1 - Cowok Asing di Jendela
Petra Giovani Listianto memulai hari kesembilanpuluhnya di kelas XI-IPA-A dengan berharap supaya ia bisa jadi tanaman saja. Bangkunya di baris ketiga dari depan, tepat pinggir jendela. Sepasang mata mungilnya, yang berbentuk seperti almond, menatap nanar ke arah rumus-rumus kimia di papan tulis.
Begitu bel istirahat berbunyi, para murid bergegas keluar. Namun, Petra bergeming. Gadis itu hanya bersandar ke punggung kursi sambil memandangi jendela. Di depan pintu kelas, seorang gadis berambut ikal mendadak menghentikan langkah, lalu berbalik menghampiri Petra. Spontan, ia menoleh. Nama gadis itu Natasya. Bukan teman dekat Petra, meski mereka pernah satu kelompok dalam tugas Bahasa Indonesia. Aroma stroberi dari parfumnya menggelitik hidung Petra, membuat gadis itu terpaksa menahan bersin.
“Boleh bicara sebentar?” tanya gadis itu kaku.
“Kenapa, Nat?”
“Um, aku dan anak-anak lain pada ke kantin ….” Natasya berhenti sejenak, lalu menuding pintu kelas dengan jempolnya. “Kamu nggak ikutan?”
“Hari ini nggak dulu, deh. Aku bawa bekal, kok.” Sambil tersenyum sopan, Petra menunjukkan tas bekal bergaris-garis hitam putih yang ia bawa.
“Oh, ya sudah,” jawab Natasya pendek. Gadis bertubuh mungil itu berlari-lari kecil menyusul murid-murid lain yang sudah lebih dulu pergi ke kantin.
Petra menghela napas panjang. Ia lalu mengeluarkan kotak bekal berisi nasi dan beberapa potong nugget ayam. Sambil melamun memperhatikan jendela, mulailah ia makan. Gadis itu berani bersumpah bahwa ia melihat sekilas ekspresi lega di wajah Natasya saat menyadari bahwa ia tidak ikut ke kantin. Biarpun gadis yang menjabat sebagai wakil ketua kelas itu punya tanggung jawab memastikan Petra beradaptasi dengan lingkungan sekolah, Petra tidak ingin menempel terus padanya seperti lintah.
Meski sudah tiga bulan berlalu, tetapi ia belum memiliki sosok yang benar-benar bisa disebut teman. Semua orang tampaknya sudah memiliki sahabat sendiri. Yayasan Pelita Hati mengelola sekolah dari jenjang TK sampai SMA, sehingga kebanyakan muridnya sudah bersekolah di sana sejak masih balita. Biarpun murid-murid lain menyambutnya dengan hangat, ia tak bisa mengabaikan dinding tak kasat mata yang membatasinya tiap kali hendak berbicara dengan mereka.
Andai Oma hidup dua tahun lebih lama, pasti sekarang aku masih di Malang, pikir Petra. Semenjak orang tuanya bercerai waktu ia masih kelas tiga SD, Petra tinggal di rumah neneknya dari pihak ayah. Seharusnya ia tetap tinggal di sana sampai lulus SMA. Apa daya, nasib berkata lain. Tepat setelah ia menyelesaikan kelas sepuluh, sebuah serangan jantung karena penyakit hipertensi yang tidak terdeteksi mengambil nyawa neneknya, sekaligus membuatnya terpaksa tinggal bersama ayahnya di Surabaya.
Diandra, ibu Petra, pindah ke Jerman bersama suami barunya yang seorang WNA, dan sudah lama sekali tidak menghubungi gadis itu. Angga, ayah Petra, bekerja di sebuah bank besar di Surabaya. Dua tahun lalu, pria itu menikah lagi dengan salah satu rekan kerjanya. Berbeda dari dugaan kebanyakan orang, Petra tidak membenci ibu tirinya. Ia malah berpikir bahwa Mama Christy orang yang cukup menyenangkan. Namun, tetap saja ia canggung berhadapan dengan wanita itu. Segala interaksi antara keduanya sering kali berjalan bagai permainan tebak-tebakan yang melelahkan. Keduanya berusaha menerka suasana hati dan kesukaan masing-masing, sembari berusaha keras agar tidak menyakiti hati pihak yang lain.
Melelahkan banget. Petra menghela napas panjang. Gadis itu menutup kotak bekal yang sudah kosong, membungkus sendok dan garpu, lalu termenung menatap tirai yang melambai pelan. Tersisa lima menit waktu istirahat. Setelah itu, pelajaran akan kembali dimulai. Besok pun kurang lebih sama. Rasanya seolah hidup Petra hanya dihabiskan dengan berlari dalam lingkaran seperti hamster.
Belum lama ini, Petra mempunyai kebiasaan baru. Setiap kali ia bosan, ia akan mulai mendaftar cara-cara untuk mati di dalam pikirannya. Sejauh ini, daftarnya sudah mencapai angka lima puluh tiga. Mungkin bisa lebih andai ia tidak lupa beberapa poin. Cara paling sederhana sekaligus paling menguji kesabaran, tentu saja usia tua. Cara favoritnya, tenggelam bersama ikan di laut. Cara paling konyol yang bisa ia pikirkan, tersedak biji pepaya. Gadis itu sedang mereka-reka cara kelimapuluh empat saat sesuatu di luar menarik perhatiannya.
“Pus … pus ….” Sayup-sayup, terdengar suara seorang remaja laki-laki dari balik jendela. Tidak lama kemudian, semak-semak bergemerisik. Penasaran, Petra melirik ke luar. Seekor kucing belang telon muncul dari balik semak melati, diikuti tiga ekor anak kucing berwarna putih dan oranye. Keempatnya mendekati seorang siswa yang berjongkok sambil menebarkan sebungkus dry food.
Eh, lucunya! Petra tersenyum gemas. Biasanya kucing liar di sekitar area sekolah lari bila didekati. Namun, kucing-kucing itu berkumpul di dekat si pemuda tanpa rasa takut sedikit pun, bahkan membiarkan pemuda itu mengelus kepala mereka selagi mereka makan.
Karena posisi siswa itu agak membelakangi jendela, Petra tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Rambutnya tebal dan hitam. Postur tubuhnya rata-rata saja. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu gemuk, tetapi juga tidak bisa dibilang atletis. Jelas bukan tipe fisik pemuda populer yang sering Petra baca di novel-novel remaja. Anehnya, Petra sulit mengalihkan perhatian. Sementara itu, kucing-kucing lain mulai berdatangan. Dengan lembut dan penuh perhatian, pemuda itu berbicara pada para kucing.
Berniat memotret para kucing, iseng-iseng Petra mengeluarkan ponsel. Setelah membuka aplikasi kamera, gadis itu menjulurkan tangan ke luar jendela. Aduh, ternyata lebih sulit daripada yang ia duga. Berkali-kali ia memperbesar tampilan dan mengubah sudut kamera, tetapi pantulan matahari membuat fotonya buram dan gelap.
Mulai kehabisan kesabaran, tubuh Petra makin lama makin condong ke luar. Tiba-tiba, ia kehilangan keseimbangan. Gadis itu memekik nyaring. Tangannya buru-buru menggapai kusen jendela. Tanpa sengaja, ponselnya tergelincir dari pegangan. Matanya membelalak menyaksikan ponsel yang baru berusia kurang dari setahun itu melayang ke lantai berlapis paving block.
“Aaaaa!” teriaknya panik. Secepat kilat, siswa misterius yang ia perhatikan melesat ke bawah jendela. Sesaat kemudian, terdengar bunyi hantaman. Takut-takut, Petra melongok ke bawah. Si pemuda berlutut di bawah jendela, ponsel gadis itu aman dalam pegangan. Kala ia menengadah, spontan wajah mereka saling menatap.
“Oh ….” Terkejut, Petra hanya diam mematung.
“Nih, HP-mu. Untung sempat kutangkap. Coba kamu periksa dulu.” Sambil mengebaskan pasir dari kemejanya dengan tangan kiri, pemuda itu mengulurkan ponsel berwarna hitam itu ke tangan Petra.
“Eh, makasih …,” sahut Petra canggung. Ia membolak-balik ponsel di tangannya, lalu menyalakan layar. Syukurlah, tidak ada yang rusak. Sementara itu, si pemuda berdiri sambil melipat bungkusan berisi sisa dry food. Dari sudut mata, gadis itu melihat goresan-goresan kemerahan di bagian bawah sikunya. Belum sempat Petra berbicara lagi, bel tanda akhir waktu istirahat berdering nyaring.
“Sudah oke semua? Aku balik dulu, ya!” Pemuda itu melambai, lalu berlari kecil menuju pintu samping gedung sekolah.
“Oi! Tunggu! Kamu yakin nggak perlu ke UKS? Sini aku temenin!” Sambil berpegangan pada kusen jendela, Petra menjulurkan separuh badannya ke luar sambil berseru sekuat tenaga. Pemuda itu berhenti, mengintip luka-luka lecet di sikunya, lalu tertawa ringan.
“Nggak usah, cuma lecet kecil, kok! Pokoknya, lain kali hati-hati, ya!” Suara renyahnya terdengar. Sementara itu, murid-murid lain mulai memasuki kelas. Takut ketahuan bertengger di jendela seperti monyet, Petra buru-buru menarik diri ke dalam kelas. Dalam hati, ia masih merasa bersalah. Ketika sedang mempertimbangkan untuk menemui pemuda itu sepulang sekolah untuk berterima kasih, barulah ia menyadari bahwa ia sama sekali belum mengetahui identitas si pemuda.
Aku harus cari tahu siapa nama cowok itu!
***
Hai semua! Gak kerasa, sebentar lagi 2024 selesai. Setelah lama gak nongol, aku kembali ke Wattpad dengan proyek kecil-kecilan bersama swcsquad. Update tiap Kamis dan Minggu ⁽⁽ଘ( ˊᵕˋ )ଓ⁾⁾
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top