2 - Panitia Natal
Sejak hari itu, Petra mulai mencari tahu seluk-beluk si pemuda. Beberapa kali ia menyebut-nyebut sosok itu dalam percakapan-percakapan ringan dengan teman-teman sekelas. Lantaran tahu si pemuda pasti muncul di samping kelasnya setiap jam istirahat, ia pun jadi lebih memperhatikan penampilan. Tentu, teman-temannya heran melihat Petra mendadak jadi semangat bergaul. Setidaknya sudah ada tiga fakta yang Petra ketahui tentang pemuda itu. Pertama, namanya Ezra Efraim Hadisusanto. Kedua, kelasnya di XI-IPS-C. Ketiga, pemuda itu adalah bendahara OSIS.
Bila Petra memperhatikan baik-baik, Ezra ada di mana-mana. Selain gemar memberi makan kucing liar, pemuda itu sering membantu ibu kantin mengangkut piring-piring kotor, mempersiapkan peralatan olahraga, dan menolong siapa saja yang kebetulan ia temui. Namun, semenjak pertemuan pertama mereka, belum pernah Petra mengajaknya bicara. Bukan apa-apa, ia cuma tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah bisa jadi cewek-cewek lain yang bisa dengan mudah mendekati lawan jenis tanpa rasa segan.
Kurang lebih seminggu kemudian, poster-poster rekrutmen panitia Natal disebarkan ke seluruh grup kelas. Para pengurus OSIS terus mengajak murid-murid untuk bergabung. Menurut berita yang beredar, pesta Natal kali ini lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Bukan sekadar perayaan yang dihadiri oleh para warga sekolah, tetapi sekaligus bakti sosial yang mengundang anak-anak dari beberapa panti asuhan. Oleh karena itu, para panitia membutuhkan banyak tenaga bantuan.
Apa aku ikutan juga, ya? Petra termenung. Jemarinya mengetuk-ngetuk tepi ponsel. Ia tahu acara ini adalah kesempatan emas untuk mengenal Ezra lebih dekat. Namun, hei, bukankah para pengurus OSIS selalu menekankan bahwa semua murid diimbau aktif berorganisasi? Memangnya apa kemungkinan terburuk yang bisa terjadi? Paling-paling cuma ditolak kalau ternyata ia tidak lolos seleksi.
Maka, Petra membulatkan tekad. Sepulang sekolah, ia melongok ke dalam Ruang OSIS. Tempat itu kosong. Di sudut ruangan, Ezra sedang duduk bersila di lantai sambil membaca rekap Google form pendaftaran yang sudah masuk ke akun surel OSIS. Begitu Petra masuk, pemuda itu langsung mengangkat kepala. Senyum hangatnya merekah.
“Lho, kamu lagi ternyata,” sapa Ezra ramah. “Mau daftar?”
“Hehe, iya.” Petra tertawa kecil. Ia berjalan mendekati poster pengumuman di dinding ruangan, lalu pura-pura membaca divisi-divisi yang tertera. “Ini aku boleh daftar ke divisi yang mana saja, kan? Aku belum pernah ikutan kepanitiaan sama sekali, sih, jadi agak kurang tahu gimana prosesnya nanti.”
“Oh, nggak papa, kita terbuka buat anggota baru, kok.” Petra terkejut waktu Ezra mendadak meletakkan laptop, lalu berdiri dan menghampirinya. Telunjuk pemuda itu mengarah ke poster. Ujarnya, “Sekarang kami lagi butuh banget anggota buat divisi PDD. Selama ini cuma Gideon yang bisa kami andalkan buat urusan fotografi dan bikin-bikin post di Instagram event, tapi dia sekarang lagi sibuk persiapan lomba desain tingkat nasional. Tapi, kalau kamu nggak bisa desain, kamu bisa banget join ke divisi acara. Tugasnya bikin rundown acara, koordinasi sama para pengisi acara, terus memastikan supaya acara berjalan lancar. Karena tugasnya banyak, divisi ini perlu banyak orang.”
“Jadi aku tinggal jawab saja, terus selesai? Atau bakal ada seleksi lagi?” tanya gadis itu lagi. Setelahnya, sambil meringis canggung, ia berkata, “Eh, sori kalau aku banyak tanya, ya. Asli, aku beneran bingung.”
“Yah, namanya juga Publikasi dan Dokumentasi, pasti paling nggak kamu harus punya contoh desain feed, poster, atau foto hasil buatanmu sendiri. Kalau divisi acara, asalkan bisa gerak cepat dan banyak akal, bebas.” Ezra mengangkat bahu. “Kalau kamu nggak minat sama dua-duanya, bisa, sih, daftar ke divisi lain, cuma peminatnya banyak. Jadi, kemungkinan teman-temanku bakal agak cerewet soal siapa yang bakal mereka pilih jadi anggota.”
“Ah, gitu ya ….” Petra mengangguk-angguk. Setelah berpikir sejenak, gadis itu memindai QR code pendaftaran yang tercetak di poster. Ia memutuskan untuk memilih divisi PDD. Pikirnya, divisi acara tentu mewajibkannya berinteraksi dengan banyak orang. Wah, mengerikan! Lagipula, ia cukup percaya diri dengan kemampuan fotografi dan desainnya. Biarpun hanya bermodal kamera digital lawas, foto-foto review novel yang ia unggah di Instagram cukup banyak disukai orang.
“Sudah selesai, nih.” Petra menunjukkan bukti pengisian Google form pada Ezra.
“Okay, thanks.” Ezra tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu. Boleh kenalan?”
“Ah ….” Sejenak Petra terhenyak. Kemudian, bagai tersadar dari hipnotis, ia cepat-cepat mengulurkan tangan. “Um, aku Petra, dari XI-IPA-A. Salam kenal, ya.”
“Ezra. Nice to meet you,” sahut si pemuda sambil menjabat tangan Petra. Hangat, demikian si gadis spontan berpikir. Tidak tahu harus menjawab apa, ia tertawa sopan.
“Anu, semoga kita bisa kerjasama dengan baik, ya ….” Ucapan Petra terhenti sejenak. Nama pemuda itu melekat di ujung lidahnya, seperti permen lemon yang manis, asam, dan segar. “Ezra.”
“Sama-sama, Petra. Kalau kamu ada pertanyaan, jangan sungkan tanya aku. Aku bakal berusaha bantu.”
“Thanks. Kamu memang selalu bisa diandalkan, Zra. Pantas kamu punya banyak teman. Jujur, aku sering iri sama orang-orang yang memang jago bergaul. Murid-murid di sini baik banget sama aku, tapi belum ada yang bisa ngegantiin sahabat-sahabatku di Malang dulu.” Petra menghela napas panjang.
Sambil bersedekap, gadis itu bersandar ke dinding. Ia memandangi jarum jam di atas pintu. Bukan maksudnya untuk bercerita begitu banyak pada si pemuda yang akhirnya baru ia kenal. Namun, setelah berbulan-bulan tidak memiliki teman bicara, hatinya lega lantaran bisa mengatakan perasaan yang sudah lama ia simpan. Ia rasa, jika ada seseorang yang bisa mengerti kebimbangannya, Ezra-lah orang itu.
“Sebenarnya, aku sering merhatiin kamu.” Pemuda itu melangkah lebih dekat. “Aku tahu kamu pendatang baru. Sebelum tahun ajaran ini, aku belum pernah lihat mukamu di sekolah. Tiap jam istirahat, kulihat kamu selalu makan sendirian di kelas. Kadang-kadang, aku pengen ajak kamu ngomong, tapi aku takut kamu malah nggak nyaman.”
“Y … yah, nggak ada yang menarik di kehidupanku.” Petra menggeleng. Jemarinya mencengkram lengan atas keras-keras, kuku-kuku pendeknya menekan hingga memunculkan sederet bekas merah di permukaan kulit kuning langsatnya. “Aku nggak ngerti apa yang salah denganku, kenapa rasanya sulit banget buat menikmati hidup kayak orang-orang lain. Waktu aku masih kecil, aku kira masa SMA bakal seru seperti di novel-novel, tapi selama ini aku cuma merasa seperti figuran di cerita kehidupan orang lain.”
“Tenang saja. Masih ada dua tahun masa SMA, kan? Masih cukup waktu untuk membuat kenangan indah,” sahut Ezra tenang. Lengannya terangkat. Sesaat, Petra mengira pemuda itu akan merangkulnya, tetapi ia hanya memberi tepukan ringan pada bahu gadis itu, lalu segera menurunkan lengan. “Aku percaya nggak ada manusia yang dilahirkan sia-sia di dunia ini. Barangkali saat ini kamu memang belum menemukan tujuan hidup yang Tuhan gariskan buat kamu. Aku rasa aku juga belum, tapi kita toh masih muda. Paling enggak, kamu sudah mulai melibatkan diri di sekolah ini, dan itu kemajuan bagus.”
“Wah, bicaramu kayak pendeta saja, Zra,” timpal Petra, kemudian tertawa kecil.
“Ah, nggak, kebetulan saja aku pernah baca di suatu tempat,” jawab Ezra merendah. “Aku suka buku-buku self-help, baik dari segi rohani maupun psikologi. Memang sempat aku kepikiran buat sekolah teologi, tapi aku masih ragu. Jadi pendeta itu tanggung jawab moralnya berat. Jangan sampai nanti malah jadi contoh jelek buat umat.”
“Oh, kamu suka baca?” Mata Petra langsung berbinar. “Aku juga! Wah, baru kali ini aku ketemu remaja cowok yang suka baca.”
“Hehe.” Ezra terkekeh. “Aku lagi bikin proposal supaya sekolah meningkatkan alokasi dana untuk memperbaharui koleksi buku di perpustakaan. Banyak teman-teman kita yang sebenarnya suka baca buku, tapi terkendala harga. Sayangnya buku-buku di perpustakaan masih kuno. Andai di-ACC sama kepsek, aku yakin perpustakaan bakal ramai.”
“Ah, aku punya teman online yang rajin kasih info soal bazar dan diskon buku di Surabaya. Barangkali bisa membantu buat referensi tempat belanja nanti, semisal proposalmu disetujui. Mungkin—Sebentar, ada telepon.” Mendadak, ponsel Petra bergetar. Segera setelah menjawab panggilan, ia bergegas keluar dari Ruang OSIS. Setengah berlari ia pergi ke beranda sekolah.
“Kenapa?” tanya Ezra.
“Jemputanku datang!” Sambil terus melangkah, Petra melambai. Jantungnya berdebar penuh semangat. Memang benar kata orang-orang, langkah pertama memang selalu terasa berat, tetapi ia bangga pada diri sendiri karena sudah berani memulai. Jadi anggota kepanitiaan terdengar seperti tanggung jawab yang sangat besar dan serius, tetapi dengan Ezra sebagai pembimbingnya, Petra sama sekali tidak khawatir. Ah, hari-hari ke depan pasti akan penuh tantangan baru!
***
Selamat Hari Minggu, guys! Wah, akhirnya Petra mulai berani bergerak, nih. Kira-kira, tantangan apa lagi yang bakal dia temukan ke depannya, ya?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top