Chapter 5
25 April 1800
Di sebuah gudang tua di tepi Pulau Batam, pertemuan rahasia berlangsung. Warga dari desa-desa dan kota-kota sekitar berkumpul, wajah mereka dipenuhi harapan dan kegelisahan. Di antara mereka terdapat para tetua, kepala keluarga, dan pedagang lokal yang selama ini menyaksikan perubahan besar yang terjadi sejak Tom datang ke tanah mereka.
Malam itu, lentera-lentera kecil menerangi ruangan yang dipenuhi dengan bisik-bisik dan rencana. Pertemuan ini diadakan tanpa sepengetahuan Tom, sebuah langkah yang cukup berani, mengingat pria itu adalah pemimpin perang mereka saat ini. Namun, ada alasan yang kuat di balik keputusan ini.
Encik Ibrahim, kepala desa yang selama ini berdiri di sisi Tom, memulai pembicaraan dengan suara berat. "Kita semua tahu, perang ini akan segera mencapai klimaksnya. Dan kalau Tuhan mengizinkan kita menang, pertanyaan terbesar adalah: apa yang akan terjadi pada Batam?"
Seorang tetua dari desa sebelah, Encik Daud, mengangguk. "Benar, Encik Ibrahim. Inggris tidak akan berhenti begitu saja, dan Belanda pasti akan mencampuri urusan kita. Kita butuh seseorang yang kuat untuk memimpin, seseorang yang bisa mengarahkan kita ke masa depan."
Warga mulai bergumam, beberapa mengangguk setuju. Nama Tom perlahan-lahan mulai disebut-sebut.
Seorang pedagang muda, Zaki, berdiri dan berkata dengan penuh semangat, "Bukankah jawabannya sudah jelas? Lihat apa yang telah dilakukan Tom. Dia bukan hanya seorang pejuang, dia seorang pemimpin. Tanpa dia, kita tidak akan memiliki harapan seperti sekarang."
Suasana mulai memanas dengan dukungan yang terus mengalir untuk Tom. Namun, ada pula yang ragu.
"Tapi dia orang asing." Ucap salah satu kepala keluarga. "Dia bukan bagian dari tanah ini. Apakah dia benar-benar peduli dengan kita setelah perang selesai?"
Ela, yang diam-diam mendengar percakapan ini melalui koneksinya dengan Tom, hanya tersenyum lembut dalam keheningan. "Dia lebih peduli daripada yang kalian bayangkan." Pikirnya.
Encik Ibrahim, yang sudah cukup lama mengenal Tom, menjawab dengan tegas. "Tom memang orang asing, tapi apa itu penting? Lihat apa yang telah dia lakukan. Dia melindungi kita, melatih kita, bahkan membawa kita melawan musuh yang jauh lebih besar. Dia tidak seharusnya melakukan itu, tapi dia tetap melakukannya. Aku percaya dia adalah pemimpin yang kita butuhkan."
Diskusi berlanjut hingga larut malam. Mereka mulai merancang cara untuk membujuk Tom menerima posisi sebagai pemimpin setelah perang usai.
Seorang wanita paruh baya dari desa tetangga berkata. "Tom bukan tipe orang yang akan menerima kekuasaan begitu saja. Dia terlalu rendah hati. Kita harus menunjukkan kepadanya bahwa ini bukan hanya keinginan kita, tapi kebutuhan kita."
Seorang pemuda lainnya mengusulkan agar mereka membuat pernyataan resmi, semacam piagam yang ditandatangani oleh seluruh desa dan kota di Pulau Batam, mendesak Tom untuk menjadi pemimpin mereka.
"Dan kita harus membuatnya merasa bahwa ini adalah tanggung jawab, bukan kehormatan." Tambah Encik Daud. "Dia tidak akan menerima ini sebagai hadiah, tapi dia akan menerima jika dia merasa ini adalah beban yang harus dia pikul demi kita."
Ela, yang mendengar semua ini, mempertimbangkan apakah dia harus memberi tahu Tom tentang pertemuan ini. Namun, setelah berpikir sejenak, dia memutuskan untuk merahasiakannya.
"Dia sudah memikul banyak beban, dan dia terlalu fokus pada perang untuk memikirkan hal seperti ini sekarang." Pikir Ela. "Lebih baik dia mengetahui ini nanti, ketika semuanya sudah siap."
Ela merasa ada sesuatu yang indah dalam cara warga Pulau Batam memandang Tom. Mereka melihatnya bukan hanya sebagai penyelamat, tapi juga sebagai simbol harapan.
"Kau memang memiliki hati yang besar, Tuan." Bisik Ela dalam hati sambil tersenyum lembut. "Mereka tahu itu. Dan itu sebabnya mereka memilihmu."
Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan untuk terus mendukung Tom dengan segala cara yang mereka bisa, tanpa memberitahunya tentang rencana mereka.
Malam itu, suasana Pulau Batam terasa berbeda. Di satu sisi, ada ketegangan menjelang pertempuran besar yang akan datang. Di sisi lain, ada harapan yang tumbuh di hati para warga, sebuah visi masa depan yang lebih baik di bawah kepemimpinan Tom.
Sementara itu, Tom sendiri tengah sibuk mengawasi persiapan terakhir pasukan dan armada lautnya, tak menyadari bahwa di balik semua itu, sebuah takdir baru sedang dirancang untuknya.
29 April 1800, Fajar Menyingsing.
Embun pagi masih menggantung di rerumputan, tetapi di balik keindahan alam Batam, perang telah menggelayuti udara. Tom duduk di atas tembok Benteng Ford, matanya menatap jauh ke arah lautan. Ombak beriak pelan, nyaris membuai siapapun yang melihatnya, tetapi di benaknya, Tom hanya melihat garis pergerakan armada musuh yang sebentar lagi akan datang.
Dari kejauhan, Ela berbicara dengan tenang di pikirannya.
"Empat jam perjalanan, itu bukan waktu yang lama. Kita akan segera melihat mereka. Bagaimana perasaanmu, Tuan?"
Tom mendesah perlahan, mengangkat bahu. "Tenang, tapi... khawatir."
Ela tersenyum samar di balik suaranya. "Wajar. Bahkan pemimpin terbaik pun tidak lepas dari keraguan. Tapi kau bukan seorang pemimpin biasa. Kau siap."
Tom tidak menjawab. Dalam hatinya, ia memang khawatir. Ini bukan perang kecil. Sir Edward membawa kapal-kapal Galleon dari Royal Navy, simbol dominasi laut Eropa. Tambahan 500 prajurit bayaran bukan jumlah kecil. Tapi lebih dari itu, ini bukan lagi tentang dirinya. Ini tentang ratusan nyawa warga desa, tentang tanah yang harus ia lindungi dengan segala cara.
Tom memeriksa sekali lagi pertahanan yang telah disiapkan dengan matang selama berhari-hari.
Di benteng Ford, meriam-meriam yang mereka rebut dari pasukan Inggris sebelumnya kini berdiri kokoh, moncong-moncongnya diarahkan ke laut. Beberapa di antaranya bahkan ditempatkan di posisi yang tidak biasa—di lereng bukit, tersembunyi di balik pepohonan. Tom sengaja membuat jebakan optik. Dari laut, semuanya tampak biasa saja, tetapi begitu kapal Inggris mendekat, hujan meriam akan menyambut mereka dari berbagai arah.
Ratusan prajurit bersenjata Bolt-action tersebar rapi di sepanjang garis pertahanan. Mereka bersembunyi di balik reruntuhan benteng, di dalam parit-parit buatan, dan di titik-titik yang telah mereka hafalkan selama latihan. Tidak ada satu pun yang berbicara. Mereka semua tahu perannya masing-masing.
Pasukan mortir, yang kini menjadi salah satu senjata paling rahasia dan mematikan, tersembunyi di semak-semak dan pepohonan. Tom memastikan setiap tim telah mempelajari jarak tembak dan koordinasi mereka dengan baik. Ela telah membantu dalam penghitungan sudut dan daya ledak, sehingga bahkan mortir sederhana ini bisa menjadi mimpi buruk bagi musuh.
Sementara itu, dua kapal perang yang mereka kuasai, termasuk kapal tiang besar dengan 80 meriam, bersembunyi di balik pulau kecil 10 kilometer dari garis pantai. Laksamana Amin memimpin kapal dengan tangan dingin. Ia tahu, saat waktunya tiba, kapal-kapal itu akan muncul seperti hantu, mengejutkan armada Inggris yang lengah.
Tom turun dari dinding benteng, berjalan melintasi pasukan yang sudah bersiap. Wajah-wajah para prajurit muda itu menggambarkan tekad, tetapi ada pula ketegangan yang tak dapat mereka sembunyikan. Mereka adalah petani, nelayan, dan anak desa—sekarang dipaksa menjadi prajurit.
Ia berhenti di dekat seorang pemuda yang tengah memeriksa senapan. Tangannya sedikit gemetar. Tom menepuk pundaknya.
"Jangan takut. Ikuti perintah, tetap fokus. Kau akan baik-baik saja."
Pemuda itu mengangguk cepat, menyeka keringat di dahinya. "Baik, Tuan."
Ela kembali berbisik, lembut seperti angin pagi. "Kau adalah tiang mereka, Tom. Kau tahu itu, bukan? Kau adalah satu-satunya alasan mereka berdiri di sini hari ini."
Tom menatap ke langit, yang mulai beranjak dari warna keemasan menuju biru pucat. Ia mengambil napas dalam-dalam. "Mereka layak mendapatkan masa depan yang lebih baik, Ela. Kalau aku harus bertarung hingga akhir, maka aku akan melakukannya."
Ela menjawab dengan nada hangat yang jarang ia gunakan. "Dan itulah mengapa mereka memandangmu seperti seorang pemimpin sejati. Bahkan aku…" Ia berhenti sejenak, suaranya melembut. "Bahkan aku percaya padamu, Tuan."
Tom terdiam. Kata-kata Ela terasa lebih dalam kali ini, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan di baliknya. Tapi ia mengabaikan itu—untuk saat ini.
Ketika matahari mulai naik, salah satu pengintai berlari dari menara pengawas. Nafasnya tersengal-sengal.
"Mereka datang! Kapal-kapal Inggris terlihat dari utara!"
Tom berbalik, wajahnya dingin. Perasaan khawatir yang tadi menyelimutinya perlahan berubah menjadi fokus tajam. Ia berjalan ke tengah benteng, semua mata tertuju padanya.
"Semua prajurit ke posisi masing-masing. Jangan tembak sebelum aku memberi perintah."
Benteng Ford berubah senyap. Suara laut kini satu-satunya yang terdengar. Semua prajurit menahan napas, jemari mereka bersiap di pelatuk senjata. Ela berbisik lagi, kali ini nyaris seperti mantra yang menenangkan.
"Ini adalah waktumu, Tuan. Tunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya berkuasa di sini."
Tom berdiri di atas dinding benteng, matanya menatap ke arah cakrawala. Di kejauhan, layar-layar putih armada Inggris mulai terlihat seperti bayang-bayang hantu di atas laut biru. Dua kapal Galleon besar memimpin, diikuti oleh kapal-kapal pengangkut prajurit yang lebih kecil.
Tom menggenggam pedang yang ia bawa di pinggang, lalu berbisik pelan. "Kita mulai dari sini."
Pertempuran yang akan menentukan masa depan Batam telah tiba. Di atas benteng, di tengah ketegangan yang nyaris meledak, Tom berdiri seperti seorang pemimpin perang sejati—mata tajam, hati yang berani, dan tekad yang tak tergoyahkan.
Suasana pagi yang semula tenang kini pecah menjadi neraka. Begitu kapal-kapal Inggris berada di jarak tembak, Tom berdiri tegak di atas dinding Benteng Ford. Tangannya terangkat tinggi ke udara, semua mata menatapnya—wajah-wajah penuh ketegangan, harapan, dan tekad yang terbakar.
"Siapkan meriam!" Suara Tom menggema, dingin namun penuh ketegasan.
Para awak meriam segera bergerak serentak, roda kayu meriam berderak saat diarahkan ke posisi mereka masing-masing.
Ela, suaranya tenang namun tegas di dalam pikiran Tom, mengingatkan. "Tunggu… biarkan mereka mendekat lebih dekat. Pastikan tembakan pertama membuat dampak."
Tom mengangguk kecil, pandangannya tak lepas dari kapal-kapal Inggris yang mendekat, layar-layar putih menjulang tinggi bak monster yang menelan cahaya matahari. Para pelaut Inggris tampak kebingungan, saling berteriak dan bertanya-tanya mengapa pelabuhan tampak begitu sepi dan kosong.
"Sekarang!" Tom berteriak lantang, suaranya memecah udara.
Suara dentuman meriam langsung mengguncang benteng. Bola-bola besi melesat cepat, membelah angin dan menghantam kapal-kapal Inggris dengan kekuatan brutal. Ledakan terdengar keras saat kayu kapal pecah berkeping-keping. Air laut memercik ke segala arah ketika beberapa bola meriam menghantam tepat di lambung kapal.
Galleon pertama milik Sir Edward bergetar hebat, lambungnya robek besar hingga air mulai membanjiri ruang di bawah dek. Para pelaut Inggris berteriak panik, berusaha menutup kebocoran, sementara awak meriam mereka dengan cepat membalas serangan.
"Balas tembakan! Cepat, cepat!" Teriak seorang kapten Inggris, suaranya nyaris tenggelam di antara dentuman meriam.
Meriam bola dari kedua Galleon segera membalas. Proyektil-proyektil itu melesat ke arah Benteng Ford, menciptakan ledakan hebat di dinding batu tua benteng. Beberapa bagian benteng retak dan hancur, debu dan serpihan batu beterbangan. Namun prajurit-prajurit Tom tetap bertahan di posisi mereka, tak goyah meski tanah di bawah kaki mereka bergetar.
Di garis pantai, situasi semakin kacau. Ratusan prajurit Inggris mulai mendayung menggunakan perahu-perahu kecil menuju daratan. Suara teriakan perintah dan ketukan dayung beradu dengan suara tembakan meriam yang tak henti-hentinya.
Tom segera memberi isyarat kepada tim mortir yang telah ia persiapkan sejak awal. "Tembakkan mortir!"
Dari balik semak-semak dan pepohonan di sepanjang bukit, suara "Thump!" peluncuran mortir terdengar berulang kali. Proyektil-proyektil kecil itu melengkung di udara, sebelum akhirnya jatuh dengan presisi ke perahu-perahu kecil yang membawa pasukan Inggris.
Ledakan demi ledakan menghancurkan kayu tipis perahu. Beberapa prajurit Inggris terlempar ke udara, jatuh ke dalam air laut yang kini tercampur darah. Perahu-perahu lainnya terbakar, sementara prajurit-prajurit yang masih hidup terjun panik ke laut, mencoba berenang menuju daratan di bawah hujan proyektil.
Ela berbicara lembut di telinga Tom, suaranya penuh ketenangan di tengah kekacauan itu. "Mereka akan menyerang pantai dengan sisa pasukan mereka. Jangan biarkan mereka membentuk barisan. Hantam mereka di saat mereka masih lemah."
Tom berbalik ke arah komandan pasukan daratnya. "Sebarkan prajurit dengan senapan Bolt-action di sepanjang garis pantai. Targetkan siapa pun yang mencapai daratan. Jangan biarkan mereka beristirahat!"
Ratusan prajurit bersenjata Bolt-action segera bergerak cepat, posisi mereka tersebar di antara reruntuhan, semak-semak, dan titik-titik strategis yang sudah dipersiapkan. Begitu para prajurit Inggris yang selamat mencapai pantai, suara tembakan senapan terdengar serentak.
Bang! Bang! Bang!
Tembakan akurat dari prajurit desa menembus dada dan kepala musuh yang kebingungan. Prajurit Inggris yang baru saja menginjak pasir pantai langsung roboh satu per satu, tak sempat membalas dengan senapan musket mereka yang lambat dan ketinggalan zaman.
*Terus tembak! Jangan beri mereka celah!" Tom berteriak dari atas benteng, matanya tajam memantau pergerakan musuh.
Sementara itu, di lautan, dua kapal perang yang dipimpin Saudara Amin mulai bergerak keluar dari persembunyian di balik pulau kecil. Layar-layar mereka terbentang penuh, dan meriam-meriam di kedua sisi kapal telah siap menyalak.
Kapal-kapal Inggris yang tersisa kini dalam posisi terjepit. Mereka ditembaki dari darat oleh benteng dan mortir, sementara dari laut, dua kapal perang milik Tom datang dengan cepat untuk menutup jalan mundur mereka.
Dari atas geladak, Saudara Amin berdiri gagah, suaranya menggema lantang. "Semua awak, siapkan meriam! Kita hancurkan mereka!"
Dentuman meriam kembali memenuhi udara. Kali ini, kapal-kapal Inggris menjadi sasaran dari segala arah. Galleon Sir Edward berusaha melawan, tetapi dikepung dari dua sisi, mereka tak dapat bertahan lama.
Tom menyaksikan semua ini dari atas benteng. Matanya memantulkan api pertempuran, tetapi dalam hati, ia tetap waspada. Sir Edward belum terlihat—pasti ia ada di salah satu kapal, mengamati, menunggu momen untuk berbalik menyerang.
Ela berbisik lembut, "Badai ini belum selesai. Tetap tenang, Tuan. Kemenangan akan menjadi milikmu jika kau terus berpikir tiga langkah di depan."
Tom mengepalkan tangannya, sorot matanya semakin tajam. "Akan kulakukan, Ela. Ini belum selesai—ini baru awal dari segalanya."
Sir Edward berdiri di atas geladak Galleon utamanya, tangannya mencengkeram keras pagar kayu kapal saat meriam dari arah daratan kembali melepaskan tembakan. Ledakan demi ledakan mengguncang kapal perang di sekitarnya. Asap tebal mengepul ke udara, mengaburkan pandangan. Namun di tengah kekacauan itu, suara tembakan dari meriam yang berasal dari dua kapal perang pasukan Tom semakin mendekat—dan kali ini mereka bukan hanya ancaman biasa.
"Tuan Edward! Dua kapal musuh muncul dari timur laut!" Teriak salah satu pengintai dari atas tiang utama. Sir Edward memicingkan matanya ke arah cakrawala. Di balik kabut tipis dan asap pertempuran, ia melihatnya—dua kapal yang tadinya bersembunyi di balik pulau kecil kini melaju dengan cepat, meriam mereka sudah siap ditembakkan.
Kapal pertama, yang dipimpin oleh Saudara Amin, tampak seperti kapal frigat yang ringan namun gesit. Sementara di belakangnya, kapal tiang dengan 80 meriam berdiri megah, bagaikan monster laut yang terbangun dari tidurnya. Saudara Amin, berdiri di buritan dengan wajah penuh percaya diri, memerintahkan awaknya dengan tenang.
"Siapkan meriam sisi kiri! Targetkan kapal Galleon di depan! Jangan berhenti menembak sampai aku perintahkan!"
Puluhan awak kapal segera bergerak sigap, memuat meriam dan membidik dengan presisi. Beberapa dari mereka adalah nelayan dan mantan awak kapal sederhana, namun di bawah pelatihan keras dari Tom dan bimbingan Saudara Amin, mereka kini bertindak seperti prajurit laut berpengalaman.
"Tembak!"
BOOM! BOOM! BOOM!
Meriam-meriam dari kapal Saudara Amin melepaskan tembakan bertubi-tubi, bola-bola besi melesat melewati udara dan menghantam sisi Galleon kedua milik Sir Edward. Kayu pecah berhamburan, dan suara jeritan dari pelaut Inggris terdengar ketika ledakan memicu kebakaran di dalam lambung kapal.
Galleon kedua itu mulai oleng. Lambungnya berlubang besar, air laut dengan cepat memenuhi dek bawahnya. Panik, awak kapal Inggris berusaha memadamkan api dan memompa air keluar, namun itu percuma. Mereka tak bisa lagi bertahan dari serangan bertubi-tubi.
"Tuan Edward! Kapal tenggelam!" Teriak salah satu prajurit di dekatnya. Sir Edward menoleh ke belakang dan melihat bencana itu—Galleon kedua, kebanggaan mereka, perlahan tenggelam ke dalam laut, membawa ratusan anak buahnya.
Namun, Sir Edward tak sempat bereaksi. Ledakan lainnya menghantam sisi Galleon yang ia naiki. Bola meriam dari kapal tiang pasukan Tom, yang mengikuti di belakang Saudara Amin, menembus lapisan kayu tebal kapal perang Inggris itu. Sisi kiri kapal Sir Edward kini hancur berantakan, sebagian meriamnya meledak, dan kobaran api mulai merambat cepat ke tiang utama.
"Mereka menembaki kita seperti buruan!" Suara seorang perwira memecah hiruk-pikuk. Kapal Inggris yang tadinya penuh keangkuhan kini terombang-ambing di laut, rusak parah. Sir Edward menggertakkan giginya, marah sekaligus tak percaya.
Ia menoleh tajam ke arah kapal musuh yang dikomandani Saudara Amin. Dari kejauhan, ia bisa melihat siluet pria itu berdiri gagah di buritan, tangannya mengacungkan pedang tanda kemenangan. Seolah pria itu tengah menantang dirinya secara pribadi.
"Sialan! Itu bukan sekadar kapal nelayan… siapa mereka sebenarnya?" Gumam Sir Edward penuh amarah.
Laporan-laporan terus berdatangan. "Kita tak bisa bertahan lebih lama, Tuan Edward! Dek bawah terbakar! Api menyebar ke ruang amunisi!"
Sir Edward mengatupkan rahangnya, lalu berteriak dengan suara lantang. "Berikan perintah mundur! Angkat layar—kita harus keluar dari sini sekarang juga!"
"Tuan, kapal kita tidak bisa berlayar jauh dalam kondisi ini!" Sahut perwira lain dengan panik.
Namun tak ada pilihan lain. Dengan sisa kekuatan yang ada, Galleon Sir Edward mulai bergerak menjauh, layarnya terkoyak angin sementara kobaran api belum sepenuhnya padam. Di belakang mereka, kapal tiang dan frigat pasukan Tom terus mengejar dan sesekali melepaskan tembakan peringatan.
Saudara Amin berdiri di buritan dengan tatapan tajam, memandangi kapal musuh yang mencoba kabur. "Jangan kejar mereka. Biarkan mereka kembali ke Singapura dan bercerita bagaimana kita menghancurkan kebanggaan mereka." Katanya kepada awak kapal dengan suara penuh karisma.
Di atas benteng Ford, Tom menyaksikan seluruh pertempuran itu dengan mata waspada. Ela berbisik di pikirannya dengan nada puas. "Satu kapal tenggelam, satu lagi dirusak parah. Ini kemenangan besar, Tom."
Tom menghela napas dalam, namun wajahnya tetap serius. "Mereka akan kembali. Sir Edward bukan tipe yang menyerah semudah itu."
Ela tersenyum samar, suaranya lembut. "Benar. Tapi untuk hari ini, kemenangan ada di tanganmu. Dan kemenangan ini akan dikenang oleh semua orang di pulau ini."
Saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat, sorak-sorai kemenangan terdengar dari seluruh penjuru pulau. Prajurit-prajurit desa yang berjaga di garis pertahanan mengangkat senjata mereka ke udara, sementara di laut, kapal-kapal perang Tom berlayar kembali ke pelabuhan, disambut sebagai pahlawan.
Di kejauhan, kapal Sir Edward yang rusak parah tampak semakin kecil di cakrawala, seperti bayangan kekalahan yang memudar bersama senja. Namun Tom tahu—ini baru awal dari pertempuran yang lebih besar.
Setelah pertempuran yang membawa kemenangan besar bagi Pulau Batam, suasana di seluruh pulau dipenuhi dengan sukacita. Desa-desa meriah dengan sorak-sorai penduduk, obor-obor dinyalakan, dan nyanyian-nyanyian rakyat menggema hingga larut malam. Perayaan berlangsung tanpa henti, rakyat merayakan kebebasan dan kemenangan yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Namun, di balik kemeriahan itu, Tom memilih kembali ke gubuk tua miliknya yang terletak di pinggiran Desa Encik Ibrahim.
Ia membuka pintu gubuk dan melangkah masuk, mendengar suara kayu berderit di bawah langkah kakinya. Gubuk itu sederhana, dinding-dindingnya terbuat dari kayu lapuk, namun baginya, tempat ini adalah satu-satunya ruang di mana ia merasa tenang. Ia meletakkan senapan di sudut ruangan, mengambil secangkir teh hangat yang tersisa dari pagi hari, dan duduk di kursi reyot di depan meja kecil.
Di sudut matanya, ia melihat sosok yang tak asing muncul perlahan dari bayang-bayang. Ela, dengan wujud manusianya yang anggun, mengenakan gaun sederhana putih bersih, rambut pirangnya tergerai lembut. Dia berjalan ke arahnya dengan langkah tenang, membawa aura kehangatan yang membuat gubuk itu terasa lebih hidup. Ela duduk di kursi di seberang Tom, menatapnya dengan senyuman lembut yang jarang ia tunjukkan.
"Hari yang berat, ya?" Ela membuka percakapan dengan nada santai, suaranya tak lagi sekaku atau formal seperti biasanya.
Tom menghela napas panjang, pandangannya teralihkan sejenak ke luar jendela, di mana langit malam mulai dipenuhi bintang. "Bukan hanya hari ini. Semua yang terjadi sejak aku tiba di sini terasa seperti pertempuran yang tak pernah selesai. Tapi… kali ini, aku melihat harapan. Pulau ini punya peluang untuk berdiri sendiri."
Ela tersenyum lebih lebar, menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kamu bicara seperti seorang pemimpin yang siap membangun masa depan."
Tom mendengus pelan, matanya kembali memandang Ela. "Aku bukan pemimpin. Aku hanya seorang tentara yang kebetulan tahu cara bertahan hidup. Orang-orang di sini, mereka yang benar-benar kuat. Mereka melawan karena mereka punya sesuatu yang ingin mereka lindungi. Aku hanya memberikan arah."
Ela mengangguk kecil, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Dan mereka percaya pada arah itu karena kamu, Tom. Jangan meremehkan peranmu. Tapi aku penasaran…" Ela berhenti sejenak, matanya menyipit sedikit, seperti sedang menyelidik. "Kenapa kamu memilih duduk di sini sendirian, sementara semua orang merayakan kemenangan di luar sana?"
Tom menatapnya dengan alis terangkat. "Mungkin aku butuh waktu untuk berpikir. Atau mungkin, aku lebih suka ketenangan daripada hingar-bingar."
Ela menyeringai tipis, sesuatu yang jarang ia lakukan. "Atau mungkin karena kamu tidak tahu bagaimana caranya merayakan?"
Tom tertawa kecil, suaranya serak namun tulus. "Kau benar. Aku tidak terbiasa dengan perayaan. Dalam pekerjaanku dulu, kemenangan hanya berarti kita berhasil bertahan untuk bertarung lagi. Tidak ada pesta. Tidak ada rasa lega."
Ela menatapnya dalam diam, matanya memancarkan sesuatu yang sulit Tom tafsirkan. "Kamu terlalu keras pada dirimu sendiri, Tom. Bahkan seorang prajurit sekalipun berhak merasakan kebahagiaan."
Tom menyipitkan mata, memandang Ela dengan rasa ingin tahu. "Dan kau, Ela? Aku perhatikan akhir-akhir ini kau… sedikit berubah. Kau tidak lagi bicara dengan nada formal seperti dulu. Bahkan, kau mulai terdengar lebih santai, seperti…" Ia berhenti, mencoba mencari kata yang tepat. "Seperti manusia."
Ela tersenyum kecil, senyum itu kali ini lebih hangat daripada biasanya. "Mungkin karena aku mulai memahami manusia lebih baik. Kau tahu, berada di sisimu selama ini memberiku perspektif baru. Aku belajar dari cara kau bertahan, cara kau memimpin, dan cara kau berbicara kepada mereka yang membutuhkan harapan."
Tom menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Ela dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau belajar dariku? Itu hal baru."
Ela mengangguk perlahan. "Ya. Dan aku rasa, kau juga mulai berubah. Kau bukan lagi prajurit yang hanya berpikir soal pertempuran. Ada sisi lain dari dirimu yang perlahan muncul, sesuatu yang… lebih manusiawi."
Tom mengangkat alis. "Manusiawi? Apa maksudmu?"
Ela tersenyum lebih lebar, namun kali ini ada sedikit misteri dalam sorot matanya. "Aku rasa kau akan tahu pada waktunya."
Tom hanya bisa menghela napas panjang. "Kau benar-benar suka membuatku bingung, ya."
Ela tertawa pelan, suara itu terdengar lembut dan menenangkan. Ia berdiri perlahan dari kursinya, melangkah menuju jendela kecil di gubuk itu. Pandangannya mengarah ke luar, ke langit malam yang dipenuhi bintang. "Tom, ada satu hal yang perlu kau ingat. Kemenangan ini hanyalah awal. Masih banyak tantangan yang menunggu. Tapi dengan semua yang kau miliki sekarang—rakyat yang percaya padamu, pasukan yang terlatih, dan harapan yang telah kau bangkitkan—aku yakin kau bisa melaluinya."
Tom mengangguk perlahan, meskipun matanya tetap memandang Ela dengan rasa penasaran yang tak terungkapkan. Dalam hening, ia menyadari bahwa kehadiran Ela bukan lagi sekadar suara di kepalanya. Ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang ia belum sepenuhnya pahami.
Ketika percakapan itu berakhir, suasana di dalam gubuk kecil menjadi hening. Tom masih duduk di kursinya, pandangannya tertuju ke cangkir teh yang kini hampir kosong di tangannya. Ela, yang masih berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan sorot mata yang seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Namun, tanpa peringatan, Ela berbalik dan berjalan perlahan ke arah Tom. Langkahnya begitu ringan hingga kayu di bawahnya hampir tak bersuara. Sesampainya di belakangnya, Ela berhenti sejenak, memandang sosok pria yang kini menjadi pusat dunianya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Sebelum Tom sempat menyadari kehadirannya, Ela menundukkan tubuhnya sedikit dan melingkarkan kedua lengannya di sekitar bahu Tom, memeluknya dari belakang. Pelukan itu lembut namun tegas, seperti upaya untuk memberikan kekuatan sekaligus kehangatan yang jarang ia tunjukkan.
Tom membeku sesaat, keheranan bercampur dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang sulit ia ungkapkan. "Ela?" Tanyanya, suaranya pelan, hampir berbisik.
Ela menundukkan kepalanya, membiarkan pipinya yang lembut menyentuh sisi kepala Tom. Suara napasnya terdengar tenang, seperti nada dari angin malam yang merdu. "Tom, kau tahu… aku tidak pernah mengerti kenapa manusia bisa begitu sulit melepaskan diri dari rasa takut. Aku melihat itu dalam dirimu juga, bagaimana kau selalu menyimpan semuanya sendirian, seolah-olah beban dunia ini hanya milikmu."
Tom menghela napas panjang, tapi sebelum ia bisa menjawab, Ela melanjutkan, suaranya menjadi lebih lembut, lebih hangat. "Tapi di tengah semua itu, kau tetap berdiri. Kau terus melangkah. Bahkan saat kau ragu, kau tetap memilih untuk melindungi mereka yang membutuhkanmu. Aku… aku belajar banyak dari itu, Tom."
Ela menarik napas sejenak, dan untuk pertama kalinya, nada bicaranya mengandung kehangatan yang hampir manusiawi. "Aku tahu kau tidak pernah meminta ini, tidak pernah ingin menjadi pemimpin atau pahlawan. Tapi bagiku… kau adalah bukti bahwa bahkan seseorang yang penuh luka dan kehilangan bisa menjadi cahaya bagi orang lain. Dan aku…" Ia terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Aku bangga bisa berada di sisimu, membantu dan menyaksikan setiap langkahmu."
Tom menelan ludah, merasakan kehangatan pelukan Ela yang begitu nyata meskipun ia tahu siapa—atau apa—Ela sebenarnya. "Ela… aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan. Tidak ada yang istimewa dariku."
Ela tersenyum tipis, meskipun Tom tak bisa melihatnya. "Kau salah. Yang membuatmu istimewa adalah karena kau tidak pernah melihat dirimu seperti itu. Kau hanya berfokus pada apa yang penting, pada mereka yang ada di sekitarmu. Tapi kau lupa satu hal, Tom."
Tom memiringkan kepalanya sedikit, mencoba melihat Ela. "Apa itu?"
Ela mengencangkan pelukannya sedikit, memberi rasa aman yang sulit dijelaskan. "Kau juga layak mendapatkan sedikit kedamaian, sedikit kebahagiaan. Dan jika aku bisa, aku ingin menjadi bagian dari itu."
Tom terdiam, kata-kata Ela menggema di pikirannya, meninggalkan sesuatu yang sulit ia pahami sepenuhnya. Pelukan itu tetap bertahan sejenak, cukup lama untuk membuat keheningan terasa seperti ruang di mana perasaan-perasaan yang tak terungkapkan bisa mengalir bebas.
Akhirnya, Ela melonggarkan pelukannya, berdiri tegak kembali, namun masih di dekatnya. Ia menatap Tom dengan senyum lembut, wajahnya yang bercahaya terlihat begitu damai dalam sinar bulan yang masuk melalui celah jendela. "Kau tahu, Tom, jika kau terus meremehkan dirimu, mungkin aku harus terus berada di sini untuk mengingatkanmu."
Tom tersenyum tipis, sebuah senyuman yang jarang terlihat di wajahnya. "Sepertinya aku tidak punya pilihan, ya?"
Ela tertawa pelan, nada suaranya seperti melodi yang menenangkan. "Tidak, kau memang tidak punya pilihan."
Dan di malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Tom merasakan sesuatu yang menyerupai kedamaian. Di tengah dunia yang penuh dengan perang dan kesulitan, di tengah tanggung jawab yang berat, ada momen kecil ini—momen yang membuat semua itu terasa sedikit lebih ringan.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top