Day 14 - Istana Boneka

"Ini ... kastil Hogwarts ya, Kak?" tanya Darwin takjub saat melihat bangunan kastil berwarna cokelat di depannya.

Aku baru akan menjawab saat Xandria melengos malas dan menyahuti seruan Darwin barusan. "Kastil Hogwarts mah warnanya hitam kali, Wiiin."

"Selamat datang di Istana Boneka!" ujar Kak Nara dari bagian depan rombongan. Aku ikut tersenyum mendengar nada ceria dari suaranya.

Anak-anak tampak sangat antusias melihat berbagai macam lukisan dan wayang kulit yang dipajang di hall utama. Beberapa kali rombongan harus terhenti karena tanya antusias dari anak-anak. Bang Fatih dan Kak Nara sesekali bergantian menjawab pertanyaan mereka. Diam-diam aku mengulum senyum lega. Yah, setidaknya hari ini aku bisa rehat sejenak dari pertanyaan anak-anak yang seolah tiada habisnya itu.

Berbeda dengan suasana di Taman Legenda Keong Mas tadi, situasi di Istana Boneka ini cukup ramai. Membuatku ikut waspada mengabsen kepala-kepala di depanku.

Rombongan kami berhenti di pelataran belakang Istana dan beranjak ke komidi putar. Rio berseru heboh ingin naik. Diikuti Hiro dan anak-anak lainnya. Aku mengabsen mereka lewat pandangan. Medina, Xandria, Darwin, Zia, Thena, Nizwa, Rio, Hiro. Tunggu, ada yang kurang.

"Rana mana?" tanyaku panik saat tidak bisa menemukan gadis cilik dengan rambut kepang dua itu di manapun.

Bang Fatih adalah orang pertama yang merespons. Beliau bergerak cepat menyusuri jalan yang kami lalui dari belakang Istana ke depan komidi putar. Aku mengepalkan tangan lemas. Wajah Bunda sudah pucat pasi.

"Oke, semuanya tenang. Kita stay di sini aja dulu. Rana pasti ketemu, kok," kata Kak Nara mencoba menenangkan. Lalu beliau melangkah ke arahku yang sudah mulai gemetar karena khawatir.

"Via, coba kamu ke pusat informasi di sana. Buat laporan hilangnya Rana. Jelaskan ciri-cirinya pada petugas. Nanti Kakak hubungi Bang Fatih buat nyusul ke sana."

Suara Kak Nara terdengar tegas sekali. Kekhawatiran jelas terpancar di matanya, tapi ia tak membiarkan ketakutan itu mempengaruhinya. Aku mengangguk cepat. Lalu bergegas pergi ke pusat informasi.

Aku berjalan tergesa di antara kerumunan orang. Lalu dengan susah payah mengendalikan emosi, aku memberi laporan hilangnya Rana beserta ciri-cirinya. Petugas mengumumkan hal tersebut. Aku menunggu dengan debar ketakutan yang semakin terasa mencekam.

Aku mendesah lemas. Ini tempat asing. Jangankan Rana, aku pun jika tidak dibekali handphone di suasana seramai dan seasing ini pasti akan tersesat juga. Aku menunggu dengan harap-harap cemas sambil terus melirik handphone-ku atau sesekali mengedarkan pandangan. Berharap sosok Rana ataupun Bang Fatih muncul di sekitar.

Aku menelan ludah gugup. Sudah hampir tiga puluh menit aku menunggu di sini. Pesan terakhir Kak Nara yang menanyakan keberadaan Bang Fatih padaku semakin membuatku cemas. Bang Fatih juga tidak bisa dihubungi? Bagaimana ini?

Aku baru memejam mencegah air mata yang akan jatuh saat sebuah suara yang amat kukenal memanggilku.

"Via!"

Aku mengerjap. Lalu tanpa pikir panjang menyongsong sosok Bang Fatih yang sedang menggendong Rana di dekapannya.

"Kak Vi!"

Tangisku pecah.
Terima kasih ya, Allah. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top