3. Pemuda Kesayangan Ibu

"Dewa?"

"Iya, Pak?"

Aku bermimpi. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku yang masih bocah tampak tengah berada di kelas yang hanya berisikan aku serta Pak Abdul, guruku.

Pak Abdul selesai menuliskan rumus perhitungan jajar genjang, setelah itu langkahnya bergerak menghampiriku. "Apa kamu sudah punya cita-cita?"

Pertanyaan itu mengalihkan perhatianku dari papan tulis kepada Pak Abdul. Memberikannya anggukan lantas menjawab, "Sudah, Pak!" Dengan nada penuh semangat.

"Apa cita-cita kamu, Dewa?"

Dengan lebih bersemangat aku menyahut, "Saya ingin menjadi guru seperti Pak Abdul!"

Kudapati senyum di bibir Pak Abdul. Tangannya terangkat untuk menepuk-nepuk pundakku. Namun, anehnya tempo tepukan itu semakin lama terasa semakin kencang, seolah-olah aku sedang dipukuli. Agak nyeri.

Apakah mungkin di dalam mimpi membuat kita mampu merasakan sakit?

"Hei, Pak! Bangun! Mau sampe kapan elo tiduran?"

Itu suara Lanang.

Apa yang sedang dilakukannya dalam mimpiku? Tunggu dulu. Rupanya mimpiku sudah berakhir.

"Lanang, jangan begitu. Kamu apain Pak Dewa, sih, sampe dia bisa pingsan begini?"

Itu suara seorang wanita. Terdengar tak asing meskipun aku belum sering mendengarnya. Dia pasti Ibu Hasna, ibu Lanang. Setahuku beliau seharusnya sibuk bekerja. Mengapa sekarang dia ada di sini? Sebentar, memangnya sekarang aku ada di mana?

Lanang terdengar mendecakkan lidah. "Harus berapa kali Lanang bilang sih, Bu, Lanang nggak ngelakuin apa-apa. Tiba-tiba aja mukanya pucat, terus dia pingsan. Guru kok ngerepotin." Gumaman samarnya di akhir sedikit membuatku merasa tak enak.

"Ibu tau kamu pasti ngelakuin sesuatu yang nggak-nggak lagi. Mau sampai kapan sih kamu begini, Nak?"

Lalu perasaan tak enak itu membuatku mengingat kejadian yang kualami sebelum kehilangan kesadaran. Saat aku dan Lanang berciuman. Tidak. Lebih tepatnya, sewaktu Lanang menciumku. Sukses menciptakan sensasi aneh yang menyerang perutku yang terasa kosong, mendatangkan mual dan membuat aku sontak batuk-batuk.

"Ya Allah, Pak Dewa!"

Ketika membuka mata, aku dapati suasana di sekitarku tampak agak buram. Di mana kacamataku?

Seorang wanita--yang kuyakini Bu Hasna membantu aku bangun dari posisi berbaring.

"Pak Dewa, Anda tidak apa-apa? Tolong maafkan Lanang, ya, Pak. Apa yang sudah Lanang lakukan? Apa dia begitu keterlaluan sampai bikin Bapak pingsan begini?"

"Ibu! Lanang gak ngapa-ngapain!"

Aku menoleh ke samping, dan pandanganku menangkap siluet kabur sosok pemuda yang tengah duduk di sebuah kursi. Itu pasti Lanang. Aku sungguh belum siap untuk menghadapinya lagi sebab malu.

"Lanang, kamu ke dapur. Bawain nampan yang ada kue sama teh hangat yang sudah Ibu siapin."

"Bu, ngerepot--"

"Sekarang, Lanang!"

Derap laun langkah kemudian terdengar, disusul suara pintu yang terbuka lantas ditutup kembali.

Aku berdeham. "Maaf, Bu. Saya butuh kacamata saya."

Bu Hasna langsung sigap menyerahkan kacamataku yang segera saja aku pakai. Sekarang pandanganku jadi kembali jelas.

"Ada lagi Pak Dewa butuhkan?"

Aku menangkap raut lelah, cemas, sekaligus segan di wajah Bu Hasna. Aku perkirakan usianya hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dariku. Namun selalu, dia kelihatan ramah. Kami bertemu beberapa kali saat dia dulu sering mendatangi SMA tempatku mengajar, memintai seorang guru agar mau menjadi guru bimbel Lanang, putranya. Sampai akhirnya sekarang tiba giliranku.

Tersenyum, aku menurunkan kedua kaki dari atas ranjang, yang kala diperhatikan membuat tersadar bahwa sedari tadi aku berbaring di atas ranjang milik Lanang. Ini masih di kamarnya.

"Bagaimana kabar Anda, Bu Hasna? Sehat?"

Bu Hasna mengembuskan napas. "Aduh, Pak. Ketimbang menanyakan kabar saya, ada baiknya Bapak memikirkan kondisi tubuh Anda sendiri. Mana yang sakit? Tadi Anda diapakan oleh Lanang? Bilang aja, Pak. Gak perlu sungkan."

Penuturan panjang itu kembali membuatku teringat pada ciuman Lanang. Lagi, mendatangkan sensasi mual di perutku yang terasa perih. Sedikit, aku jadi meringis dibuatnya.

"Bapak kesakitan? Di mana? Di perut?" Bu Hasna memperhatikan tanganku yang memegangi perut. "Apa tadi Lanang menendang perut Bapak?" tebaknya terdengar kaget sendiri.

Menurutku sekurang ajar apa pun sifat Lanang, dia tak akan bertindak sampai sekasar itu. Tebakan Bu Hasna terlalu jauh. Mungkin karena anaknya sudah sering membuat kekacauan.

Aku meringis sambil menggeleng. "Ini, euh ... saya punya maag, Bu. Sepertinya nyeri lambung saya kumat."

Bu Hasna mengernyit sebentar, lantas terkesiap. "Jadi, ini bukan karena Lanang?"

Sedikit memang karenanya. Namun, aku lebih memilih untuk menutupi hal memalukan itu. Apa jadinya kalau Bu Hasna tahu apa yang sudah putranya itu lakukan padaku?

Gelengan kuberikan sekali lagi. "Ini karena maag saya, Bu. Maaf. Jadwal saya mengajar jadi kacau dan malah merepotkan begini." Lalu aku baru teringat bahwa sudah beberapa hari ini pola makanku menjadi kacau dikarenakan terlalu banyak pikiran. Untuk seseorang dengan riwayat penyakit maag, ini jelas tidak baik bagi kesehatan.

Wanita di depanku ini langsung menampakkan raut tak enak. "Duh, saya pikir ini karena Lanang, Pak. Saya sudah memarahi dia dari tadi," desisnya merasa sedih sendiri.

Dia pasti sangat menyayangi putranya.

"Maaf, Bu. Kondisi saya membuat Ibu salah paham. Tapi, sungguh, Lanang tidak berbuat apa-apa."

Tepat setelah mengucapkan hal itu, pintu terbuka. Memunculkan sosok Lanang yang membawa nampan berisi kue dan teh menggunakan sebelah tangan. Sedangkan sebelah tangannya yang lain tampak memegangi kue yang sedang dimakannya.

"Lanang lapar, Bu. Masakin mie pedes, dong. Dikasih telor dua, ya?"

Selesai meminta, Lanang meletakkan nampan yang dibawanya ke meja di sisi tempat tidur ini. Tatapannya lalu tertuju padaku.

"Akhirnya bangun juga. Kalau udah ngerasa baikan cepat pulang, ya, Pak," kata Lanang masih dengan sifat alaminya, kurang ajar. Padahal mulutnya sedang penuh.

Kontan sang ibu langsung menepuk gemas punggung putranya itu, membuatnya tersedak sedikit. "Jaga bicara kamu. Gak sopan sama guru sendiri."

Lanang cuma memanyunkan bibir. Sedikit, aku jadi merasa lucu melihatnya. Seorang anak mau senakal apa pun dia, memang akan selalu luluh bila berada di dekat ibunya. Bukankah demikian? Aku tak yakin, karena aku belum pernah merasakan kasih sayang seorang ibu. Sedikit, aku jadi merasa iri melihat hubungan Lanang serta Bu Hasna ini.

Bu Hasna tersenyum padaku, seolah-olah meminta aku untuk maklum. Setelah itu berkata, "Ibu buatin kamu mie, sekalian buat Pak Dewa juga."

Apa aku tidak salah dengar?

"Ah, tidak usah, Bu."

"Ngapain repot-repot, sih?"

Responsku dan Lanang terdengar bersahutan. Membuat kami berdua saling beradu pandang secara kebetulan. Tak lama. Karena aku benar-benar belum siap untuk menghadapinya lagi.

"Tuh, Bu. Orangnya aja bilang nggak usah. Gak usahlah. Biar aja dia pulang. Keenakan dia di sini. Bukannya kerja malah--aw, aw, aw."

Telinga Lanang dijewer oleh Bu Hasna sebelum dia sempat menyelesaikan protes. "Harus berapa kali Ibu ngajarin kamu soal sopan santun, Lanang? Jaga bicara kamu."

Lanang menjauhkan telinganya dari tangan sang ibu. "Lanang 'kan cuma ngomong."

Bu Hasna melotot. "Lama-lama Ibu lakban juga mulut kamu," gertaknya yang tak terdengar menakutkan sama sekali bagiku. "Aduh, Pak. Maafin sifat Lanang, ya. Maaf sekali. Bapak nggak keberatan 'kan, kalau dikasih makan mie rebus?" tanyanya sambil sedikit agak membungkuk.

"Bu, tidak perlu--"

"Tapi, saya memaksa loh, Pak."

Aku menghela napas pasrah. Mencuri lirik pada Lanang yang kelihatan semakin tak senang, tetapi juga seakan tak lagi punya pilihan. Ya sudah. Mau bagaimana lagi kalau begitu?

...

Aroma mie bercampur telur tercium dari arah dapur. Aku duduk di meja makan berseberangan dengan Lanang yang terlihat asik memainkan ponsel. Membuat aku teringat mengenai ajakannya untuk menonton film dewasa bersama-sama di pertemuan pertama kami. Apakah segala tindakan yang dilakukannya selalu berkaitan dengan hal-hal tak benar semacam itu? Porno, ciuman.

Seharusnya aku tak perlu berpikir ke sana.

Akhirnya, aku memilih untuk memperhatikan ruang makan di kediaman Lanang yang sederhana, tapi terasa hangat ini. Hangat karena adanya kehadiran Bu Hasna. Jika beliau tidak ada, suasana rumah ini terasa sepi. Aku hanya akan berjalan menuju ke kamar Lanang yang berada tak jauh dari ruang depan, pintunya berwarna putih, dan itu tak sulit untuk ditemukan. Di hari pertama mengajar, Bu Hasna tengah bekerja. Seperti yang sebelumnya kukatakan, setahuku beliau sibuk. Namun, sekarang beliau berada di rumah. Atau mungkin karena aku belum mengetahui saja jadwal kerjanya? Bahkan aku belum tahu menahu mengenai ke manakah perginya ayah Lanang. Pun, apakah dia memiliki anggota keluarga lain. Hal pribadi semacam itu belum waktunya untuk aku ikut campuri atau pertanyakan. Sebab yang terpenting, aku harus fokus mengajari Lanang dulu.

Aku melihat jam dinding, baru sadar bahwa ini sudah jam lima sore. Itu artinya, aku pingsan selama nyaris tiga jam tadi. Ponselku masih ada di kamar Lanang dan aku terlalu segan untuk beranjak mengambilnya. Hanya memikirkan kemungkinan Shazana yang bisa jadi menghubungiku.

Shazana.

Ah, benar juga. Aku harus bagaimana andai bertemu lagi dengannya nanti? Maksudku, ini karena ciuman Lanang tadi. Aku dan Shazana bahkan belum pernah melakukan hal-hal terkesan intim seperti itu. Sayangnya, murid bimbingan yang belum lama aku temui justru sudah lancang melakukannya. Mudah saja bagiku untuk tak menjelaskan. Namun, perasaan bersalah itu jelas timbul tanpa dapat ditahan.

Aku jadi semakin merasa tak pantas menjadi calon suami Shazana.

"Nah, ini mie pedas buat Lanang. Yang ini mie rebus pakai telur dan sawi untuk Pak Dewa."

Lamunanku mengenai Shazana buyar oleh kedatangan Bu Hasna yang membawa nampan besar berisi dua mangkuk mie, sepiring nasi, tempat minum serta gelasnya, juga sebotol saus. Oh, ada juga sambal di piring kecil di dekat gelas.

Bu Hasna meletakkan nasi dan mie yang tampak nikmat untuk dimakan ke depanku. "Ini saya tambahkan nasi sekalian. Cuma ada sedikit, sih. Tapi buat Bapak aja. Kalau mau pedas tambahkan saus atau sambal ya, Pak. Tapi, saran saya sih gak usah. Nanti sakit lambungnya kambuh lagi."

Aku seperti tengah mendapatkan perhatian dari sosok ibuku sendiri. Bu Hasna sungguh tipe ibu yang penuh kasih sayang. Aku jadi mulai menduga bahwa sifat putranya yang seperti itu akibat terlalu dimanja olehnya.

"Sakit lambung?" Lanang bertanya sembari mulai menambahkan saus ke kuah mienya.

Dia mau makan mie yang seberapa pedas lagi untuk mie pedasnya itu?

Bu Hasna meringis. Ditatapnya sang putra dengan sorot tidak enak. "Iya. Pak Dewa pingsan karena maag, katanya. Maaf Ibu udah nuduh kamu yang nggak-nggak," ucapnya seraya mengusap-usap bahu Lanang setelah itu.

Lanang menyeringai. "Tambahin uang jajan!"

Aku mengernyit mendengar permintaannya yang lain dan sangat tidak ada hubungannya dengan informasi sakitku itu.

"Ya Allah, Lanang." Bu Hasna mengerang gemas.

Lanang mulai mengaduk mienya. "Ibu secara gak langsung udah memfitnah Lanang. Itu bisa masuk kasus pencemaran nama baik. Sebagai imbalan, kasih Lanang uang jajan tambahan buat syarat tutup mulut."

Aku menatap Lanang tak percaya. Tidak tahu harus berkomentar apa mengenai penuturannya.

Bu Hasna yang memperhatikan ekspresiku menunjukkan senyuman terpaksa. Dia terlihat malu. "Gak usah diladenin, Pak. Anak saya ini memang kurang ajar."

Setidaknya, aku sudah tahu hal itu sejak sebelum bertemu. Jadi, aku tak begitu terkejut.

"Bu!" Lanang membentak, setengah merengek.

Bu Hasna membelai kepala Lanang lembut. "Makan dululah, Sayang. Soal uang, kita urus nanti, ya. Ibu mau mandi, nih. Kamu temenin Pak Dewa makan," katanya seraya mulai berjalan meninggalkan kami.

Lanang tiba-tiba berdiri dari kursinya. "Lanang mau makan di ruang depan sambil non--"

Bu Hasna berbalik sebentar lantas berucap, "Ya udah. Uang jajan gak bakalan Ibu tambah."

Membuat Lanang urung beranjak dan duduk tegak kembali di kursi. "Iya, Bu. Lanang bersedia menemani Pak Dewa dengan terpaksa."

Nyaris saja aku tertawa mendengar kata terpaksa yang ditekankan olehnya. Lucu sekali melihat interaksi antara kedua ibu dan anak ini. Ah, aku jadi semakin iri.

"Itu baru anak kesayangan Ibu."

Lanang hanya meniup-niup kuah mie saat dilontarkan pujian itu.

Bu Hasna menatapku. "Saya tinggal dulu ya, Pak. Silakan dinikmati."

Aku mengangguk pada Bu Hasna sembari mulai mengaduk mie di mangkuk. Beliau lanjut melangkah dan lenyap di balik gorden pintu dapur.

Selesai mengaduk mie, aku beralih memperhatikan Lanang yang sudah saja tampak lahap memakan mie pedas buatan ibunya itu. Membuat aku meringis tertahan. Dia yang makan, tetapi aku yang merasa perih sendiri di perut. Membayangkan aku yang memakan menu mie itu, bisa dipastikan aku akan berakhir terbaring di ranjang rumah sakit. Bu Hasna benar. Makanan pedas memang tak cocok untuk penderita maag sepertiku.

"Ngapain elo liat-liat? Cepetan makan itu mie. Jangan bikin masakan buatan ibu gue mubazir," teguran Lanang membuyarkan segala isi di kepalaku. "Dasar Ibu. Udah capek, masih aja mau bikinin makanan buat orang."

Aku urung memasukkan mie ke mulut mendengar keluhan Lanang yang seolah-olah sengaja dia perdengarkan dengan lantang. Lebih memilih mengabaikan dan mulai memakan mie serta nasi pemberian bu Hasna. Aku sudah sangat merepotkan beliau. Jadi, aku berusaha menghabiskan seluruh isi piring serta mangkuk yang disiapkannya. Alasan lainnya, masakan mie bu Hasna terasa lezat. Entahlah. Mungkin karena sudah lama aku tidak menjajal mie rebus lagi karena sering dilarang oleh Shazana. Kekasihku itu sangat memperhatikan pola makanku. Sepertinya, banyak hal yang terjadi hari ini tidak akan aku ceritakan padanya.

"Errgh!"

Aku hampir tersedak minuman sewaktu mendengar suara sendawa Lanang yang cukup keras. Kontan saja mendelik geli menatapnya. Sedangkan pemuda itu cuma mengerlingku tak acuh sambil lanjut menghabiskan kuah mie, yang kulihat membuat bibirnya sedikit gemetaran. Oh, ternyata dia kepedasan.

Mengenakan kembali kacamataku yang agak berembun setelah dibersihkan, aku lantas kebingungan apalagi yang harus dilakukan sekarang mengingat aku sudah lebih dulu selesai makan. Apakah aku harus segera berpamitan? Namun, bu Hasna masih belum kembali kemari. Ditambah Lanang tadi diberi amanah untuk menemaniku. Jika aku pergi, itu sama artinya dengan aku membuat amanah yang bu Hasna berikan tak bekerja. Mungkin aku harus menunggu Lanang selesai dulu. Meskipun aku agak merasa tidak nyaman, juga canggung. Ciuman tadi siang masih saja membayang. Akan selalu begitu apabila pelakunya saja masih ada di sekitar

Jadi, aku sebaiknya melakukan apa?

Akhirnya aku berdeham. "Kelihatannya bu Hasna sangat menyayangi kamu ya, Lanang," ujarku, memutuskan memecah keheningan di antara kami.

"Ya iyalah. Gue ini 'kan anaknya."

Respons yang singkat dan masuk akal, tapi aku belum ingin kalah kali ini. "Maksud saya, ajaib sekali dia bisa sangat menyayangi seorang anak seperti kamu."

Lanang langsung memandangku. Sorot tajamnya tampak sengit

"Jika kamu paham maksud saya," lanjutku, mencoba bersikap biasa saja dan sedikit sinis. Sesekali, aku harus mampu bersikap tegas.

Lanang menegakkan badan. Dia meletakkan sendok ke dalam mangkuk kemudian menatapku cukup lama. "Elo masih marah soal ciuman tadi?"

Aku sedikit terperanjat gara-gara pertanyaan tak terduga itu. Mengapa dia justru membahasnya ke arah sana?

Lanang tersenyum timpang. "Lagian elo tuh cupu banget, ya? Cuma gara-gara ciuman aja bisa sampe pingsan. Ketauan banget nggak pernah ciuman seumur-umur. Pfft!"

Aku meneguk saliva. Sebelah tanganku terkepal menahan kesal. "Jaga bicara kamu. Dan jangan menganggap sepele hal seperti itu."

Lanang membuang napas dengan lagak malas. "Ciuman itu 'kan emang hal sepele, Pak. Zaman sekarang orang udah bebas mau ciuman sama siapa aja. Iya, nggak? Elo aja yang terlalu udik."

Wajahku kali ini terasa panas. Kuah mie yang beberapa saat lalu tertelan seakan-akan naik lagi hingga ke kepala. "Bagi saya hal itu tidak sepele."

Pemuda ini terkekeh. Tampak sekali dia sedang mengejekku. "Keliatan jelas, kok. Buktinya lo baru gue cium aja udah pingsan."

Aku menghela napas, berusaha sabar. "Saya sudah bilang, 'kan, saya pingsan karena nyeri lambung saya kumat. Jadi, itu jelas bukan karena ciuman kamu," terangku mengingatkannya

"Alasan. Bullshit."

Caranya mengucapkan kata bullshit itu sungguh mengesalkan sekali.

"Lagi pula ciuman itu tidak ada apa-apanya. Mana mungkin saya bisa dibuat pingsan cuma karena hal seperti itu."

Lanang agak memajukan badannya begitu mendengar penuturanku barusan. "Lo yakin, nih? Gimana kalau kita coba ciuman lagi? Kita liat, apakah elo bakalan kuat nahan ciuman dari gue, hm?" tantangnya, membuatku nyaris mengumpat.

Pemuda ini selalu tahu cara untuk menguji dan mengalahkanku. Lagi, aku akhirnya hanya akan dibuat kesulitan oleh pilihan yang ditawarkannya.

Alih-alih meladeni, aku lebih memilih berdiri. "Saya sibuk. Saya tidak ada waktu untuk meladeni kamu," kataku berdalih sembari membereskan peralatan makan di depanku. Setelah itu buru-buru melangkah menuju ke pintu dapur karena aku lihat Lanang pun mulai berdiri dan berjalan mendekat.

"Segitu takutnya elo gue cium, Pak? Atau elo nervous?"

Aku berhenti melangkah. Memejamkan sebentar mataku kuat-kuat sebab geram. Kalau begini terus, masalah ini tak akan pernah bisa aku lupakan. Pemuda ini tak akan membiarkan aku tenang. Jadi aku berbalik, berhadapan dengan Lanang yang menatapku dengan sorot meremehkan yang bak tanpa dosa itu.

"Baiklah, Lanang. Bagaimana kalau begini saja. Kita ... sebaiknya lupakan perihal ciuman itu."

Dia mengernyit. "Ngelupain gimana? Emangnya hal kayak gitu patut buat dipikirin?" tanyanya terdengar heran.

Gantian aku yang mengernyit. "Apa kamu tidak memikirkannya sama sekali?"

"Of course not." Sekali lagi, bahasa asing yang diucapkannya terdengar menyebalkan. "Buat apa hal kayak begitu dipikirin?"

Aku memandanginya sedikit takjub, lantas tersengih. "Sepertinya kamu sudah terlalu sering saja melakukannya." Kesabaranku semakin berkurang gara-gara harus terus bicara dengannya.

Lanang menggeleng santai. "Nggak kok, Pak. Itu tadi yang pertama buat gue."

Mataku seketika melotot. "Apa? Jadi itu ciuman pertama kamu?"

"Bukanlah!"

Aku jadi semakin dibuat kebingungan olehnya. Pengakuan dan penjelasannya tidak sesuai. "Tapi kamu bilang itu pertama kalinya .... "

Kepalanya mengangguk. "Iya. Ini pertama kalinya gue nyium bibir orang, tapi, bukan berarti ini ciuman pertama gue."

Aku menyerah sudah. "Saya tidak mengerti."

Lanang mengembuskan napas panjang. Berlagak telah lelah menghadapiku, padahal seharusnya aku yang bereaksi demikian. "Ciuman pertama bagi gue adalah saat orang yang gue cium itu sosok yang gue sayang dan cintai. Bukannya sosok guru nyebelin dan cupu kayak lo," jelasnya dengan penekanan sengit di kalimat terakhir.

Ah, aku baru mengerti. Siapa sangka dia memiliki pemikiran semacam itu?

"Artinya, ciuman itu tidak ada artinya sama sekali bagi kamu?"

Dia malah menampakkan raut jijik. "Nggaklah. Gue 'kan nyium lo cuma supaya elo mau berhenti ngajar, tapi elo malah keliatan nggak kapok meski udah gue cium. Sialan."

Entahlah apakah aku harus bersyukur, sedih, atau justru menertawainya. "Baiklah." Jadi aku hanya bisa memberikan balasan sewajarnya.

Namun, rupanya Lanang masih belum puas.

"Tapi, kalau lo mau nganggap itu ciuman pertama elo, gue gak keberatan kok, Pak. Gue maklum. Kayaknya ciuman gue gak buruk-buruk amat. Gimana menurut lo?"

Wajahku pasti sudah memerah karena ejekannya itu. "Diam kamu!" bentakku kemudian berlalu pergi.

Tadi itu memang ciuman pertamaku. Selama 36 tahun aku hidup sebagai seorang laki-laki, ciuman yang kudapatkan dari Lanang ke bibirku itu adalah pengalaman pertama. Akan tetapi, aku tak sudi mengakuinya. Sekalipun aku belum bisa berhenti memikirkannya, sampai kapan pun aku tak ingin orang lain mengetahui fakta ini. Terutama pemuda kurang ajar itu. Mungkin karena kami berdua lahir dan tumbuh dalam era serta lingkungan yang berbeda, makanya cara kami berpikir dan menanggapi sebuah permasalahan juga tak sama.

Andai aku bisa menganggap sepele segala hal semudah Lanang melakukannya.

Mendadak, sebuah ide muncul di kepalaku.

"Oh, ya, Lanang. Karena hari ini jadwal saya mengajar tidak terlaksana, pertemuan akan kita lanjutkan besok, ya. Hari ini saya hanya akan memberikan kamu materi untuk dihapal. Ayo, ikut saya ke kamar."

"Kenapa sih elo nggak berhenti aja ngajarin gue? Dasar guru cupu sialan!"

Terang saja dia kesal, tapi aku tetap mengabaikan. Biarlah aku memberikan titah ini sebagai hukuman atas tindakan tak senonohnya padaku. Lagi pula, aku jadi semakin khawatir padanya. Jika aku saja bisa dia kerjai sampai sejauh ini, bagaimana nasib guru lain yang sekiranya nanti menggantikanku saat diperlakukan olehnya?

Pemuda ini harus segera aku ubah pola pikir serta cara bertindaknya. Jika materi pelajaran bisa dia kuasai. Setidaknya, dia juga harus mulai mempelajari sopan santun agar menjadikannya semakin mendekati sosok murid seperti sepatutnya.

Di ruang depan, aku melihat Bu Hasna yang sepertinya baru selesai merapikan diri. Anehnya, dia justru kelihatan semakin lelah.

"Pak Dewa, Lanang, udah makannya?" tanya beliau seraya membetulkan tatanan rambut.

Aku tersenyum sembari memberi anggukan. "Sudah, Bu. Terima kasih banyak. Masakan Ibu tadi enak sekali," pujiku bersungguh-sungguh.

"Alah, basa-basi. Palingan ngarep lain kali dikasih makan lagi."

Aku dan Bu Hasna mendelik pada Lanang secara bersamaan. Sedangkan yang ditatap hanya menunjukkan ekspresi tak acuh.

"Lagian Ibu lama banget sih mandinya. Lanang bete tau nggak mesti nemenin guru tukang ngerepotin gini," protesnya terlalu jujur.

"Lanang!" bentak Bu Hasna. Sorot matanya memandangku kian sungkan. "Kamu tuh, ya. Ya Allah. Capek Ibu marahin kamu."

Lanang tersenyum. Senyum baik pertama yang aku lihat darinya. "Ya udah. Jangan marahin Lanang terus. Entar Ibu tambah keriput. Mendingan Ibu kasih Lanang uang jajan. Mana?" katanya seraya mengulurkan tangan.

Pemuda ini sungguh tak terduga. Perihal uang jajan itu saja masih diingatnya.

Bu Hasna menghela napas panjang. "Nanti. Ibu capek. Tadi Ibu habis nyetrika." Pantas saja beliau lama dan malah terlihat semakin kelelahan. "Piring bekas makan masih di meja, 'kan? Mau Ibu cuci dulu. Eh, aduh. Pak Dewa, gimana? Mau langsung pulang?"

Aku menggeleng cepat. "Ah. Saya niatnya mau memberi Lanang materi tambahan, Bu. Besok saya akan datang lagi untuk menggantikan jadwal yang batal hari ini."

Bu Hasna tampak senang. "Wah, bagus itu, Pak. Sering-sering saja," responsnya dengan senyuman lebar.

Niatku sepertinya sangat beliau restui. Berbeda dengan anaknya.

"Mendingan Lanang bantuin Ibu cuci piring aja."

Benar 'kan dugaanku.

"Lanang, fokus sama tugas. Gak usah mikirin Ibu." Bu Hasna menepuk pundak Lanang, tampak menyemangati.

Bocah ini menatap sang ibu dengan sorot berbeda dari yang pernah aku lihat sebelumnya. "Tapi 'kan Ibu capek. Masa Lanang tega ngebiarin Ibu ngerjain semuanya sendiri. Habis bantu Ibu, Lanang bakalan ngerjain tugas yang Pak Dewa kasih, kok."

Jelas saja aku agak tercengang mendengar perkataan Lanang. Sungguhkah dia anak yang sebaik itu?

Bu Hasna tersenyum kian berseri. "Ya Allah, Nak. Makin sayang Ibu sama kamu," ucapnya seraya mengusap lembut pipi sang putra. "Kalau begitu, Lanangnya saya pinjam dulu ya, Pak Dewa."

Aku terdiam. Tak sempat merespons saking masih merasa takjub.

"Ibu pikir Lanang ini duit apa. Dipinjem-pinjem."

"Banyak ngeluh kamu."

Tentu saja Bu Hasna menyayangi Lanang, putranya. Dari yang kulihat, walaupun pemuda itu sangat kurang ajar, tetapi dia begitu menghormati serta menghargai jerih payah sang ibu. Aku jadi mulai berpikir. Anak mana yang mau-maunya diajari oleh guru bimbingan belajar yang bergonta-ganti selalu? Aku yakin, Lanang pasti sekadar ingin memenuhi kemauan sang ibu. Hanya saja, aku belum banyak tahu tentangnya. Atau mungkin, sebenarnya, pemuda kesayangan ibunya itu memang tidaklah seburuk yang aku kira.

---Bersambung---

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top