Episode 8 Gangguan Mabuk Laut

"Hei, kau, bangun! Bangun!" Porsha menggerakkan ujung kakinya untuk menyentuh Talvar yang masih mendengkur pagi itu.

Lelaki itu membuka mata kemudian tersenyum lebar ketika wajah Porsha kembali tertangkap di sana. "Hai, Sayang ..."

Tendangan Porsha makin keras. "Bangun! Kami akan bersiap!"

Gadis itu berbalik dan keluar dari ruang kemudi untuk naik ke atas dek. Para pekerja sudah beres memasang layar serta mengencangkan semua tali dan skrup. Badai biasanya membuat beberapa bagian kapal mengalami malfungsi, sehingga pengecekan sebelum kembali berlayar menjadi ritual wajib.

"Wah, langit cerah sekali, hari yang sempurna untuk berlayar, Sayang! Rasanya akan sangat menyenangkan jika kau dan aku, duduk dengan santai sambil menikmati siraman sinar matahari di atas sana ouchー"

Porsha menyikut rusuk Talvar, kemudian meliriknya dengan kesal. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, gadis itu memeriksa seluruh bagian kapal yang sekiranya penting agar tidak menghambat laju benda itu nantinya. Sementara Talvar membuntutinya seperti anak anjing.

"Kau tahu, meski pun aku belum pernah berlayar, aku sudah memimpikannya seumur hidupku. Hikayat perompak bumi itu menjadi cerita yang paling kusukai, dan aku bermimpi menjadi bagian dari mereka. Dan mungkin keberuntunganku makin berlipat karena kaptennya adalah seorang yang cantik dan memesona ...."

"Selesai."

"... apa?" Talvar menoleh dan menatap ke arah Porsha kebingungan.

"Semua pemeriksaan selesai, Levida. Kita bisa berlayar sekarang," ujar Porsha yang tampaknya berbicara dengan benda mungil berwarna hitam yang menempel di kerah bajunya, yang berfungsi sebagai interkom yang menyambung ke ruang kemudi.

"Oh, kamu bicara padaku? Aku baru tahu bahwa kamu memiliki nama panggilan yang imut sekali untukku, levida." Talvar menyeringai ketika kedua mata indah Porsha terarah tepat padanya.

"Tunggu sebentar, Ronas," ujar Porsha, kemudian ia kembali menatap Talvar.

"Oh, kamu bicara dengan benda kecil itu. Tapi tak masalah. Selama kamu menatapku dengan mata indahmu itu, Sayang. Aku merasa sangat bergairah ..."

"Dengar ya," ucap Porsha seraya mengangkat telunjuknya ke arah Talvar. "Aku sudah mengorbankan banyak hal untuk menuju daratan yang katamu ke arah barat laut itu. Dan aku sudah berbaik hati tidak menghukummu karena bicara kurang ajar padaku. Jadi tolong, sekarang, jangan berisik dan biarkan kami bekerja dengan tenang."

Talvar mengangkat kedua tangannya. "Baiklah. Baiklah, Sayang. Apa pun katamu ...."

"Kamu yakin kamu siap berlayar ke lautan luas, Talvar?" tanya Porsha, tetapi nadanya tetap dingin dan ketus.

"Ya, tentu. Tentu saja. Hei, apa kamu mengkhawatirkanku? Tenang saja, Sayang, aku ini terlahir untuk berada di lautan. Meski pun selama ini aku di darat, tapi aku sangat kuat dan mampu beradaptasi. Lihatlah dua hari di sini dan aku merasa baik-baik saja."

Raut wajah Porsha masih kaku dan tegang, "Baiklah, aku hanya tak mau pelayaran kami yang berharga ini terganggu olehmu. Kamu mengerti?"

"Mengerti, mengerti, Sayang! Mari kita menuju daratan bersama!"

Gadis itu menghela napas dan kembali ke ruang kemudi. Ronas telah bersiap di tempatnya, menekan beberapa tombol, dan berbicara dengan tim pekerja kasar yang bertugas memenuhi bahan bakar di bawah.

"Semuanya siap, Leda." Ronas memberikan laporannya.

Porsha mengangguk dan mulai menyalakan mesinnya. "Kita mulai pada kecepatan 18 knot terlebih dahulu, lalu kita naikkan secara bertahap."

"Baik, Leda."

Sementara itu Talvar berdiri di belakang kursi kapten, sementara tangannya bersandar pada jok kursi tersebut.

"Akhirnya kita berlayar, Sayang!" Suara lelaki itu membahana dan membuat sang kapten terganggu.

"Diam saja dan jangan berisik!" seru Porsha, matanya memancarkan ketidaksukaan yang kentara.

Kapal mulai bergerak dan menuju ke arah barat laut, setelah selama dua hari mereka berdiam di sana untuk memenuhi stok makanan dengan ikan-ikanan khas planet Nilakandi. Setelah kecepatan stabil di angka 22 knot, Porsha segera menyalakan mode otomatis dan menghela napas lega. Ia menoleh ke arah Ronas yang mengacungkan kedua jempolnya. Semoga pelayaran kali ini, benar-benar menuju daratan.

⛴️⛴️⛴️

Satu jam kemudian

Suara seruan Talvar yang awalnya sorak sorai gembira berubah seperti lolongan binatang yang sedang disembelih. Lelaki itu kini berwajah pucat, dengan memeluk ember yang terbuat dari alumunium. Tubuhnya bersandar lemah di dinding, sementara ia terduduk di lantai ruang kemudi. Ombak laut telah menunjukkan taringnya, membuat kapal terombang-ambing dan berayun-ayun, sesuatu yang belum pernah dirasakan oleh Talvar selama dua hari ini.

Sebelumnya saat kapal sedang berhenti, kondisi permukaan airnya relatif tenang, sehingga tidak banyak goncangan yang terjadi. Namun, laut lepas yang jaraknya lebih jauh daripada pemberhentian mereka kemarin, jauh lebih ganas ombaknya.

Talvar kembali melolong dan memuntahkan isi perutnya ke dalam ember. "Astaga ... perjalanan macam apa ini ...." keluhnya sembari mengerang.

"Yang benar saja!" Porsha menggaruk rambutnya dan menghela napas kesal.

Ronas turun dari kursinya dan menghampiri Talvar yang terkulai lemas, dengan mata terpejam. Punggung lelaki itu bersandar pada dinding. Ronas memeriksa denyut nadi dan suhu tubuh Talvar menggunakan alat semacam stik yang berfungsi sebagai termometer.

"Sepertinya dia mengalami ... mabuk laut, Leda."

Kedua tangan Porsha menyangga kepalanya, sementara mulutnya mengeluarkan sumpah serapah tanpa suara. "Suruh Minna kemari dan membawa obat anti mabuk laut itu. Jika masih diproduksi."

"Oh, ada obatnya? Terima kasih, terima kasih. Kukira aku ..." Kalimat Talvar terputus karena ia kembali muntah ke dalam ember.

"Entahlah. Karena jujur saja, Talvar. Kami sudah tidak pernah melihat kasus mabuk laut selama ya ... kurang lebih seabad terakhir." Ronas menjawab lelaki yang kini wajahnya sudah tak karuan itu dengan kalem.

Talvar memandang Ronas dengan tak berdaya. Matanya berkunang-kunang, sementara kepalanya terasa berat. "Se-seabad?"

Sang kapten menoleh ke arah lelaki itu dan menjawab, "Kasus mabuk laut hanya dialami oleh mereka yang generasi lama. Dan sudah seratus tahun ini, belum ada kasus serupa." Mata gadis itu kembali berputar. Ronas melakukan instruksi kaptennya, menghubungi Minna melalui interkom.

"Ma-mabuk laut, Levida?" Suara gadis itu terdengar keheranan. "Aku belum pernah menangani kasus itu, sepanjang karirku sebagai penyembuh."

Seluruh penduduk Astral sudah menyesuaikan ritme tubuhnya dengan goyangan ombak pada kapal, sehingga mereka tak pernah mengalaminya. Bahkan bayi yang baru lahir pun, sudah mendapatkan perawatan agar mereka tidak mengalaminya. Yang tentu saja, kandungan obatnya berbeda karena tidak bertujuan untuk menyembuhkan mabuk laut.

"Aku sudah membuka akses untuk kasus seratus tahun yang lalu, Minna. Sekarang, carilah sesuatu yang bisa digunakan untuk menangani tamu kita ini!" sergah Porsha kesal di interkom, matanya tak berhenti menatap Talvar yang tergolek lemas. "Mungkin obat mual dan muntah, aku tak tahu. Terserah mana saja yang mau dipakai."

"Ada obat anti mual dan muntah untuk ibu hamil, Leda." Jawaban Minna semakin membuat Talvar mengerang dan menenggelamkan kepalanya ke dalam ember.

"Aish, aku bisa gila kalau begini terus!" maki Porsha, tangannya meninju meja dengan kesal.

*Episode08*

Hola, Keliners!

Hari minggu kalian ngapain nih? 🤭🤭

Kalau aku mungkin mau nyetok tulisan buat besok ya. Jadi hari ini aku update satu bab saja 🙏

Betewe, ada yang pernah ngalamin mabuk laut? Ceritain di komen ya. Ceritain juga, kapan terakhir kali kalian naik kapal. Kalau aku pribadi kayaknya bertahun-tahun yang lalu pas wisata SMA ke Bali 🤭🤭. Untungnya aman waktu itu, nggak sampai muntah.

Nah, gimana nasib Talvar akhirnya ya? Kasian banget, udah petantang-petenteng, ternyata kalah sama faktor alam. Buat kalian yang nanya, masak iya sih kapal mereka nggak ada obat buat mabuk laut, atau apa. Jawabannya di episode berikutnya aja ya.

Salam sayang dari Talvar yang sempet pose ganteng, sebelum tumbang 🤭

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top