Chapter 7

Tiga tahun berlalu dengan sangat cepat. Dalam waktu yang relatif singkat, tanah kecil yang sebelumnya hanya dikenal sebagai koloni kecil di bawah cengkeraman kekuatan besar kini telah menjadi pusat perhatian kawasan. Di bawah kepemimpinan Tom dan dukungan penuh Ela, Persemakmuran mengalami perubahan yang luar biasa.

Pada akhir tahun 1803, setiap rumah di Persemakmuran, dari pusat Kota Batu Ampar hingga desa-desa terpencil di pulau-pulau sekitar, telah memiliki akses ke listrik. Bohlam yang sebelumnya hanya dianggap mimpi oleh masyarakat lokal kini menjadi realitas yang menerangi kehidupan mereka.

Tom berhasil memimpin pengembangan pembangkit listrik sederhana yang menggunakan tenaga uap dan turbin, sebuah teknologi yang jauh melampaui apa yang dimiliki dunia saat itu. Pabrik bohlam terus bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan rakyat, sementara jaringan distribusi listrik, meski masih sederhana, cukup handal untuk melayani ribuan rumah.

"Kini malam di Persemakmuran bukan lagi milik kegelapan." Demikian ujar salah satu warga dalam surat yang dikirim ke Tom, sebuah bentuk penghargaan yang sederhana tapi sangat bermakna.

Elektrifikasi membawa perubahan besar pada perekonomian. Pabrik-pabrik baru bermunculan, memproduksi barang kebutuhan sehari-hari hingga produk-produk bernilai tinggi seperti mesin uap mini dan peralatan rumah tangga sederhana. Kota Batu Ampar menjadi pusat perdagangan, dengan pelabuhan yang terus sibuk melayani kapal dagang dari wilayah sekitar.

Mata uang Rupiah semakin stabil dan diterima oleh pedagang asing, sebuah pencapaian besar bagi Persemakmuran. Tom juga membentuk sistem perpajakan sederhana untuk memastikan pendapatan negara tetap kuat tanpa memberatkan rakyat. Pendapatan ini digunakan untuk membangun lebih banyak infrastruktur, seperti jalan raya baru yang menghubungkan semua pemukiman utama, sekolah-sekolah tambahan, dan galangan kapal yang kini mampu memproduksi kapal perang kecil dengan desain sedikit lebih modern.

Militer Persemakmuran mengalami lompatan besar dalam hal teknologi dan strategi. Dengan galangan kapal yang dikelola oleh mantan desainer Inggris, armada angkatan laut kini memiliki kapal-kapal modern yang dilengkapi meriam lebih presisi. Dua kapal perang utama berjenis Kapal Tiang, "Singa Laut" dan "Rajawali Timur" menjadi kebanggaan angkatan laut dan siap melindungi wilayah laut Persemakmuran.

Di darat, inovasi militer terus berjalan. Persemakmuran berhasil menciptakan Howitzer pertama di dunia, senjata artileri berat yang mampu menembakkan proyektil besar dengan akurasi tinggi. Inovasi ini membuat pasukan darat semakin kuat, memberikan keuntungan strategis dalam pertempuran jarak jauh.

Tidak hanya itu, Tom juga memulai transisi dari senapan Bolt-action ke senapan otomatis. Meskipun jumlahnya masih terbatas, para insinyur dan pandai besi di pabrik senjata terus menyempurnakan desainnya. Senapan otomatis ini, yang diberi nama "Sundang MK-1." menjadi simbol kemajuan teknologi militer Persemakmuran.

Diplomasi menjadi pilar penting dalam menjaga posisi Persemakmuran di kawasan. Hubungan dengan Republik Prancis Pertama semakin erat. Ruben René, delegasi Prancis yang pertama kali datang tiga tahun lalu, kini secara resmi menjadi Duta Besar Prancis untuk Persemakmuran Melayu Batam. Kehadirannya bukan hanya simbol persahabatan, tetapi juga saluran untuk berbagi pengetahuan dan sumber daya. Prancis bahkan mengirimkan beberapa insinyur dan pedagang untuk bekerja sama dengan pabrik dan pelabuhan di Batam.

Tidak hanya Prancis, Republik Batavia (di bawah kekuasaan Prancis) juga membuka hubungan diplomatik resmi. Delegasi dari Batavia, yang awalnya skeptis, kini merasa kagum melihat kemajuan teknologi Persemakmuran. Kedua negara ini terus mendekatkan diri, menawarkan kesepakatan perdagangan yang saling menguntungkan.

Bahkan Inggris, yang sebelumnya menjadi musuh utama Persemakmuran, tetap menjaga hubungan baik setelah kekalahan mereka. Meski hubungan ini masih dingin dibandingkan dengan Prancis dan Batavia, mereka tidak lagi menganggap Persemakmuran sebagai ancaman kecil.

Kemajuan Persemakmuran Melayu Batam menjadi topik pembicaraan di seluruh kawasan. Banyak yang tidak percaya bahwa sebuah wilayah kecil seperti Batam mampu mencapai tingkat teknologi dan organisasi yang bahkan melampaui kekuatan besar seperti Inggris atau Prancis di beberapa bidang.

Namun, Tom sadar bahwa di balik kemajuan ini, ancaman tetap ada. Kekuatan besar lain mungkin akan mencoba merebut apa yang telah dibangun Persemakmuran. Oleh karena itu, Tom dan Ela terus bekerja tanpa henti, memastikan bahwa Persemakmuran tidak hanya bertahan, tetapi juga tumbuh lebih kuat.

Tahun 1804, Persemakmuran Melayu Batam berdiri sebagai sebuah negara kecil yang penuh harapan, dengan jalan-jalan yang diterangi lampu, ekonomi yang berkembang, dan rakyat yang perlahan bangkit dari kebodohan dan kemiskinan. Ini adalah awal dari sebuah era baru, sebuah era di mana Persemakmuran Melayu Batam tidak lagi dipandang remeh, melainkan sebagai kekuatan baru yang bersinar di Asia Tenggara.

..
...
....

Suatu pagi di bulan April.

Sinar matahari pagi menyusup ke dalam kamar besar Tom, melewati tirai sutra yang menggantung di jendelanya. Ruangan itu penuh dengan kemewahan yang sederhana—furnitur kayu ukir yang elegan, karpet tebal dari Persia, dan dinding yang dihiasi lukisan-lukisan pemandangan alam dari pelukis lokal. Semua ini adalah hasil desakan para pejabat agar ia terlihat seperti pemimpin besar yang pantas dihormati.

Namun, Tom merasa semua ini terlalu berlebihan. Ia bangun perlahan, mengusap wajahnya untuk mengusir rasa kantuk. Sebelum ia sempat berdiri dari tempat tidurnya, suara lembut namun penuh pesona menginterupsi pikirannya.

"Bonjour, mon chéri. Tidurmu nyenyak, bukan?"

Tom langsung menoleh, menemukan Ela berdiri di sudut ruangan. Ia mengenakan kebaya sutra berwarna hijau zamrud yang dipadukan dengan kain songket emas. Rambut pirang panjangnya tergerai indah, dihiasi bunga melati kecil. Di tangannya, ia membawa nampan dengan cangkir porselen berisi teh hangat.

Tom mengerutkan dahi, setengah terjaga namun penuh kewaspadaan. "Ela? Apa-apaan ini? Kenapa kamu berpakaian seperti itu? Dan kenapa kau berbicara seperti seorang gadis Prancis dari Paris?"

Ela tertawa kecil, senyumnya mengembang dengan anggun. Ia berjalan mendekat, meletakkan nampan di meja kecil di samping tempat tidur Tom. "Pourquoi pas? Aku hanya mencoba menyesuaikan suasana. Kau pemimpin besar Persemakmuran sekarang, Mon Chéri. Bukankah sudah sepantasnya aku juga tampil lebih anggun?"

Tom mendesah, mengambil cangkir teh dan menghirup aromanya yang menenangkan. "Anggun, ya? Aku pikir ini lebih seperti upaya untuk membuatku merasa tidak nyaman."

Ela duduk di kursi di dekatnya, menyandarkan dagu di tangannya sambil menatap Tom dengan tatapan penuh teka-teki. "Ah, kamu selalu berpikir terlalu keras, Tom. Aku hanya mencoba membuat hidupmu sedikit lebih berwarna. Bukankah itu tugasku?"

Tom meletakkan cangkirnya, menatap Ela dengan mata menyipit. "Tugasmu? Aku pikir tugasmu adalah membuatku gila."

Ela tersenyum manis, sedikit menggoda. "Mais non, mon chéri. Tugasku adalah memastikan kau tidak kehilangan dirimu dalam semua beban yang kau pikul. Kau terlalu keras kepala untuk mengakuinya, tapi kau butuh aku."

Tom tertawa kecil, meski ada nada pasrah dalam suaranya. "Kau benar-benar tahu cara membuatku merasa seperti orang bodoh, Ela. Jadi, apa rencanamu pagi ini? Atau kau hanya ingin terus berbicara dengan bahasa yang aku hanya mengerti setengahnya?"

Ela berdiri, berjalan menuju jendela besar dan membuka tirainya sepenuhnya, membiarkan cahaya pagi memenuhi ruangan. "Tidak ada rencana besar, Tom. Aku hanya ingin kau menikmati pagi ini sebelum kau kembali terjebak dalam rapat-rapat panjang yang membosankan."

Tom menggelengkan kepala, berdiri dari tempat tidur dan berjalan ke arahnya. Ia memandang keluar jendela, melihat Kota Batu Ampar yang semakin berkembang pesat. Kapal-kapal bergerak sibuk di pelabuhan, jalanan mulai ramai dengan pedagang dan pekerja, dan asap tipis mengepul dari pabrik-pabrik di kejauhan. Semua ini adalah hasil dari kerja kerasnya, tapi ia tahu bahwa Ela memainkan peran besar di balik layar.

"Ela." Katanya, dengan nada yang lebih serius. "Kadang aku bertanya-tanya, apa sebenarnya tujuanmu membantuku sejauh ini? Kau bahkan tidak pernah meminta apa pun dariku."

Ela menoleh, senyumnya melembut. Ia mendekatkan wajahnya, cukup dekat sehingga Tom bisa merasakan aroma melati darinya. "Tujuanku, mon chéri? Bukankah itu sudah jelas? Aku di sini untukmu. Hanya untukmu."

Tom menelan ludah, merasa agak canggung namun juga tersentuh oleh ketulusan dalam suaranya. "Kau selalu punya cara untuk membuatku merasa lebih baik dan lebih bingung di saat yang sama."

Ela tertawa kecil, kembali ke kursinya dengan langkah ringan. "C’est la vie, mon chéri. Hidup ini penuh teka-teki, dan aku hanya menambah sedikit misteri untukmu."

Tom tersenyum tipis, mengangkat cangkir tehnya lagi. Dalam segala tekanan dan tantangan yang ia hadapi, Ela adalah satu-satunya yang membuatnya merasa tenang—meskipun sering dengan cara yang tak terduga.

Pagi itu, di ruang pertemuan utama Istana Batu Ampar

Tom duduk di kursi kayu ukiran khas Melayu, mengenakan pakaian formal Persemakmuran yang sederhana namun elegan, perpaduan antara baju kurung dan jas barat. Di hadapannya, Tuan Ruben René, duta besar Republik Prancis untuk Persemakmuran Melayu Batam, terlihat sangat berseri-seri. Ia mengenakan pakaian khas diplomat Prancis, lengkap dengan dasi putih yang disusun rapi dan mantel hitam panjang.

"Tuan Tom." Ruben membuka pembicaraan dengan suara penuh semangat, senyumnya mengembang. "Aku membawa kabar luar biasa! Konsul Napoleon Bonaparte, pemimpin besar kami, berniat mengunjungi Persemakmuran ini. Dalam dua minggu, ia akan tiba di Batu Ampar untuk bertemu langsung dengan Anda dan melihat kemajuan luar biasa yang telah Anda capai di sini."

Tom tertegun, meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya. "Napoleon itu sendiri?" Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja, memikirkan implikasi dari kunjungan tersebut.

Ruben mengangguk dengan antusias. "Ya, mon ami. Anda harus tahu, berita tentang Persemakmuran Melayu Batam telah menyebar luas. Kemajuan teknologi Anda, listrik, pabrik-pabrik, dan bahkan hubungan diplomatik yang Anda bangun—semua ini telah menarik perhatian dunia. Napoleon ingin melihat langsung seperti apa keajaiban kecil di Asia Tenggara ini."

Tom menghela napas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. Matanya menerawang sejenak, memikirkan situasi saat ini. "Itu tentu kehormatan besar, Tuan Ruben. Namun, waktunya kurang ideal. Kami sedang dalam ketegangan dengan Kesultanan Johor dan Kesultanan Riau-Lingga. Mereka tidak senang dengan keberadaan kami, terutama sejak beberapa pulau kecil memilih bergabung dengan Persemakmuran."

Ruben tersenyum, seolah tidak terganggu dengan kekhawatiran Tom. "Ah, Tuan Tom, jangan khawatir. Republik Prancis adalah sekutu Anda. Jika ada ancaman terhadap Persemakmuran, Anda bisa mengandalkan kami. Lagi pula, kunjungan Napoleon ini juga bisa menjadi penguat posisi Anda di kawasan. Keberadaannya akan menjadi sinyal kuat bahwa Prancis mendukung Anda."

Tom menatap Ruben dengan tajam. "Aku menghargai dukungan itu, Tuan Ruben. Tapi aku harus memastikan kunjungan ini berjalan lancar. Tidak ada tempat untuk kesalahan atau insiden. Kesultanan Johor dan Riau-Lingga mungkin melihat kunjungan ini sebagai ancaman, dan itu bisa memicu serangan terbuka."

Ruben mengangkat bahunya dengan santai. "Mon cher ami, setiap pemimpin besar memiliki musuh. Namun, apa yang Anda bangun di sini jauh lebih kuat dari sekadar ancaman mereka. Fokuslah pada persiapan menyambut Napoleon. Aku yakin kehadirannya akan membawa keuntungan besar bagi Anda dan rakyat Anda."

Tom terdiam, memikirkan saran Ruben. Sebenarnya, kunjungan ini memang bisa menjadi peluang besar untuk memperkuat legitimasi Persemakmuran di mata dunia, terutama dengan dukungan seorang tokoh sebesar Napoleon. Namun, ancaman dari Johor dan Riau-Lingga tidak bisa diabaikan begitu saja.

"Baiklah." Kata Tom akhirnya, mengangguk pelan. "Aku akan mempersiapkan segala sesuatunya. Tapi aku perlu Anda memahami bahwa keselamatan Napoleon saat di sini adalah prioritas. Jika ada ancaman sekecil apa pun, aku ingin Anda segera memberitahuku."

Ruben tersenyum lebar, lalu berdiri untuk menjabat tangan Tom. "Tentu, Tuan Tom. Anda tidak perlu meragukan loyalitas kami. Republik Prancis percaya pada potensi Anda. Kunjungan ini adalah awal dari hubungan yang lebih besar antara kita."

Tom menjabat tangan Ruben dengan tegas, lalu mengantar diplomat itu keluar dari ruangan. Ketika pintu tertutup, ia menghela napas panjang, merasa beban baru menghimpit bahunya.

Di pikirannya, suara Ela terdengar, lembut namun jelas. "Napoleon, ya? Sangat menarik, mon chéri. Tapi aku rasa kau perlu segera mempersiapkan dirimu. Jangan lupa, musuh tidak akan menunggu tamumu tiba sebelum bertindak."

Tom mengangguk kecil pada dirinya sendiri. "Aku tahu, Ela. Aku tahu."

Sisa hari itu dihabiskan Tom dengan memanggil para penasihatnya, termasuk menteri pertahanan, menteri luar negeri, dan kepala intelijen. Ia mulai merancang langkah-langkah keamanan, termasuk memperketat pengawasan di perbatasan laut dan memperkuat benteng di titik-titik strategis.

Di tengah semua kekhawatiran, Tom juga merasa harapan baru. Kunjungan Napoleon, jika berjalan lancar, bisa menjadi momen penting dalam sejarah Persemakmuran Melayu Batam. Tapi ia sadar, jalan menuju momen itu penuh dengan tantangan yang harus ia hadapi dengan hati-hati.

Tom menyadari bahwa dengan semakin banyaknya perhatian dari dunia luar—dan ancaman nyata dari Kesultanan Johor serta Riau-Lingga—Persemakmuran Melayu Batam harus siap menghadapi kemungkinan terburuk.

Melalui surat perintah yang disebarkan ke seluruh penjuru pulau, Tom memanggil para komando cadangan yang sebelumnya hanya berlatih sebatas kewaspadaan sipil. Para pria muda dari berbagai desa dan pulau kecil sekitar Batam, yang sebelumnya bertani, bekerja di pabrik, atau menjadi nelayan, kini berkumpul di pusat pelatihan militer.

Barisan panjang pria-pria tegap berdiri di bawah terik matahari, seragam mereka terlihat sempurna dan semangat mereka terpancar dari mata yang penuh tekad. Para instruktur—beberapa adalah mantan tentara Inggris dan Prancis—berteriak memberikan komando dalam bahasa Melayu yang sesekali bercampur aksen asing yang terdengar aneh.

Tom berdiri di salah satu pusat latihan terbesar di dekat Batu Ampar, mengamati pasukan cadangan yang sedang ditempa menjadi prajurit terlatih. Mereka diajarkan menggunakan senapan bolt-action yang sudah tersedia, melakukan baris-berbaris, serta memahami taktik medan perang yang sederhana namun efektif.

Ela, yang hanya bisa dilihat oleh Tom, berdiri di sisinya dengan pakaian khas Melayu yang elegan. Ia tersenyum samar. "Seribu prajurit darat, mon chéri? Kau benar-benar tidak ingin ambil risiko."

Tom tidak menoleh, tetap memperhatikan barisan para prajurit. "Ini bukan soal keinginan. Jika Kesultanan Johor atau Riau-Lingga bergerak sebelum atau setelah kunjungan Napoleon, aku harus siap. Sekadar berjaga-jaga lebih baik daripada menyesal."

Ela mengangguk kecil, langkahnya melayang-layang ringan di tanah. "Logis, seperti biasanya. Tapi, jangan sampai kau menekan rakyatmu terlalu keras. Pastikan keseimbangan, Cherie."

Tom mendengus pelan, tersenyum samar. "Aku tahu, Ela. Tenang saja."

Di sisi lain, latihan Angkatan Laut Persemakmuran semakin intens.

Keempat kapal besar yang dimiliki Persemakmuran—dua di antaranya hasil rampasan perang Inggris—berlayar ke perairan terbuka di sekitar Batam untuk latihan manuver. Di bawah komando kapten-kapten yang dipilih oleh Amir, mereka mulai menerapkan formasi tempur baru dan metode taktik serangan cepat.

Kapal-kapal itu dilengkapi dengan meriam-modifikasi yang memiliki tingkat akurasi lebih baik dibanding sebelumnya, dan para awak kapal giat berlatih menembakkan meriam ke target-target kayu yang disusun di tengah laut.

"Ayo, lebih cepat! Isi meriamnya lagi!" Suara kapten kapal bergema di dek kapal. Pelaut-pelaut bekerja dengan cekatan, keringat bercucuran di bawah matahari, suara dentuman meriam menggetarkan udara setiap beberapa menit.

Tom sering kali mengunjungi latihan ini yang ditemani Laksamana Amir, berdiri di salah satu kapal utama untuk melihat langsung perkembangan mereka. Setiap detail dipantau dengan serius.

"Kalau ada serangan laut dari Johor atau Riau-Lingga, mereka tidak boleh melihat kelemahan kita." Tom berbicara pada salah satu kapten dengan tegas. "Latih anak buahmu sampai gerakan ini menjadi naluri. Setiap tembakan harus menghantam target. Setiap manuver harus sempurna."

"Siap, Tuan!" Jawab sang kapten dengan penuh semangat, lalu kembali memberi aba-aba kepada anak buahnya.

Dalam dua minggu itu, batu-batu fondasi keamanan Persemakmuran semakin kokoh.

Pasukan darat kini berjumlah seribu prajurit, dibagi ke dalam kompi-kompi kecil yang bisa bergerak cepat dalam formasi bertahan maupun menyerang. Mereka dilatih untuk bertempur di berbagai medan—hutan, rawa, atau pantai—sesuai kondisi Batam dan pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Di laut, keempat kapal angkatan laut Persemakmuran siap siaga. Kapal-kapal ini menjadi simbol kekuatan maritim Persemakmuran, sekaligus peringatan bagi pihak mana pun yang ingin mencoba melewati perairan mereka tanpa izin.

Ela, yang selalu setia mendampingi Tom dalam kesibukan itu, sesekali berbisik dengan nada lembut namun penuh ketegasan, menyarankan strategi atau sekadar mengingatkan Tom untuk beristirahat.

"Kau tahu, mon chéri." Ucap Ela suatu malam saat Tom duduk di ruang kerjanya, "Napoleon mungkin akan terkesan. Tapi aku rasa ia juga akan menguji kecerdikanmu. Bersiaplah untuk lebih dari sekadar sambutan hangat."

Tom menatap Ela dengan penuh pemikiran. "Aku tahu. Tapi untuk sekarang, kita sudah melakukan yang terbaik. Kalau ujian itu datang, kita akan hadapi bersama."

Ela tersenyum kecil, matanya berkilat lembut. "Selalu bersamamu, mon chéri."

Dalam hati Tom, meski rasa khawatir belum sepenuhnya hilang, ia merasa yakin bahwa Persemakmuran Melayu Batam sudah lebih siap dari sebelumnya. Apa pun yang akan terjadi dalam dua minggu ke depan, ia akan menghadapinya sebagai pemimpin yang telah mempersiapkan rakyatnya sebaik mungkin.

Pada tanggal 20 April 1804, Persemakmuran Melayu Batam mencatat hari yang bersejarah dengan kedatangan Konsul Pertama Republik Prancis, Napoleon Bonaparte, ke Pelabuhan Kota Batu Ampar.

Tom berdiri di dermaga utama Batu Ampar bersama jajaran pemerintahan. Wajahnya yang mulai menua dihiasi garis-garis pengalaman, namun sorot matanya tetap tajam dan penuh karisma. Tubuhnya yang dahulu gagah kini sedikit melemah, namun postur tegasnya tidak pernah pudar. Hari itu, ia mengenakan pakaian formal Persemakmuran yang dirancang khusus untuk acara ini, kombinasi antara budaya Melayu dan sentuhan Barat.

Di belakangnya berdiri para menteri, termasuk Menteri Keuangan, saudagar Bharat yang setia, serta Menteri Pertahanan dan perwakilan dari angkatan bersenjata. Ela, yang hanya bisa dilihat oleh Tom, berdiri di sampingnya dengan anggun. Hari ini, ia mengenakan pakaian tradisional Melayu dengan selendang berwarna biru, memberikan kesan menenangkan.

"Mon chéri." Ucap Ela dengan lembut, suaranya seperti alunan melodi yang hanya bisa didengar oleh Tom. "Kau terlihat sangat agung hari ini. Aku yakin Napoleon akan terkesan, seperti aku dulu saat pertama kali melihatmu."

Tom hanya tersenyum kecil, sedikit tersipu meskipun wajahnya tetap serius. "Aku harap segalanya berjalan lancar, Ela. Ini lebih dari sekadar kunjungan; ini adalah ujian bagi seluruh Persemakmuran."

Ela mencondongkan diri sedikit lebih dekat, meski hanya Tom yang bisa merasakannya. "Ujian atau bukan, kau telah mempersiapkan segalanya dengan baik. Ingatlah, ini adalah hasil kerja kerasmu selama bertahun-tahun."

Ketika kapal besar Prancis, L’Étoile, mulai merapat di pelabuhan, gemuruh sorakan warga memenuhi udara. Jalan-jalan utama Batu Ampar dihiasi bendera Persemakmuran dan Prancis, sementara warga berbaris di sepanjang dermaga. Mereka membawa bunga dan mengenakan pakaian terbaik mereka, menunjukkan rasa hormat yang tulus.

Napoleon Bonaparte, sosok gagah dengan tatapan tajam, turun dari kapal bersama rombongan delegasinya. Ia mengenakan mantel hijau gelap khasnya dengan aksen emas, tampil seperti pemimpin yang sangat berpengaruh. Diiringi musik tradisional Melayu dan tarian penyambutan, ia tampak tersenyum tipis, menunjukkan ketertarikannya pada budaya lokal yang unik.

Tom maju beberapa langkah, didampingi oleh pengawal serta para menteri. Saat Napoleon mendekat, Tom membungkukkan sedikit tubuhnya sebagai tanda penghormatan, lalu menjabat tangan Konsul Pertama itu dengan tegas.

"Tuan Konsul Napoleon Bonaparte." Ucap Tom dengan suara yang tegas namun ramah. "Selamat datang di Persemakmuran Melayu Batam. Kami merasa terhormat atas kunjungan Anda ke negeri kami yang sederhana ini."

Napoleon mengangguk kecil, tatapannya menyapu wajah Tom dan orang-orang di sekitarnya. "Monsieur Tom." Balasnya dengan nada formal. "Saya telah mendengar banyak tentang kemajuan luar biasa yang Anda pimpin di sini. Kehormatan ini adalah milik kami, melihat negeri yang berkembang pesat di bawah kepemimpinan Anda."

Tom tersenyum kecil, meski garis-garis di wajahnya tampak lebih jelas. "Kami hanya berusaha membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyat kami, dengan sekuat tenaga."

"Hahaha! Aku terkesan, Monsieur Tom."

Di sepanjang perjalanan ke pusat kota Batu Ampar, Napoleon dan rombongannya terus mengamati infrastruktur yang dibangun oleh Persemakmuran. Jalan-jalan yang cukup lebar dan rapi, pabrik-pabrik dengan cerobong asap yang berjarak dari pemukiman, serta lampu-lampu bohlam yang menerangi malam kota, semuanya tampak begitu mengesankan bagi seorang Napoleon yang terbiasa dengan teknologi abad ke-19 di Eropa.

Warga terus bersorak, menyambut delegasi dengan antusias. Di atas kereta kuda yang membawa mereka ke tempat jamuan resmi, Napoleon tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. "Persemakmuran ini benar-benar berbeda dari yang saya bayangkan." Ujarnya pada salah satu ajudannya. "Lihat bagaimana teknologi dan budaya berpadu dengan begitu harmonis. Ini adalah sesuatu yang layak dipelajari."

Setibanya di aula utama, tempat jamuan makan resmi diadakan, suasana semakin meriah. Tom, meski lelah, tetap menunjukkan senyumnya yang penuh wibawa. Ela berbisik di telinganya, suaranya penuh dengan kehangatan dan sedikit menggoda. "Mon chéri, aku yakin dia sudah jatuh cinta dengan Persemakmuran ini. Tugasmu sekarang hanya menjaga agar kesan ini bertahan selamanya."

Tom tersenyum tipis, membenarkan kerah bajunya sebelum melangkah maju untuk membuka acara. "Kita akan bertemu seorang pemimpin besar, Ela. Aku hanya berharap, suatu saat, Persemakmuran ini bisa berdiri sejajar dengan Prancis di mata dunia."

Ela tersenyum, matanya berbinar. "Denganmu sebagai pemimpinnya, aku tak pernah ragu, Tom."

Setelah jamuan makan malam yang penuh kehangatan dan keramahan, Tom dan Napoleon berdua melangkah ke ruang pertemuan pribadi di dalam istana administratif Persemakmuran Melayu Batam. Ruangan itu sederhana namun elegan, dengan meja kayu panjang, beberapa kursi empuk, dan penerangan dari bohlam yang memancarkan cahaya lembut. Napoleon tampak mengamati lampu itu dengan kagum, sementara Tom duduk di seberang meja, ditemani hanya oleh pikiran dan bisikan lembut Ela yang tak terlihat oleh siapa pun.

"Mon chéri, hati-hati dengan apa yang akan dia katakan." Bisik Ela, berdiri di sudut ruangan dengan senyum tipis, mengenakan gaun tradisional yang mengesankan aura kebijaksanaan. "Napoleon bukan orang sembarangan. Dia mungkin datang membawa harapan, tapi ada ambisi besar di balik langkahnya."

Tom, dengan wajah tenang dan sedikit senyum, mempersilakan Napoleon untuk membuka pembicaraan.

"Monsieur Tom." Kata Napoleon, suaranya tegas namun penuh hormat. "Terima kasih atas sambutan yang luar biasa tadi. Saya mengerti bahwa negeri Anda ini adalah salah satu yang paling unik di dunia. Saya harus mengatakan, Anda telah membangun sesuatu yang luar biasa."

Tom menundukkan kepalanya sedikit sebagai ucapan terima kasih. "Kami hanya bekerja keras demi rakyat kami, Tuan Konsul. Kami ingin mereka merasakan kehidupan yang lebih baik, jauh dari ketidakadilan dan ketertinggalan."

Napoleon mengangguk, lalu bersandar di kursinya, matanya menatap Tom dengan tajam. "Itulah sebabnya saya ingin berbicara langsung dengan Anda, tanpa gangguan. Tahun depan, saya berencana untuk mendeklarasikan diri saya sebagai Kaisar dari Kekaisaran Prancis yang baru."

Kata-kata itu langsung membuat suasana ruangan menjadi lebih berat. Tom terdiam sesaat, matanya memperhatikan Napoleon dengan seksama. Ela yang berdiri di dekat jendela tampak tersenyum tipis, seolah sudah menduga apa yang akan dikatakan Napoleon.

"Dan mengapa Anda menceritakan hal ini kepada saya?" Tom akhirnya bertanya, suaranya netral namun penuh kewaspadaan.

"Karena saya ingin Anda hadir pada hari yang bersejarah itu." Jawab Napoleon. "Saya percaya hubungan kita ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Persemakmuran Anda adalah mitra penting bagi Prancis, dan restu Anda sebagai pemimpin akan menjadi sinyal kuat bagi dunia."

Tom terdiam, memutar pikirannya. Ela mendekat, berbisik pelan. "Mon chéri, ini kesempatan yang jarang datang. Namun, ingat, ambisi sebesar ini sering kali datang dengan risiko besar. Anda harus berhati-hati dalam mendukungnya."

Setelah beberapa saat, Tom akhirnya mengangguk. "Jika itu kehendak Anda, maka saya akan hadir, Tuan Konsul. Hubungan antara Persemakmuran dan Prancis sangat berharga bagi kami. Saya hanya berharap Anda tetap memimpin dengan kebijaksanaan seperti yang Anda tunjukkan hari ini."

Napoleon tersenyum puas. "Anda bijak, Tuan Tom. Saya yakin hubungan kita akan membawa manfaat besar bagi kedua belah pihak."

Pembicaraan berlanjut ke hal-hal yang lebih teknis. Napoleon bersandar ke depan, ekspresi serius di wajahnya. "Ada satu hal lagi yang menarik perhatian saya selama kunjungan ini." Katanya dengan senyuman sumringah. "Senapan Bolt-action yang digunakan tentara Anda. Teknologi itu belum ada di Eropa. Senjata api kami masih menggunakan sistem flintlock yang lambat. Saya ingin mengetahui lebih banyak tentang ini."

Tom mengangguk perlahan, tangannya menopang dagunya. "Senapan itu adalah hasil dari eksperimen panjang kami. Cepat, akurat, dan lebih efisien dalam pertempuran. Tapi teknologi ini tidak kami sebarluaskan untuk alasan keamanan."

Napoleon tersenyum tipis. "Saya mengerti. Teknologi seperti ini adalah kekuatan besar. Namun, saya berharap ada kesempatan untuk bekerja sama lebih erat di bidang ini. Mungkin kami bisa belajar dari Persemakmuran Anda."

Ela kembali berbisik pelan. "Berhati-hatilah, mon chéri. Jangan memberikan terlalu banyak, tapi juga jangan menutup pintu. Biarkan dia penasaran, itu adalah kekuatan Anda."

Tom menjawab dengan bijak. "Tuan Konsul, Persemakmuran selalu terbuka untuk kerja sama, selama itu membawa manfaat bagi rakyat kami. Teknologi senapan ini adalah salah satu kekuatan kami, dan kami akan mempertimbangkannya dengan hati-hati."

Ketika diskusi mulai mereda, Napoleon mengarahkan pandangannya pada bohlam yang menerangi ruangan. "Dan ini... Obor ajaib ini, bagaimana Anda menciptakannya?"

Tom tersenyum tipis, melirik Ela yang diam-diam tersenyum bangga. "Itu adalah hasil dari keinginan kami untuk membawa cahaya ke kehidupan rakyat kami. Teknologi ini sederhana, tapi dampaknya besar. Jika Anda tertarik, saya bisa mengirimkan beberapa teknisi kami ke Prancis untuk mendemonstrasikan penggunaannya."

Napoleon tampak sangat tertarik. "Saya akan sangat menghargai itu, Tuan Tom. Saya percaya teknologi seperti ini dapat mengubah wajah Eropa."

Malam itu, setelah pertemuan selesai, Napoleon tampak sangat puas. Sementara Tom, meski merasa terhormat, menyadari bahwa hubungan ini membawa peluang sekaligus risiko besar bagi Persemakmuran. Ela berdiri di dekat pintu saat Tom melangkah keluar, suaranya lembut namun tegas.

"Mon chéri, kau bermain dalam permainan besar sekarang. Namun, aku percaya padamu. Kau akan memimpin negeri ini melewati semua tantangan."

Tom hanya mengangguk, meski hatinya berat. "Permainan besar, ya?” gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku hanya berharap aku cukup kuat untuk memainkan peran ini."

Ketukan pintu keras menginterupsi Tom yang sedang menikmati secangkir teh di ruang rapat kecil setelah pertemuan dengan Napoleon. Ia menatap pintu dengan alis berkerut, sementara Ela yang berdiri di dekat jendela hanya mendengus kecil, mengenakan senyumnya yang biasa.

"Mon chéri." Bisiknya lembut. "Aku punya firasat kita akan segera menghadapi badai baru."

Tom menghela napas. "Aku harap ini bukan masalah lagi. Napoleon baru saja pergi, dan aku sudah cukup pusing dengan semua ini."

Pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan salah satu ajudan pribadinya dengan ekspresi tegang. "Tuan Tom." katanya dengan suara terburu-buru. "Delegasi dari Kesultanan Johor dan Riau-Lingga tiba. Mereka meminta audiensi mendadak."

Tom terdiam sejenak, merasakan tekanan berat yang tiba-tiba menyelimuti ruangan. Ia memandang Ela, yang sekarang menatapnya dengan ekspresi tenang namun penuh arti.

"Delegasi Johor dan Riau-Lingga? Itu tidak pernah menjadi pertanda baik." Bisik Ela. "Bersiaplah, mon chéri. Mereka bukan datang untuk menyampaikan salam."

Tom mengangguk pelan, lalu berdiri. "Antarkan mereka ke ruang pertemuan besar." Katanya kepada ajudannya. "Aku akan segera menyusul."

Ketika Tom memasuki ruang pertemuan besar, suasana terasa mencekam. Lima pria berpakaian mewah khas Melayu berdiri di tengah ruangan, ditemani oleh beberapa pengawal bersenjata tombak berhias emas. Wajah mereka dingin, hampir tanpa ekspresi, tapi ada ketegangan yang jelas terpancar.

Tom mendekati mereka dengan langkah mantap, diikuti oleh Ela yang tak terlihat oleh siapa pun kecuali dirinya. "Selamat datang di Persemakmuran Melayu Batam." Kata Tom dengan nada sopan, meskipun matanya tajam. "Apa yang bisa saya bantu untuk saudara-saudara dari Kesultanan Johor dan Riau-Lingga?"

Pria yang berdiri di tengah, tampaknya pemimpin delegasi, maju selangkah. "Kami membawa pesan dari Sultan kami." Katanya dengan suara berat. Dari dalam saku bajunya, ia mengeluarkan gulungan kertas berhias segel emas, menyerahkannya kepada Tom.

Tom menerima gulungan itu dengan hati-hati, membukanya perlahan. Saat ia membaca isi pesan itu, rahangnya mengeras. Kata-kata di dalamnya tidak menyisakan ruang untuk interpretasi: "Deklarasi Perang."

"Perang?" Gumam Tom, suaranya nyaris tidak terdengar. Ela, yang berdiri di sampingnya, memiringkan kepala. "Tentu saja." Kata Ela dengan nada sarkastik. "Johor dan Riau-Lingga terlalu sombong untuk membiarkan Persemakmuran tumbuh sebesar ini tanpa mencoba menjatuhkanmu."

Tom mengangkat wajahnya, menatap tajam pemimpin delegasi itu. "Sultan Anda benar-benar berniat menyatakan perang melawan kami? Setelah segala upaya kami untuk menjaga perdamaian di kawasan ini?"

Pria itu tidak gentar. "Sultan kami tidak bisa tinggal diam melihat Persemakmuran Anda yang terlalu cepat berkembang. Teknologi Anda, aliansi Anda dengan bangsa asing... semuanya mengancam keseimbangan kekuatan di kawasan ini. Sultan kami memutuskan bahwa Persemakmuran Melayu Batam harus dihentikan sebelum menjadi terlalu kuat."

Tom mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, mencoba menahan amarahnya. Ela melangkah lebih dekat, membisikkan kata-kata yang hanya bisa ia dengar. "Mon chéri, jangan biarkan amarah menguasaimu. Tunjukkan pada mereka bahwa kau bukan hanya pemimpin, tapi juga diplomat yang cerdas."

Tom menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara tenang namun tegas, "Jika itu keputusan Sultan Anda, maka kami tidak punya pilihan selain membela diri. Namun, ingatlah ini: perang bukan hanya tentang kehormatan, tetapi juga tentang penderitaan rakyat. Jika perang ini benar-benar terjadi, darah yang tertumpah tidak hanya ada di tangan kami, tapi juga di tangan Sultan Anda."

Pemimpin delegasi itu tetap tidak tergerak. "Kami hanya menyampaikan pesan, Tuan Tom. Keputusan ada di tangan Anda."

Tom mengangguk singkat. "Pesan Anda telah diterima. Sekarang, Anda dan rombongan Anda akan dikawal keluar dengan aman. Dan beri tahu Sultan Anda: Persemakmuran Melayu Batam tidak akan mundur dari tantangan apa pun."

Setelah delegasi itu pergi, Tom berdiri diam di ruang pertemuan, matanya menatap kosong ke arah gulungan deklarasi perang yang masih ada di tangannya. Ela berdiri di dekatnya, kali ini tanpa senyum.

"Ini tidak bisa dihindari." Kata Ela dengan pelan. "Kesuksesan selalu membawa musuh. Tapi aku tahu kau bisa mengatasi ini, mon chéri. Kau sudah menghadapi yang lebih buruk."

Tom mendesah panjang. "Aku tidak takut pada perang, Ela. Tapi aku takut pada apa yang akan terjadi pada rakyatku. Mereka baru saja merasakan kehidupan yang lebih baik, dan sekarang aku harus menyeret mereka ke dalam konflik lagi."

Ela melangkah lebih dekat, menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Itulah tugas seorang pemimpin. Melindungi mereka, bahkan jika itu berarti menghadapi musuh paling kuat sekalipun. Dan kau tidak sendirian, mon chéri. Aku akan selalu ada di sisimu."

Tom mengangguk perlahan, menguatkan hatinya. "Kalau begitu, kita harus bersiap. Perang ini akan menjadi ujian terbesar kita."

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top