6. Pemuda Dengan Senyuman Ceria

Aku berusaha tenang sebelum memutuskan turun dari sepeda motor. Memperhatikan penampilanku sendiri sekali lagi, memastikan aku tidak terlihat memalukan untuk datang berkunjung setelah sekian lama, kemudian mengembuskan napas panjang. Begitu turun lalu menaruh helm ke salah satu spion, aku ragu-ragu mulai melangkahi pelataran kediaman Shazana.

Gugup serta cemas bercampur aduk. Seperti selalu setiap kali aku mulai memijakkan kaki ke sini.

Langkahku terhenti sementara ketika aku menangkap sosok si Mimi, kucing anggora putih betina milik Erin yang dipeliharanya sejak tahun lalu tengah berbaring tidur dengan nyaman di tanah. Dia tampak semakin gemuk dan cantik dengan bulu-bulu lebat yang memenuhi badannya.

Aku ... sangat ingin membelai Mimi, tapi juga tidak ingin mengganggu tidurnya. Alhasil, lebih memilih mengedarkan pandangan ke sekitaran rumah Shazana yang banyak dihiasi tanaman anggrek serta bagai kebun sederhana pribadi. Di sini kau bisa memetik seledri, cabai, sawi, bahkan bawang dengan sesuka hati sebab salah satu hobi ibu Shazana adalah berkebun.

"Om Dewa!"

Jeritan Erin dari teras rumah tak hanya membuat aku terkejut, pun sekaligus Mimi kesayangannya yang tampak langsung membuka mata. Ah, gadis ini masih saja penuh semangat dan ceria seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum, Erin," sapaku begitu keponakan Shazana mendekat dan memberi salam. "Gimana kabarnya? Sehat?" Rambut lurusnya yang tergerai aku usap-usap pelan.

Erin mengangguk cepat. "Wa'alaikumsaam, Om. Alhamdulillah Erin sehat." Tahu-tahu dia memeluk lenganku. "Ayo, masuk. Tante Zana masih dandan. Nunggunya di dalam aja, ya."

Jelas saja aku enggan, akan tetapi aku tak dapat serta merta menolak permintaan itu. Apalagi ketika aku akhirnya bertemu tatap dengan sosok Pak Samsul, ayah Shazana yang kadang kala memberikanku sorot tajam karena aku dianggap tak juga memikirkan hubunganku dengan sang anak gadisnya secara serius. Ah, aku sungguh malu.

"Assalamu'alaikum, Pak." Tangan Pak Samsul aku beri salam. Sialnya, tanganku agak gemetaran sekarang.

"Wa'alaikumsalam," jawab beliau disertai senyum simpul, kemudian melirik cucunya. "Erin, buatkan minum untuk Om, ya."

Titah Pak Samsul aku cegah secara halus. "Ah, nggak usah repot-repot."

Namun, tentu saja Erin lebih menuruti perintah sang kakek daripada aku yang bukan siapa-siapanya. Jika Erin sudah telanjur masuk, apa yang bisa kulakukan selain menunggu?

Pak Samsul duduk di salah satu kursi rotan yang berada di teras. "Tak apalah, Dewa. Sambil nunggu Zana, kamu temani saya bicara dulu."

Aku mengangguk samar, lantas duduk di kursi yang ada di sebelah tempat beliau. Membiarkan hening menggantung sebab beliau tak kunjung membuka suara meski tadi berkata ingin bicara dulu denganku, pun aku lebih dari sungkan ingin membuka percakapan. Akhirnya, aku sekadar memerhatikan tanaman cabai yang daunnya baru muncul yang berada di tempat gelas plastik di sisi paling pinggir teras. Hingga ketika Erin datang membawa nampan untuk menyuguhkan teh manis dan biskuit di dalam toples, barulah Pak Samsul betul-betul bicara.

"Ayo, Dewa. Diminum dulu," ucapnya sesudah Erin kembali berlalu ke dalam.

Anggukan pelan kuberikan. "Terima kasih, Pak." Lalu mengambil gelas untuk menyesap sedikit isi teh dari sana.

Pak Samsul mendekatkan isi toples lebih dekat ke sisiku. "Ada rencana apa hari ini bersama Zana?"

Gelas teh kuletakkan lagi ke nampan. "Oh. Zana minta saya temani belanja untuk persiapan study tour-nya minggu depan. Sekalian jalan-jalan. Sudah lama kami tidak jalan-jalan keluar berdua."

Mendengar jawabanku, beliau manggut-manggut. "Hmm. Lalu, apa kalian belum memikirkan rencana lebih serius ke depannya?" Dapat kurasakan tatapan beliau menusuk tepat ke arahku. "Kamu dan Zana, sampai kapan kalian mau menunda-nunda?"

Gugup kian melanda, tapi aku berusaha tetap tenang. Sayangnya, detak di jantungku sama sekali tak dapat diajak bekerja sama. Tak ada yang berubah sejak saat itu. Aku masih saja kebingungan harus memberikan respons apa pada pertanyaan itu.

"Euh, saya ..."

Pak Samsul kudengar menghela napas. "Kamu masih butuh waktu? Berapa lama lagi? Asal tahu saja, keluarga bapak akan selalu siap jika kamu akhirnya bisa memutuskan kapan ingin menghantar lamaran."

Aku meneguk ludah secara susah payah. Agak menundukkan kepala tak kuasa balas memandang Pak Samsul yang pasti amat ingin mendengar jawaban pasti dariku segera, sementara aku sendiri masih belum sanggup memikirkan niat hingga sejauh itu. Melamar dan menikah, meski bukan dengan Shazana, aku sama sekali belum memiliki secuil pun gambarannya. Bahkan aku ragu jika nanti hal itu akan dapat berubah seiring berlalunya masa.

"Jadi, bagaima--"

"Mas Dewa?"

Ketika akhirnya sosok kekasihku muncul dari dalan rumah, seketika itu pula aku sedikit mampu bernapas lega. Untuk ke sekian kalinya, dia membantuku lepas dari situasi sulit yang terjadi di antara diriku serta sang ayah.

Aku tersenyum sewaktu dia menyalami tanganku dengan lembut. "Mas, nunggu lama? Mau berangkat sekarang?"

Melirik Pak Samsul, melihatnya nampak pasrah seraya menggeleng masygul membuat aku mau tak mau mengangguk. "Kalau Zana mau, berangkat sekarang juga nggak apa-apa." Aku berdiri, menyalami tangan Pak Samsul selepas beliau menaruh gelas yang isinya baru saja dihabiskan. "Saya izin mengajak Zana pergi dulu, Pak," ucapku agak sungkan.

Namun, melihat senyum penuh pengertian di wajah beliau mendatangkan perasaan yang kian menenangkan.

"Pulangnya jangan terlalu sore, ya."

Pesan itu dibalas anggukan oleh Zana yang kemudian menyalami tangan sang ayah. "Zana sama Mas Dewa pergi dulu ya, Yah. Assalamu'alaikum!"

"Assalamu'alaikum, Pak."

"Wa'alaikumsalam."

...

"Ayah tadi bicara soal apa sama Mas Dewa?"

Aku berpikir Shazana tidak akan menanyakan perihal topik pembicaraan antara aku serta ayahnya karena sepanjang perjalanan menuju kemari tadi dia justru membincangkan hal lain. Rupanya dia hanya menunggu saat yang tepat. Ketika kami mulai memilih-milih gamis serta hijab yang ingin dibelinya, barulah dia buka suara. Mungkin dia tak ingin membuyarkan fokus menyetirku jika kami membahasnya saat berkendara.

Namun, ditanyai demikian kontan mendatangkan lagi perasaan bersalah itu. Jika ayahnya saja sudah amat mengharapkan kepastian dariku, bagaimana dengan Shazana sendiri selaku sosok yang selalu setia menunggu?

Melihat aku yang diam sambil hanya memperhatikan kain gamis berwarna cokelat di pegangan, Zana menyimpulkan jawaban sendiri. "Soal lamaran lagi?"

Anggukan samar kuberikan disertai embus napas singkat. "Iya. Mas minta maaf untuk itu."

Zana tiba-tiba saja memegangi jemariku dan membuat aku sedikit terperanjat. "Minta maaf untuk apa, Mas? Zana sudah bilang berulang kali, 'kan? Berapa lama pun waktu yang Mas Dewa inginkan, Zana siap memberikan. Lagi pula, omongan ayah gak usah jugalah terlalu dipikirkan. Zana bisa menghabiskan waktu dengan Mas seperti ini aja sudah bikin Zana sangat senang, kok," ungkapnya dibarengi senyum tulus pada parasnya yang dipolesi makeup sederhana.

Aku balas tersenyum seraya mengusap bagian belakang kepalanya yang tertutup hijab. Sedikit, membayangkan betapa beruntungnya aku memiliki sosok sebaik Shazana sebagai calon pendamping hidup. Terlalu baik hingga aku takut kalau-kalau kami mengikat tali hubungan secara sakral, tapi aku malah tak sanggup membahagiakan dirinya sepenuhnya di hari mendatang.

Bayangan yang amat mengerikan.

"Menurut Mas, ini gimana?" Zana berdiri di depanku seraya memegangi gamis bercorak bunga dengan warna merah muda serta putih yang indah. Terlihat cocok untuknya, walau tampilan gamis ini seperti tak asing di mataku.

"Bagus. Zana mau itu?"

Mendengar komentar dariku, anehnya dia tampak menunjukkan raut masam. "Tapi Zana sudah punya model gamis ini, sih."

Mengetahui hal itu, terang saja aku memaki diri sendiri habis-habisan di dalam hati. Ya Tuhan, aku betul-betul lupa. Ini seakan membuktikan bahwa aku benar-benar kurang memberikannya perhatian.

Aku baru hendak menawari Zana untuk melihat-lihat saja di toko lain, sewaktu mataku menangkap sosok seorang pemuda yang tampak kebingungan melihat-lihat berbagai jenis gamis yang dipajang melalui patung manekin. Dari tinggi badannya, gaya rambutnya, punggung tegapnya. Mungkinkah?

Letak kacamata aku naikan sebelum Ragu-ragu melangkah menghampiri. "Lanang?"

Panggilanku membuat sosok itu refleks berbalik. Reaksi yang ditunjukkannya serupa terkejutnya denganku. "Pak Dewa?" sebut Lanang antara percaya dan tak percaya.

Siapa sangka kami dapat tetap berjumpa walau sedang tak memiliki jadwal bersama? Apa ini sebuah kebetulan semata?

Aku terkekeh canggung. "Bahkan saat tidak ada jadwal belajar saja kita masih bisa bertemu. Kamu sedang apa?"

Pemuda di depanku menggosok-gosok kepalanya secara kikuk. "Emm, lagi ... nyari sesuatu aja, sih. Pak Dewa lagi jalan, ya?"

Pertanyaan balasan darinya mengingatkan aku pada Zana seketika. Sontak berbalik dan mendapati dia sudah ada di belakangku, sedang bergantian memandangi aku dan Lanang dengan tatapan ingin tahu. Hampir saja aku lupa bahwa aku tak hanya sendiri di sini.

Ragu-ragu, aku menggandeng pergelangan tangan kekasih ini. "Ah, iya. Kenalkan. Zana, Ini Lanang, murip yang mas ceritakan kapan waktu itu. Dan Lanang, emm, dia Shazana." Entah mengapa memperkenalkan Zana pada Lanang membuatku gugup sendiri.

Mungkin karena secara tidak langsung aku malah diingatkan pada beberapa ejekan yang pernah dilontarkan oleh Lanang kepadaku mengenai Zana.

Selepas bersalaman dengan Zana yang masih belum kunjung bersuara, Lanang merespons, "Oh, ini ya pacar Pak Dewa?"

Sudah kuduga. Pemuda ini dan gaya bicaranya yang blak-blakan.

Wajahku mendadak diterpa sensasi tak nyaman. "Iya," jawabku malu.

Lanang nyengir terpaksa, sesudah itu mundur sedikit demi sedikit. "Eum, kalau gitu ... mau pamit aja, ah. Gak mau ganggu gue. Dah."

Belum sempat aku merespons, langkahnya sudah saja membawanya menuju ke pintu keluar. "Ah, iya. Dah." Meski tak ada gunanya aku turut mengucapkan selamat tinggal saat Lanang sudah tak nampak.

Padahal aku masih ingin bertutur sapa dengannya lebih lama.

"Jadi, dia murid Mas yang namanya Lanang itu?"

Suara Zana menyadarkan aku dari menatap arah kepergian Lanang. "Em, oh iya. Itu anaknya."

Dia melipat gamis yang tadi dicobanya ke atas tangan. "Dia sedang apa katanya, Mas?"

Jawaban dari Lanang saja kurang jelas seingatku. "Mas juga kurang tau. Tapi katany--"

Shazana tiba-tiba mendelik seraya menunjuk ke belakangku. "Loh, itu! Dia balik lagi, Mas."

Mengikuti gerak jemarinya, aku pun membalikkan badan lantas dibuat tercekat mendapati kini Lanang tampak tengah berjalan mendekat kemari lagi.

Aku mengernyit, memastikan penglihatanku sedang tak mengelabui. "Lanang? Kamu ... kembali? Ada apa?"

Yang ditanyai pun masih memasang paras canggung. Dia melirik ke sana-kemari, terlihat kebingungan. "Emm, maaf gue jadi ... ngeganggu lagi. Sebenernya, gue sekarang lagi nyari hadiah ulang tahun buat Ibu. Cuma gue nggak tau mau beliin dia apa. Berhubung Pak Dewa lagi sama pacar Bapak yang sama-sama perempuan kayak Ibu, kalo gak keberatan, gue kepengin nanyain saran darinya," ungkapnya nampak ragu-ragu. "Boleh, nggak?"

Pemuda ini pasti sedang menahan rasa sungkan. Akan tetapi, demi sang Ibu dia melakukan usaha sejauh ini. Aku sungguh amat salut dengan niatnya.

Aku tersenyum. "Bu Hasna ulang tahun? Kapan?"

Lanang mengangguk seraya menjawab, "Besok. Gue nyari hadiahnya dadakan banget soalnya baru agak baikan. Bapak tau, lah. Kan kemarinan gue masuk angin."

Ya, tentu saja aku tidak lupa tentang hal itu. Saat dia sakit toh aku bantu merawatnya.

Zana kemudian mengangguk-angguk lalu mulai memberi saran, "Emm, hadiah ulang tahun, ya. Untuk Ibu seusia ibunya Lanang. Mungkin, aksesoris?"

Pemuda di depan kami ini langsung menunjukkan ekspresi tidak puas. "Ibu kebanyakan ngabisin waktunya di tempat kerja, Mbak. Jadi dia jarang dandan dan makai aksesoris."

Zana tak kehabisan saran walau telah diberi tahu fakta demikian. "Oh. Kalau begitu, gimana dengan tas?"

"Tas?" Aku dan Lanang menyahut bersamaan.

"Iya. Tas wanita. Yang modelnya sederhana dan warnanya nggak terlalu mencolok yang sekiranya bisa beliau bawa dan pakai saat bekerja. Gimana?" terang Zana meneruskan yang kontan membuatku tersenyum menyetujui.

"Sepertinya itu memang akan cocok untuk Bu Hasna," komentarku mendukung saran Zana yang berhasil menciptakan senyum semringah di bibirnya.

Sementara yang diberi ide terlihat berpikir lebih dulu sebelum menanggapi, "Gue juga kayaknya setuju. Makasih sarannya, Mbak. Gue bakalan nyari tasnya sekarang, deh," katanya yang lalu melirikku secara aneh. "Eh, tapi, Pak Dewa ikut gue bentar sini." Dia mendadak menggandeng lenganku, berjalan menuju barisan patung manekin, menyembunyikan aku dari jarak pandang Zana.

"Ada apa?" tanyaku begitu Lanang akhirnya melepaskan pegangan.

Dia cengengesan. "Euh, gimana bilangnya, ya? Itu, loh. Emm, gue masih bingung."

"Soal apa lagi?"

Agak tergagap, dia mengaku, "U-uangnya. Jadi gue ke sini cuma bawa uang 200.000 dan gue gak yakin gue bisa beliin Ibu tas bagus cuma pake uang segitu. Jadi, kalo boleh, gue mau minjem uang dari Bapak dulu. Janji nanti kalo udah ada uang gue pasti bayar. Berani sumpah!" ikrarnya sambil mengangkat dua jari membentuk huruf V.

Mau tak mau aku menertawakan tingkah konyolnya. "Iya, saya percaya. Berapa yang ingin kamu pinjam?" tanyaku sembari mengambil dompet dari saku belakang.

Lanang nyengir. "Dua ratus lagi aja," pintanya agak segan.

Tiga lembar pecahan uang Rp. 100.000 ditarik dari dalam dompet, selepasnya kuserahkan pada pemuda di depanku. "Ini."

Dia menerimanya dengan keheranan. "Gue cuma minta pinjam 200.000 loh, Pak. Kenapa Bapak lebihin 100?" tanyanya sambil meneliti uang dariku dengan mata menyipit.

"Anggap saja itu uang tambahan untuk jajan kamu."

Kedua matanya sontak membulat kini. "Elo serius, Pak? Alhamdulillah, Ya Allah. Anak ganteng dapat rejeki nomplok!" ucapnya senang seraya memeluk uang dariku bak baru dipertemukan dengan sosok pujaan.

Aku menggeleng takjub mendapati reaksinya. "Tapi saya minta jangan gunakan itu untuk membeli rokok. Awas saja kalau kamu berani."

Senyum di bibirnya luntur perlahan-lahan mendengar peringatan itu. "Yah, anak ganteng kecewa."

Puncak kepalanya aku pukul pelan dan membuatnya berdecak. "Kalau kamu mau pakai uang itu untuk membeli rokok, lebih baik kembalikan saja pada saya. Saya tidak mau uang saya kamu gunakan untuk menkonsumsi sesuatu yang tidak baik bagi kesehatan kamu, Lanang," nasehatku bersungguh-sungguh.

Tidak bisa membayangkan uang dariku yang bisa dimanfaatkan demi kebutuhan yang lebih penting, tetapi malah dipakainya untuk membeli keperluan yang tak keruan.

"Hmm, kalo uang ini gue pakai nongkrong di warnet buat main game. Apa lo gak ngizinin juga?"

Aku terang saja melotot mendengar pertanyaan polosnya itu. "Tentu saja tidak."

"Ya udah, deh. Ini bolehnya gue pakek buat jajan aja gitu. Itu mau elo?"

Anggukan tegas kuberikan. "Dipakai jajan, beli camilan dan makanan atau yang lainnya. Silakan. Asal jangan untuk hal-hal yang tidak saya sukai."

"Bapak nih ikhlas nggak sih ngasihnya?"

Tanganku langsung menengadah. "Kalau menurut kamu saya tidak ikhlas, kembalikan uang saya itu."

Lanang nyengir lalu buru-buru menyimpan uang itu ke kantung celana. "Iya, Pak. Terima kasih atas keikhlasan Bapak. Gue bakal ngegunain uang ini dengan sebaik mungkin!"

Sekadar tertawa pelan menangkap nada serius dalam ucapannya. "Baguslah, jika kamu akhirnya paham."

Pemuda ini berdeham langsam. "Kalo gitu gue mau mulai cari-cari kado dulu buat Ibu. Buat Pak Dewa, sukses ya kencannya," pamit Lanang tak lupa menggodaku sembari menaikturunkan alisnya yang tebal.

Aku mendelik jengah. "Kamu ini. Sudah, sana pergi!"

"Hahaha! Cieee, ada yang malu! Kabur!"

Selanjutnya, aku terpaku memandangi punggung tegap dan lebarnya. Bertemu pemuda dengan senyuman ceria itu terasa amat menyejukkan hatiku yang sempat dilanda runyam. Melihat sosoknya kian menjauh, terus dibayang-bayangi lengkungan penuh di bibirnya yang sering kali berkata usil tak ayal mendatangkan debaran aneh dalam dada. Tak ubah seperti kejadian yang kualami beberapa hari lalu.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Di hatiku ini?

...

"Murid Mas yang namanya Lanang itu ternyata baik, ya. Dia bahkan mau repot-repot beliin kado untuk ibunya," ungkap Shazana begitu kami berdua selesai membayar seluruh belanjaan dan mulai berjalan keluar toko. "Walau Zana beneran kaget, sih. Ngedenger dia ngomong pakai gue-elo ke kita." Kepalanya menggeleng-geleng takjub sendiri.

Yah, aku sedikit setuju tentang pendapatnya itu. "Dia memang anak baik. Tapi, dia juga nakal dan kurang ajar. Kadang-kadang," tambahku, sebab masih tak dapat melupakan segala perbuatan kurang terpuji yang pernah Lanang perbuat padaku.

Dia tak ayal terkekeh. "Agak susah dipahami sifatnya ya, Mas."

Aku manggut-manggut. "Begitulah dia."

"Tapi Mas suka 'kan sama murid Mas ini?"

Pertanyaan itu membuat aku tercekat sampai harus berhenti melangkah. "Apa?" Zana kupandang dengan kedua mata melotot.

Apa maksudnya? Ditodong pertanyaan tiba-tiba begitu mengapa justru mendatangkan debaran tak menenangkan yang nyaris mengundang panik?

Kekasihku ini terlihat heran menangkap reaksiku yang tak biasa. "Maksud Zana, Mas tetap suka dia sebagai murid Mas sekalipun dia nakal dan sering bikin ulah, 'kan?"

Embusan napasku terasa amat berat sekaligus melegakan mengetahui apa makna sebenarnya dari tanya yang Zana suarakan tadi. Akhirnya aku merespons melalui tawa yang dipaksakan demi menutupi gugup.

"Oh. I-iya. Kalau Mas nggak suka dia, bagaimana Mas bisa menjadi gurunya sampai sekarang, 'kan?" ujarku kemudian lanjut berjalan.

Apa yang sebenarnya tengah kupikirkan?

"Emm, Mas?"

"Ya? Kenapa, Zana?" Saat menoleh, aku dapati raut wajah kekasihku ini tampak lain. Dia yang biasanya memasang ekspresi tenang dan penuh keceriaan, kini malah menampakkan paras yang sedikit muram. "Zana masih mau belanja lagi? Atau lapar?"

Kepalanya yang semula agak menunduk terangkat perlahan. Menatapku cukup lama dengan sorot bingung yang tak dapat kuartikan, sebelum lantas berkata, "Apa Mas nggak berniat membelikan kado untuk ibunya Lanang juga?"

Huh? Jadi rupanya dia hanya ingin bertanya mengenai itu? Meskipun yang dia katakan ada benarnya. Sudah berulang kali aku bolak-balik datang ke rumah beliau sebagai guru bimbel anaknya. Jadi, sepertinya tidak salah andaikan aku berkunjung sebagai tamu yang ingin memberi Bu Hasna hadiah, 'kan? Siapa tahu Lanang juga akan turut senang mengetahui ada orang lain yang peduli pada perayaan hari jadi sang ibu yang ke sekian.

Akhirnya aku mengangguk pada Zana. "Kalau begitu, Zana bantu carikan mas kado yang bagus untuk Bu Hasna, ya," pintaku sambil menarik kantung belanjaan dari tangannya. "Ayo, kita coba keliling ke toko lain."

Namun, lebih dari niatan ini. Aku sebetulnya sangat ingin melihat senyuman ceria dari Lanang untuk ditunjukannya padaku sekali lagi.

___Bersambung___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top