “Tadi aku lihat Ezra cepat-cepat memutar lewat jalan lain waktu hampir papasan sama kamu di lorong menuju aula.”

“Eh, anu ….” Petra tergagap sejenak, lalu menghela napas pasrah. “Yah, bisa dibilang begitu, sih. Masalah pribadi. Aku salah bicara, dia tersinggung, dan, yah, jadi begini suasananya. Aku benar-benar lupa kalau kami belum kenal dekat. Tapi aku penasaran, ada apa sebenarnya?”

“Maksud kamu apa?” Mendadak, Daniel ikut menimbrung. Pemuda jangkung keturunan Maluku itu menyandarkan kantong es jeruknya ke ransel di atas meja, lalu mendekat.

Petra menoleh. Secercah ide terlintas di otaknya. Benar juga, kalau aku nggak salah ingat, Daniel sahabat Ezra sejak kecil, kan? Segera ia berdiri, lalu mengajak Daniel berbicara berdua saja di luar ruangan. Di luar dugaan Petra, pemuda itu sama sekali tidak heran mendengar permintaannya. Maka, pergilah keduanya ke depan papan mading.

“Mau ngomong apa, Pet?” tanya Daniel singkat.

“Kamu sampai sekarang masih sahabatan sama Ezra, kan?” Petra menggosok-gosok lengan, canggung. “Sejujurnya, aku ngerasa ada yang nggak beres sama Ezra, tapi dia nggak mau terbuka sama aku. Aku tahu caraku mungkin terlalu frontal, tapi aku beneran khawatir sama dia, Dan. Aku takut bakal terjadi sesuatu yang buruk sama dia—” 

“Stop dulu, Pet. Aku ngerti,” potong Daniel. “Jangan-jangan, kamu ngelihat luka-luka di badan Ezra?”

“Eh, jadi kamu tahu?” Mata Petra melebar. Nada suaranya meninggi tanpa ia sadari. “Terus, kenapa kamu nggak bilang siapa-siapa? Ezra nggak dibully murid lain, kan?”

Daniel terdiam. Pemuda itu memasukkan kedua tangan ke saku, lalu menghela napas panjang. Ujarnya, “Bukan, pelakunya bukan salah satu murid sekolah ini. Ezra cuma tinggal berdua sama papanya. Tiga tahun terakhir ini, kudengar dia makin sering mabuk-mabukan dan bikin onar di mana-mana. Aku rasa dia yang mukulin Ezra sampai memar-memar begitu.”

“Apa? Ayo kita lapor ke  kepala sekolah dan guru-guru, Dan! Atau ke polisi sekalian! Ini nggak bisa dibiarin!” seru Petra marah. Sebenarnya, ia pun tak yakin apa yang hendak ia lakukan setelahnya. Ia hanya percaya bahwa ia harus memberitahu orang dewasa yang punya kewenangan untuk bertindak. Namun, Daniel segera mencengkeram erat pergelangan tangannya. Pemuda itu menggeleng.

“Jangan, Pet. Ezra bakal marah besar kalau kamu ngelakuin ini. Sebenarnya, sudah lama aku suruh dia buat pergi dari rumah, tapi dia selalu nolak. Dia yakin papanya masih orang baik. Memang, waktu kami masih SD, Om Heru, papa Ezra, ramah dan rajin. Tapi, semenjak kena PHK dan ditinggalkan istrinya, Om Heru jadi suka mabuk dan marah-marah. Biarpun begitu, Ezra nggak pernah menyalahkan Om Heru. Biarpun sering dimarahi, dia yakin suatu saat pasti papanya akan kembali seperti dulu.”

Petra terdiam. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tak pernah ia menyangka bahwa kondisi keluarga Ezra sangat mirip dengan dirinya. Namun, ketika ayah Petra bisa bertemu dengan orang baru dan melanjutkan hidup, ayah Ezra justru malah makin dalam terjebak dalam kepahitan dan kemarahan yang menghancurkan. 

“A … aku pulang duluan ya, guys.” Tangan Petra sedikit gemetar saat memasukkan barang-barang pribadinya ke ransel. Ia buru-buru memesan ojek daring. “Ada urusan di rumah. Kuusahakan desainnya selesai malam ini.”

Aku harus bicara sama Ezra. Sepatu Petra menghentak-hentak lantai ubin kala ia berjalan. Ranselnya bergoyang-goyang di punggung. Walau ia tahu kemungkinan besar Ezra tak mau membalas pesannya, ia tetap mengetikkan pesan ajakan bertemu ke WhatsApp si pemuda. 

“Oh ya, ada satu hal lagi yang perlu aku beritahukan ke kamu, Pet.” Ucapan Daniel menghentikan langkah Petra. “Tadi siang, Ezra mengundurkan diri dari kepanitiaan.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top