Episode 11 Darat dan Laut
Talvar meletakkan kepalanya di atas meja sang kapten, dengan seringaian yang khas, sementara ia duduk di kursi di sebelah gadis itu. Dari kemarin ia bersikeras baik-baik saja, padahal ia baru saja tenggelam. Namun, karena benda asing yang menghalangi laju kapal mereka, pelayaran dihentikan, sampai mesin pemindai sudah selesai menyelidiki benda apa itu.
Kemarin saat diangkut oleh tim dua, Porsha meneriksanya dan masih merasa asing. Seumur hidupnya ia tak pernah melihat benda itu. Karenanya, ia memutuskan menyalakan mesin pemindai, yang terhubung dengan data tentang bumi, agar bisa menemukan jawabannya.
Mesin itu akhirnya memberikan analisa dan kesimpulannya. Porsha membaca semua data itu dengan tekun, sampai tak menyadari kedatangan Talvar di sebelahnya. Ronas sedang berada di kamarnya, alias sebuah ruang sempit yang hanya berisi kasur tipis di dalam ruang kemudi. Kapten dan wakilnya sepakat bahwa mereka tak membutuhkan banyak tempat untuk kamar, karena kehidupan mereka lebih banyak dihabiskan untuk berada dalam ruangan itu. Dengan adanya bayi-bayi yang lahir, maka ruangan di dalam kapal, akan banyak digunakan untuk mereka.
Porsha beberapa kali menggumam ketika matanya memeriksa rangkaian huruf yang tersaji di layar monitornya, sementara tangannya dengan lincah menulis di atas tablet dengan stylus. Kemudian, ia meletakkan benda berujung tumpul itu di atas meja demi bisa menggerakkan tetikus untuk memperbesar jangkauan layarnya. Ketika ia meraba meja untuk mengambil stylus-nya, ia menyadari bahwa benda itu kini di tangan Talvar yang menggambari tablet dengan coretan aneh.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Porsha, alis kirinya terangkat saat matanya mendelik ke arah lelaki itu.
"Aku? Aku menulis inisial kita, sebagai latihan jika sesampainya di algapa nanti aku bisa menulisnya di atas pohon. Di algapa, setiap pasangan akan memahat inisial mereka di atas batang pohon cakra demi membuat cinta mereka abadi."
Pohon Cakra
Pelipis gadis itu sedang berkedut-kedut ketika mendengar lelaki itu bicara. "Kau mau mati ya?"
"Ya ampun, mengapa kamu begitu serius sih? Lagipula kita kemarin kan sudah ... "
"Jangan bahas itu lagi di hadapanku, atau akan kutenggelamkan kamu ke laut." Ancaman Porsha hanya ditanggapi dengan senyum lebar oleh lelaki itu.
"Dan kita akan ... mmm mmm lagi?" Talvar mengerucutkan bibirnya seperti orang berciuman.
"Yah benar, dalam mimpimu, Balenji!" Porsha memutar bola mata dan merebut stylus pen-nya, lalu menghapus aksara yang ditulis oleh Talvar.
"Semua orang boleh bermimpi, Sayang. Dan terima kasih karena kau telah punya nama panggilan yang imut buatku, he he he." Lelaki itu semakin menggoda sang kapten.
"Bisakah kau melakukan hal yang lain dulu? Aku sedang bekerja dan ingin fokus!" sergah Porsha. "Memangnya kau tidak punya hal lain untuk dilakukan ya?"
Talvar menggeleng. Gadis itu menepuk dahinya ketika ia baru ingat, lelaki itu kan orang baru di sana.
"Ah, sudahlah. Lakukan apa saja yang kamu mau asal jangan menggangguku, oke?" Mata sang kapten kembali menelusuri layar monitor.
"Itu lumut."
Kata-kata Talvar itu membuat Porsha menoleh ke arahnya dengan dahi mengernyit. "Apa katamu?"
"Itu lumut, Sayang. Dan yang ditumbuhi lumut itu batang kayu." Talvar mengedikkan bahunya, seolah ia sedang berbicara tentang sesuatu yang remeh.
Lumut
"Lumut? Apa ... itu?" Wajah Porsha berubah dari yang tadinya ketus kini tampak penasaran seperti raut wajah khas anak-anak. Matanya yang bulat kini terarah kepada lelaki yang memandangnya dengan terpesona. "Hei, hei! Fokus!" Gadis itu menjentikkan jarinya.
Talvar tergeragap. "Maaf, Sayang. Wajahmu tadi sungguh. Baiklah, apa pertanyaannya tadi? Lumut. Itu sejenis tanaman di algapa. Biasanya ia tumbuh di batang kayu atau bebatuan yang lembap terkena air. Apalagi batang kayu itu sepertinya berada di laut ini cukup lama. Makanya lumut tadi tumbuh subur di sana."
Gadis itu cekatan mencatat semua penjelasan Talvar, kemudian mencari di dalam arsip Bumi mengenai lumut dan batang kayu.
"Wah, apakah ini berarti kita semakin dekat dengan algapa?" Antusiasme tergambar jelas di wajah Porsha.
Talvar memalingkan wajahnya dan menjawab ragu. "Mungkin saja."
"Aish, kau ini!" gerutu sang kapten, kesal. Setelah beberapa kali membandingkan foto lumut di bumi dan yang ada di kayu yang mereka temukan kemarin, Porsha menggigit bibir bawahnya. "Tapi ... mengapa lumut di sini bentuknya sangat berbeda? Ia memiliki daun yang cukup lebar dan memiliki batang. Bukan hanya akar yang menempel pada inangnya."
"Segala sesuatu di algapa, bentuknya dua kali lipat yang ada di bumi. Aku pernah mempelajarinya di sekolah. Lagipula itu lebih mirip lumut hati, itu tanaman yang bisa dimakan. Coba cari di alat canggihmu itu, tentang lumut hati." Talvar menaruh kepalanya lagi di atas meja, mimik mukanya terlihat bosan. "Memangnya apa yang kauharapkan? Bahkan foto daratan di bumi dan di planet ini juga berbeda. Bahkan lautnya, aku baru tahu bahwa laut di sini tidak asin. Sementara di bumi, lautnya asin."
"Hmmm. Sepanjang pengetahuanku, laut di sini memiliki ketinggian dan kadar garam yang terkandung pada airnya bisa berbeda-beda. Saat ini kita masih berada pada laut tawar. Biasanya secara ketinggian, tidak terlalu dalam, dan ombaknya tidak terlalu ganas. Beda dengan lautan dengan kadar garam tinggi. Makhluk yang menghuninya pun bisa beragam dan berbeda-beda."
"Kau tahu, ada pertanyaan yang mengganjal sejak aku melihat kalian." Talvar kali ini memasang wajah serius.
"Benarkah? Pertanyaan apa itu?" Porsha sedikit terkejut karena bisa menatap wajah lelaki itu dengan ekspresi kalem, tanpa cengiran lebarnya.
"Mengapa ... kalian tidak membangun daratan sendiri saja? Teknologi kalian cukup canggih dibandingkan dengan yang kami punya di algapa. Kalian bisa membangun semacam rumah panggung di atas air, atau ya kapal ini kukira bisa menampung ratusan orang."
Kali ini Porsha terdiam, terkesima dengan bagaimana Talvar mengemukakan pendapatnya, tanpa gaya tengilnya yang biasa. Rupanya, batin kapten tersebut, lelaki ini tidak sebodoh yang kukira.
Gadis itu menggangguk samar sebelum menjawab, "Sumber dayanya yang tidak ada. Material untuk membangun rumah sangat besar, sementara bahan mineral dari lautan ini, kami masih belum bisa mengolahnya secara masal. Jika harus membongkar kapal ini untuk membangun rumah, rasanya akan sangat sayang, jika suatu saat ada ombak yang menerjang dan menghancurkan tempat tinggal kami. Bentuk kapal ini yang paling sesuai dengan kondisi kami sekarang. Ia masih tahan jika melewati badai bahkan siklon. Namun sayangnya populasi kami juga semakin besar, sehingga, kami membutuhkan tempat tinggal baru untuk menampung semuanya."
Begitu Porsha selesai menjelaskan, ia menoleh ke arah Talvar yang kembali ke mode tengil. Cengiran lelaki itu bahkan bertambah lebar.
"Itu sungguh penjelasan yang bagus, Sayang. Aku membayangkan bagaimana kehidupan kita nantinya setelah di daratan ... "
"Bisakah kau berhenti memanggilku Sayang?" Pelipis kapten itu kembali berkedut-kedut.
"Tentu, baiklah. Aku bisa memanggilmu sebagai cinta, atau belahan jiwa atau si jantung hatiku, terserah kamu mau memilih yang mana," ujar Talvar dengan mimik muka yang menggoda.
Porsha memutar bola matanya, dengan dada yang kembang kempis menahan amarah. "Kau ini sungguh tak tahu malu ya? Apakah kau sudah gila?"
"Ya, aku sudah gila. Gila karena cintamu ha ha ha!"
Sedetik kemudian, Porsha melayangkan tinjunya ke pipi lelaki itu.
*episode11*
Bang Talvar mainannya kayak anak SD ya, nulis inisial nama di pohon 🤣🤣🤣🤣
Betewe, kali ini cuma ada Talvar dan Porsha, Kels. Dan mereka akhirnya bisa ngomong serius, setelah beberapa kali Talvar bikin si kapten cantik jadi keki. Ya meskipun endingnya tetep aja kena tinju 🤣🤣🤣
Dari sini sudah mulai muncul titik terang ya, sudah ada batang kayu, yang sebelumnya nggak pernah ditemui Porsha. Dan untung ada Bang Talvar yang bisa menjelaskan tentang itu. Apa itu artinya daratan semakin dekat?
Kita tunggu kelanjutannya.
Betewe ini Talvar yang udah dimabuk kepayang, jadinya begini deh dia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top