5. Pemuda Yang Memiliki Alasan

Adzan subuh membangunkanku dari tidur seperti selalu. Tanganku bergerak meraba ke sebelah bantal, meraih kacamata setelah itu mengenakannya. Tidak lupa mengucap syukur sebab hari ini aku masih diberi kesempatan untuk dapat membuka mata.

Hal pertama yang aku lakukan setiap kali bangun dari tidur adalah menjalankan sholat. Satu dari beberapa amanat yang nenek serta kakekku berikan jauh-jauh hari sebelum mereka pergi. Dalam sholat, aku merapalkan doa-doa dengan khusyuk pada sang Ilahi. Lekas sholat, aku berdoa untuk orang-orang yang kusayangi yang telah lebih dulu pergi. Kadang kala, aku menangis. Sambil berzikir, aku berpikir bahwa akan lebih baik apabila aku masih bisa sholat berjamaah bersama keluargaku tercinta.

Keluarga yang kurindukan.

Aku menurunkan tombol cooking pada penanak nasi, selekasnya membuka kulkas. Mengeluarkan kentang, telur, daun bawang dan seledri, lalu bahan-bahan untuk membuat sup. Hari ini aku ingin memasak perkedel kentang. Salah satu dari sekian jenis makanan kesukaanku. Kata almarhumah nenek, seleraku sama seperti ibu. Ibu juga suka segala makanan yang berbahan kentang.

Setiap kali tengah memasak, aku pasti akan teringat pada nenek. Karena nenek yang mengajari aku cara memasak sejak aku mulai menginjak masa remaja. Ingin beliau aku bisa mandiri, tidak boleh jadi anak manja dan mampu menjalani hidup sekalipun bekal yang kumiliki cukup sederhana. Dan setidaknya, itu berhasil aku penuhi. Karena sejak lahir aku tinggal hanya bertiga saja dengan kakek dan nenek yang harus pergi bekerja sejak pagi buta, membuat aku sering kali turut melakukan pekerjaan rumah. Dari membasuh pakaian, mencuci piring, memasak air, hingga merapikan rumah. Saat masih bocah, aku memakan makanan yang kubeli atau kuhutang dari warung--sesuai perintah serta pesan nenek, atau aku bisa mendapatkannya dari rasa iba para tetangga untukku. Begitu mulai bisa melakukan semuanya seorang diri, barulah aku berusaha membantu membuat makanan. Meskipun di awal, hasilnya jelas tak keruan.

Aku yatim sejak sebelum aku lahir. Sewaktu kecil, nenek dan kakek bercerita kalau ayahku meninggal karena sakit. Beranjak remaja, aku baru mengetahui tentang ayah yang sebenarnya meninggal karena menjadi korban tabrak lari. Saat itu, ibu tengah mengandung janinku yang menginjak usia 5 bulan. Empat bulan kemudian, ibuku menyusul ayah pergi setelah melahirkanku. Kondisinya kritis akibat mengalami pendarahan. Biarpun aku menjadi yatim piatu setelah ditinggalkan oleh ibu, nenek dan kakek--ayah dan ibu dari ibuku tetap bersedia menjagaku penuh kasih. Tak pernah kurang memberikan aku kasih sayang, mengajarkan aku cara berbagi, bersyukur, bersosialisasi, hingga mengaji dan memahami agama. Berkat mereka, aku tumbuh menjadi anak yang baik, jujur, rajin dan pekerja keras hingga sekarang.

Aku tidak sedang memuji diri sendiri. Orang-orang yang sejak dulu menyebut dan menganggapku demikian.

Dikasihani, dipandang sebelah mata, hingga mendapat segelintir caci maki sudah menjadi bekal yang kudapatkan sehari-hari. Tapi, justru itulah yang mendorong aku agar bisa menjadi lebih berani. Sekalipun aku tak mampu dan tak dianjurkan untuk melawan, mengabaikan mereka dengan cara menunjukkan bahwa aku tetap mampu berhasil adalah cara yang terbaik. Nenek bilang, nama Dewa itu artinya penguasa. Aku berkuasa atas apa yang akan menentukan langkahku menjalani hidup. Arjun yang berarti putih. Sama artinya dengan sosok yang bersih dan baik hati. Sedangkan Rahmana, diambil dari Rahman, yang artinya penuh belas kasih. Maka dari itu, aku harus mampu mengasihi setiap orang tak peduli bagaimana mereka memperlakukanku. Nama adalah cerminan diri, dan aku meyakininya. Mengingat nama ini juga merupakan nama pemberian ibu. Aku tak boleh membuatnya kecewa di atas sana dengan menodai diriku yang menyandang nama darinya.

Aku mencicipi sup. Lalu menambahkan sedikit garam lagi ke dalamnya supaya rasanya jadi lebih nikmat. Di sisi kompor satunya, perkedel kentang yang kugoreng sudah mulai berubah warna menjadi kecoklatan. Sebentar lagi matang.

Aku membuka penanak nasi, mengaduk isinya hingga merata kemudian mengisi penuh piring yang sudah kusiapkan. Sepertinya, menu sarapanku hari ini cukup istimewa. Dan aku sangat bersyukur. Meskipun aku tinggal seorang diri, setidaknya aku tetap mampu hidup berkecukupan.

"Nek, Dewa hari ini nggak lupa sarapan. Alhamdulillah."

...

Aku menurunkan penyangga motor, melepas helm, lalu mengambil tas kerja yang kujepit di bagian tengah motor. Mengusap bagian depan kendaraan pribadiku yang berhasil kubeli sejak 5 tahun yang lalu, hasil dari jerih payahku sendiri. Motor kebanggaan nenek.

"Pak Dewa, selamat pagi."

Aku sekadar tersenyum membalas sapaan serempak yang disuarakan oleh beberapa siswi. Sepertinya mereka para murid dari kelas 10. Asing bagiku, sebab aku hanya mengajar di kelas 11 dan 12.

Aku membetulkan kerah serta dasi selama berjalan dari parkiran hingga koridor menuju ke kantor. Membalas sapaan demi sapaan yang diberikan oleh beberapa rekan kerjaku, staf sekolah hingga para murid.

Aku selalu suka suasana di lingkungan sekolah pada pagi hari. Melihat para murid menyantap sarapan di kantin, berbagi bahan pembicaraan dan canda tawa, saling kejar-kejaran berebut contekan tugas, hingga memergoki beberapa pasang muda-mudi yang sudah saja bercengkrama meski matahari belum tinggi. Inginnya aku menegur, tapi kurasa itu bukanlah urusanku. Biarlah hal-hal seperti itu menjadi tanggungjawab Pak Hasan selaku guru bimbingan konseling. Bukan apa-apa. Terkadang, ada beberapa siswa dan siswi yang berniat berangkat ke sekolah sekadar untuk menemui sosok kekasihnya. Dan menurutku, itu sedikit tidak benar. Apabila kekasihnya itu dijadikan motivasi agar dia semakin semangat belajar, aku patut mengapresiasinya. Akan tetapi, kalau justru sang kekasih yang satu sekolah dengannya malah semakin bikin nilainya anjlok, solusi apa lagi yang bisa mengatasinya selain dibawa masuk ke ruang BK? Padahal bisa jadi mereka memiliki potensi besar. Itu juga jika teguran sudah tak mampu diterapkan. Sebab yang kulihat, gaya berpacaran anak muda zaman sekarang semakin mengkhawatirkan.

Lingkungan sekolah tempatku mengajar cukup luas. Merupakan salah satu SMA ternama di kota, terkenal dengan prestasi di bidang olahraga serta seni. Lihatlah. Di mading pagi ini sudah ada beberapa karya puisi dan lukisan baru yang dipajang. Pun, di lapangan basket para siswa sudah saling men-dribble berebut bola. Pemanasan yang bagus. Aku pernah diajak main dan menyerah karena lemparan bolaku tak kunjung masuk ke dalam ring. Aku memang tak memiliki jiwa seorang atlet. Mungkin karena kacamataku sering bergeser dan membuat pandanganku mengabur.

Aku berdeham sewaktu melewati beberapa siswa yang tampak asik bermain ponsel di pojok koridor. Membuat mereka terperanjat saat menangkap kehadiranku.

"Pakaian kalian."

Mendengar teguranku, para siswa itu segera saja memasukkan bagian seragam mereka yang menjuntai keluar. Begitu selesai, mereka tersenyum kikuk setelah itu kabur dari hadapanku. Dasar anak-anak.

Aku bukan tipe guru yang terlalu mementingkan kerapian para murid, sebenarnya. Lebih mengutamakan dan melihat etika, kedisiplinan, serta cara mereka bergaul di lingkungan sekolah. Maksudku, mau dia berpenampilan serapi apa pun jika caranya berinteraksi pada sesama murid atau kepada guru saja tidak sopan, bahkan suka melanggar aturan, sudah jelas dia akan tetap terlihat buruk di mataku, bukan? Meskipun sekarang aku tahu, seburuk apa pun seseorang mempunyai sikap, sisi lain dirinya masih menyimpan kebaikan.

Seperti Lanang, misalkan.

Aku menghela napas. Ini masih pagi dan aku sudah saja mengingatnya. Mungkin karena nanti siang, lagi-lagi aku memiliki jadwal untuk bertemu dengannya. Tiga hari berturut-turut. Rekor baru. Semoga tidak ada hal mengesalkan yang terjadi lagi padaku kali ini.

Saat hendak berbelok masuk ke kantor, aku berpapasan dengan Pak Wilman. Beliau menyapaku dan menunjukkan senyuman lebar yang khas. Aku tebak, semangatnya untuk mengajar telah terkumpul kembali.

"Sudah siap mengajar kembali, Pak?" aku menjabat tangan Pak Wilman. Genggamannnya terasa mantap dan tegas.

Pak Wilman mengangguk. "Berkat Anda, Pak Dewa."

Aku dan beliau berjalan masuk ke kantor bersamaan. Suasananya masih agak sepi sebab ini masih sangat pagi, pukul 7 saja belum genap. Hanya ada beberapa guru yang sudah hadir, karena mereka memiliki jadwal di jam pertama. Tak ubahnya sepertiku.

"Kabar Bapak sehat, 'kan?" tanyaku pada Pak Wilman.

"Alhamdulillah, Pak. Mengambil cuti selama tiga hari untuk meluangkan waktu bersama keluarga cukup bikin saya bahagia dan melupakan semua masalah yang ada."

Aku tersenyum, paham betul bahwa keluarga memang satu dari sekian pelipur lara terbaik.

Aku duduk ke kursiku. Tersenyum pada Bu Lastri yang duduk di samping kananku, tampak sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Beliau pasti sedang menyiapkan materi bahasa Indonesia lagi untuk ulangan harian.

Pak Wilman duduk di kursi milik Pak Martin yang masih kosong yang letaknya berada di samping kiriku.

"Kabar Pak Dewa sendiri bagaimana?"

Aku beralih dari memeriksa isi tas kerja untuk memandang Pak Wilman. "Alhamdulillah kabar saya juga baik, Pak."

Pak Wilman mengernyit. Tampak ragu-ragu bertanya, "Lalu, kabar murid nakal itu?"

Aku urung mengeluarkan buku materi dan terkekeh. "Kabarnya masih sama seperti biasa, Pak. Dia masih nakal dan suka iseng."

Mata Pak Wilman membundar mendengar penuturanku. "Apa dia juga sudah mengerjai Pak Dewa?"

Aku mengangguk. Karena memang kenyataannya demikian.

"Apa saja yang sudah dia lakukan, Pak?"

Jika ditanya soal itu, sejujurnya aku malas mengingatnya. Terlebih dengan apa yang diperbuatnya padaku di hari kedua pertemuan kami. Akan tetapi, akhirnya aku tetap menceritakan semuanya. Minus tentang ciuman yang kudapatkan. Ceritaku bahkan sempat membuat Bu Lastri melirik kaget. Mungkin karena dilihat dari mana pun, tingkah laku Lanang itu cukup kelewatan.

Pak Wilman berdecak. Tampak geram sekaligus takjub. "Dan Pak Dewa masih bertahan mengajarinya. Saya salut," ujarnya dengan raut muka tak enak.

Beliau pasti berpikir bahwa kemampuannya mengajar masih kurang dibandingkan aku. Jadi, aku segera memaparkan penjelasan lainnya, "Mau tidak mau saya mesti bertahan, Pak. Saya tahu tujuan Lanang mengerjai saya terus-terusan adalah supaya saya berhenti. Dan saya berpikir, kalau saya berhenti, dia hanya akan berganti guru lagi. Lalu guru itu akan jadi korban kejahilannya lagi. Hal itu yang tidak bisa saya abaikan. Saya takut, apabila saya berhenti sekarang, justru itu cuma membuat para guru lain menjadi korbannya lagi."

Pak Wilman tercenung.

Aku tersenyum. "Lagi pula, level ketahanan seseorang ketika menghadapi murid yang bebal itu berbeda-beda, Pak. Saya yakin, dibandingkan saya sendiri, Anda jauh lebih merasa tertekan dengan problema dan keseharian yang dijalani mengingat Anda juga sudah berkeluarga dan berstatus sebagai kepala rumah tangga. Tidak seperti saya. Menjadi guru, sekaligus membimbing satu murid nakal, itu masih dapat saya atasi sekalipun cukup kepayahan juga."

Pak Wilman membalas senyuman yang kuberikan. Beliau menepuk pundakku laun. "Saya paham, Pak. Kredibilitas Pak Dewa memang tak perlu diragukan. Yang saya tahu, malah dulu ketika masih duduk di bangku sekolah Pak Dewa juga ... sering menjadi korban bully."

Aku mengangguk. Itu memang benar. "Iya, Pak. Makanya, mau saya jadi guru, atau ketika saya masih berstatus sebagai murid, berhadapan dengan orang-orang yang suka usil dan nakal itu sudah biasa bagi saya."

Pak Wilman terkekeh. Jempolnya terangkat ke arahku. "Memang keren Pak Dewa ini. Saya berharap, Gifri suatu hari bisa menjadi sosok yang hebat seperti Anda, Pak."

Aku tertawa mendengar nama anak laki-laki pertamanya disebut-sebut. Pak Wilman ini sudah memiliki tiga anak, dan ketiganya laki-laki. Gifri ini merupakan anak tertua, usianya 19 tahun.

"Pasti Gifri akan menjadi sosok hebat, Pak. Seperti Papanya ini," balasku kemudian tergelak bersama Pak Wilman.

Aku selalu suka pekerjaanku. Karena berkatnya, aku dipertemukan dengan orang-orang luar biasa yang mampu mengisi hari-hariku. Menjadi rekan seprofesi, teman, kawan saling berbagi cerita. Memupus rasa kesepian yang seringkali melandaku.

Aku berjalan memasuki kelas 11 - B yang telah rapi dan tenang. Berdiri di sisi meja, setelah itu mendengar seluruh murid menyebut namaku dalam koor sapaan yang merdu dan khas.

"Selamat pagi, para murid semua. Senang melihat kalian semua tampak ceria dan siap untuk belajar."

Di sini, aku mendapatkan penerimaan serta sambutan yang hangat. Dan aku sangat berterimakasih pada beliau yang mendorongku hingga dapat melangkah sejauh ini. Pak Abdul.

...

Aku menutup jok yang kujadikan tempat menyimpan sepatu. Sekadar cari aman kalau-kalau nanti Lanang berbuat keisengan yang tak terduga lagi. Aku tidak mau sampai tali sepatuku digunting lagi olehnya (meskipun akhirnya diganti). Lebih buruknya, bisa jadi sepatuku nanti diisi lem super. Mengerikan.

Aku membuka pintu, menutupnya kembali sambil tidak lupa mengucap salam, lantas segera berjalan menuju ke kamar Lanang. Setibanya di dalam ruangan pribadi sekaligus tempat belajar antara aku serta murid bimbelku ini, kudapati pemuda itu malah tengah enak-enakan tidur di atas ranjang. Bertelanjang dada pula.

Aku menghela napas lesu. Meletakkan tas kerja ke meja kemudian mendekati ranjang Lanang yang terlihat acak-acakan. Posisi tidurnya padahal santai. Entah apa dulu yang dilakukan olehnya sampai membuat bantal, guling hingga selimut jatuh ke lantai. Dan aku dengan kurang kerjaannya malah memungutinya.

"Lanang?" sebutku dengan nada setegas mungkin, bantal dan selimut aku taruh di samping tubuhnya. Namun, Lanang bergeming. Sepertinya panggilanku tak sampai ke alam bawah sadarnya.

Aku berkacak pinggang. Tidak habis pikir dengan kelakuannya kali ini. Aku datang sudah sesuai jadwal. Tapi dia justru masih tertidur begitu aku sampai. Mau tidak mau, aku main tangan. Menepuk pipi Lanang cukup kencang hingga berhasil membuat tubuhnya berguncang.

Lihatlah. Pemuda ini akhirnya menggerakkan kedua kelopak matanya. Aku dan dia bertatapan seperkian detik.

"Ya ampun, ini pasti cuma mimpi buruk," gumam Lanang sesudah itu menutup lagi matanya rapat-rapat.

Dia menganggapku apa barusan? Mimpi buruk, katanya?

Aku mendengus kesal. "Bangun, Lanang! Jangan buang-buang waktu lagi seperti di pertemuan kemarin."

Lanang memperdengarkan suara mendengkur keras yang dibuat-buat.

"Lanang, saya hitung sampai tiga. Kalau kamu tidak bangun, saya akan ...,"

"Apa? Lo mau merkosa gue ya, Pak? Yakin sanggup? Nyium cewek lo aja elo gak bisa sampe sekarang," timpal Lanang tiba-tiba memotong ucapanku.

Wajahku serasa diterpa badai panas. "Jangan asal bicara! Cepat bangun!"

Lanang malah memunggungiku. "Kasih gue waktu dua jam lagi aja, Pak, buat tidur. Udah PW, nih."

"Waktu sebanyak itu artinya jam belajar kita telah selesai."

"Ya, itu maksud gue. Kita gak usah belajar. Mendingan kita bobo bareng aja. Gue bobo di kasur, elo bobo di bawah kolong kasur gitu, Pak. Kan kita sama-sama enak."

Siapa juga yang bersedia tidur di bawah kolong kasurnya?

Aku habis kesabaran. Akhirnya, tubuh Lanang aku tarik sekuat tenaga sampai membuatnya jatuh dari atas ranjang. Dia mengaduh karena punggung polosnya bertabrakan langsung dengan keramik yang dingin. Sesekali tak ada salahnya memberikannya pelajaran seperti ini, 'kan?

"Kalau kamu tidak bangun, saya akan menjatuhkan kamu dari ranjang, Lanang. Itu yang tadi berniat saya katakan."

Lanang menatapku dengan sorot tajamnya itu. Lalu mendengus. "Gak sopan lo, Pak."

"Apa kamu sudah terlihat lebih sopan dari saya?"

Lanang tiba-tiba mengacungkan jari tengahnya. Dan aku jelas tersentak. Berani sekali dia melakukan hal ini padaku. Alhasil, tidak cuma rona wajahku yang memanas, pun kepalaku rasanya mendidih.

Aku mendesis sinis, "Apa orang tua kamu benar-benar tidak pernah mengajarkan kamu mengenai sopan santun?"

Sorot tajam itu berubah murka. Kaki Lanang lalu menendang tulang keringku, membuat aku kehilangan keseimbangan akibat kesakitan dan tubuhku ambruk ke lantai.

Bugh!

Aku meringis begitu badanku jatuh terduduk. Posisi kacamataku jadi miring. Pantat dan kakiku langsung didera nyeri. Apakah ini juga yang barusan Lanang rasakan? Balasan memang akan selalu datang pada setiap hal yang kauperbuat. Saat hendak bangun dan menyuarakan protes, Lanang sudah saja berjongkok di depanku. Tatapan matanya masih tampak semarah tadi.

"Jangan pernah sebut-sebut soal orang tua di depan gue. Tau apa lo soal peran orang tua?" tanyanya sengit. Sepertinya, dia sungguh marah. Aku tak benar-benar bermaksud membawa-bawa soal orang tua dalam hal ini. Hanya saja, segala tindakan yang ditujukannya buatku sudah keterlaluan. Makanya aku kehabisan cara untuk membungkam. Lagi pula, aku yang tak memiliki orang tua saja tidak pernah bersikap seliar ini. Lalu dia, bagaimana bisa?

Aku merintih tertahan sembari memegangi kakiku yang beberapa saat tadi ditendangnya. "Sejujurnya, saya tidak tahu," jawabku. "Karena selama saya hidup, saya belum pernah bertemu dengan ayah atau ibu. Mereka sudah tidak ada sejak saya lahir, Lanang," terusku seraya membenarkan letak kacamata.

Lanang tampak tercekat mendengar jawaban dariku. Sorot marahnya seketika raib. Digantikan tatapan menyesal.

Lihatlah pemuda nakal dan kurang ajar yang masih memiliki perasaan ini.

Aku tersenyum. "Tapi saya percaya, ibu kamu, bu Hasna, pasti sudah mengajarkan kamu banyak hal, Lanang. Hanya kamu saja yang malas untuk mengingatnya. Benar, 'kan?"

Lanang menunduk, lalu menggeleng merespons ucapanku. "Gue nggak peduli. Gue cuma mau ... Ayah ..., "

Gumamannya terdengar tidak jelas. Aku mengernyit. "Kenapa?"

Lanang berdiri, sesudah itu turut membantu aku bangun. "Lupain aja. Maaf karena gue tadi malah pake cara kasar. Gue nggak bermaksud. Gue nggak tau."

Aku memandang Lanang takjub selekas mendengar ucapannya. "Kamu barusan minta maaf? Sungguh?"

Lanang menggaruk-garuk lehernya, dia terlihat gelisah. "Ada yang salah emang?"

Aku dengan gemas mengacak-acak rambutnya. "Saya rasa kamu memang masih memiliki sopan santun. Hanya saja, kamu terlalu malas saja untuk menunjukkannya."

Lanang menepis tanganku sembari berdecak risih. "Apaan sih lo! Sok tau!"

Aku mengembuskan napas panjang, meringis sambil mengelus bagian kakiku yang barusan ditendang Lanang. "Tendangan kamu lumayan juga. Kamu hobi main bola, ya?"

Lanang melirikku sebal. "Itu refleks namanya. Masih untung bukan selangkangan elo yang gue tendang."

Mendengar perkataannya, refleks saja aku melindungi area pribadi paling sensitif di tubuhku. "Ja-jangan coba-coba kamu!"

Lanang malah menertawakan reaksiku. "Nggak minat juga gue nyentuh area pribadi elo, Pak. Takutnya nanti malah gue yang kualat, terus kaki gue melepuh."

Sifat kurang ajarnya datang lagi. Membuat refleksku kali ini bergerak untuk ganti menjewer telinganya.

Lanang langsung menjerit, "A-aw! Sakit, woi!"

Aku mengabaikan protesnya. "Bisa tidak kamu memperbaiki cara bicara kamu itu?"

Lanang meringis sambil berusaha menjauhkan tanganku dari telinganya. "Iya, iya. Tapi lepasin kuping gue. Beneran sakit ini."

"Bilang apa dulu?"

Lanang melotot. "Apa? Lo mau gue minta maaf lagi? Ogah."

Jeweranku di telinganya semakin kencang.

"A-aw! Oke, oke. Gue minta maaf karena udah berniat mau nendang selangkangan Pak Dewa."

Telinga Lanang aku bebaskan. Dia meringis sembari mengusap-usap telinganya yang jadi sedikit memerah.

Lanang langsung mengeluh, "Elo hari ini mainnya kok kasar terus sih, Pak."

"Setiap orang selalu punya cara untuk melawan pemuda kurang ajar seperti kamu."

Lanang cuma tersengih mendengar responsku.

Aku berjalan menuju ke meja dengan kaki yang masih sedikit nyeri. "Cepat pakai seragam kamu. Kita mulai sesi mengajar hari ini," kataku sambil membuka tas dan mengambil buku materi.

Lanang kudengar mengembuskan napas letih. "Beneran bosen tau, Pak. Tiga hari berturut-turut ketemu elo. Kayak gak ada kegiatan lain yang bisa dilakuin."

Memang benar. Tapi, kembali lagi, ini karena ulah siapa?

Aku menoleh. "Kamu pikir ini salah siapa? Kalau kamu tidak membuat kacau jadwal saya, hari ini saya tidak akan datang, kok."

Lanang nyengir. "Ya udah. Mendingan elo pulang aja, Pak. Gue mau lanjut tidur, nih." dia melirik kasur.

"Jangan berani-berani. Cepat pakai seragam kamu!" titahku seraya menunjuknya dengan gulungan buku di tangan.

Lanang lalu membaui aroma mulutnya sendiri. Membuatku mengernyit risih. "Mulut gue bau, Pak. Muka gue juga kucel. Gue izin cuci muka sama gosok gigi bentar boleh, 'kan?"

"Saya beri kamu waktu lima menit."

Setelah itu, Lanang langsung terburu-buru berjalan ke pintu. Aku menggeleng masygul saja mendapati segala tingkah lakunya itu. Sambil menunggu, aku putuskan untuk mulai merangkai satu bab materi yang akan aku ulas ke papan tulis menggunakan boardmarker milikku sendiri. Karena siapa tahu boardmarker kepunyaan Lanang malah ditambahinya lem super lagi. Tidak ada yang bisa menebak rencananya. Aku saja sedikit terkejut karena justru mendapati dia tidur tadi.

"Materi yang itu gue udah tau, Pak."

Aku tersentak di tempat menangkap suara Lanang yang mendadak terdengar dari belakang punggungku. Entah sejak kapan dia masuk. Saat berbalik, aku lihat dia tengah mengancing seragamnya.

"Duduk!"

Lanang memajukan sedikit bibirnya kemudian melangkah ke kursi, untuk lalu duduk dengan malas.

Aku menurunkan boardmarker dari papan tulis. "Jadi, kamu sudah paham mengenai materi ini?" tanyaku seraya menunjuk rumusan hubungan antar garis.

Lanang mengangguk. "Matematika itu bidang gue. Kecil."

Mengingat bukti yang sudah diperlihatkannya padaku dari 20 soal kemarin, aku bisa mempercayai itu dengan mudah.

Aku berjalan mendekati Lanang. "Sepertinya kamu memang tidak memiliki kesulitan dalam hal memahami materi pelajaran. Ataukah ada materi yang tidak kamu suka? Yang tak bisa kamu pelajari, Lanang?"

"Gue benci pelajaran sejarah."

Tidak butuh waktu lama baginya memberikan jawaban. "Kenapa?" tanyaku lagi.

Lanang meletakkan kedua tangannya di belakang kepala sambil mulai berkata, "Kita hidup tuh maju, Pak. Menuju masa depan. Apa gunanya sejarah dibahas dan dipelajari coba? Gue nggak paham sama cara ngajar kalian. Kalau gue jadi gurunya, bakalan gue hapus pelajaran sejarah dari matpel. Apalagi sejarah soal kemerdekaan. Bosen gue. Bahas soal perang Diponegoro lagi, Proklamasi lagi, penjajahan lagi."

Aku nyaris kehilangan kata-kata mendengar penjelasan darinya. Pola pikir semacam itu sungguh unik, sekaligus picik.

Aku menggelengkan kepala. Berjalan lagi mendekati papan tulis. "Perlu kamu tahu, Lanang, setiap orang pasti butuh sejarah yang harus diingat. Sejarah itu tidak hanya berupa sesuatu yang kita pelajari di sekolah, tetapi juga terkait hal-hal yang kita perlu kenang dan ketahui dalam hidup. Sejarah mengenai kamu, saya, mengapa kamu bertingkah jahil begini, hingga sejarah saya menjadi guru."

Lanang mengernyit. "Emangnya itu penting?"

"Bagi saya, itu penting. Karena dengan berbagi sejarah, itu serupa membagi cerita mengenai sebagian besar perjalanan hidup kita. Apa kamu mau perjalanan hidup kamu dianggap tidak penting?"

Lanang mendiamkan diri.

Aku tersenyum. "Bahkan saya senang setiap kali ditanya mengenai sejarah hidup saya. Dan murid-murid sayalah yang sering meminta saya untuk menuturkan sejarah itu. Nyaris setiap tahun."

Dan mengingat hal itu semata-mata membuatku semakin menyayangi profesiku ini. Keingintahuan mereka mengenai diriku membuatku merasa dihargai.

Lanang memajukan posisi duduknya. "Emangnya semenarik itukah sejarah hidup lo, Pak?"

Pertanyaan itu sungguh menohok.

"Apa kamu mau tahu? Bersedia mendengarkan?" tanyaku agak ragu.

Lanang mengangkat kedua bahunya tak acuh. "Terserah elo aja, Pak. Selama sejarah itu nggak ngebosenin, telinga gue sih gak keberatan."

Aku nyaris tertawa mendengar ucapannya. Sepertinya harus mulai membiasakan diri dengan cara bicara Lanang yang sesuka hati sendiri begitu.

Aku berdeham. Sebelum memulai, terlebih dulu memejamkan mata beberapa saat hanya supaya kilasan masa kanak-kanakku kembali muncul. Sesudah itu, aku buka suara, "Seperti yang sudah kamu tahu, saya ini adalah seorang anak yatim piatu. Sejak kecil saya hanya dibesarkan oleh Kakek serta Nenek. Dan bisa dibilang, saya sama sekali tidak kekurangan kasih sayang." berhenti sebentar, aku melirik satu-satunya murid yang ada di dekatku.

Lanang duduk tenang di posisinya. Benar-benar mendengarkan.

Jadi, aku melanjutkan cerita, "Hanya saja, saya kekurangan sumber ilmu. Kakek dan Nenek saya buta huruf. Mereka hanya mampu mengajari saya mengaji dan juga bernyanyi. Untuk mempelajari materi yang diterapkan dari sekolah, mereka tidak mampu. Bahkan membiayai saya masuk ke sekolah dasar saja mereka kewalahan. Alhasil, saya tidak sekolah." aku menggelengkan kepala. "Maksudnya, sampai usia saya 7 tahun, saya tidak duduk di bangku sekolah dasar. Sampai saya bertemu dengan seseorang."

Kemudian bayangan sosok itu muncul. Membuat senyumku mengembang. "Saya memanggilnya Pak Abdul. Beliau adalah seorang guru sekaligus tetangga saya. Tapi, kami tidak pernah berbicara satu sama lain sebab setahu saya beliau orang yang sibuk. Dan juga, beliau memiliki seorang putra." dan mengingat putra Pak Abdul semata-mata membuatku menatap Lanang dalam-dalam. "Putra Pak Abdul itu mengingatkan saya pada kamu, Lanang. Sifatnya keras, pembangkang. Biarpun ayahnya seorang guru, dia seolah tidak peduli. Selalu membantah dan berseteru dengan sang ayah tanpa henti. Dari yang saya dengar, malah dia sering bolos sekolah."

Padahal aku sangat ingin sekali bersekolah saat itu. Namun, anak Pak Abdul justru dengan leluasa malah membolos.

Aku meneruskan lagi, "Satu hari, saya dengar Pak Abdul dan anaknya ini bertengkar lagi. Perlu kamu tahu, anak Pak Abdul ini seorang murid SMP. Saat itu, dia membuang semua perlengkapan sekolah. Mengeluh bahwa dia capek belajar. Belajar tak ada gunanya, dia mau pergi saja dari rumah. Dan lain sebagainya." aku sedikit meringis mengenang kejadian itu. "Lalu diam-diam, hari itu saya mengambil barang-barangnya. Ah, tidak. Saya mengintipnya. Saya pikir, jika saya melihat-lihat, mungkin ada satu atau dua hal yang bisa saya pahami. Tapi, nihil. Saya tak bisa mengerti satu pun tulisan yang ada di buku itu. Saya saja belum bisa membaca 'kan, ya. Sebagian isinya malah masih kosong. Lalu tanpa saya duga, Pak Abdul memergoki saya." tanpa sadar aku justru memperdengarkan suara tawaku sendiri. Membuat Lanang mengernyit. "Waktu itu, saya pikir beliau akan memarahi saya. Ternyata saya salah. Beliau justru bertanya, adakah materi di buku itu yang saya tak mengerti. Tentu saja saya menjawab jujur, bahwa saya sama sekali tak bisa mengerti. Saya bahkan tidak bersekolah.

"Lalu Pak Abdul, dengan segala kebaikannya, mengangkat saya sebagai murid beliau. Beliau bilang, akan mengajari saya materi yang saya lewati selama dua tahun melewati kelas di sekolah dasar. Begitu sabarnya beliau mengajari saya berhitung, membaca, hingga menulis. Masih sambil meladeni protes putranya, berselisih paham, bahkan tak jarang putra Pak Abdul turut memarahi dan mengusir saya. Tetap, Pak Abdul kukuh dengan aturan serta didikannya untuk saya. Dan hasilnya, kurang dari satu tahun saya akhirnya bisa turut mendaftar ke sekolah dasar. Langsung duduk di bangku kelas 3."

Aku sebisa mungkin menahan gejolak perasaan yang seolah timbul. Selalu, setiap kali momentum itu aku ingat. Terbersit wajah kakek dan nenek yang tampak begitu lega dan juga bangga.

Aku menghela napas, lantas tersenyum. "Semua berkat bantuan Pak Abdul, juga dukungan Kakek dan Nenek saya. Berhasil menjadikan saya murid yang berprestasi, selalu mendapatkan beasiswa bahkan hingga saya lulus SMA dan diterima oleh sebuah universitas ternama. Itu semua pun tak lepas dari campur tangan Pak Abdul. Seorang guru luar biasa yang memotivasi saya. Membuat saya memiliki keinginan untuk bisa menjadi sepertinya. Bercita-cita agar mampu menjadi guru sehebat beliau."

Aku menutup ceritaku dengan membetulkan letak kacamata yang kupakai. Memandang Lanang, yang terlihat tercenung di kursinya sembari melihat ke posisiku.

"Wow." akhirnya dia membuka suara. "Sejarah Pak Dewa lumayan juga, ya. Itu elo gak ngarang, 'kan?"

Pertanyaannya sedikit menyinggung perasaanku. "Tidak ada gunanya saya mengarang cerita seperti ini. Ini kisah saya."

Lanang mengangguk-anggukkan kepala sebelum berkomentar, "Terus, sekarang di mana Pak Abdul yang lo kagumi itu?"

Ditanyai hal itu, kontan saja aku dilanda kalut. Sebab, aku juga ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan itu. "Saya sudah lama tidak mendengar kabarnya. Terakhir saya bertemu dengannya adalah pada saat saya memulai semester pertama kuliah. Beliau saat itu hendak pindah rumah. Ketika ditanyai alamat, beliau mengatakan bahwa dia sendiri belum hapal alamat dari kediaman barunya nanti. Jadi, akhirnya saya bertanya apa alasan yang membuatnya harus pindah. Lalu beliau mengaku bahwa putranya telah menghamili anak gadis orang. Jadi, mereka terpaksa pindah karena putra Pak Abdul harus menikahi gadis itu," tuturku menjelaskan kemudian menghela napas cukup berat. "Saya juga tak sepenuhnya paham sebab itu bukan urusan saya. Selanjutnya, saya tak tahu lagi. Pada saat itu saya bahkan tak punya ponsel. Banyak kesulitan yang saya alami untuk tetap bisa menjalin silaturahmi dengan beliau. Mencari-cari keberadaannya pun tak kunjung ketemu. Yang pasti, jasanya tak pernah bisa saya lupakan hingga sekarang. Juga pesannya pada saya. Hasilnya?," aku membuka kedua tangan. "saya berdiri di depan kamu di sini, saat ini," kataku benar-benar mengakhiri cerita.

Lanang menunjukkan ekspresi masam di wajahnya. Dia mendengus tak suka. "Terkutuklah Pak Abdul atau siapa pun itu. Gara-gara dia gue jadi harus ketemu guru kayak elo."

Kedua mataku melotot tak percaya mendengar ucapan itu. Apa Lanang baru saja mengutuk Pak Abdul?

"Seharusnya sejak awal elo nggak perlu kenal sama tuh bapak guru. Jadi, nggak bakalan deh elo sama gue ketemu kayak gini. Gak beruntung banget nasib gue," keluhnya berterusan.

Sebegitu tidak sukanya kah Lanang terhadap para guru, pada kami, termasuk aku?

Aku berjalan mendekati kursi Lanang lantas memukulkan gulungan bukuku ke mejanya. "Tidak baik mengutuk sosok yang lebih tua dari kamu, Lanang. Itu tidak sopan," tegurku sembari membetulkan letak kacamata lagi.

Lanang mendesah malas. "Peduli amat. Kayak kalian para guru peduli aja sama perasaan gue."

Aku mengernyit. Mengapa balasannya terdengar dingin sekali? "Tentu saja kami peduli. Bagaimanapun juga, kamu itu murid kami."

"Bullshit."

Lagi-lagi kata menyebalkan itu keluar dari mulutnya. Membuat aku hanya bisa menghela napas lesu.

Aku mendekati meja, mengambil kursi di tempatku mengajar untuk kemudian aku bawa ke depan agar bisa berhadapan dengan Lanang.

Aku berdeham. "Nah, Lanang. Mari kita mulai berbicara serius. Apa kamu akan mengizinkan apabila saya bertanya tentang beberapa hal? Tentang sejarah kamu, misalnya?"

"Terserah."

Aku anggap itu sebagai tanda setuju. "Baiklah. Apa saya boleh tahu alasan apa yang membuat kamu terlihat begitu membenci para guru?"

Lanang menyandarkan punggungnya ke kursi sembari mengerang. "Gue gak benci kalian. Cuma gak suka cara kalian ngajar dan seolah menganggap gue ini murid yang bego. Itu bikin gue tersinggung," jawabnya lalu lebih menegakkan posisi duduk.

Aku sedikit kebingungan menangkap maksud dari jawabannya. Jadi, aku sakadar mampu bertanya lagi, "Seperti?"

Lanang memejamkan mata sambil mengembuskan napas panjang. Belum juga apa-apa dia sudah kelihatan bosan. "Biar gue jelasin. Nih, ya ... gue masih ingat loh semua guru yang pernah datang dan jadi guru bimbel gue. Totalnya ada 6, termasuk elo, Pak Dewa. Yang pertama datang itu, Bu Fatima."

Ingatannya benar-benar kuat. Setahuku Bu Fatima hanya menghadiri dua pertemuan dengan Lanang, dan itu terhitung berlalu sudah tiga bulan yang lalu. Tapi anak ini masih mengingatnya.

"Dia ini guru yang keliatan asik dan kalem. Tapinya nyebelin. Di hari pertama dia ngajar, dia ngasih gue soal Matematika. 'Kalau ada yang tak kamu pahami, tanyakan saja', katanya. Belum ada dua menit gue ngerjain, dia nanya, 'Ada yang tak kamu pahami, Lanang?' Gue geleng kepala. Karena Matematika itu soal mudah buat gue. Lalu di menit kelima, dia nanya lagi, 'Bagaimana? Apa kamu merasa kesulitan?'. Lah, gue jelas mulai gerah!"

Semakin ke sini, nada suara Lanang saat bercerita semakin meninggi. Sepertinya dia serius.

"Dan pas gue mau kelarin dua soal lagi, si bu Fatima ini nanya lagi, 'Kenapa kamu tidak bertanya? Tidak usah memaksakan diri jika kamu merasa ada soal sulit'. Gimana kalau elo ada di posisi gue, Pak? Apa elo nggak merasa tersinggung? Gue heran sama pikiran kalian para guru. Gue jelas gak keliatan bingung, gue lancar ngerjain soal. Masih aja dirongrong."

Aku sedikit meringis sebab aku bisa memahami perasaannya. Namun, aku tidak tahu bagaimana harus menyuarakan respons. "Euh, yah ... itu ..., "

"Makanya di pertemuan kedua sama Bu Fatima, gue sengaja nyiapin botol berisi kodok, kecoa dan cicak buat nakutin dia."

Aku melotot ngeri membayangkannya. "Astaga."

Tidak heran Bu Fatima kelihatan trauma berat jika ditanya perihal Lanang saat itu.

"Yang kedua itu Pak Benny. Dia datang ke kamar gue udah sok bergaya bule pake bilang, 'Good afternoon, Lanang. How are you today? Feeling good? Nervous?', lalu gak lama nyeletuk, 'Oh. Do you even understand what I'm saying?'. Dih, sialan. Dia pikir gue sebego itu sampe omongan bahasa Inggris biasa gitu aja nggak ngerti? Gak butuh waktu lama, gue langsung ngasih dia obat pencuci perut. Biar mampus."

Sekali lagi aku meringis. "Itu memang sedikit ... menyebalkan. Saya akui."

"Nah, kan!" Lanang menggebrak meja sampai membuat aku sedikit tersentak.

Dia kemudian lanjut menceritakan beberapa pengalaman tak menyenangkannya bersama para guru sebelum diriku. Hingga tiba giliran guru terakhir yang mengajarinya dituturkan padaku. Tentang Pak Wilman.

Lanang kudengar menghela napas cukup panjang. "Sebenarnya, gue nggak ada niat bikin dia malu loh, Pak. Tapi, sewaktu gue ngeliat dia tidur pulas di atas kursi sambil megang hape, iseng-isenglah gue tengok isi hapenya. Maksud gue, dia selama nunggu gue ngerjain tugas kerjaannya hapean melulu sedangkan murid megang hape di jam pelajaran gak boleh. Gak salah 'kan kalo gue kepo?"

Aku cuma diam mendengarkan. Meskipun itu lancang. Toh, sudah terlanjur terjadi. Tak ada gunanya untuk kukomentari.

"Dan sewaktu gue liat isi akun Facebook-nya, gue agak kaget. Di sana, di status terbaru yang dikirimin sama Pak Wilman ini rupanya dia nyindir gue. Lo mau tau apa isi statusnya yang langsung gue hapus waktu itu? Katanya, 'Bagaimana mungkin ada murid yang bisa begitu tidak menghargai jerih payah para guru yang sudah berniat baik ingin mengajarinya tanpa meminta balas jasa? Tanpa kami, memangnya dia pikir sosok murid sepertinya yang sudah tak lagi diterima di sekolahnya bisa apa?'."

Aku tercekat. Sungguhkah Pak Wilman membuat status semacam itu? Bukankah hal semacam itu tidak pantas dilakukan oleh seorang guru? Itu sama saja menyelepekan potensi yang mungkin dimiliki oleh muridnya.

Lanang tersenyum getir. "Gue sadar betul gue salah. Tapi, gue pikir gak ada gunanya juga mertahanin guru yang sok bangga jadi guru sedangkan aslinya dia gak beneran ikhlas ngajarin gue. Makanya, gue lanjut ngerjain dia dan bikin si Pak Wilman itu malu. Akhirnya, dia kapok, deh. Dan gue senang. Seenggaknya, kami jadi impas. Dia udah nyakitin perasaan murid kayak gue, dan gue berhasil bikin malu guru kayak dia."

Aku tercenung beberapa saat. Baru tahu sumber permasalahan Pak Wilman ternyata berawal dari tindakannya sendiri. Pantas saja pemuda ini marah.

Aku memperhatikan Lanang yang kini tampak menunduk memandangi mejanya yang kosong. Entah apa yang tengah dipikirkannya saat ini. Yang pasti, sekarang aku baru sanggup memahaminya.

Memahami segala tingkah lakunya selama ini. Bahwa dia bersikap kurang ajar bukan tanpa alasan. Pemuda ini juga memiliki perasaan. Dia juga berharap dirinya bisa dihargai sebagai murid. Tak semata-mata diperlakukan sebagai murid yang hanya boleh menghormati gurunya.

Aku lalu berdiri dari kursi. Menghampiri Lanang dan memberikannya tepukan laun di pundak. "Kalau begitu, anggaplah kedua belah pihak sama-sama salah. Saya, mewakili para guru yang lain, meminta maaf pada kamu, Lanang."

Lanang menyingkirkan tanganku dari pundaknya sembari berdecak. "Sebenarnya, elo belum punya salah apa-apa kok, Pak."

Mendengar jawabannya kontan saja aku sedikit dibuat kesal. "Lantas, kalau memang saya tak punya salah, kenapa kamu mengerjai saya terus-terusan?"

Lanang nyengir. "Habisnya kapan lagi bisa ngerjain guru cupu nyebelin kayak lo."

Aku menyentil telinganya. Membuat Lanang mengaduh lantang. Sedikit, aku jadi menyesal sebab tadi sudah bersimpati padanya.

Lanang mendengus keras sekali. "Lagian gue juga heran sih sama elo, Pak. Lo tuh udah gue kerjain gak kehitung kali, tapi nggak juga mau berhenti datang ke sini. Sebegitu niatnya elo jadi guru, atau saking elo yang emang gak ada kerjaan lain? Ini aja tiga hari berturut-turut kita ketemu. Bikin males poll!" paparnya memasang wajah sejengkel mungkin.

Aku cuma tersenyum menanggapinya, lalu berdeham. "Kamu ingat 'kan soal Pak Abdul yang saya ceritakan barusan? Beliau pernah memberikan saya--"

"Ya ampun, Pak. Masa sih elo mau bahas dia lagi?" Lanang menginterupsi perkataanku.

Aku mendelik. "Dengarkan dulu apa yang mau saya katakan. Jadi, Pak Abdul dulu pernah memberikan saya pesan yang isinya tentang; jangan pernah lelah untuk mengajari muridmu. Mau seberapa pun nakal, keras kepala, bodoh bahkan cerobohnya mereka, jangan pernah sekali-kali kamu menyerah mengajarinya. Karena sesungguhnya mereka membutuhkan kamu. Tanpa kamu, mereka tidak akan bisa punya pembina untuk dapat menjadikan mereka sosok yang lebih baik. Bersabarlah. Jika muridmu tak mampu menerimamu sebagai guru, kamu hanya perlu memaksa dan terus maju. Hingga salah satu di antara kalian yang nanti akan kalah. Antara kamu yang akan menyerah untuk mengajar, atau muridmu yang akan menyerah untuk melawan."

Lanang mengernyit dengan mata yang agak melotot memandangiku. Reaksinya aneh.

"Apa ada yang salah dengan kata-kata dari Pak Abdul itu?"

Lanang menggeleng pelan. "Nggak. Gue cuma kayak pernah dengar kata-kata itu di mana gitu. Tapinya lupa. Mungkin perasaan gue doang kali."

Aku terkekeh. "Kata-kata itu memang luar biasa dan sungguh bermakna. Saya yakin, tidak cuma saya yang pernah mendapatkan pesan itu dari beliau."

Lanang hanya mengangguk-angguk.

Aku bertepuk tangan sekali. "Nah, Lanang. Saya sudah tau alasan kenapa kamu jadi murid nakal seperti ini. Dan kamu juga tentu sudah tahu sejarahnya mengapa saya memilih menjadi guru sampai hari ini. Jadi ..., " aku mengulurkan tangan. "Apa mulai hari ini kamu dan saya akan bisa lebih saling memahami?"

Lanang menatap malas uluran tangan dariku yang kemudian ditepisnya tak acuh. "Never!"

Untuk yang satu itu, sepertinya memang masih sulit untuk dilakukan, ya.

...

Aku menutup resleting tas, lantas memandangi Lanang yang kini masih mencatat dengan serius materi kimia yang tertulis di papan. Mau tidak mau aku tersenyum. Lihatlah dia. Berlagak membangkang, tapi sebenarnya peduli juga pada pelajaran. Meski aku tidak terlalu heran sekarang.

"Setelah ini apa yang akan kamu lakukan?"

Lanang menoleh sekilas, lalu melirik kasur. "Lanjut tidur. Emang mau ngapain lagi?"

"Apa kamu tidak ada kegiatan?" tanyaku sekali lagi.

Pemuda itu cuma menggelengkan kepala.

Aku menghela napas. Tak ada harapan.

Mengambil tas kerja, aku kemudian berbalik ke pintu. Namun, mengingat Lanang semata-mata membuatku tak ingin buru-buru pulang. Aku memandangnya lagi, berdeham cukup keras sebelum mengajukan pertanyaan lain, "Bukankah kamu cuma sendirian di rumah? Kapan ibu kamu pulang? Apa kamu tidak lapar?"

Pemuda itu mengernyit. "Gue udah biasa kok, Pak. Lagian gue bisa main PS atau nonton TV sebagai hiburan. Urusan makanan, ada banyak mie instan disimpan di dapur." Dia menutup bukunya. "Lagian elo mendadak perhatian banget, sih. Cerewet lo nambah tau gak."

Jika dia berpikir begitu, mana berani aku mengatakan bahwa situasinya saat ini mengingatkan pada diriku di masa lalu.

Ragu-ragu, aku akhirnya mengungkapkan niat yang sesungguhnya. "Bagaimana kalau saya ajak kamu jalan-jalan keluar? Sekalian cari makan. Saya yang akan mentraktir kamu."

Pemuda itu duduk di kursinya, menatap seolah-olah aku ini makhluk paling aneh di dunia. Matanya melirik ke sana-sini, sebelum dipusatkan lagi padaku. Apa yang sedang dia pikirkan? Apakah ajakanku tampak se-tidak-biasa itu baginya?

Lanang berdeham sebelum menyuarakan jawaban, "Pak, gue bukan homo, loh."

Wajahku seketika panas. "Apa maksud kamu berkata seperti itu, Lanang!" Aku menghela napas lelah. Pemikiran pemuda ini selalu mengejutkan. "Kamu ini tidak bisa berpikir benar sekali saja, ya?"

Dia terkekeh. "Habis tumbenan Pak Dewa baik gini ke gue."

Aku menyipitkan mata. "Memangnya kapan saya berlaku tidak baik kepada kamu?"

Dia menaikkan bahu. "Menurut gue elo nggak ada baik-baiknya, sih. Tapi karena ajakan lo soal traktiran tadi, gue bisa mempertimbangkan ulang."

Kenop pintu aku pegang. "Jadi, bagaimana? Kamu mau ikut atau tidak?"

Lanang mengangguk. Berdiri dari kursi, kemudian berjalan ke lemarinya. "Oke. Tapi, gue mau ganti baju. Pak Dewa bisa tunggu gue di depan."

Aku balas mengangguk. Keluar dari kamarnya dan seperti selalu, memandang ke seantero sudut rumah ini apabila melewati ruang tengah. Berharap aku dapat menemukan satu atau dua petunjuk mengenai seorang Aguntara Lanang Mahesa. Namun tetap, hasilnya tak ada yang berubah.

Aku meletakkan tas kerja di tengah motor, kemudian lanjut membuka jok. Sepatuku masih disimpan di sini.

Suara tawa mendadak terdengar sewaktu aku mulai menarik sepatu dari dalam jok. "Ngapain elo naruh sepatu di jok, Pak?" tanya Lanang, menatapku konyol.

Aku tidak menyangka dipergoki seperti ini akan terasa amat memalukan. Namun, aku berusaha menutupinya. "Menurut kamu kenapa?"

Lanang mencoba berhenti dari tawa. "Pak, gue gak sekampungan itu sampe bakalan makek cara yang sama untuk ngerjain orang," komentarnya sembari memakai sandal. Dia memiliki kaki yang sangat besar dan panjang untuk pemuda seusianya.

Aku pun mulai mengenakan sepatu. "Oh, baguslah kalau begitu. Saya akan ingat hal yang kamu bilang tadi."

Dia tampak berpikir. "Tapi mungkin kalo buat lo bisa gue jadiin pengecualian kali, ya."

Aku memandangnya malas. Sudah sepatutnya aku menduga hal itu terucap dari mulut jahilnya.

Berjalan ke pagar, aku lalu mendorongnya hingga membuka. Motor setelah itu aku putar balik hingga keluar halaman, selanjutnya aku naiki. Menoleh ke samping, aku dapati Lanang masih bergeming. "Kamu tunggu apa lagi? Ayo, naik!"

Dia menghela napas pasrah sebelum berjalan mendekat. "Rasanya aneh tau nggak sih dibonceng sama bapak-bapak," keluhnya begitu telah menambah bobot di atas motor.

Aku mengenakan helm seraya mengerling. "Lebih memilih saya memasukkan kamu ke jok seperti sepatu saya?"

Lanang terbahak-bahak sampai membuat motor agak berguncang, pun aku sedikit terkejut sebab dia tertawa tepat di dekat telinga.

"Gokil juga tuh Pak idenya. Tapi gue butuh sabuk pengecil punya Mermaid-Man dulu."

Mesin motor aku nyalakan. "Siapa itu Mermaid-Man?"

Tawa Lanang hilang. "Hadeuh. Iya, gue lupa elo hidup satu abad lebih lama dari gue."

Aku mendengkus keras tepat ketika mulai membawa motor melaju. "Apa maksud kamu? Saya nggak setua itu."

Pemuda ini kembali tertawa. Dia memang suka sekali mempermainkan emosi orang yang lebih tua. Meski aku agak lega melihatnya tampak senang sekalipun sempat tak menyukai ideku.

Sepuluh menit pertama dalam perjalanan, aku dan Lanang lewati dalam diam. Sesekali aku mendengar dia menguap dan bersenandung lirih, mengalihkan perhatianku dari jalanan ke arahnya. Tatkala melihat parasnya melalui spion motor, dari sana aku sadar bahwa rambutnya tampak lebih panjang dari kebanyakan pemuda berstatus pelajar pada umumnya.

Aku menggeser sen ke kiri lalu berbelok. "Kapan terakhir kali kamu potong rambut?"

Lanang menggumam sebelum menjawab, "Empat atau enam bulan lalu? Gue lupa."

"Kenapa nggak kamu potong lagi?"

"Males. Kan pas rambut kita dipotong lama. Bosen gue nungguin."

Aku mengangguk-angguk paham. "Kita ke tempat potong rambut dulu kalau begitu."

Lanang kurasakan terlonjak di boncengan. "Hah? Ngapain?"

Aku tersenyum menangkap ekspresi kaget di wajahnya. Setidak suka itukah dia pada ide mengenai potong rambut?

"Saya kurang suka melihat gaya rambut kamu sekarang. Sebagai seorang guru, sudah sewajarnya saya merasa begitu, 'kan?" Aku mengabaikan gumaman protes Lanang. "Kalau kamu mulai masuk sekolah lagi, saya yakin guru lain pun akan meminta kamu untuk memangkas rambut itu, Lanang."

Akhirnya dia terdengar menghela napas pasrah. "Ya udah. Gue ikut apa mau Bapak aja," ucapnya sebelum lanjut berkata, "Gue ditraktir ini, 'kan." Menggunakan suara yang amat pelan.

Aku tersenyum. "Baiklah. Kita akan cari tempat potong rambut terdekat sebelum mulai jalan-jalan. Kamu setuju?" Lantas mataku menemukan lokasi itu tepat setelah aku mengucapkannya. "Oh, di sana."

Lanang aku dengar mendecakkan lidah. "Cari yang agak jauhan, Pak."

Aku memperlambat laju motor. "Kenapa memangnya?"

"Gue sayang sama rambut gue," ungkapnya dengan nada seolah rambut itu adalah pacar yang berniat meninggalkannya menikah dengan pria lain.

Aku menggeleng masygul. "Bukan berarti saya akan meminta tukang cukurnya menggunting semua rambut kamu. Kenapa kamu bertingkah sok galau?"

"Lebay lo."

Aku mau tak mau tertawa. "Pokoknya, sebelum kita jalan dan makan, saya mau rambut kamu dipotong pendek."

"Whatever." Lanang kudengar mendengkus.

Apakah saat merasa kesal dia akan mengeluarkan kata-kata dalam bahasa Inggris begini? Ini sudah yang kesekian kali aku mendengarnya.

"Selamat datang, Mas." Sapa salah satu karyawan begitu aku dan Lanang masuk.

Aku memperhatikan suasana tempat potong rambut yang saat ini sepi. Meski begitu, beberapa helai rambut bekas dicukur tampak berserakan di lantai. Lanang aku lihat langsung berjalan mendekati papan berisi foto potongan model rambut.

"Mas mau potong rambut?"

Aku menggelengkan kepala. "Bukan saya. Tapi pemuda di sana."

Setelah mendengar jawabanku, karyawan bertubuh kurus dengan senyuman ramah itu menghampiri Lanang yang matanya masih menilik ke sana-kemari seakan-akan memelototi satu per satu foto model di depannya. Jika aku, tak akan memakan waktu setengah menit untuk memutuskan model rambut yang akan dipilih.

"Mas, mau ambil model rambut yang mana?"

"Kenapa fotonya cowok Kpop semua, sih?" Wajah Lanang tampak tidak puas, kedua matanya menyipit seraya meringis dan menggaruk-garuk kepala sendiri.

Aku berjalan mendekat padanya. "Jadi kamu tau soal Kpop?"

Lanang mengangguk satu kali. "Pas gue masih di sekolah, temen cewek sekelas nyaris semuanya suka Kpop. Sering teriak-teriak heboh, 'Kyaaah! Oppa! Kyaaah! Omma! Kyaah! BTS, EXO, Monsta-X, Seventeen! Berisik sumpah."

Aku terkekeh sebab aku juga pernah memiliki pengalaman semacam itu selama memperhatikan tingkah laku para siswi di sekolah. Namun, ekspresi Lanang sewaktu mencontohkan reaksi para gadis itu cukup lucu. "Kamu tau banyak nama grup mereka."

"Elo juga tau, Pak?" Lanang menatapku takjub.

Apakah aneh apabila pria seusiaku mengetahui idola para anak muda di generasi masa kini?

"Yah, bisa dibilang demikian? Soalnya beberapa murid saya juga menyenangi mereka. Sering teriak-teriak juga setiap mulai membicarakan mereka selaku idolanya."

Dia menggeleng lesu. "Bikin kesel, ya. Gue akui musik Kpop asik, sih. Sayang para fansnya berisik," komentarnya itu hanya kutanggapi dengan senyuman.

"Jadi, Masnya mau ambil model yang mana?"

Ah, benar juga. Aku malah mengajak Lanang mengobrol padahal tujuan kami datang ke sini adalah untuk memotong rambutnya.

"Yang ini, deh." Lanang menunjuk wajah seorang pemuda dengan senyum lebar.

Parasnya tak asing di mataku. Mungkin aku pernah tak sengaja melihatnya di portal berita atau televisi.

Karyawan di samping kami mengangguk. "Oh. Pak Chendol, ya. Oke, Mas. Silakan duduk dulu."

Begitu karyawan itu pergi menuju ke belakang, Lanang terkekeh seraya mengeluh, "Sembarangan aja itu tukang cukur. Park Chanyeol dikatain Chendol. Untung gue bukan fans Kpop garis keras. Kalau iya, udah gue jambak kayaknya dia."

Aku kagum mengetahui ternyata Lanang mengenali nama anggota grup Kpop yang dimaksud. Walau nama itu juga terdengar tak asing bagiku. "Memangnya fans Kpop segalak itu, ya?"

Lanang kini duduk sembari mengotak-atik ponselnya. "Lo nggak tau aja, Pak. Coba lo sering-sering nyari hiburan dengan cara mantengin fanpage Kpop. Di sana, beberapa fans grup Kpop itu suka perang komentar. Seru, tauk. Kadang gue suka ngakak dan greget sendiri. Lucu pokoknya," ujarnya menggunakan nada antusias yang konyol.

"Kamu menjadikan itu hiburan?" Sebelah alisku naik saking terheran-heran.

"Iyalah. Anggap aja Civil War di dunia maya." Dia melirik aku sambil menaik-naikkan alis.

Aku tak bisa lagi menahan tawa. "Kamu ini ternyata lucu juga, ya."

"Ke mana aja, Pak, baru nyadar." Lanang menunjukkan senyuman lebar ke arahku. Tampak ceria dan bangga.

Kalau dipikir-pikir kala melihat senyum manis di wajah itu, siapa sangka dia juga bisa berubah menjadi amat kurang ajar dan menjengkelkan?

Pemuda ini memang ajaib.

Selama Lanang tengah dicukur, aku menunggu sembari membolak-balik majalah mengenai otomotif dan juga fashion yang tergeletak di sofa. Hanya melihat sekilas, menutup lagi, kemudian memandang pada posisi Lanang yang tampak tenang. Aku yakin gaya rambut baru itu akan kelihatan cocok untuknya. Meski tampaknya dia adalah tipe laki-laki yang akan cocok memiliki gaya rambut seperti apa pun.

Aku menilik jam tangan. Sudah nyaris pukul setengah lima. Kira-kira makanan apa yang akan Lanang sukai dan sebaiknya aku belikan untuknya? Setahuku dia menyukai makanan pedas. Atau sebaiknya aku ...

"Pak!"

Aku terlonjak sewaktu sebuah tepukan mengenai pundak. Begitu mendongak, aku dapati Lanang sudah saja berdiri di depanku. Dengan tampilan yang lebih segar dan ... aku tidak tahu harus bagaimana menjabarkannya.

Aku berdiri lalu mengeluarkan dompet dari kantung belakang celana. "Gaya rambut itu terlihat cocok untuk kamu," pujiku bersungguh-sungguh.

"Gue jadi makin ganteng 'kan, Pak?" Lanang nyengir.

Ya, benar. Itu adalah kata yang paling tepat untung menjabarkan penampilannya saat ini, tapi bukankah akan terdengar aneh jika aku mengungkapkan terang-terangan?

"Selama itu bisa bikin kamu senang, baiklah. Saya anggap kamu ganteng." Akhirnya itu yang terucap dari mulutku.

Berjalan mendekati karyawan tukang cukur yang terlihat masih membersihkan potongan rambut yang berjatuhan, aku berusaha mengabaikan ekspresi kesal di wajah Lanang.

"Lo ikhlas apa nggak sih, Pak? Itu muji?" tanyanya mendesis.

"Hahaha. Saya hanya ingin menyenangkan kamu, Lanang." Pemuda ini benar-benar keras kepala dan sensitif. "Ini, Mas. Ambil saja kembaliannya," ujarku pada sang karyawan seraya memberikan selembar uang Rp. 20.000. "Ayo, kita lanjut jalan."

"Huh. Serah lo, deh." Lanang mendengkus lantas berjalan mendahuluiku menuju pintu keluar sambil tangannya menyingkirkan helai-helai potongan rambut pendek yang menempel di baju dan tubuhnya.

"Terima kasih, Mas." Aku tersenyum dan menyusul Lanang keluar.

Begitu tiba di lokasi motor diparkirkan, Lanang tahu-tahu menyodorkan tangan ke arahku. "Sini, Pak. Gantian, biar gue yang nyetir."

Hah? Dia ingin menyetir?

Aku mengernyit. Berpikir sebentar, sebelum ragu-ragu menyerahkan kunci motor ke tangannya. "Asal kamu janji tidak akan membuat nyawa kita berdua melayang." Menahan jemari Lanang yang bersiap menarik kunci dari telapak tanganku.

Dia mendecakkan lidah. "Yaelah, Pak. Lo pikir gue sebego itu nyetir? Gue bukan anak TK," komentarnya lalu menarik paksa kunci dari peganganku.

Aku menghela napas panjang. "Bukan masalah kamu tidak bisa menyetir. Saya cuma khawatir kamu akan mengebut dan membawa kondisi kita berdua dalam bahaya nanti," ungkapku, memperhatikan Lanang yang kini telah memasang helm. Aku menyingkir saat seseorang terlihat lewat untuk masuk ke tempat potong rambut.

Dia tersenyum kecil. "Nggak bakalan, kok." Lantas dia mulai menaiki motor. "Sini, duduk di belakang."

Aku gantian pasrah menuruti apa maunya. Sesuai perkataannya, Lanang tidak mengebut sama sekali. Mengendarai motor menggunakan kecepatan yang nyaris serupa denganku, hanya sedikit lebih cepat. Sudah lama rasanya sejak terakhir kali aku dibonceng menggunakan motorku sendiri. Sedikit aneh, tapi aku pun merasa nyaman sebab aku bisa bersantai duduk di belakang.

"Jadi kamu bisa mengendarai motor." Aku memecah keheningan.

Lanang menoleh cepat ke arahku sekilas dengan wajah shock. "Hah? Ya, bisalah! Lo pikir gue selama ini hidup ngapain aja? Udah sejak sebelum lulus SMP kali gue bisa nyetir." Dia terdengar mendengkus seusai menuturkan penjelasan. "Cuma emang udah lama banget rasanya sejak terakhir kali gue nyetir gini."

Aku terkekeh, lantas merespons ucapannya, "Kapan terakhir kali kamu mengendarai motor?"

Lanang menyuarakan 'mmm' cukup lama, mungkin tengah mengingat-ingat. "Beberapa bulan lalu. Waktu gue masih sering berangkat pulang bareng temen sekelas. Pas gue masih sekolah."

"Lalu kenapa sekarang berhenti?"

Ah, sial. Aku seharusnya bisa menahan diri. Namun mendengar jawabannya rasa penasaranku tak dapat ditahan lagi. Sebab hingga detik ini aku belum benar-benar mengetahui alasannya berhenti menempuh pendidikan di sekolah.

Sesuai dugaan, Lanang tak menjawab. Aku maklum apabila dia tak ingin membagi cerita padaku. Akan tetapi, tak disangka akhirnya dia bersuara juga, "Karena ... gue kacau?" Ada getaran dan nada keraguan yang kutangkap. "Gue ngerasa udah gak ada gunanya ke sekolah sedangkan semua orang nggak lagi memandang gue dengan cara yang sama."

Aku mengernyit. "Apa maksud kamu?"

Bisa kulihat, bahu Lanang agak menegang.

Dia memperdengarkan tawa hambar yang singkat. "Gue ini murid yang pintar. Tapi berubah jadi bocah tukang bolos yang sukanya malas-malasan. Nggak mau lagi ngerjain PR, gak suka lagi maju buat ngejawab soal di papan tulis. Nggak seneng lagi berbaur sama temen sebaya. Semua itu ...."

Dia tak melanjutkan. Dari sini, aku dapat mendengar helaan napasnya yang panjang.

Aku meneguk saliva sebelum ragu-ragu bertanya lagi. "Apakah hanya itu, alasan mengapa kamu dikeluarkan dari sekolah?"

"Kalo bukan karena dia, itu semua nggak akan terjadi." Suaranya terdengar lirih.

"Dia? Siapa?"

Lanang menoleh padaku seraya tersenyum kecil. "Habis ini Bapak mau ke mana?" tanyanya lalu beralih pada jalanan lagi.

Ah, mungkin cerita yang ingin aku dengar bukanlah sesuatu yang dapat Lanang terangkan secara sembarang. Ada baiknya juga untukku mengetahui batasan.

"Bagaimana jika kita makan ke warung soto langganan saya?" saranku, teringat bahwa kami berdua sama-sama berniat mencari makan.

Di depanku, kepala pemuda ini mengangguk-angguk. "Oke aja, Pak. Tapi makanannya enak, 'kan?"

"Tentu saja enak." Lagi pula mana mungkin aku mengajaknya makan ke lokasi dengan menu yang rasanya tak menjamin.

"Yah, siapa tau 'kan, Pak. Lo taulah selera anak muda sama tipe bapak-bapak tuh bedanya jauh."

Komentarnya selalu saja terdengar mengesalkan. "Nggak usah banyak bicara. Saat tiba di perempatan di dekat Alfamart, belok kanan. Setelah jalan beberapa menit, kamu akan menemukan warung soto di tepi jalan yang pasti ramai pelanggan."

"Siap deh, Pak. Biar cepet, gue ngebut aja, ya?"

Aku menepuk bahunya. "Jangan berani-berani. Saya masih belum siap mati." Aku dengar Lanang menggerutu merespons tanggapanku, tetapi biarlah. Yang penting kami bisa selamat sampai tujuan.

Namun, setibanya di tempat yang aku rekomendasikan, rupanya warung soto ini tak seramai yang aku perkirakan. Jelas saja Lanang meledekku habis-habisan.

"Yakin di sini tempatnya, Pak? Nggak nyasar kita? Jangan-jangan karena udah tua elo mulai pikun lagi." Kemudian terkikik puas melihat aku yang melotot padanya.

"Diam. Cepat turunkan standar dan lepas helm kamu, kita masuk. Saya sudah lapar."

"Laper bikin sensi ya, Pak. Maklum deh gue."

Akhirnya aku memilih berjalan menuju ke gerobak soto mendahului Lanang. Mencium aroma kuahnya yang segar dan kian mengundang rasa lapar.

"Pak Dewa, pesan kayak biasanya?" sapa Bang Hasan sambil membuat pesanan.

Saking sudah sangat seringnya datang kemari, penjual dan para pelayan di sini sampai mengenal siapa aku. Aku mengangguk. "Dua soto ya, Bang." Lalu menengok pada Lanang yang berdiri di sampingku. Aku tahu dia sudah menghampiriku karena wangi badannya. "Kamu suka pedas, 'kan?"

"Iya." Lanang mengangguk.

"Soto pedasnya satu, Bang. Punya saya yang seperti biasa. Minumannya teh manis hangat, sedangkan dia ..." Aku kembali menengok pada pemuda yang tengah celingukan memperhatikan suasana di dalam. "Lanang, kamu mau minum apa?"

Dia berpikir sebentar. "Es teh tawar aja. Atau es jeruk kalo ada."

Bang Hasan mengangguk paham. "Oke deh, Pak. Silakan tunggu dulu, ya."

Aku mengangguk lantas berjalan ke salah satu tempat yang kosong. Duduk di sana, disusul Lanang yang kemudian duduk di seberangku sembari mengotak-atik ponsel.

Berpikir bahwa aku tak boleh membiarkan keheningan ini mengisi, mau tak mau aku berusaha mencari topik pembicaraan lagi. "Ahem. Kamu bilang kamu punya adik 'kan, Lanang? Laki-laki atau perempuan?" Letak kacamata aku betulkan.

"Mau apa lo kepoin?" Dia membalas tanpa sedikit pun melirik.

"Saya hanya ingin tahu. Jika kamu nggak mau bercerita, saya gak akan memaksa," ucapku sembari menyisir pandangan. Tersenyum pada Bang Yudi yang menyapa sembari mengelap meja.

"Namanya Aulia Ardina Mahesa."

Aku memandang Lanang, mataku agak membulat melihat dia yang menunjukkan padaku foto seorang gadis manis berkerudung yang tampak memeluk boneka Doraemon dari ponselnya. "Adik perempuan, ya. Berapa selisih usia kalian? Dan di mana dia sekarang?"

Lanang menarik ponselnya. "Dia tiga tahun lebih muda dari gue. Di pesantren."

Pantas saja dia tak pernah kelihatan ada di rumah. "Dia masuk pesantren? Kenapa kamu nggak?"

Tatapan pemuda berusia 17 tahun ini mendelik. "Lo pikir, pesantren mana yang tahan punya santri kayak gue, Pak?"

Ah, benar juga. Aku baru sadar bahwa pertanyaanku sungguh konyol. Di sekolah saja dia sulit disiplin, apalagi bila berada di pesantren dengan peraturan lebih ketat.

"Ini, Pak."

Aku menggeser duduk, mempersilahkan Bang Yudi meletakkan dua mangkok soto beserta dua gelas minuman ke meja. Membiarkan Lanang mengambil soto penuh biji cabai di mangkuknya yang malah dia langsung tambahi lagi dengan beberapa sendok sambal. Aku meneguk ludah lantaran justru perutku yang dilanda was-was.

"Kamu nggak takut mencret?" tanyaku pada Lanang yang tengah mengaduk sotonya.

Dengan santai, pemuda ini menggeleng. "Nggaklah. Makan pedas itu yang penting sensasinya. Urusan mencret atau nggak, dipikirin belakangan aja." Dia mulai meniup-niup kuas soto untuk dicicipi. "Mantap."

Aku meringis. "Kalau soto milik kamu saya makan, mungkin besok saya hanya tinggal nama."

Lanang mendadak tersedak mendengar kata-kataku. "Anjir, Pak. Elo kalo mau ngelucu liat sikon dong," komentarnya sebelum menyedot es jeruk.

Loh, siapa juga yang sedang berusaha melucu di sini?

"Tapi kayaknya itu bisa jadi ide bagus. Nih, cobain soto gue." Dia menyendok kuah di sotonya yang secara sengaja disodorkan ke arahku.

Dasar pemuda kurang ajar ini.

Aku cuma memandangnya malas sembari menghela napas, kemudian lebih memilih turut memakan soto milikku.

Lanang batuk-batuk kecil sesudah itu berbicara sembari memperhatikan bihun di garpunya, "Eh, Pak, tau nggak? Gue baru sadar loh jadinya kalo nama para anggota grup EXO mirip sama nama makanan. Chendol, Oh Bihun, Dodol Kyungsoo," sebutnya sembari tampak berusaha mengingat-ingat. "Lays," terusnya dan lanjut memakan bihun.

Hebat juga dia hapal banyak nama dari anggota boyband Korea. Aku juga sepertinya tahu satu atau dua nama. "Sugar?" sambungku menebak.

Lanang mencibir, "Suga itu anggota BTS. Dasar kudet lo!"

Oh, rupanya aku salah. "Mana saya tahu. Saya hanya tahu nama anggotanya."

"Kalo gak tau mendingan diam."

Aku memutar bola mata. Sebaiknya fokus saja memakan sotoku ini alih-alih meladeninya yang berujung serba salah.

Ponsel Lanang tiba-tiba berbunyi, membuat dia yang tengah mengunyah terlihat semringah tatkala menilik layarnya. Garpu di tangan kanan diletakkan, kemudian dia menjawab panggilan. "Halo, Dek. Iya, wa'alaikumsalam."

Oh. Telepon dari adiknya di pesantren

"Kakak? Sekarang kakak lagi jalan sama guru kakak. Iya. Guru yang cupu dan nyebelin itu, loh."

Sontak saja aku mendelik. Dia pikir siapa yang tengah dia bicarakan?

"Orangnya ada? Ada, nih. Di depan kakak dia. Lagi ngeliatin kakak pake tatapan sok judes. Ya, nggak apa-apa kakak ngomongin dia di depan mukanya. Daripada kakak ngomongin dia di belakang, 'kan?"

Aku sedikit setuju pada hal yang satu itu. Akan tetapi, rasanya tetap saja menyebalkan untuk didengar.

"Kakak diajak jalan. Ini lagi ditraktir makan soto. Enak, loh. Oiya dong. Adek mau? Ya, nanti. Tunggu Adek pulang. Kalau kakak ada duit, kakak ajak Adek ke sini juga, deh. Iya. Kakak juga kangen. Hehehe. Semangat belajarnya. Iya. Adek juga jaga kesehatan. Nanti telepon juga Ibu. Iya, iya. Dasar bawel. Oke. Wa'alaikumsalam."

Hanya seperti itu? Ah, tapi aku paham apabila panggilannya berlangsung singkat. Selain karena Lanang sedang tak berada di rumah, juga di pesantren aturan menggunakan ponsel pribadi setauku agak dibatasi.

Namun, saat ini ada sesuatu lebih penting yang ingin aku konfrontasi. "Apa-apaan itu tadi?"

"Gue ditelpon adek gue," jawab Lanang dengan ekspresi tanpa dosa.

"Baiklah. Terserah," responsku ketus.

Pemuda di depanku terkikik. "Elo marah, Pak? Seharusnya elo bersyukur gue ngatain elo langsung di depan muka lo. Kalau di belakang, ada kemungkinan gue malah nambahin yang nggak-nggak, loh."

Aku balas menggerutu, "Itu nggak ada bedanya bagi saya. Kamu bayar makanan kamu sendiri."

Kali ini dia melotot. "Kok elo gitu sih, Pak? Gue mana ada duit."

"Dasar bocah kurang ajar."

"Kurang ajar itu nama belakang gue."

Tak akan pernah ada habisnya melawan anak ini. "Suka-suka kamu saja."

Pada akhirnya Lanang hanya menaikkan bahu, menyantap lagi porsi soto yang tersisa dengan ekspresi yang cukup lucu. Sudah tahu dia pasti bakal merasa kepedasan, untuk apa coba menyendok sambal banyak-banyak? Jalan pikiran anak muda memang terlalu sederhana dan kadang pendek.

...

Aku dan Lanang berjalan keluar dari warung soto disambut gemuruh yang asalnya dari langit mendung. Senja yang mendekati Maghrib ini tak ayal tampak menjadi lebih gelap ketimbang saat-saat biasa. Lanang aku dengar mendecak, berkacak sebelah pinggang seraya menggaruk-garuk kepala.

"Kamu ingin pulang?"

"Enaknya kita nginep di sini aja, Pak. Daripada kehujanan."

Aku tercengang mendengar jawaban itu.

Dia lalu mendesah lelah menangkap reaksiku. "Ya iyalah, Pak. Kita pulang sekarang. Emangnya elo mau ngajak gue ke mana lagi? Makan lagi? Udah kenyang gue."

Mau tidak mau aku terkekeh. "Mungkin untuk hari ini cukup sampai di sini saja. Lain kali, saya akan mentraktir kamu makanan yang lebih enak lagi," ujarku bersungguh-sungguh.

Sorot mata Lanang berbinar. "Sushi, Pak. Gue mau nyobain sushi. Katanya itu enak, mahal, mewah."

"Baiklah. Lain kali saya janji akan mengajak kamu makan sushi."

Telunjuknya menodongku. "Janji ya, Pak? Awas kalo elo ingkar, gue sumpahin pulang nanti elo kesamber geledek." Bertepatan dengan ucapannya itu, gelegar petir membahana mengejutkan kami berdua. Wajah Lanang aku lihat memucat. "Kualat nih gue nyumpahin orang yang lebih tua."

Tawaku pecah menghadapi reaksi itu. "Baguslah jika kamu sadar. Ayo, cepat kita pulang sebelum hujan."

Sayangnya, ketika baru menempuh setengah perjalanan pulang ke rumah Lanang, hujan deras turun dan serta-merta membuat tubuhku basah kuyup, pun kian menyulitkan pandanganku saat berkendara. Sedikit kepayahan, aku berusaha menepikan motor ke tempat terdekat yang dapat dijadikan lokasi berteduh. Berhenti di pinggir jalan dan memarkirkan motor di sana, lalu segera berlari ke emperan toko remang-remang yang kebetulan menutup.

"Nitip HP, Pak. Awas, jangan lo injek."

Huh? Ada di mana Lanang sekarang? Mengapa yang terdengar justru hanya suaranya.

Aku melepas kacamata untuk mengeringkannya memakai kain baju bagian dalam yang belum sangat kebasahan. Selepas itu kembali mengenakannya, dan kontan mendelik menyaksikan Lanang yang tengah hujan-hujanan di dekat motor yang kuparkir saat ini. Pantas saja sedari tadi aku tak melihat dia berada di dekatku.

Aku agak menggigil merasakan angin yang bertiup kencang, menyipratkan air hujan hingga ke posisiku berdiri sekarang. Sepertinya hujan ini akan berlangsung cukup lama. "Lanang, berhenti hujan-hujanan atau kamu akan sakit! Cepat kemari!"

Namun, pemuda itu tidak mengindahkan omonganku. Malah terlihat semakin bersemangat berlarian seperti anak kecil di bawah hujan deras ini sembari memasang senyuman lebar seakan-akan tengah menjadi manusia paling bebas di dunia. Astaga. Padahal tubuhku saja sudah amat kedinginan meski hanya kehujanan sebentar. Apakah dia tak merasakan efek serupa?

Tiba-tiba dia berjalan menghampiriku dan tahu-tahu menggerak-gerakan tangan. "Ayo, Pak! Gabung sama gue!"

Aku melotot, langsung menggeleng menanggapi ajakannya. "Jangan gila. Saya sudah nyaris membeku di sini. Sebaiknya kamu yang bergabung dengan saya."

"Tck. Elo lebay deh, Pak. Tinggal gabung sini apa susahnya. Masa sama hujan aja takut? Gak malu sama umur!" Lanang berkacak pinggang dengan seluruh tubuh basah total. Rambut barunya yang lembab pun menutupi sebagian dahinya. Bibirnya aku lihat sedikit bergetar.

Hah. Bocah keras kepala ini.

"Sekali saya bilang nggak, ya nggak. Kemari kamu." Perkataanku bersahutan dengan gemuruh di langit yang terdengar dari kejauhan. Aku mendongak ke atas, dan detik itu pula Lanang menggunakan kesempatan itu untuk menarik aku ke arahnya. "Lanang!" sebutku panik, sekuat tenaga berusaha kembali ke emperan.

Lanang mengerang. "Temenin guelah, Pak. Gue gak mau ujan-ujanan sendirian!"

Aku mulai merasakan basah di bagian punggung. Penolakanku terhadap Lanang seolah tak berarti lantaran tenaganya tak kusangka lebih besar dariku. "Lanang, berhenti!" gertakku.

Setelah itu, aku terpeleset. Tubuhku limbung ke belakang dengan Lanang yang sigap menarik aku ke sisinya. Kali ini, ke depan tubuhnya. Aku terkesiap sebab sekarang, aku ada di pelukannya. Merasakan basah dari tubuhnya yang kuyup, pun dingin. Dan kedua tangannya entah sejak kapan merengkuh pinggangku.

Di bawah hujan yang belum kunjung reda disertai gemuruh yang meredamkan suara lain di sekitar, aku coba tak mengacuhkan debaran di jantungku yang tiba-tiba berdetak lebih kencang dari biasanya.

___Bersambung___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top