4. Pemuda Nakal Pantang Menyerah
Aku mematikan keran, mengusap wajah menggunakan handuk setelah itu mengenakan kembali kacamata yang aku lepaskan sementara tadi membersihkan muka. Bercermin, memperhatikan wajahku yang terasa lebih sejuk kini. Lalu, tanpa sadar tanganku bergerak membelai daguku sendiri hingga naik ke mulut. Menggigit bibir sewaktu bayangan ketika Lanang menciumku muncul lagi dan lagi. Entah untuk yang ke berapa kali sejak aku berpamitan dengan pemuda nakal itu.
Buru-buru aku menggelengkan kepala, kemudian beranjak dari kamar mandi menuju ke lemari. Perutku lapar. Belum makan apa pun lagi selain mie rebus serta nasi pemberian bu Hasna beberapa jam yang lalu. Rencananya, selekas ini aku akan mencari makan keluar sebab terlalu malas untuk masak walau masih ada beberapa bahan makanan tersimpan di kulkas.
Saat sedang mengancingkan kemeja, suara dering ponselku yang tengah diisi terdengar. Aku berjalan mendekat, serta-merta senyumku timbul begitu saja sewaktu mendapati nama Shazana terlihat di layar. Aku menjawab panggilan darinya, lantas menyentuh tombol loudspeaker.
"Assalamualaikum, Zana," sapaku lebih dulu. Masih sambil mengancingkan kemeja.
"Wa'alaikumsalam, Mas Dewa. Maaf tadi pesannya baru sempat dibaca. Zana baru cek HP, soalnya baru pulang rapat dan selesai sholat."
Aku terkekeh menanggapi seluruh ucapannya. "Santai saja. Mas tau Zana sibuk. Sudah makan?" tanyaku seraya menarik celana jeans di tepi ranjang untuk lalu mengenakannya.
Shazana kudengar mengembuskan napas panjang. "Belum nih, Mas. Mas Dewa sudah?"
elesai mengenakan celana, aku lantas segera mencabut ponsel dari charger. Loudspeaker dimatikan. "Belum juga. Mau makan bareng? Sudah lama kita gak makan berdua."
Aku terlalu sungkan mengatakan bahwa aku rindu melihat sosoknya. Aku takut Shazana justru kepikiran lalu tidak tenang sendiri. Aku tahu betul perasaan wanita itu cukup lembut, jadi aku tak boleh sembarang mengambil langkah.
Zana terkekeh di seberang sana. "Iya, Mas." suara tawanya benar-benar membuat aku merasa tenang. "Mau makan di warung soto apa di warung nasi langganan kita?"
Pertanyaan itu membuat aku urung mengambil sisir, sebab aku dibuatnya tersenyum lebar sekarang. "Zana tau sendiri Mas sukanya yang mana. Tapi kalau Zana mau ke warung nasi, Mas gak keberatan," jawabku sembari mulai merapikan rambut yang masih basah.
"Di warung soto sajalah, Mas. Kangen."
Apa aku boleh mengartikan itu sebagai bentuk rindunya untukku juga?
"Perlu Mas jemput?"
"Jauh lah, Mas. Lama, gak usah repot-repot. Pakai kendaraan masing-masing saja."
"Tapi Zana hati-hati, ya."
"Pasti, Mas. Ya sudah. Zana mau siap-siap dulu. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Aku meletakkan sisir tepat setelah panggilan terputus. Ponsel aku masukkan ke kantung jeans, sesudahnya dompet serta kunci motor juga kubawa. Pun sebelum keluar dari kamar, aku tak lupa menyemprotkan parfum ke bagian sisi dan depan tubuh. Tentu saja seorang pria ingin terlihat menawan ketika bertemu dengan sosok wanita yang disayanginya, bukan?
...
Selama berkendara menuju ke warung soto, aku pasti jadi selalu mengingat awal pertemuanku dan Shazana di sana tiga tahun yang lalu. Ya, benar. Warung soto yang akan menjadi tempat bertemunya aku dan Shazana juga merupakan tempat yang menjadi saksi pertemuan kami pertama kali dulu.
Ketika itu, aku tengah mengantre soto untuk dibungkus bersama para pelanggan lain. Tempat duduk penuh, karena sebagian dari pelanggan yang datang adalah orang-orang yang baru keluar dari terjebak hujan deras di luar sana. Termasuk aku. Hari semakin larut, cuaca semakin dingin, tak heran membuat warung soto ini semakin ramai.
Seorang ibu-ibu yang mengatre di depanku akhirnya selesai dengan pesanannya. Aku agak tercekat melihat dia yang membawa dua besar plastik berisi soto. Pantas saja lama. Di rumahnya pasti dia sedang mengadakan makan besar.
"Maaf, Mas. Sotonya sisa satu porsi lagi ini. Itu juga sayurnya sudah habis. Nggak apa-apa?"
Aku baru hendak menjawab bahwa aku tidak mempermasalahkannya--meskipun aku membutuhkan dua porsi. Hanya saja, aku sudah sangat lapar. Mau soto itu kurang sayur ataupun kurang daging, tak apa selama itu masih dapat kumakan. Namun, suara seseorang yang mendadak menyahut dari samping membuat aku urung menyuarakan jawaban.
"Sotonya satu, Mas. Dibungkus, ya."
Sewaktu menoleh, aku mendapati seorang wanita dengan jas hujan dan helm basah kuyup terlihat agak menggigil berdiri di sebelahku. Makeup yang digunakannya tampak luntur, bibirnya pucat dan gemetaran.
Wanita itu adalah Shazana.
"Aduh, Mbak. Maaf. Sotonya habis. Ini sisa satu porsi lagi ada juga cuma buat Mas ini."
Penuturan abang penjual soto itu membuat aku dan Shazana--yang saat itu masih belum saling mengenal saling beradu pandang. Dia tersenyum tak enak untukku lantas agak membungkukkan badan. Dia pasti merasa kecewa karena menu yang dinginkannya sudah tak lagi ada.
"Oh, maaf, Mas. Saya nggak tahu. Kalau begitu, saya gak jadi--"
"Ah, nggak. Saya nggak jadi pesan, kok."
Perkataanku membuat Zana urung beranjak. Dia dan juga Abang penjual soto itu menatapku bersamaan. Ini refleks. Aku sama sekali tidak tega membiarkan dia pulang dengan tangan kosong dan badan kedinginan.
"Maksudnya, soto ini buat Mbak aja. Silakan. Saya sudah nggak lapar," ucapku pada Zana yang hanya bergeming memperhatikan. Selanjutnya aku memandang si Abang penjual yang terlihat menunggu kepastian. "Sotonya kasih Mbak ini aja, Bang."
Shazana yang seakan-akan baru tersadar buru-buru menggeleng. "Nggak perlu, Mas. Kan Mas duluan yang antre."
Aku balas menggeleng. "Beneran, Mbak. Saya sudah nggak lapar." Akan tetapi, suara perutku justru bagai membantah hal yang baru saja kuakui. Batinku mengumpat keras. Wajahku serasa disiram kuah soto si Abang di depanku. Sedangkan Shazana tampak menahan tawa. "Silakan ambil sotonya ya, Mbak. Saya mau pulang dulu," kataku yang sudah tak bisa lagi menahan malu.
Aku lalu segera turun dari teras warung soto menuju ke motor. Mungkin sebaiknya aku mencari menu makan yang lain saja.
Tubuhku mulai basah lagi oleh titik air. Namun, belum jauh langkah kuambil, suara seseorang terdengar memanggilku.
"Mas, tunggu!"
Aku berhenti berjalan dan menoleh. Agak terpaku melihat senyuman yang ditunjukkan oleh sosok wanita asing yang baru saja coba aku tolong. Hanya sebungkus soto cukup sepele, sih.
"Terima kasih banyak. Hati-hati di jalan," serunya sangat terdengar tulus.
Aku balas tersenyum. Mengangguk dua kali, sesudah itu lanjut berjalan.
Tidak lama setelah kejadian di warung soto itu, aku dan Shazana kembali bertemu. Kali ini, di depan kantor SMP tempatku mengajar. Saat itu, dia tengah menemani keponakannya mendaftar masuk ke SMP bersama kakak laki-lakinya. Yang kalian perlu ketahui, awalnya aku mengira bahwa dia dan kakaknya adalah sepasang suami-istri.
"Loh, Mas yang waktu itu ..., "
Begitulah Shazana menyapaku di antara keramaian yang ada di dekat kantor. Sedangkan aku nyaris tak mengenalinya yang tampak rapi dan segar. Hanya saja, senyuman manis yang tercetak di bibirnya yang kulihat itu belum bisa aku lupa, membuat aku mampu mengingatnya.
"Mbak yang ... beli soto juga."
Balasanku sukses memunculkan tawanya. "Apa kabar, Mas? Mas di sini juga? Kerja?"
Aku mengangguk menanggapi responsnya. Aku menyukai perangainya yang supel. "Saya guru di sini."
Shazana tampak takjub. "Wah. Ternyata Mas guru. Saya pikir Mas sedang nemenin daftar juga seperti saya," komentarnya sembari tangannya membetulkan letak hijab yang dikenakan.
Aku baru hendak menanyai dia tengah menemani siapa, saat seorang pria muncul bersama seorang gadis di rangkulannya di samping Shazana.
"Zana, ayo pulang," ujar pria itu seraya menepuk pundak Shazana.
"Erin udah selesai!" gadis di sebelah sang pria menyahut dengan ceria. Di tangannya, dia membawa kertas berisi formulir pendaftaran.
Di depan mereka semua, aku mematung. Ingin melarikan diri, tapi akan sangat terlihat tidak sopan. Di sisi lain, aku tak ingin pria itu salah paham dengan mengira aku tengah menggoda istrinya.
Shazana menoleh sekilas. "Mas Saka duluan saja. Zana masih ada perlu sama Mas ini."
Aku membelalakkan mata mendengar keterusterangannya.
Pria yang dipanggil Mas Saka itu memandangku. Berbeda dari perkiraan, dia justru menunjukkan senyuman ramah. Apa hanya aku saja yang telah salah paham? Pikirku waktu itu.
"Mau pulang sendiri nanti? Gak barengan aja?"
"Zana bisa pakai taksi, Mas. Erin sama Mas duluan saja."
Akhirnya, Mas Saka serta gadis bernama Erin itu berpamitan. Bahkan turut pamit padaku yang bisa dibilang asing bagi mereka. Lalu sepeninggalan mereka, aku mengajak Shazana ke tempat lain yang suasananya lebih nyaman dan sepi untuk lanjut berbincang. Tidak di tengah hiruk para murid serta walinya.
Aku dan Shazana berjalan melewati koridor kelas-kelas yang lengang. Sambil sesekali dia melihat-lihat kondisi di sekitar sekolah yang belum genap tiga tahun aku jadikan tempat bekerja ini.
Karena merasa kami sudah cukup lama berjalan dalam keheningan, akhirnya aku memutuskan untuk membuka suara terlebih dahulu. "Yang tadi itu siapanya Mbak?" tanyaku berusaha memastikan. Perasaanku masih tak tenang memikirkan kalau-kalau aku tengah berbicara dengan istri orang lain. Berbeda cerita apabila dia adalah orang tua dari muridku. Masalahnya, kami masih sangat asing satu sama lain.
Shazana menoleh dan tersenyum aneh ke padaku. "Mas lebih tertarik bertanya mereka siapa dulu, alih-alih bertanya nama orang di samping Mas ini?"
Mendengar jawabannya membuatku baru tersadar. "Ah, maaf. Saya lupa kita belum sempat berkenalan," balasku, menunjukkan senyum tak enak
Shazana menyodorkan tangannya ke arahku. "Nama saya Shazana Indrihana. Nama Mas?"
Itu adalah kali pertama aku mengetahui namanya. Bagiku, nama Shazana sangat pas dengan sosok ramahnya.
Ragu-ragu aku menerima sodoran tangan Zana. "Saya Dewa," ucapku balik menyebutkan nama. "Dewa Arjun ... Rahmana," lanjutku sedikit sungkan menyebutkan nama lengkap.
Kedua mata Shazana membundar. "Wah. Nama Mas keren sekali."
Aku hanya tersenyum menanggapinya. Itu bukanlah kali pertama aku mendapatkan pujian atas nama yang kumiliki. Nama yang merupakan pemberian dari almarhumah ibu sebelum beliau meninggal setelah melahirkanku ke dunia. Dan aku sangat mensyukuri nama pemberiannya. Menganggap ini sebagai salah satu harta peninggalan ibu yang paling berharga.
"Aduh, maaf. Saya hanya memuji. Beneran nama Mas sangat bagus."
Aku terlalu larut dalam lamunan mengenai ibu sampai lupa membalas pujian yang Zana lontarkan. Dia pasti jadi salah paham dengan mengira aku berpikir yang macam-macam.
Jadi, aku cepat-cepat menggeleng sambil sedikit tertawa. "Iya. Saya sudah sering dipuji begitu kok, Mbak. Nggak apa-apa."
Zana mengembuskan napas lega sesudah itu lanjut melangkah bersamaku menyusuri koridor kelas 7 ini. "Mas Dewa sudah lama bekerja di sini?"
Mendengarnya bertanya, mengingatkan aku pada pertanyaanku sebelumnya. Jadi, alih-alih menjawab, aku berkata, "Pertanyaan saya tadi, belum dijawab."
Zana terkekeh. Seolah-olah baru teringat juga mengenai pertanyaanku. "Oh. Soal Mas Saka dan Erin? Mas pasti mengira saya ini istri Mas Saka, ya?"
Tebakannya memang benar. "Eum, iya."
"Kalau saya sudah bersuami, pantang untuk saya mengajak bicara pria asing, Mas. Mas Cohsaka itu kakak pertama saya. Erin itu anak semata wayangnya. Saya dimintai mas Saka ke sini untuk nemenin Erin daftar, karena istri mas Saka, mbak Ratri, sedang pulang kampung jenguk ibunya yang sakit."
Aku mengangguk paham begitu lekas mendengar penjelasannya. "Maaf saya sudah salah paham."
Dia menggeleng. "Saya sudah paham risikonya sejak Mas Saka ngajak saya nemenin dia. Jadi, Mas Dewa sudah berapa lama kerja di sini?"
"Hampir tiga tahun. Menjadi guru adalah cita-cita saya sejak kecil."
Dia manggut-manggut. "Kita satu profesi, sih, Mas, sebenarnya."
Mendengar pengakuannya, tentu saja aku terkejut. "Mbak Shazana juga guru?"
Shazana tertawa mendengar responsku yang tampak tak biasa. Dia mengernyit seraya mengibaskan tangan. "Maaf, Mas. Dilihat dari sisi mana pun sudah jelas Mas Dewa lebih tua dari saya. Panggil Zana saja saya rasa cukup."
Aku meringis mendengar penuturannya. Apakah aku memang tampak setua itu?
"Saya nggak enak. Kan kita baru ketemu," jawabku sambil membetulkan letak kacamata yang kugunakan.
"Dibiasakan saja. Mengingat Erin akan sekolah di sini, saya rasa kita nggak mungkin cuma ketemu sekali atau dua kali, 'kan?"
Aku hanya mampu mengangguk menanggapi perkataannya. "Jadi, Zana ngajar di mana?" lalu mencoba membahas topik tentangnya. Agar bisa membuatnya merasa nyaman. Aku sering mengobrol dengan beberapa wanita, kebanyakan guru wanita yang sama-sama mengajar di sini. Namun, sebagian dari mereka terdiri dari sosok yang pendiam serta istri dari pria lain. Jadi, aku agak kesulitan memulai interaksi.
Satu-satunya sosok wanita yang membuatku nyaman ketika berbincang dengannya adalah nenekku tercinta.
"Saya cuma guru sekolah SD, Mas. SD Permai Bangsa itu."
Aku terperangah. Wanita ini sungguh penuh kejutan. Siapa sangka dia mangajar di salah satu Sekolah Dasar paling ternama yang ada di kota ini?
"Wah. Hebat sekali Zana bisa kerja di sana," pujiku sungguhan kagum.
Aku dulu sempat punya keinginan untuk bisa mengajar di sana soalnya. Dulu sekali.
Zana terlihat tersipu mendengar pujian dariku. "Ah, biasa saja. Mas Dewa juga keren bisa menjadi guru SMP."
Aku terkekeh. "Sebenarnya, saya juga ada keinginan untuk mengajar di sebuah SMA. Masih proses tapi," ungkapku membagi cerita.
"Sibuk sekali pasti, ya," komentarnya sekadar kubalas dengan anggukan pelan. "Mas Dewa belum punya istri, 'kan? Maksud saya, rasanya kurang enak saja kalau ternyata saya berbicara dengan suami orang lain."
Mendengar ucapannya, kontan saja aku tertawa. "Kalau saya sudah beristri, pantang bagi saya berbicara dengan wanita asing," balasku mengembalikan kata-kata yang beberapa saat lalu diberikannya padaku. "Tapi, kita sudah saling kenal. Seenggaknya sekarang."
Baik aku dan Shazana, setelah itu hanya saling melempar senyuman. Sejak awal pertemuanku dengannya, dia telah membuatku nyaman atas sikap, caranya menentukan dan membawa sebuah topik pembicaraan. Sosoknya anggun dan cerdas. Terlihat jelas dari bahasa tubuh serta tutur katanya. Hingga hari itu, kami berpisah karena aku ada tugas memeriksa berkas berisi data murid-murid yang akan menjadi tanggungjawabku di tahun ajaran yang baru. Dengan janji untuk bersedia saling bertemu lagi di lain waktu.
Pertemuan demi pertemuan aku dan Shazana lalui di berbagai kesempatan saat kami berdua tengah memiliki waktu senggang. Terkadang aku turut serta menemani Erin dan Shazana berbelanja atau makan siang. Bahkan pernah sekali dulu, Mas Saka mengajak aku untuk makan bersama keluarganya. Membuatku merasa enggan bukan kepalang sebab ajakan semacam itu belum pernah aku dapati sebelumnya. Akan tetapi, perasaan itu langsung luruh tatkala sambutan yang diberikan keluarga Shazana padaku terasa begitu hangat.
Beberapa bulan kemudian setelah hari itu, nenekku, satu-satunya anggota keluargaku yang tersisa meninggal dunia. Menyusul kakek yang telah lebih dulu pergi sejak dua tahun yang lalu. Membuat aku, sekali lagi, merasakan kesakitan atas kehilangan sosok berharga dalam hidupku. Nenek yang selama ini selalu menjagaku, berusaha penuh memberikanku perhatian serta kasih sayang meski beliau mulai sakit-sakitan, akhirnya tiada.
Aku tak mampu menahan tangis kesedihan. Bahkan di depan keluarga Shazana yang turut hadir ke rumah duka. Setidaknya, ketika Shazana mendekatiku dan memberikanku pelukan serta tepukan hangat, aku paham bahwa dia mengerti apa yang tengah kurasakan. Bahwa sekarang aku telah menjadi sebatang kara. Tak lagi memiliki siapa-siapa untuk dijadikan tempat bersandar atau mengadu di dalam rumah.
"Mas Dewa nggak sendirian. Mas punya saya. Saya siap Mas jadikan tempat berbagi keluh kesah. Saya tahu ini berat bagi, Mas. Tapi, saya harap Mas Dewa selalu ingat bahwa Mas masih punya saya. Dan yang lain juga."
Itu adalah kata-kata dari Shazana yang berhasil membuatku merasa lebih baik. Membuat aku sangat bersyukur bisa ditemani olehnya ketika tengah dilanda duka pada masa itu. Aku takjub pada ketulusannya ketika membantuku mempersiapkan catering untuk acara tahlilan nenek, seolah-olah beliau juga merupakan neneknya. Padahal dia dan nenek belum pernah berjumpa secara langsung.
Ketika aku bertanya dan memintanya untuk tidak repot-repot, Shazana berkata, "Kalau bukan saya yang membantu Mas Dewa, memangnya mau siapa lagi, Mas? Selama tenaga saya ada dan bisa berguna, saya nggak keberatan membantu sebanyak apa pun yang Mas butuhkan. Jangan sungkan." Disertai senyuman tulus yang tak pernah gagal membuatku kagum.
Selanjutnya, hari-hariku mulai semakin sering diisi oleh kehadiran serta perhatian yang Shazana curahkan untukku. Mas Saka mengatakan adik perempuannya itu memiliki ketertarikan lebih padaku, sewaktu aku diundang untuk makan malam bersama lagi. Sedangkan aku sama sekali tak menyadarinya. Maksudku, aku beranggapan bahwa selama ini Shazana begitu perhatian sekadar karena dia menaruh rasa iba.
Lalu, kata-kata yang Mas Saka sampaikan padaku seolah-olah benar adanya sewaktu akhirnya Zana bertanya mengenai perasaanku untuknya. Sedangkan aku tak mampu membohongi perasaanku sendiri. Jelas aku nyaman bisa terus bersama dengan Shazana. Hanya saja, perasaanku padanya masih belum sejauh yang diharapkannya dariku pada saat itu. Aku menganggap dia sekadar sebagai teman, bahkan saudara. Tidak lebih. Yang membuatku kian menyenanginya, adalah sewaktu Shazana menerima hal itu dengan lapang dada dan senyuman tulus. Mengatakan bahwa dia paham. Bahwa mungkin saja aku masih membutuhkan waktu. Namun, dia tidak berhenti sampai di situ. Masih terus berusaha menemani, membunuh hari-hari sepiku dengan kehadirannya. Bahkan tanpa dimintai sering kali mengantarkan makanan untukku menjelang sore ketika aku baru pulang dari waktu mengajar.
Dia adalah wanita yang luar biasa.
Hari, bulan, hingga tanpa terasa, dua tahun sudah waktu kujalani bersama Shazana yang masih selalu ada untukku. Dan hatiku mulai merasakan sesuatu yang lain. Meskipun ada banyak wanita-wanita di luar sana yang juga kutemui dan aku kenal, tak ada satu pun dari mereka yang melebihi hadirnya Shazana untukku setiap hari. Dia melengkapi kekosongan yang aku rasakan. Namun, di sisi lain aku masih belum siap. Belum siap kalau-kalau saat aku berniat memilikinya, kemudian ada hari di mana dia akan meninggalkanku. Tak ubahnya seperti sosok berharga lain yang pernah singgah dalam hidupku. Apalagi aku tak punya pengalaman apa pun perihal berhubungan asmara dengan seseorang. Mengingat Shazana itu sosok wanita yang mengagumkan, sudut hatiku meragu. Merasa bahwa aku tak cukup pantas baginya. Hingga kemudian, sosok Mas Saka hadir sebagai penengah.
"Ini semua masalah waktu, Dewa. Milikilah dia sebanyak yang mampu kamu berikan. Jangan buat adik mas menunggu lebih lama lagi. Kamu juga sayang Zana, 'kan? Lantas apa lagi yang kamu butuhkan? Kepastian itu bisa nanti lagi. Jalanilah hubungan dulu secara perlahan. Untuk ke depannya, sekali lagi, biar waktu yang menentukan. Kalau kalian berjodoh, ya tinggal dinikahkan. Toh, kamu nggak butuh wali."
Didorong perasaan tidak enak serta rasa bersalah, akhirnya aku memutuskan untuk mengikat Shazana sebagai kekasihku. Wanita pertama yang berhasil meruntuhkan predikat melajang dalam diriku. Bukan sosok pertama yang aku cintai--bahkan aku tak sepenuhnya yakin bahwa saat itu aku telah jatuh cinta padanya. Karena aku tak tahu betul seperti apa sesungguhnya rasa cinta itu. Jika sayang seperti aku mengasihi nenek atau kakekku dulu, aku jelas merasakannya. Yang kutahu, aku hanya ingin dia ada untuk mengisi hariku. Melengkapiku dengan segala perhatian dan perangai santunnya. Sedikit, dia bagai sosok adik yang berarti bagiku. Yang membuatku tak kuasa bertindak macam-macam selama berhubungan dengannya, biarpun banyak orang yang mempengaruhi aku untuk mulai nekad mengajak Shazana berbuat hal tidak senonoh. Mungkin karena usiaku sudah cukup matang. Entahlah. Aku tak ingin terlalu pusing memikirkannya. Pernikahan saja belum masuk ke dalam daftar tujuan yang ingin aku penuhi. Karena sekali lagi aku diingatkan, bahwa aku belum siap merasakan kehilangan meskipun tujuanku awalnya adalah untuk mengajak seseorang menjadi pendamping hidup, agar dapat membunuh rasa sepi.
Terlalu sering merasakan kehilangan membuatku menjadi sosok yang seperti ini. Padahal aku sudah terlalu banyak dijatuhi harapan oleh orang-orang. Termasuk Shazana. Yang saat ini, di hari ini, aku lihat tengah berdiri sembari memegangi ponsel. Dia tampak cantik dengan setelan dress putih panjang yang dirangkap celana panjang berwarna biru langit. Terlihat cocok buatnya, ditambah dengan hijab pashmina berwarna pastel.
Aku memarkirkan motor, mematikan mesin, setelah itu melepaskan helm. Kemudian perhatian Shazana akhirnya berpusat padaku. Dia langsung saja tersenyum dan melambaikan tangan. Aku balas melambai sembari sebelah tanganku membetulkan letak kacamata.
"Mas Dewa?" sapa Zana seraya meraih tanganku untuk disalaminya. Setiap begini, ada sesuatu yang berdesir di dalam dadaku. Sebuah perasaan tak enak yang mengganjal, sebab aku seolah-olah masih menyimpan rasa bersalah terhadapnya.
Merasa bersalah karena wanita sebaik dirinya harus dimiliki oleh sosok pria sepertiku.
Aku mengusap lembut sisi kepala Zana yang dibalut hijab. "Zana lama nunggu?"
"Belum kok, Mas. Yuk, masuk."
"Jadi, belum pesan, 'kan?"
Aku dan Shazana lantas melangkah memasuki warung soto langganan kami. Disambut ramah oleh beberapa pelayan di sana yang memang sudah tak asing dengan sosok kami berdua.
"Belum. Kan Zana nungguin Mas dulu."
Kami mengambil tempat yang masih kosong. Sedangkan tempat lain yang ada di dekat kami tampak diisi oleh orang-orang yang terlihat bercengkrama bersama keluarga mereka.
Aku mengangguk paham. Mengangkat tangan, memanggil salah satu pelayan ke tempat kami. "Bang, sotonya dua porsi, ya," kataku pada pelayan yang langsung datang. "Minumnya mau apa, Zana?"
"Mau es teh manis saja."
"Minumnya teh manis. Satu hangat, satu dingin, ya," ujarku yang dibalas oleh anggukan Bang Yudi. Dia adalah salah satu pelayan yang sudah kutahu namanya.
"Oke, Mas." Setelah itu Bang Yudi segera berlalu menuju dapur.
Aku menoleh pada Zana yang melepaskan tas mini yang dibawanya, lalu meletakkannya ke meja. "Gimana kabar Zana? Sehat?"
Zana tersenyum sambil mengangguk. "Alhamdulillah sehat, Mas. Mas Dewa kayaknya kurusan."
Aku memperhatikan diriku sendiri seperkian detik dan terkekeh. "Euh, gimana, ya? Emang saking sibuk jadi suka lupa makan. Jujur aja, sore tadi maag mas sempat kumat," akuku bercerita.
Raut wajah Zana yang ayu berubah ngeri seketika. "Kok bisa sih, Mas?" tanyanya seraya menyentuh lenganku penuh rasa khawatir. "Tapi sekarang sudah nggak apa-apa, 'kan?"
Aku meringis tertahan. "Yah, biasa. Mas teledor. Sekarang sudah nggak apa-apa. Gak perlu cemas." Aku mengusap tangannya di lenganku.
Zana terlihat sedih. "Tck. Mas itu harus bisa jaga pola makan. Sore tadi sudah makan, 'kan?"
Aku mengangguk. "Sudah. Ini makanya makan lagi supaya perut tambah keisi."
"Kenapa bisa sampe lupa makan? Sibuk banget, kah? Atau gimana?"
Aku selalu suka jika sudah mulai direpeti oleh Shazana seperti ini. Sama halnya seperti ketika bu Hasna memperhatikanku sore tadi.
Menggaruk-garuk telinga, aku berpikir bagaimana cara merangkai jawaban yang mudah dipahami mengenai kondisiku saat ini. "Euh. Gimana mas mau bilangnya, ya? Kamu ingat 'kan, mas ini punya kerjaan untuk jadi guru bimbel?"
"Iya."
Baiklah. Mau tidak mau aku harus mulai membagi cerita mengenai Lanang kepada Shazana. Karena sebagian alasan mengapa aku tak bisa tenang adalah sebab terlalu sering memikirkan kelakuannya.
"Nah, murid bimbel mas yang baru ini kurang ajar dan nakal sekali. Sudah berulang-ulang ganti guru sampe tiba giliran mas sejak tiga hari lalu. Apa kamu tau, dia bicara dengan mas aja pakai gue-elo?"
Shazana sedikit terhenyak mendengar penuturanku. Kedua matanya membundar bak tak percaya. "Ya Allah. Serius, Mas?"
"Iya."
"Kok bisa? Nggak Mas peringati dia?"
Aku menjeda dulu penjelasanku sewaktu dua porsi soto dan dua gelas minuman diletakkan ke meja. Bang Yudi kuberikan senyum begitu dia lekas menata semua menu yang kami pesan.
Aku mengambil sendok dan garpu sembari lanjut bercerita. "Sudah sering. Dia kukuh. Di hari pertama mas ngajar, dia nyoret buku fisika. Lalu tadi dia ...." Bayangan ketika Lanang menciumku terbersit. Membuat aku buru-buru menggeleng lantas melanjutkan, "Dia ngebuang buku ke lantai. Mas gak habis pikir sama kelakuannya." Tanganku yang mengaduk soto di mangkuk mendadak jadi gemetaran gara-gara teringat pengalaman memalukan yang kualami sore tadi. Andai Shazana tahu, aku yakin dia pasti akan merasa sangat risih dan kecewa. Lebih buruknya, mungkin saja jijik padaku.
Shazana menatapku prihatin. "Duh, Mas. Berat banget harus dapat murid sekeras itu."
Aku tersenyum masam. "Iya, memang. Tapi mas anggap ini tantangan. Siapa tau di masa depan ada murid yang lebih nakal dari dia," selorohku.
Zana menggeleng masygul. "Semoga jangan, Mas. Baru tau Zana ada murid yang bisa sekurangajar itu. Dia cowok, 'kan?"
"Iya."
"Zana doakan Mas akan berhasil selalu mengajari dia."
Aku tersenyum mendapati doa yang diberikan sosok di sampingku ini. "Terima kasih, Zana. Mas juga berharap demikian. Senakal apa pun dia, Mlmas nggak mau menyerah mengajarinya. Karena guna peran guru 'kan untuk membenahi perilaku muridnya."
Zana mengangguk setuju. "Mas Dewa memang guru paling top, deh," pujinya seraya mengacungkan jempol.
Aku terkekeh. Semoga saja benar. Siapa yang tahu apa yang selanjutnya akan terjadi padaku? Mengingat kenakalan yang dilakukan Lanang pada Pak Hilman juga guru lainnya. Aku tahu pasti, itu takkan mudah.
Aku dan Shazana mengsudahi dulu obrolan mengenai Lanang untuk mulai melahap soto hangat nikmat yang kami pesan. Bahkan aku belum sempat memberitahukan pada Zana mengenai identitas Lanang sedari tadi. Dia juga tidak menanyakannya. Di lain kesempatan, aku yakin ceritaku mengenai sosok murid nakal itu akan terulang.
Ketika aku tengah meneguk teh hangat di gelas, mendadak saja Shazana menyahut memanggil nama seseorang.
"Loh, Pak Reza?"
Aku nyaris tersedak. Pak Reza?
Aku menaruh gelas lalu mengikuti arah pandang Shazana. Menangkap sosok pria yang kukenali sebagai salah satu rekan kerja Shazana tengah berdiri di dekat meja yang letaknya dua tempat dari posisi kami.
Pak Reza berjalan mendekat. "Oh. Ada Bu Zana di sini. Pak Dewa juga. Sedang jalan, ya?" godanya menanyai.
Aku dan Shazana saling beradu pandang malu-malu. "Mumpung ada waktu. Pak Reza sendirian? Ayo, mari gabung," jawab Shazana yang berakhir menjadi ajakan.
Aku mengangguk setuju.
"Saya nggak mau mengganggu," tolak Pak Reza ramah. Sosok beliau memang sangat ramah dan disiplin sekali, sejauh yang kuketahui dari cerita Zana. Dan menurut pengamatanku sendiri. Penampilannya rapi, sosoknya gagah dan jelas dapat menarik seluruh perhatian orang-orang. Juga, aku selalu berpikir bahwa pak Reza menaruh ketertarikan lebih terhadap kekasihku.
Bagaimana aku tahu? Sederhananya, tidak akan mungkin ada sosok pria yang mampu menolak pesona Shazana. Sayangnya, dia justru tertarik kepada pria seperti aku.
Aku berdiri, menunjuk menggunakan tangan kursi kosong di seberang meja. "Nggak apa-apa, Pak. Mari gabung dengan kami. Saya sudah lama juga nggak ada teman ngobrol."
Pak Reza akhirnya menuruti mau kami. Meski sedikit sungkan, kulihat akhirnya dia duduk di kursi yang ada di depan tempatku. Padahal kursi di depan Shazana juga kosong. Pria ini memang sangat pandai membawa diri. Aku merasa tak nyaman sebab merasa kalah keren darinya. Keren memang bukan hal utama yang patut dimiliki oleh seorang pria. Namun, tetap saja aku merasa kalah. Berpikir bahwa Shazana akan jauh lebih beruntung jika dapat bersanding dengan pria ini. Karena Pak Reza jelas memiliki lebih banyak kelebihan dibandingkan aku yang biasa-biasa saja.
Aku memakan soto dalam diam sembari sesekali turut menyahuti obrolan tentang pekerjaan yang terjalin antara pak Reza serta Zana. Sedikit, merasa tersisih. Di lain sisi, merasa senang karena Shazana tampak sangat nyaman bercengkrama dengan Pak Reza. Sampai kemudian, mendadak saja sebuah genggaman lembut terasa menyentuh tanganku. Saat menunduk, aku dapati Shazana tengah memegangi tanganku.
Aku menoleh padanya, dan wanita luar biasa ini memberikan aku senyum penuh pengertian. Seolah-olah dia memahami apa yang aku rasakan, berusaha mengingatkan bahwa dia adalah milikku seorang. Aku senang sekaligus sedih. Karena sekali lagi aku juga jadi teringat, bahwa sosokku tak sepenuhnya pantas dimiliki olehnya.
Sekalipun aku rindu, harapku ... malam ini akan bisa cepat berlalu. Aku butuh istirahat. Besok ada tugas berat yang harus aku jalani.
Tugasku menghadapi seorang pemuda nakal bernama Lanang. Yang entah saat ini, dia tengah melakukan apa atau sedang memikirkan rencana apa lagi untuk dilakukannya padaku besok. Lagi pula, apa pentingnya untukku memikirkan sosoknya? Seharusnya, tidak memikirkannya adalah pilihan terbaik bagiku sejak tindakan tak senonoh itu kualami gara-gara dia.
. . .
Aku melepaskan sepatu dan meletakkan di sisi salah satu daun pintu kediaman Bu Hasna, yang seperti selalu, tampak sepi. Beliau pasti bekerja lagi hari ini.
Pintu aku buka, kemudian kututup kembali selekasnya melangkah. Selama berjalan menuju ke kamar Lanang, aku pasti akan menyisir pandangan ke seluruh ruangan. Hanya saja masih, tak ada sesuatu apa pun yang mampu menjawab rasa ingin tahuku. Banyak sekali hal mengenai Lanang yang belum kuketahui. Ingin bertanya pada Bu Hasna pun segan. Pada Lanang? Aku tak yakin dia bersedia menjawabnya. Lagi pula, urusan pribadi tak patut dicampuri juga olehku.
Mungkin belum saatnya untukku tahu. Atau memang, aku tak seharusnya tahu. Tentang mengapa pemuda itu bisa menjadi sosok yang liar seperti dirinya saat ini. Sebab aku yakin, Lanang menjadi sosok nakal dan kurang ajar bukanlah tanpa alasan. Mengingat dia bisa sangat menyayangi sang ibu, lantas mengapa pada yang lain sikapnya berbeda?
Kenop pintu kamar Lanang aku pegang. Sebelum menggerakkannya, aku terlebih dahulu menarik napas banyak-banyak sebagai salah satu persiapan. Anggap saja ini merupakan medan perang yang akan aku masuki.
Pintu aku buka pelan, dan langsung mendapati sosok Lanang yang sudah duduk di kursi dengan senyuman aneh di wajahnya. Aku mengernyit. Tak hanya karena senyuman aneh itu, pun juga aroma aneh yang tercium di dalam kamar ini.
Pintu aku tutup, setelah itu aku berjalan mendekati meja. Kamar Lanang ini memang cukup luas meski sedikit berantakan. Aku maklum, karena pemiliknya saja seorang anak laki-laki seperti dia. Aku tak bisa membayangkan harus berapa kali bu Hasna bekerja keras saat berusaha membereskan kamar ini. Malahan bisa jadi, justru Lanang sendiri yang merapikan kamar tidurnya ini.
"Selamat siang, Lanang." Sapaanku sekadar dibalas oleh anggukan Lanang. "Kenapa kamu kelihatan senang sekali?" tanyaku sesudah meletakkan tas di meja lalu memutuskan berjalan mendekati kursinya.
Mata Lanang mengerling ke kiri. "Lihat ke papan dong, Pak."
Papan?
Aku pun mengikuti arahannya dan seketika dibuat terkesiap sewaktu menangkap sebuah gambaran wajah yang berisi ujaran penghinaan di papan itu. Yang kutahu, sosok berkacamata yang digambarkan dengan gaya karikatur itu merupakan aku. Di sisi kepalanya, ada gelembung dialog yang diisi tulisan, 'Guru cupu lembek tukang nyusahin. Hukum gantung saja!' Dan saat melihatnya, bukannya dibuat marah atau kesal, aku justru takjub karena isinya yang konyol. Aku tahu ini tidak sopan. Tetap saja, terkesan lucu sekaligus menarik bagiku.
Pemuda ini benar-benar tak bisa diduga tindak tanduknya.
"Ini gambar buatan kamu?" tanyaku menatap Lanang seraya menunjuk papan tulis.
"Udah jelas 'kan, Pak," balasnya terdengar bangga.
Aku melipat kedua tangan di depan dada sembari memperhatikannya dengan mata agak menyipit. "Kamu punya bakat seni juga rupanya."
Lanang menepuk dadanya dengan gaya berlebihan. "Gue ini murid berbakat, Pak."
Aku menggeleng masygul. "Sayang, bakat kamu digunakan untuk hal yang tidak baik," komentarku lalu membetulkan letak kacamata. "Hapus cepat!"
Lanang menggeleng tegas, menolak titah dariku. "Nggak mau. Itu tuh karya seni gue. Sayang, tauk! Kalau lo mau hapus, hapus aja sendiri."
Aku mengembuskan napas pasrah. Mengapa sulit sekali untuk membuatnya patuh sekali saja? Harus aku dan aku lagi yang mengalah.
Mau tidak mau aku berjalan mendekati papan dan mengambil penghapus yang berada di salah satu ujungnya. Namun, mengapa ketika aku menyentuhnya terasa ada sensasi lengket dan hangat? Ketika diangkat, aku baru menyadari bahwa ternyata penghapus itu jadi menempel dengan kulit tangan kiriku ini. Kedua mataku seketika membulat. Bau ini. Jangan bilang ....
"Lanang, kamu menaruh lem di penghapus ini?"
Dia terlihat menahan tawa. "Iya, Pak."
"Untuk apa kamu melakukannya?" erangku menahan kesal seraya berusaha menarik lepas penghapus dari tanganku. Akan tetapi, sepertinya Lanang memakai lem super. Ini jadi sulit untuk dilepas.
Lanang menopangkan dagu. "Buat ngerjain elo, lah, Pak. Mau apa lagi emangnya?" responsnya santai sambil menontoniku yang saat ini pasti terlihat sangat menggelikan. Bukannya sibuk mengajar, aku malah tengah coba menarik lepas penghapus yang menempeli tangan.
Aku mendengkus. Masih dengan penghapus yang menempel di tangan, akhirnya aku menghapus gambar buatan Lanang di papan. "Jangan lakukan ini lagi. Kamu mengerti?" aku melotot geram ke arahnya.
"Gak janji."
Astaga pemuda keras kepala satu ini.
Aku berdecak dan meraih boardmarker. Berniat segera memulai materi yang kemarin aku tugaskan untuk Lanang, saat sensasi yang kurasakan ketika menyentuh alat tulis yang satu ini tak jauh berbeda seperti sewaktu memegang penghapus. Dan benar saja, boardmarker ini juga sekarang menempel di tangan kananku.
"Bahkan boardmarker juga kamu beri lem?" tanyaku tak percaya.
Lanang tertawa terbahak-bahak. "Yes! Dua kosong!" Soraknya kelewat gembira. Lalu dengan kurang ajar, dia mengeluarkan ponsel dan memotret aku sambil terkikik tanpa dosa.
"Lanang!" bentakku.
Lanang menatap layar ponselnya dengan sorot penuh gelora. "Dari pada lo sibuk marah-marah, mendingan elo bersihin tangan lo itu, Pak. Gih, sana," ujarnya masih fokus dengan ponsel di tangan. Entah apa yang hendak dilakukannya dengan gambar diriku yang barusan dia ambil.
Perkataannya itu ada benarnya juga. Meski aku harus membuat perhitungan dengannya. Namun mungkin itu bisa dilakukan nanti. Sebaiknya, aku memang harus membersihkan tanganku dulu. Sebab, aku tak mau terlihat konyol dan bodoh lebih lama lagi di depan pemuda nakal ini.
"Saya akan segera kembali. Jangan berbuat hal yang macam-macam lagi. Kamu mengerti?"
Lanang mengibaskan tangan tak acuh, berlagak mengusirku.
Bocah ini benar-benar tak tertolong nakalnya.
...
Aku masuk kembali ke kamar Lanang dengan kondisi tangan yang terasa tidak nyaman. Sebab bekas lem yang mengenai kulitku belum sepenuhnya hilang. Meski ini lebih baik karena setidaknya aku bisa lebih leluasa menggerakkan tangan tanpa harus diganggu oleh penghapus dan boardmarker yang menempeli.
Aku memandang Lanang yang tampak masih duduk tenang di kursinya. "Baiklah, Lanang. Sebaiknya, kita segera mulai saja sesi pelajaran hari ini," ujarku seraya mendekati meja. Tadinya ingin mengambil boardmarker milikku yang ada di dalam tas saat lagi-lagi aku dibuat terkejut. Ritsleting tasku tak bisa dibuka karena mendadak beberapa helai benang sudah saja tampak dijahitkan di sana. Sejak kapan ini?
Aku mendelik pada satu-satunya sosok yang bertanggung jawab untuk ini. "Tas saya kenapa kamu jahit segala, Lanang?"
"Pengin aja sih, Pak."
Jawaban santai yang disuarakannya membuat kepalaku nyaris meledak saking sudah benar-benar lelah memikirkan segala tingkah lakunya.
"Kamu tahu, tidak? Yang kamu lakukan ini sudah kelewatan! Tidak bisakah kamu bersikap selayaknya murid seusia kamu? Beretika, disiplin dan patuh?"
Lanang bergeming tak acuh menanggapi kata-kataku.
Aku mengerang frustrasi. Tak ada gunanya mengeluhkan atau memprotes sifat kurang ajarnya. "Di mana kamu menyimpan gunting?"
"Ada di depan."
Aku melihat 'depan' yang dimaksud olehnya. Di mejaku, di mejanya, di atas laci meja belajarnya, tidak ada di mana-mana. "Di mana?"
"Di depan pintu rumah. Di dekat sepatu elo."
Ada perasaan tak enak yang melandaku sewaktu mendengar jawaban darinya itu. Jadi, tanpa bertanya lagi, aku segera berjalan menuju ke depan. Begitu pintu aku buka lalu melihat ke posisi di mana sepatuku diletakkan, aku dapati tali sepatuku sudah terpotong menjadi beberapa bagian. Gunting yang kucari berada di dekat sepatuku yang berakhir mengenaskan ini.
Aku membungkuk mengambil gunting, sesudah itu menghela napas panjang sebelum berbalik masuk lagi.
"Kamu bahkan menggunting tali sepatu saya," ujarku begitu kembali ke kamar Lanang.
Yang kuajak bicara hanya menunjukkan cengiran lebar.
Aku sekadar menggeleng-geleng saja, tak mau banyak berkomentar kali ini. Lantas mendekati tas untuk menggunting jahitan yang Lanang buat. Yang membuatku heran, dia ini memiliki cukup banyak keahlian, akan tetapi mengapa malah digunakan untuk mengerjai gurunya? Lihat, hasil jahitannya saja lumayan menurutku.
Aku menarik seluruh benang yang sudah selesai kupotong dan langsung aku buang ke lantai. Mengerling malas ke arah Lanang lebih dulu sebelum membuka ritsleting tas yang untungnya tidak rusak atau apa. Namun, aku kaget sewaktu melihat ke dalam tas, isinya justru kosong melompong. Ponselku, buku-buku, pena dan yang lainnya.
"Kamu buang ke mana semua barang-barang di dalam tas saya, Lanang?" pertanyaan yang kuajukan tak ada habis-habisnya. Tidakkah dia lelah melakukan segala kejahilan ini padaku, gurunya?
Lanang menjulurkan lidah. "Kepo lo, Pak."
Aku menatap pemuda ini dengan sorot lesu. "Lanang, bisa tolong berhenti membuang-buang waktu? Banyak waktu kita yang sudah terbuang karena kenakalan kamu," cecarku masih berusaha mengumpulkan kesabaran. Kalau dia melakukan hal semacam ini di dalam kelas, atau kepada guru lain, entah akan bagaimana reaksi mereka. Bisa jadi, dia malah dipukul atau dihukum di depan umum.
Lanang terkekeh. Senyum licik andalannya tampak semakin mengembang saja. "Gue 'kan cuma mau main-main sama lo, Pak. Habisnya gue bosen. Masa lo datang cuma buat ngajarin gue doang. Sesekali bolehlah gue ngerjain elo."
Aku menggebrak meja. "Hentikan semua ini. Di mana barang-barang saya?" Nada bicaraku akhirnya meninggi. Seberapa banyak pun porsi kesabaran aku kumpulkan, rasanya akan sia-sia jika murid yang kuhadapi saja jenis yang sangat keras kepala seperti dia.
Dia berdeham. "Kalau lo mau gue kasih tau, ayo, kita main dulu."
Aku menaikkan posisi kacamata. "Saya tidak ada waktu untuk main-main dengan kamu."
Kepalanya manggut-manggut. "Ya udah. Kalau gitu say goodbye aja sama semua barang-barang lo. HP lo keliatannya mahal loh, Pak. Gak sayang?"
Kenapa pemuda ini tidak menyerah saja coba? Apakah harus aku yang mengalah padanya? Lagi? Huh. Memangnya aku memiliki pilihan lain?
Desahan pasrah kuberikan. "Baiklah. Kamu mau main apa?"
Lanang menegakkan posisi duduknya. "Simpel aja, sih. Gue mau kita main tebak-tebakan. Tiga kali giliran lo, tiga kali giliran gue. Kita gantian. Kalau tebakan gue soal elo salah atau tebakan elo tentang gue benar, artinya satu barang akan gue kasih tau letaknya. Kalau gue benar atau tebakan elo yang salah, anggap aja itu gak dihitung. Gimana menurut lo? Ini menarik, 'kan?"
Aku coba mencernanya lebih dulu sebelum mengajukan pertanyaan tentang permainannya, "Lalu kalau nanti total tebakannya melebihi perkiraan?"
"Ya, kita tinggal lanjut terus."
Aku paham. "Baiklah. Saya akan ikuti apa mau kamu kali ini. Selanjutnya bagaimana?" tanyaku sembari berusaha merilekskan tubuh, bersiap memulai permainan yang Lanang usulkan ini. Sederhana, tapi aku yakin tak semudah kedengarannya.
Lanang bertepuk tangan satu kali. "Lo dapat giliran pertama. Silakan tebak sesuatu tentang gue."
Aku tak perlu berpikir lama. "Kamu adalah seorang perokok."
Lanang mengernyit, lalu tersenyum. "Jadi, barang apa yang mau lo tau duluan letaknya?"
Dugaanku memang benar sejak di hari pertama pertemuan kami. Bahwa Lanang adalah seorang perokok.
"Ponsel saya."
Lanang menggeser posisi duduknya. "Di bawah pantat gue. Nih."
Kedua mataku melotot. "Astaga, Lanang!" Lantas buru-buru mendekati kursi Lanang untuk mengambil ponselku yang ternyata sedari tadi dia duduki. "Kalau ini rusak bagaimana?" Secara gemas aku menepuk bahunya.
Lanang cuma meringis sedikit. "Lo pikir gue gajah apa?" komentarnya lalu mendengkus. "Giliran gue. Elo ini pasti anak satu-satunya."
Tebakannya pun langsung tepat mengenai diriku.
Aku menaruh ponsel ke meja, kemudian kembali berhadapan dengan Lanang. "Itu benar. Saya tak memiliki saudara. Dan kamu juga, 'kan?"
Lanang menggeleng. "Lo salah. Gue punya adik."
Aku baru tahu bahwa Lanang memiliki seorang adik. Di mana adiknya itu sekarang? Mengapa aku tak pernah melihatnya?
"Giliran gue lagi. Elo pasti masih jomblo 'kan sampe sekarang?"
Tebakannya kali ini pun meleset.
Aku melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu salah. Saya sudah memiliki kekasih."
Jawabanku membuat Lanang tampak shock. "Jadi, Pak Dewa ternyata udah punya pacar, ya? Gak nyangka gue, orang kayak elo bisa laku, Pak."
Kedua tanganku nyaris jatuh melemas seketika di sisi badan. Komentar yang disuarakannya memunculkan sensasi panas di seluruh wajah. Dia selalu tahu cara membuatku kehilangan muka. "Diam kamu. Di mana buku-buku saya?"
Lanang menoleh ke belakang. "Ada di bawah bantal, tuh."
Aku segera berjalan mendekati ranjang Lanang. Membalik posisi tiga bantal yang ada di atas tempat tidurnya. Dan ya, buku-bukuku memang ada di sini. "Sepertinya kamu sudah benar-benar merencanakan semua ini sejak awal, ya." Aku membawa buku-bukuku yang berharga menuju ke meja.
Lanang terkekeh. "Harus dong, Pak. Sebelum berperang, selalu pikirkan rencana cadangan supaya kita bisa tetap dapat keuntungan."
Aku nyaris memutar bola mata mendengar penuturannya.
"Tinggal satu barang lagi, Pak. Ayo, mana tebakan terakhir lo buat gue?" ujar Lanang berlagak tak sabar.
Aku meletakkan buku-buku ke meja, dan mulai memikirkan sesuatu tentang Lanang. Warna kesukaannya, makanan yang digemarinya, hobinya, olahraha favoritnya, dan lain sebagainya. Mataku sampai menyusuri setiap sudut kamar Lanang yang sanggup kulihat, dan tak dapat menemukan petunjuk apa pun. Kamar Lanang ini luas dan berantakan, tapi sepi. Tak ada poster yang dipasang di dinding. Bingkai foto atau sekadar gambar tempel pun tak terlihat. Hanya ada televisi, DVD player, PlayStation, kipas angin kecil, dan peralatan lainnya yang tak dapat membantuku menemukan jawaban. Warna sprei dan sarung bantalnya saja abu-abu polos. Dan aku yakin, abu-abu bukanlah warna kesukaannya.
Aku meneguk saliva, sesudah itu membalikkan badan. Menatap Lanang yang memandangku dengan sorot mata penuh rasa ingin tahu. "Kamu tak menyukai sayuran." Aku menemukan jawaban ini karena saat kami makan mie kemarin bu Hasna hanya memberikan sawi ke porsi mie milikku, sedangkan Lanang tidak. Tebakanku cukup beralasan, bukan?
Lanang tampak mengernyit mendengar kata-kata dariku.
Apa itu artinya jawabanku benar?
Lanang tiba-tiba terkekeh. "Cuma karena kemarin gue makan mie gak pake sawi, bukan berarti gue nggak suka sayuran loh, Pak."
Aku tersentak. Bagaimana dia bisa dengan mudah menebak jalan pikiranku?
Lanang berdiri. "Giliran gue lagi, ya?" katanya seraya mulai berjalan mendekati aku yang masih berdiri mematung karena jawaban mengejutkannya mengenai tebakanku. "Oke, ini tebakan terakhir gue. Berharap aja tebakan gue ini salah," desisnya lalu melanjutkan, "Ciuman yang lo dapat kemarin dari gue itu ... adalah ciuman pertama elo 'kan, Pak?"
Aku tercenung mendengar tebakan terakhir yang ditujukannya buatku. Jantungku mendadak saja berdetak tak tenang sebab gugup.
Seharusnya aku tahu. Pemuda nakal dan pantang menyerah ini hanya ingin menguji dan bermain-main denganku. Dia melakukan semua ini sekadar untuk menggiring aku menuju pertanyaan itu. Pertanyaan berupa tebakan yang pasti sudah dipersiapkan olehnya sejak awal. Membuat aku lagi-lagi tak berdaya melawannya.
Sekarang, bagaimana aku harus menanggapi tebakan darinya itu?
---Bersambung---
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top