9. Pemuda Yang Telah Berubah

Ini adalah hari ketiga sejak aku mengambil cuti dari kegiatan mengajar di sekolah dikarenakan sakit di sekitaran bagian bawah tubuhku yang terasa amat menyiksa. Membuat aku kesulitan 'tuk sekadar melakukan kegiatan sehari-hari lantaran jadi kesusahan bergerak dan berjalan. Meski jelas itu wajar terjadi sebab aku bahkan menemukan jejak darah di celana dalamku setibanya di rumah saat memeriksa kondisiku sendiri. Tidak menyangka jika efek luka yang kudapat rupanya cukup parah.

Namun, sekali pun tidak pernah terpikirkan olehku bahwa akan ada masa di mana aku justru menjadi korban dari tindak pelecahan seksual, yang mana dilakukan oleh salah satu muridku sendiri. Aku, seorang guru laki-laki berusia 36 tahun. Pun, muridku berjenis kelamin sama sepertiku.

Aku mengusap wajah secara kalut ketika segala gambaran dari berita serta desas-desus berisi kasus serupa yang kualami terpampang di dalam kepala, yang kebanyakan terjadi disebabkan oleh berbagai faktor pula. Pada kasus Lanang di sini, entah faktor apa yang mendasari tindakannya. Karena sisi lain diriku masih meyakini bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin melakukan tindak tak senonoh itu.

Tidak di saat dia beberapa hari sebelumnya telah menunjukkan perubahan yang memuaskan dengan mejadi lebih tekun dan serius selama menyimak materi yang aku jabarkan. Itulah mengapa, aku tak benar-benar sanggup murka atau mengutuk perbuatan yang dilakukannya.

Lantas, apakah alasan yang mendorong Lanang berubah lagi sampai tega berbuat nekat sedemikian brutal terhadapku?

Ah. Diingatkan pada sosok pemuda itu serta tindakannya, hingga tatapan terlukanya yang kulihat saat terakhir kali kami berjumpa, selalu sukses menciptakan nyeri di sudut hatiku sendiri. Bertanya-tanya setiap hari mengenai Lanang, dan hanya mampu berharap agar dia baik-baik saja andaipun benar sekarang ini sedang dirundung beban atau permasalahan. Walaupun tetap, aku tidak bisa sepenuhnya tenang.

Bagaimana mungkin aku bisa tenang setelah Lanang secara terang-terangan menangis dan menunjukkan sisi rapuhnya sekali lagi di hadapanku?

Di mataku, pemuda itu memiliki pribadi serta jiwa yang kuat. Jadi, andai ada suatu problema yang menimpa Lanang sampai membuatnya menangis amat menyedihkan, aku yakin hal itu bukanlah sesuatu yang sepele. Selayaknya ketika dia menjadi korban bully tiada henti, saat dia bereaksi begitu diberhentikan dari sekolah, atau ketika tahu dan berpikir bahwa sang ayah tak betul-betul menginginkan kelahirannya. Membayangkan semua itu semata-mata membuat tidurku kian tak nyaman.

Aku harus berbuat sesuatu.

Sedikit meringis, aku bangun dari posisi berbaring kemudian berjalan agak kepayahan menuju ke lemari. Pintu sebelah kiri aku geser, mengambil salah satu kaus yang digantung di sana lalu kuperhatikan cukup lekat dengan kalut.

Ini adalah kaus milik Lanang yang aku pinjam tempo hari sewaktu kami terjebak hujan, tapi belum sempat aku kembalikan.

"Maafkan saya, Lanang. Saya tahu saya sudah berjanji untuk tidak datang ke rumah kamu lagi, tetapi tolong izinkan saya memastikan keadaan kamu sekali lagi. Meskipun untuk yang terakhir kali."

. . .

Aku memarkirkan motor di tepi jalan pelataran rumah Lanang. Lebih dulu mempersiapkan diri serta hati sambil menarik-embuskan napas berulang-ulang, pun meneguk saliva di kerongkonganku berkali-kali sampai rasanya tak lagi ada yang tersisa untuk ditelan. Dada aku pegangi, menepuk-nepuknya laun demi menenangkan detak kencang yang tak kunjung mereda di sana. Sesudah itu, barulah aku turun dari motor lantas melangkah menuju ke kediaman yang sering sekali terlihat sepi ini.

Bedanya, kali ini pagar serta pintu rumahnya tampak telah membuka. Melihat kasur milik Lanang yang sedang dijemur di atas dua kursi kayu yang biasanya diposisikan di dekat sisi jendela utama rumah. Pun, mendapati beberapa setelan baju yang dipasang berjejer pada alat penjemur pakaian. Menyebarkan wangi dari aroma pengharum pakaian yang tak asing ke hidungku.

Wangi dari Lanang.

Ragu-ragu, aku memijakkan kaki ke teras. Baru hendak mengucap salam sewaktu Bu Hasna muncul dari arah dapur sambil membawa buntalan plastik di tangan. Beliau yang langsung menangkap keberadaanku menampakkan raut muka terkejut.

"Loh, Pak Dewa?"

Aku berusaha tersenyum senatural mungkin sembari mengucap salam, "Assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsalam, Pak." Bu Hasna menaruh dulu plastik itu ke sisi pilar pintu sebelum melangkah menghampiriku. "Saya dengar Pak Dewa sedang cuti. Jadi nggak nyangka kalau Pak Dewa bakalan datang kemari. Ayo, silakan masuk."

Penuturannya membuatku sedikit kebingungan. Sandal aku lepaskan kemudian mulai berjalan ke dalam. "Bu Hasna tahu dari mana saya sedang cuti?" tanyaku setelah mendudukkan diri ke sofa.

Beliau menyusul duduk di satu sofa yang berada di seberang meja. "Oh. Dua hari yang lalu saya datang ke sekolah Pak Dewa karena ada urusan dengan Bapak. Tapi, pihak Bapak berkata bahwa kepala staf sekolah yang mewakilkan pun nggak akan jadi masalah. Jadinya, saya minta aja tanda tangan dari mereka."

Jawaban dari Bu Hasna jelas semakin membikin aku tak paham. "Urusan? Tanda tangan?" tanyaku memandangnya heran.

Wanita berusia 34 tahun ini mengangguk-anggukkan kepala. "Iya. Untuk bantu memberikan tanda keterangan sah buat Lanang. Berkat Pak Dewa, sekarang putra saya sudah bisa melanjutkan lagi kegiatan belajarnya di sekolah," ungkapnya disertai senyum berseri-seri sekaligus lega.

Namun, aku yang mendengarnya malah jadi kaget tak terkira. "Lanang sudah kembali ke sekolahnya?"

Tunggu dulu. Apakah benar kabar yang aku terima ini? Sejak kapan? Bagaimana ... maksudnya, kenapa aku tidak tahu menahu soal ini?

Melihat reaksi dariku gantian mendatangkan ekspresi terkejut pada raut muka Bu Hasna. "Loh, memangnya Pak Dewa belum tahu? Lanang bilang ke saya kalau Pak Dewa juga sudah setuju, maka dari itu saya dimintai untuk mengisi tanda tangan permintaan pencabutan sekorsingnya."

"I-itu, saya ... maaf. Sejujurnya, saya belum mengetahui apa-apa, Bu."

Bu Hasna sontak terkesiap. "Ya ampun, Pak. Saya minta maaf. Soalnya saat sampai di sekolah, pihak Bapak juga bilang bahwa Pak Dewa sudah menghapus jadwal mengajar untuk Lanang. Jadi, saya pikir informasi yang Lanang berikan memang benar." Ada guratan rasa bersalah yang nampak di wajahnya.

Penjelasan beliau aku tanggapi melalui anggukan pelan. "Yang satu itu memang benar, Bu. Ketika saya datang mengambil izin cuti, saya juga sekalian melaporkan pada ketua staf bimbingan belajar bahwa saya memutuskan untuk berhenti menjadi guru bimbel Lanang. Hanya bagian soal Lanang yang ingin kembali ke sekolah itu yang tidak saya ketahui sama sekali," tuturku menguraikan klarifikasi.

Tentu saja hal itu mau tidak mau harus aku lakukan karena aku telah berjanji pada Lanang. Tentang aku yang tidak akan datang lagi kemari untuk mengajar, bahwa aku setuju akan berhenti berperan sebagai sosok guru baginya.

Lalu meneruskan, "Kendali begitu, saya turut senang mengetahui masa sekorsing Lanang akhirnya selesai. Selamat ya, Bu," kataku sambil tersenyum.

Beliau mengembuskan napas lega. "Iya, Pak. Saya juga sangat berterimakasih pada Pak Dewa karena bersedia selalu sabar membimbing dan mengajari anak saya sampai dia berhasil diterima lagi ke sekolahnya. Terima kasih banyak ya, Pak."

Ucapan itu terdengar amat tulus sampai menciptakan haru bagiku. "Itu sudah kewajiban saya. Dan, ini. Kaus milik Lanang. Saya kembalikan," ujarku baru teringat tujuan lain yang membawaku datang ke sini. "Waktu itu saya meminjamnya saat kami berdua kehujanan setelah saya mengajaknya jalan-jalan."

Plastik hitam berisi kaus milik sang putra diterima dari tanganku. "Oh, iya, Pak." Setelahnya beliau tiba-tiba memekik. "Aduh. Saya jadi lupa kasih minum. Maaf, loh. Pak Dewa mau minum a--"

Buru-buru aku menyela, "Tidak perlu repot-repot, Bu. Saya datang ke sini hanya berniat mengembalikan kaus itu saja, kok," tolakku secara halus sambil menggelengkan kepala, lalu berdiri perlahan.

Bu Hasna kontan ikut berdiri dari duduknya. "Loh, beneran? Jadi, Bapak sudah mau pulang sekarang?"

Aku mengangguk. "Iya. Pekerjaan saya untuk datang kemari pun toh sudah tidak ada lagi."

Mendengar perkataanku, Bu Hasna jadi terkekeh canggung. "Jika Pak Dewa masih berkenan menjadi teman belajar Lanang tanpa ada campur tangan dari pihak sekolah, kapan aja boleh berunding dengan saya. Gak usah sungkan, Pak," desisnya menawarkan.

Alhasil, aku tertawa menanggapinya. "Akan saya pertimbangkan ya, Bu. Saya mohon pamit dulu." Langkah kaki aku gerakkan menuju ke pintu.

"Iya, Pak. Sekali lagi, terima kasih atas semua bantuannya."

Aku tersenyum pada beliau yang berdiri di ambang pintu untuk mengantar kepulanganku. "Tolong nanti sampaikan ucapan selamat dari saya pada Lanang, ya. Assalamu'alaikum," ucapku berpesan dan berpamitan.

"Wa'alaikumsalam."

Berlagak tenang, padahal sebetulnya sebagian besar bagian di diriku tengah dirundung sekian kekacauan.

Apa yang terjadi sebetulnya?

. . .

Selamat siang, Pak.
Mohon maaf. Saya ingin bertanya.
Apakah betul wali dari murid bernama Aguntara Lanang Mahesa sudah meminta tanda tangan persetujuan syarat bantuan pencabutan sekors?

Pak Handoko:
Betul sekali, Pak.
Maaf karena saya telat mengabari. Karena Pak Dewa sedang cuti, saya pikir sebaiknya urusan itu dibahas apabila Bapak sudah kembali mengajar lagi.

Aku mengembuskan napas cukup berat sesudah membaca pesan balasan di layar ponsel yang langsung saja kuletakkan ke meja. Melepaskan kacamata, lalu memijat pelipisku pelan disebabkan rasa tak keruan yang melanda ke dalam kepala seketika. Masih belum dapat sepenuhnya percaya pada kabar yang beberapa saat lalu kuterima dari Bu Hasna, pun isi pesan barusan.

Tentang Lanang yang sudah kembali menjalani kegiatan belajar di sekolahnya melalui penawaran bantuan staf bimbel dari tempatku bekerja. Alasan mengapa Bu Hasna berulang kali memintai guru-guru dari sekolah kami untuk bantu mengajari sang putra adalah berdasarkan demi keuntungan yang satu itu. Selain menyediakan solusi, pihak kami juga selalu berusaha memberikan evaluasi. Yang mana bisa menambahkan poin lebih kepada murid bersangkutan yang menggunakan jasa bimbingan belajar kami. Apabila para guru menyatakan bahwa pihak murid telah berhasil mendapatkan penilaian yang sesuai ekspektasi, maka modal itu dapat digunakan sebagai suatu tanda lulus baginya. Terutama terhadap murid-murid yang bermasalah di luar sana.

Termasuk Lanang.

Sisi diriku yang sempat menyandang status sebagai gurunya jelas turut senang mendengar kabar itu. Namun, tidak dapat dipungkiri, sisi diriku yang lain juga masih dirundung perasaan cemas.

Apakah Lanang baik-baik saja di sana? Mungkinkah dia masih dijadikan target bully begitu kembali ke sekolahnya? Mampukah para guru di sekolah itu mengayomi bilamana lagi-lagi Lanang tersandung masalah? Ataukah, pemuda itu justru telah berubah sehingga lebih mampu mengendalikan serta mengatasi persoalannya sendiri?

Terlalu larut disebabkan berbagai macam pemikiran membuat aku melupakan soto daging yang sudah dipesan. Kacamata aku gunakan kembali kemudian mulai mengaduk-aduk soto yang pasti sudah menjadi dingin ini. Bahkan bentuk bihunnya saja tampak lebih megar dari biasanya.

Aku baru hendak menyeruput kuah dari sendok ketika mataku malah melirik mangkuk wadah sambal, yang seketika membawa ingatanku ke masa sewaktu aku dan Lanang bersama-sama menikmati soto di tempat langgananku ini. Membayangkan ekspresi keenakan bercampur kepedasan di wajah usil pemuda itu gara-gara nekat memasukkan beberapa sendok sambal ke porsi sotonya. Pun, aku seolah-olah bisa menangkap sosoknya dari gelak tawa serta suara batuk akibat tersedaknya pada kursi kosong di depanku, yang semata-mata memunculkan perasaan ... rindu di sudut hatiku.

Sangat disayangkan, aku gagal berjumpa dengan Lanang saat tadi berkunjung ke rumahnya. Karenanya, hasrat dalam diriku yang ingin sekali menemui pemuda itu justru kian membuncah. Mengundang ide mendadak di dalam kepalaku yang lalu berpikir secara sederhana pun terkesan gila.

Aku, akan mengunjungi Lanang ke sekolahnya. Hanya untuk memastikan bahwa dia memang baik-baik saja.

___Bersambung___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top