Episode 17 Pertanyaan Telak
Mesin kapal kembali dinyalakan. Porsha bertekad tak mau membuang waktu. Dengan data yang ia dapat dari Min kemarin, ia semakin ingin mempercepat pencariannya. Pikirannya berkecamuk, memikirkan kemungkinan bahwa ada keturunan suku Ursa di planet Nilakandi. Berarti ada kemungkinan daratan yang diceritakan Talvar itu memang ada.
Ronas masih tak berada di ruang kemudi, tapi Porsha tak terlalu memikirkannya. Lelaki itu pasti kemarin mabuk dan sekarang sedang beristirahat di tempat tinggal Ron dan Mei. Gadis itu memasukkan moda autopilot, sebelum mulai membuka berkas bumi dari komputer nenek moyangnya dan mempelajari kebiasaan dan budaya suku Ursa.
"Eng. Euh."
Terdengar suara aneh dari belakang kemudi. Porsha menoleh, lalu berdiri dan meraih senjatanya. Langkah kakinya ringan dan tak bersuara, menyusuri setiap sudut ruangan tersebut. Sampai akhirnya ia membuka kamar tempat tidurnya dan menemukan Talvar di sana. Bola mata gadis itu berputar, kemudian dengan gagang senjata, ia membangunkan lelaki itu.
"Hei, bangun! Bangun!"
Gadis itu menyadari bahwa Talvar sejatinya sudah bangun, tetapi lelaki itu mencoba tidak bersuara lagi.
"Bangun, atau kutendang dari ranjangku. Satu, dua ..."
"Astaga ..." keluh Talvar yang akhirnya bangun dari aktingnya berpura-pura tidur.
Porsha mendengkus kemudian berbalik. Ia kembali ke kursi kaptennya, tak memedulikan Talvar yang menyeret kakinya untuk membuntuti sang kapten.
"Kenapa kamu di sini? Bukannya kau harusnya di rumah Orion atau mengajar di sana?" tanya Porsha tanpa mengangkat kepalanya dari tablet di hadapannya. Jarinya lincah memindahkan data dari arsip bumi ke dalam tablet.
"Hah. Melihat titik-titik ini, kepalaku rasanya makin berat dan pusing ..." gumam Talvar. Ia sedang duduk di kursi yang biasa ditempati Ronas saat mereka berlayar.
Bibir Porsha berkedut. "Itu namanya pengar. Memang di tempatmu tidak ada yang namanya minuman beralkohol?"
"Alkohol? Oh. Ada sih. Tapi dari buah-buahan. Namanya gira." Talvar menyandarkan tubuhnya dengan mata terpejam. "Biasanya aku meminum sari umbi dan kulit kayu cakra hangat untuk meredakan pengar ini. Di sini tidak ada."
"Yah, seperti yang kamu lihat sendiri, kami terbatas dengan sumber daya laut. Untunglah peneliti kami menemukan obat untuk pengar setelah bertahun-tahun." Porsha mengangkat kepala dan menoleh ke Talvar yang kini membuka mata.
"Oh ya, apa itu?"
Porsha menyodorkan nampan makanan yang dikirimkan Ron pagi tadi. Beberapa potongan kaki gurita yang masih bergerak menggeliat tersaji di sana.
"Apa yang ...?" Lelaki itu menutup mulutnya karena mual. "Aish, aku lebih baik bergelung di sudut sana dengan ember daripada makan itu."
"Kukira kau akan sesumbar tidak mau dikatai pengecut dan bodoh lagi," ujar Porsha meraih kaki gurita itu dan mengunyahnya.
"Serius? Apa kau tidak aneh mengunyah benda itu?" Talvar mengernyitkan dahi.
Gadis itu menggeleng. "Sudah biasa, mungkin. Dan aku punya semacam dendam obsesi terhadap kraken, jadi mengunyah ini rasanya seperti menambah semangatku untuk membunuhnya." Senyum gadis itu terkembang untuk pertama kalinya di depan Talvar, yang membuatnya makin memesona.
"Ah, karena ayahmu?"
"Pasti Ron yang sudah menceritakannya padamu." Porsha mengangkat bahu dan menuntaskan makanannya dalam hitungan detik. "Jangan menelan mentah-mentah ucapan Ron. Kadang dia itu terlalu melebih-lebihkan. Aku bukan titisan dewa atau Tuhan atau apa pun yang disembah oleh keluarganya."
Talvar mengangguk, merasa semakin kagum dengan kepribadian gadis ini sekaligus menahan rasa mual hebat yang menyerangnya. Gadis itu kembali bekerja, menekuni tablet di hadapannya.
"Tunanganmu ... dia tidak bekerja?" cetus lelaki berambut ijuk tersebut.
"Hmmm. Maksudmu Ronas? Dia mungkin juga sedang pengar. Dia suka minum sua saat makan gurita." Porsha menjawab tanpa menoleh.
"Ron bilang kalian tidak bertunangan." Talvar mengungkapkan fakta yang membuat hatinya berbunga kemarin.
Gadis itu menoleh lalu mengangkat bahu. "Memang belum. Ron memang yang menyarankan agar kami menikah. Kami sudah menjadi tim yang hebat selama lima tahun ini, keluarganya masih utuh."
"Lantas?"
"Sebenarnya aku berniat untuk menerimanya," jawab sang kapten dengan acuh tak acuh.
Talvar merasakan jantungnya mencelus. "Kau mencintainya?"
"Tidak." Porsha menggeleng. "Aku sendiri tidak percaya akan cinta dan segala dongengnya yang begitu diagungkan nenek moyangku dari bumi."
"Lalu mengapa kamu ingin menikahi Ronas?"
"Mudah saja. Sebagai lelaki, apa kurangnya Ronas? Dia baik, pandai memanah, keluarganya juga lengkap, tampan dan berwibawa. Dia juga tak peduli dengan mulut kasarku yang begini ini."
Porsha menjelaskan semua itu dengan santai, sebelum ia menoleh ke arah Talvar yang berwajah masam.
"Kamu tak membandingkan dengan lelaki lain, yang mungkin juga menyukaimu?"
"Kukira, mana ada lelaki potensial lain yang mau menerimaku menjadi istri? Kau?" Porsha tergelak, sebelum menyadari wajah Talvar yang semakin masam. "Oh, kau serius rupanya." Gadis itu menoleh dengan salah tingkah dan meraih botol minumnya yang berisi air laut yang sudah disuling menjadi air layak minum.
"Aku serius ... menyukaimu. Aku sudah bilang kan?"
Mata Talvar benar-benar penuh harap ketika memandang sang kapten. Bagi lelaki itu, Porsha yang kuat dan tegar memiliki pesona yang tidak biasa, berbeda dengan perempuan yang ada di algapa.
Gadis itu berdeham. "Aku tersanjung dengan pernyataanmu ini, tapi ... aku sendiri bukan tipe orang yang mengutamakan emosi atau perasaan. Jadi ..."
"Kau tidak harus menjawabnya sekarang!" Tangan Talvar terangkat, bergerak memberikan isyarat tidak. "Aku akan menunggu."
"Menunggu apa? Kau takut aku akan menolakmu, ya?" Porsha terkekeh. Jantung lelaki itu mencelus mendengar tawanya, sekaligus merasa perutnya tidak nyaman karena berdebar-debar.
"Benar. Tunggu aku siap, baru tolong katakan jawabanmu."
"Baiklah. Aku akan mengatakan jawabanku ketika kamu sudah siap. Akan tetapi, jika kamu ingin merubah pikiranku, buktikan."
Lelaki itu menatap Porsha bingung. "Buktikan apa?"
"Sejak bertemu denganmu, aku sampai sekarang belum percaya bahwa kau adalah lelaki baik-baik. Gerak-gerikmu selalu mengingatkan aku pada balenji, hewan yang ada di gunung Tigra. Hewan itu manis sekali dalam memikat hewan lain, sebelum akhirnya ia mencuri sesuatu atau malah menghabisi mangsanya itu."
Mendengar cerita Porsha, lelaki itu merasakan keringat dingin membasahi dahi dan punggungnya, tangannya terasa sebeku suhu pagi hari yang membuatnya menggigil. "La-lalu?"
"Jadi, buktikan padaku, siapa dirimu. Apapun yang kamu kerjakan di algapa, reputasimu di sana. Buktikan kalau kamu memang layak menjadi pasanganku. Mencintai seseorang itu mudah, tetapi menikah adalah hal lain." Porsha menatap mata lelaki itu dengan tajam. "Aku mungkin punya banyak kekurangan, tapi aku tak sembarangan memilih pasangan. Jadi katakan padaku, Talvar, atau siapapun namamu, apa motivasimu berada di kapal ini?"
Talvar bergerak dengan salah tingkah. "Hei, aku kan terseret tornado dan diselamatkan awak kapalmu, mana mungkin aku ..."
"Aku tidak peduli bagaimana caramu menemukan kapal ini. Yang kutanyakan, apa motivasimu ketika sudah berada di sini, mengatakan menyukaiku dan segala macam. Apakah kamu ingin merampok semua sumber daya yang kami miliki sekarang atau kamu ingin mencuri hatiku, dan akan mematahkannya di kemudian hari?"
*episode17*
Haduh, pertanyaan Porsha ini sungguh bikin hatinya Talvar kebat-kebit ya, Keliners. Soalnya sampai sekarang si Talvar ini juga masih misterius.
Apa di daratan dia sudah punya istri terus mau menjadikan Porsha istri kedua? 🤭🙈
Dan kerennya si Porsha nggak pake basa-basi, tanya ke orangnya langsung dong. Mana gayanya udah kayak interogasi polisi. Kira-kira apa jawaban Talvar?
Nih, dapat salam dari kapten bermata elang
Dan ekspresi Talvar saat ini
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top