Episode 6 Semalam Bersama Talvar

"Kenapa kalian suka sekali menyuruh orang ke sana kemari... " omel Talvar saat di depan pintu ruang kemudi, yang sedetik kemudian menjeblak terbuka. Raut wajah sang kapten segera terperangkap dalam matanya. "... wah, Sayang. Aku tak menduga bahwa kamu begitu merindukanku sampai harus memanggilku lagi."

Porsha mendengkus, sementara bola matanya berputar. "Bukan aku yang mencarimu. Ronas, bawa dia denganmu."

"Hei, aku sudah berada di sini dan kamu malu-malu mengakui kalau ..." Lelaki tengil itu baru berhenti ketika tatapan elang Porsha kembali terarah kepadanya.

"Salam, Talvar. Mari kita duduk di sebelah sana." Ronas segera menghampiri tamu mereka dan mempersilakan lelaki itu duduk di meja yang biasa dipakai oleh wakil kapten.

Porsha duduk ke mejanya, memeriksa radar yang menunjukkan jarak pondasi kapal mereka dengan dasar lautan. Meskipun lautan di planet ini sangatlah luas, kedalamannya berbeda setiap wilayah, sehingga gadis itu harus teliti mengecek agar lambung kapalnya tidak membentur dasar laut.

Beberapa kali gadis itu memencet beberapa tombol untuk memasukkan data yang ia peroleh, sampai ia sadar bahwa wajah Talvar sudah berjarak beberapa senti dari wajahnya.

"Kamu sedang apa?" tanya Porsha dengan nada ketus, telapak tangannya mendorong wajah lelaki itu sejauh mungkin.

"Mengamatimu bekerja. Si wakilmu itu tadi bilang ia sedang memasukkan data dan semacamnya, tetapi melihat wajahnya saat bekerja tidak semenarik dirimu, jadi aku memilih kemari." Talvar kembali menyunggingkan cengiran lebar.

"Kau ..."

"Ya ampun, kau punya alat-alat yang sangat canggih!" puji Talvar mengabaikan tatapan Porsha yang sudah ingin mengulitinya hidup-hidup.

Ronas kemudian menodongkan busur panahnya ke arah Talvar, "Menjauhlah dari Leda atau aku perlu memanah kepalamu?"

"Ya, ya, baiklah. Hanya saja aku bosan setengah mati di sini. Jika aku boleh memilih aku lebih suka duduk di dekat Leda kalian yang cantik jelita ini. Dan itu akan membantuku berpikir, tentang ... tentang ... daratan. Itu yang kalian butuhkan, bukan?"

Mata Porsha kembali mendelik ke arah lelaki berambut seperti kain pel itu. "Kau mau aku menggorokmu dengan domki atau menjerat lehermu dengan senar busur Ronas? Aku mahir melakukan keduanya."

Sindiran dingin itu sama sekali tak membuat Talvar gentar. "Astaga, perempuan berkuasa. Wow. Memang rasanya pesona perempuan yang tangguh seperti dirimu itu tak terbantahkan."

Tangan Ronas segera menyeret kemeja yang dipakai Talvar, dan membuat lelaki itu duduk di kursi wakil kapten sekali lagi. Kali ini Talvar menggunakan pakaian yang biasa dipakai oleh penduduk Astral, sehingga penampilannya benar-benar berbeda dengan saat hari pertama ia ditemukan.

"Sekarang ceritakan padaku, berapa lama sejak kamu terseret sesuatu yang bernama tornado itu sampai kemari," perintah Ronas.

"Ya mana aku tahulah. Pikirmu bagaimana aku bisa tahu ada lautan, jika selama ini aku tinggal dan hidup di darat. Angin itu berputar-putar mengelilingi tanah, lalu membawaku pergi. Aku sangat pusing hingga akhirnya kuterbangun di kapal ini," Talvar menoleh ke arah Porsha yang sedang tekun mengecek bahan bakar mereka melalui monitor, "kemudian menatap wajah indahnya yang membuatku berpikir, ya ampun ... seperti ini rasanya surga."

Sang wakil kapten menghela napas. "Berarti kau tak tahu persisnya di mana lokasi Algapa-mu itu dari sini? Atau setidaknya arah mana yang harus kita datangi untuk menemukan daratan tempat tinggalmu?"

Talvar melirik gelisah ke arah Porsha yang kini menatap lelaki itu dengan tajam. "Ya ... ya, aku tahu. Aku... ingat samar-samar. Kita hanya harus ... apa nama mata angin itu?"

"Barat, barat laut, barat daya, utara, tenggara, selatan, timur, dan timur laut. Jadi kita harus kemana untuk mencari Algapa?" tanya Porsha, ekspresinya seakan meremehkan kemampuan Talvar.

Lelaki itu membusungkan dada. "Hei, begini-begini aku juga tahu arah. Kita hanya harus ke sana!" Tangan lelaki itu mengarah lurus ke tempat Porsha. "Kita ke tenggara!" serunya yakin.

"Itu barat laut," koreksi Porsha dingin.

"Barat laut, benar." Talvar buru-buru meralat ucapannya. "Aku hanya mengetesmu tadi. Rupanya kau pintar. Tak sia-sia kamu jadi kapten."

Gadis itu memutar bola matanya. Entah mengapa perjalanan mereka akan jadi sangat panjang karena pengetahuan lelaki ini sungguh meragukan.

"Baiklah, kita akan ke barat laut. Sejujurnya, memang kami akan mengarahkan Astral ke situ. Tapi, besok kami akan berlayar, apa kau yakin kau akan kuat di atas laut? Maksudku, mungkin ini pertama kalinya kamu melaut, kan?" Porsha menahan senyumnya, yang seolah mengejek Talvar. Ia yakin betul lelaki itu hanya bisa membual. Ada satu penduduk yang bicaranya seperti orang dari daratan ini, karena itu Porsha tak merasa kaget.

"Hei, apa maksudmu? Aku sudah dua hari berada di sini. Dan aku tidak merasa sakit. Kecuali ... masakan kalian ini terasa baru buatku. Namun, semuanya sangaaat lezat. Jadi aku ingin menyantapnya sebanyak mungkin."

Ronas segera menyergah, "Di sini, kami mengirit makanan agar tetap cukup untuk beberapa bulan mendatang. Kemarin kamu sedang dalam perawatan, makanya jatah makananmu tidak dibatasi. Tapi setelah ini, kami harap kamu tidak menghabiskan jatah lebih banyak lagi."

"Astaga, bukankah kalian memancing dan berburu monster atau apa pun itu seperti hikayat perompak?" Talvar berdecak. "Ya ampun, harusnya kalian lebih pandai dalam melakukan pembagian makanan. Sumber daya kalian masih banyak kan di bawah lautan. Mengapa harus susah payah mengirit? Hei Leda, katakan, apakah tim pemancingmu payah? Kalian harusnya memperkerjakan orang-orang yang kompeten dan handal. Bukan orang-orang yang tidak bisa memancing!"

Dada Ronas terasa panas mendengar perkataan lelaki yang sama sekali tidak peka dengan mulutnya itu. Namun ternyata, sang kapten yang lebih dulu bertindak.

"Apa? Apa katamu? Kau meremehkan kekuatan tim pemancing kami?" Porsha berdiri, meraih domki-nya dan mengarahkannya pada Talvar.

"Leda, tolong," tegur Ronas yang sudah berada di tengah sang kapten dan tamu asing yang mulutnya keterlaluan. "Kita sudah bersumpah tidak akan menghilangkan nyawa manusia."

Talvar segera mengangkat tangan. "Baik, baiklah. Aku kan hanya asal bicara, mengapa kamu cepat sekali naik darah sih?" Lelaki itu tersenyum ke arah Porsha yang masih mendelik padanya. "Tetapi, wajahmu ini semakin tampak cantik jika kamu sedang marah, kamu tahu?"

Porsha menghela napas, seakan berusaha meredakan amarahnya. Di sisi lain, tangan Ronas masih menahan bilah senjata gadis itu dengan busurnya.

"Jaga bicaramu di sini, atau aku tak segan melanggar sumpah Astral untuk menghabisimu," ancam Porsha dengan nada dingin.

Talvar mengangguk-angguk, tetapi ekspresi wajahnya mengatakan bahwa ia takkan melakukannya. Sang kapten mendesaknya dengan mendorong domki-nya ke arah Talvar.

"Aku bersungguh-sungguh dengan ucapanku, Talvar. Satu kata hinaan lagi muncul dari mulutmu, maka bersiaplah mengucapkan selamat tinggal pada planet ini!" Porsha menggeram.

Telunjuk Talvar terangkat, mimik mukanya seakan menahan tawa, ketika berkata, "Jika aku tidak tinggal di planet ini, lalu aku tinggal di mana? Di hatimu?"

*episode06*

Nah, lho, dari judul episodenya kayak mau iya-iya, tapi ternyata .... 😅😅

Maafkeun baru update sekarang, Kels. Aku ketiduran habis sahur tadi, ngantuk banget ✌🤭

Jadi updatenya baru pagi-pagi.

Si Talvar ini bermuka tebal sekali ya, udah dikasarin sama Porsha, malah digombalin Porshanya.

Apakah pada akhirnya Porsha akan luluh dengan gombalan Talvar? Atau Talvar malah jadi ayam geprek di tangannya Porsha?

Ini ekspresi Porsha dengerin gombalannya Talvar, mari kita berdoa agar Talvar masih hidup sampai episode berikutnya 🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top