Episode 5 Keputusan Kapten
"Ayolah, apa lagi yang membuat kalian ragu? Seumur hidup kita bermimpi melihat daratan! Sekarang kita punya kemungkinan besar bisa melihatnya, kalian malah mundur!" Raga menggebrak meja dengan berapi-api. Sudah berjam-jam mereka merundingkan apakah kapal Astral harus berlayar menuju Algapa atau tidak, tetapi seakan tidak menemukan titik temu.
"Raga, aku juga sepemikiran denganmu. Tapi kita tidak boleh gegabah. Bagaimana kita bisa bertahan hidup di sana? Kau seumur hidup menjadi pemancing, apakah kamu bisa belajar menanam?" tanya Ronas, yang kini mulai memikirkan dari berbagai perspektif.
"Ini juga akan membutuhkan adaptasi yang cukup panjang," ucap Jongha. "Hanya saja seumur hidup, aku selalu mendengar ayahku, ibuku, juga semua keluargaku berbicara tentang daratan. Mereka begitu ingin ke sana, sehingga aku juga ingin melihatnya. Mengapa kita tidak mencoba ke sana dan melihat apa yang bisa kita lakukan?"
Porsha mengangguk. "Aku setuju denganmu, Jongha. Daratan memang impian yang kita miliki bersama. Kita bisa memasukkan Algapa sebagai titik pencarian kita berikutnya. Kita tidak rugi apapun, karena ini seperti perjalanan kita biasanya."
"Nah, betul sekali, Leda."
Raga dan Ron mengangguk setuju.
"Namun, secara pribadi, aku sulit memercayai lelaki ini. Siapa dia, bagaimana dia bisa terdampar kemari, apa benar dia dari daratan. Maksudku, semua itu hanya bersumber dari ucapannya saja, kita tidak punya data pembanding. Bagaimana jika ternyata dia seorang penipu dan Algapa ini tidak pernah ada?"
"Itu juga yang kupikirkan. Namun, jika dia menipu, toh kita setidaknya punya tambahan rekan seperjalanan, yang semakin menguatkan kita untuk menemukan daratan. Lagipula, motivasi apa yang membuatnya menipu kita, Leda? Dia juga tidak mengenal kita. Dia tidak mungkin sengaja menenggelamkan dirinya untuk kita temukan, benar kan?" Ron, yang tertua dari semua orang di kapal itu segera menyampaikan pendapatnya.
Di kapal Astral karena berasal dari pelarian manusia bumi yang selamat ketika galaksi Bimasakti hancur, mereka memiliki aturan bahwa nyawa manusia sangatlah berharga. Karena itu, setiap pertengkaran yang terjadi di sana, diselesaikan dengan kepala dingin. Agar tak lagi ada nyawa manusia yang hilang lagi.
"Lagipula, masalah pekerjaan dan sebagainya itu, kita bisa sesuaikan ketika kita di sana, Leda. Kita harus mengenal medan kita dulu. Mungkin kita perlu menggali lebih banyak data dari Talvar, sehingga kita akan menemukan sistem masyarakat yang baik untuk Astral ketika sudah tiba di sana."
"Baiklah, kalau begitu. Apakah ada keberatan yang lain?" tanya Porsha, matanya menatap ke sekeliling. Sejujurnya di dalam hati, ia masih ragu dengan kebenaran cerita Talvar ini. Lelaki itu menghindari tatapan matanya, bicaranya juga terbata-bata, seakan ia sedang ... mengarang.
"Aku setuju, apa pun yang Anda putuskan, Leda." Akhirnya Ronas mengakhiri kebungkamannya.
"Aku hanya punya kekhawatiran, dan karena itu demi melindungi masyarakat Astral, aku meminta agar jangan biarkan Talvar bertemu dengan siapa pun yang ada di bawah. Aku tahu, merahasiakan dari penduduk akan membuat kalian tidak nyaman, tetapi bagiku, ini masih tujuan yang tidak pasti. Karenanya, sebagai pemimpin aku tidak mau menimbulkan kekacauan di kapalku."
"Anda benar, Leda." Ron mengangguk.
Ronas kemudian mengangkat tangannya, "Sebaiknya Talvar tetap berada di sisi kita, Leda. Aku mungkin membutuhkan data darinya, untuk bisa kita masukkan ke dalam arsip database kita. Anda ... juga bisa leluasa mengawasinya."
Gadis itu terdiam. Ada sesuatu yang aneh pada Talvar, yang membuatnya tidak ingin berdekatan dengan lelaki itu. Namun ia juga tak ingin melepaskan kesempatan untuk mengontrol agar tidak ada kekacauan yang ditimbulkan oleh Talvar.
"Baiklah, karena kalian sudah setuju, kita akan awasi Talvar sembari mengorek data darinya. Jika memang data tersebut valid, kita bisa sampaikan kepada penduduk agar mereka bersiap sebelum kita berlabuh di Algapa." Porsha menoleh ke arah Jongha. "Aku butuh Anda kembali ke bawah, demi bisa menciptakan kenyamanan bagi penduduk kita. Terima kasih atas kerja kerasnya mengawasi tamu."
"Tidak masalah, Leda. Kalau begitu, aku akan permisi." Jongha berdiri dan memberikan salam. Setelah itu ia keluar dari pusat kendali. Raga menyusulnya setelah berpamitan kepada Porsha.
Setelah tinggal Ronas dan ayahnya, Porsha kemudian mengutarakan pendapat pribadinya.
"Anda benar-benar yakin dengan ucapan lelaki itu, Ron? Aku sampai sekarang tidak bisa meyakini satu pun yang keluar dari mulut Talvar." Porsha menatap lelaki paruh baya itu dengan kesal.
"Sepertinya, Anda lupa mengajarinya bergaul dengan manusia, Paa." Ronas terkekeh. Ketika mereka berkumpul, biasanya mereka meninggalkan formalitas dan berbicara secara santai. "Kapten muda kita mungkin lihai menebas tentakel kraken atau menerjang badai di laut. Namun bertemu manusia lain terasa seperti monster baginya."
Ron terkekeh. "Kamu benar, Anakku. Mungkin aku terlalu keras padamu, Porsha. Sehingga kamu bahkan tidak bisa lemah lembut kepada siapapun."
"Ron, aku mengenal semua penghuni Astral. Aku tahu sifat-sifat kalian. Kalian tahu sifatku. Sementara lelaki ini ... sungguh. Aku merasakan seperti ada yang menyengat ketika dia mengucapkan sesuatu. Rasanya seperti dagingku teriris gigi Viper."
"Viper, makhluk berbisa yang kita temukan di barat daya gunung Triga?" tanya Ronas mengulum senyum.
"Benar yang itu. Yang kata Ron,ーPaa-mu iniーdagingnya membuat vitalitasnya naik." Porsha bergidik.
"Ah, kamu belum pernah mencobanya, Leda. Aku masih menyimpan sisa dagingnya yang kuawetkan di pendingin. Diminum dengan fermentasi sari ganggang, rasanya lezat sekali. Aku dan istriku bahkan tak bisa ..."
"Aaah, Ron. Hentikan. Aku tak mau mendengar apapun lagi tentang itu," sergah Porsha yang diikuti gelak tawa Ron dan Ronas.
Ron kemudian bangkit berdiri dan menghampiri gadis yang diasuhnya sejak kecil itu. "Dengar, Nak. Hati manusia itu memang sebuah misteri. Kita tidak pernah tahu apa yang orang lain pikirkan, atau rasakan. Namun, sebagai makhluk yang tidak bisa hidup sendiri, kepercayaan itu sangat penting agar kita bisa terus hidup bersama. Orang itu mungkin asing, tetapi bukan berarti semua orang asing itu jahat."
Manik mata gadis berambut ikal itu menatap sang mentor. "Apakah sejelas itu perasaanku di matamu, Ron? Aku benar-benar tidak bisa memercayai tamu kita."
"Kalau begitu, cobalah mengenalnya. Sama seperti kita datang ke planet ini. Kita menemukan faktanya satu persatu. Lalu kita akhirnya bisa menemukan harmoni dan hidup dengan damai di sini," tutur Ron dengan sabar. Matanya menatap gadis itu dengan lembut, meskipun tak dapat dipungkiri kesedihan selalu muncul manakala raut wajah Porsha selalu mengingatkannya pada Por, sahabatnya.
Porsha menarik napas panjang dan mengusap wajahnya, demi bisa mengenyahkan sesuatu yang memberatkan dadanya sejak tadi. "Baiklah. Terima kasih sudah datang memenuhi panggilanku. Kita akan berlayar ke Algapa mulai besok."
"Baik, Leda." Ron dan putranya mengangguk sabar tetapi kentara sekali terlihat lengkungan yang membusur ke atas di bibir mereka.
Porsha menghela napas. Sepertinya untuk kali ini, ia akan menuruti keinginan bawahannya. Toh, daratan memang menjadi misi yang diembannya selama menjadi kapten. "Ron, selagi kamu kembali ke bawah, panggil Talvar kemari. Ronas, mari kita korek data tentang Algapa malam ini, sehingga besok kita bisa berlayar."
*episode05*
Dictionary
Paa : ayah
Viper : hewan sejenis ular berbisa dengan taring yang panjang dan mencuat keluar, ukurannya sebesar ular piton.
Gimana, hari ini cukup puas dong... Aku udah posting dua episode lho. Satu buat nemenin sahur, satu buat nemenin buka puasa.
Nah, yang bertanya-tanya kapan nih uwu-uwu antara Porsha sama Talvar, tunggu kejutan di episode berikutnya ya. Soalnya habis ini mereka bakal sama-sama terus. Gara-gara si Ronas juga sih, pake nyaranin Porsha ngawasin Talvar.
Apakah bakal terjadi cinta bersegi-segi di antara mereka?
Salam sayang dari Ronas yang udah potong rambut dan kegerahan ✌😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top