Chapter 4

Di sebuah ruang pertemuan megah di Singapura, Sir Edward duduk di ujung meja panjang yang dipenuhi peta dan dokumen. Ia tampak gelisah, wajahnya masih menyimpan kemarahan akibat kekalahan memalukan di desa kecil yang bahkan tak tercatat dalam peta resmi. Beberapa pengawal dan pejabat Perusahaan India Timur duduk di sekelilingnya, sementara seorang perwira muda dari Royal Navy berdiri tegap di dekat pintu, menunggu perintah.

"Kita tidak bisa membiarkan penghinaan ini dibiarkan begitu saja." Sir Edward memulai dengan nada keras, tangannya mengepal di atas meja. "Mereka bukan hanya membunuh pasukan kita, tetapi juga merusak nama baik Perusahaan India Timur dan Kekaisaran Inggris di kawasan ini."

Seorang pria tua dengan rambut kelabu dan jubah resmi Perusahaan India Timur, Sir Walter Hargrove, mengangkat tangannya, mencoba menenangkan suasana. "Edward, aku memahami kekesalanmu. Tapi langkah kita harus dipikirkan matang-matang. Kekalahan ini tidak boleh membuat kita bertindak gegabah."

"Gegabah?" Balas Sir Edward dengan marah. "Mereka adalah orang-orang desa! Orang-orang desa yang berhasil mengalahkan pasukan kita yang lebih terlatih dan bersenjata lengkap. Jika kita tidak segera bertindak, mereka akan menyebarkan keberanian itu ke desa-desa lain. Apa yang akan terjadi pada kekuasaan kita di pulau-pulau ini?"

Setelah beberapa menit debat yang intens, Sir Edward mengeluarkan sebuah peta besar yang menggambarkan wilayah selatan Selat Malaka dan Pulau Batam. Ia menunjuk dengan keras pada pulau itu. "Kita akan kembali ke desa itu, tetapi kali ini kita tidak akan main-main. Kita akan menunjukkan kepada mereka kekuatan sebenarnya dari Kekaisaran Inggris."

Perwira muda dari Royal Navy, Letnan George Collins, angkat bicara untuk pertama kalinya. "Tuan, apa langkah konkret yang Anda usulkan? Pasukan kita sudah terkuras, dan sumber daya Perusahaan India Timur harus dibagi dengan operasi lain di kawasan ini."

Sir Edward tersenyum dingin. "Aku sudah memikirkan itu, Letnan. Kita akan meminjam dua galleon dari armada Royal Navy-'HMS Resolute' dan 'HMS Indomitable'. Kapal-kapal itu sudah dilengkapi dengan meriam yang cukup untuk menghancurkan desa kecil itu menjadi abu. Selain itu, kita akan merekrut 500 prajurit tambahan sebagai tentara bayaran dari koloni terdekat. Mereka tidak perlu berasal dari Inggris; gunakan sepenuhnya sumber daya kita-Sepoy dari India, orang-orang pribumi yang bisa dibayar dengan emas, siapa saja."

Letnan Collins tampak ragu. "Tapi, Tuan, menyerang wilayah itu dengan kekuatan sebesar itu akan melanggar perjanjian kita dengan Belanda. Pulau-pulau ini masih dalam pengaruh mereka, setidaknya secara formal."

Sir Edward melambaikan tangannya, tidak peduli. "Belanda lemah. Mereka tidak akan berani menentang kita secara langsung. Dan jika ada masalah diplomatik, biarkan para bangsawan di London menyelesaikannya. Kita berada di sini untuk memastikan kekuasaan kita tidak tergoyahkan, bukan untuk bermain politik."

Sir Walter Hargrove menulis sesuatu di dokumennya dengan hati-hati. "Edward, dua galleon dan 500 prajurit itu bukan jumlah kecil. Jika kau gagal lagi, kali ini Kekaisaran mungkin tidak akan memaafkanmu. Pastikan ini berhasil."

Sir Edward tersenyum dengan percaya diri. "Aku tidak akan gagal. Desa itu mungkin memiliki senjata yang aneh dan pasukan yang terlatih, tetapi mereka tidak akan bisa melawan artileri berat dan kapal perang. Kita akan mengepung mereka dari laut dan darat. Desa itu akan menjadi contoh bagi siapa saja yang mencoba menentang Perusahaan India Timur."

Seorang pejabat muda dari divisi logistik Perusahaan India Timur, Andrew Lockwood, menambahkan, "Tuan, dengan persiapan ini, kita butuh setidaknya dua bulan untuk mengumpulkan semua sumber daya, merekrut prajurit, dan mempersiapkan kapal-kapal. Akan ada risiko, terutama jika desa itu mengetahui rencana kita sebelumnya."

Sir Edward menatap Andrew dengan tajam. "Maka pastikan tidak ada satu pun dari mereka yang tahu. Bunuh siapa saja yang membawa informasi ini ke desa itu. Kita akan menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bersiap."

Tak ada yang menyadari bahwa percakapan ini telah didengar. Dalam sudut bayangan, sosok tak kasat mata mengamati dengan cermat. Ela, meskipun hanya suara di kepala Tom, memiliki kemampuan untuk mendengarkan percakapan ini melalui perangkat misterius yang ada dalam sistemnya.

"Tuan, mereka berencana menyerang dalam dua bulan dengan armada besar." Suara Ela terdengar di benak Tom ketika dia tengah memeriksa pelatihan di desa. "Mereka akan membawa dua galleon dengan meriam berat dan 500 prajurit tambahan. Desa ini akan menjadi target utama."

Tom terdiam sejenak, matanya menyipit. "Dua bulan, ya? Itu cukup waktu untuk mempersiapkan pertahanan dan mengatur serangan balasan. Ela, pastikan kita mendapatkan semua informasi yang kita bisa tentang armada mereka. Jika mereka ingin menghancurkan kita, kita akan menyambut mereka dengan neraka."

..
...

Tom berdiri di tengah lapangan desa, wajahnya serius memandangi peta kasar yang terhampar di atas meja kayu sederhana. Encik Ibrahim, Tok Penghulu, dan beberapa pemimpin desa lainnya berdiri di sekelilingnya, memerhatikan setiap gerakan tangannya yang menunjuk lokasi strategis.

"Benteng Ford, di sini." Ujar Tom sambil mengetukkan jarinya pada titik di tepi pantai. "Itu target kita. Jika kita bisa merebutnya sebelum Sir Edward datang dengan bala bantuan, kita bukan hanya menghancurkan rencana mereka, tapi juga mengamankan posisi strategis untuk pertahanan kita."

Encik Ibrahim, dengan sorban hitam yang mulai pudar warnanya, mengangguk pelan. "Kau yakin kita bisa menyerang benteng itu? Bukankah mereka punya persenjataan dan tembok yang kokoh?" Tanyanya, nada khawatir terselip dalam suaranya.

"Kokoh, iya. Tapi tembok itu dirancang untuk menahan serangan meriam besar, bukan mortir dapat lewat melalui atas." Jawab Tom yakin. "Ditambah lagi, mereka tidak mengantisipasi serangan dari kelompok seperti kita. Mereka berpikir kita hanya kumpulan petani dan nelayan biasa."

Tok Penghulu, dengan wajah penuh guratan pengalaman, menepuk pundak Encik Ibrahim. "Tom benar. Ini saatnya kita menyerang sebelum mereka menyerang kita. Kita tak punya pilihan lain."

Tom menarik napas dalam-dalam, memandang setiap orang di sekelilingnya. "Aku tahu ini berisiko. Tapi semakin lama kita menunggu, semakin besar kekuatan mereka. Jika kita bergerak cepat, kita bisa mengambil alih benteng itu sebelum mereka tahu apa yang terjadi."

Ela, yang selama ini diam di dalam kepala Tom, tiba-tiba berbicara lembut. "Tuan, waktu adalah sekutumu. Namun, jangan abaikan persiapan. Pastikan jalur logistikmu aman. Jika tidak, kemenangan ini hanya sementara."

Tom mengangguk sedikit, seolah menjawab Ela. "Kita juga perlu memastikan logistik kita terjaga. Pak Mat sedang menyempurnakan mortir. Aku ingin semua siap dalam waktu tiga minggu."

Pelatihan intensif dimulai. Tom bekerja tanpa henti, melatih 300 pasukannya yang kini terdiri dari para pemuda dari desa-desa sekitar. Mereka dilatih untuk menembak dengan akurasi tinggi menggunakan Bolt-action sederhana, sambil diajarkan taktik pertempuran yang lebih terorganisir.

"Ingat, kalian bukan hanya membela desa ini, tapi juga orang-orang yang kalian cintai." Seru Tom di tengah latihan. Suaranya tegas namun penuh semangat. "Musuh kalian mungkin lebih banyak, tapi kita punya keunggulan: kita tahu medan ini, dan kita punya senjata yang lebih baik. Fokus, dan jangan pernah lengah."

Ela terus memberikan masukan selama pelatihan. "Tuan, beberapa dari mereka tampak tidak nyaman dengan senjata baru. Beri mereka waktu untuk menyesuaikan diri. Tidak semua orang bisa langsung beradaptasi dengan perubahan."

Tom memperhatikan beberapa pemuda yang tampak kesulitan. Ia mendekati mereka, memberi arahan langsung, dan kadang hanya berbicara untuk menenangkan kegelisahan mereka. "Ini memang bukan pekerjaan mudah." Katanya suatu hari kepada seorang pemuda bernama Amir yang gugup saat menembak. Dia juga sering membantu Tom dulu saat masih menjadi Nelayan sebelum akhirnya tiba-tiba menjadi Komandan dari Milisi. "Tapi kau di sini bukan untuk jadi sempurna. Kau di sini untuk melindungi desamu. Fokus pada itu."

3 April 1800.

Dini hari, pasukan Tom bergerak. Mereka membawa senjata, amunisi, dan mortir yang baru selesai dibuat. Dengan senyap, mereka mendekati Benteng Ford, memastikan semua jalur masuk dan keluar tertutup. Perahu-perahu kecil mengawasi jalur laut, sementara jebakan-jebakan dipasang di jalur darat.

Ketika matahari mulai terbit, dentuman pertama terdengar. "Mortir, tembak!" Perintah Tom dari pos pengamatan di bukit kecil.

Mortir buatan Pak Mat menghantam dinding luar benteng, menciptakan suara yang memekakkan telinga. Pasukan di dalam benteng panik. Beberapa mencoba membalas tembakan dengan musket, namun jangkauannya terlalu pendek untuk mencapai posisi Tom dan pasukannya.

"Kita punya keuntungan posisi dan senjata." Bisik Ela di kepala Tom. "Jangan terburu-buru menyerang. Biarkan mereka kehabisan tenaga terlebih dahulu."

Tom mengikuti saran Ela. Ia memerintahkan pasukannya untuk tetap bertahan di posisi mereka, terus menembakkan mortir dan menunggu hingga musuh mulai melemah.

Setelah dua hari pengepungan, dinding luar Benteng Ford mulai runtuh. Pasukan di dalam benteng semakin terdesak, dan Tom tahu ini saatnya melancarkan serangan final.

"Siapkan diri kalian." Seru Tom kepada pasukannya. "Kita akan menyerang dari sisi timur laut. Itu titik terlemah mereka. Jangan terlalu percaya diri, tapi juga jangan ragu. Fokus pada tugas kalian, dan kita akan memenangkan ini."

Dengan formasi yang terorganisir, pasukan Tom menyerang. Mereka menggunakan tembakan jarak jauh untuk membunuh penjaga di atas benteng, lalu mendekati tembok yang runtuh.

Pertempuran berlangsung sengit. Beberapa pasukan Tom tewas, namun mereka berhasil menekan musuh hingga menyerah. Saat bendera Inggris di atas benteng diturunkan, sorak-sorai kemenangan terdengar di seluruh penjuru.

Di dalam benteng, Tom berdiri memandangi langit malam yang penuh bintang. Encik Ibrahim dan Tok Penghulu mendekatinya.

"Kau membawa kami kemenangan besar, Tom." Ujar Encik Ibrahim dengan senyum lelah namun penuh rasa syukur. "Tapi aku tahu ini belum selesai."

Tom mengangguk pelan. "Belum. Sir Edward akan tahu kita telah merebut benteng ini, dan dia akan datang dengan lebih banyak pasukan. Tapi setidaknya sekarang kita punya waktu untuk bersiap."

Ela berbicara di kepala Tom, suaranya lembut namun tegas. "Tuan, kau telah mengubah sejarah desa ini. Tapi perang ini belum selesai. Kita harus tetap bersiap untuk apa yang akan datang."

Tom menghela napas panjang, memandangi bendera desa mereka yang kini berkibar di atas Benteng Ford. "Aku tahu, Ela. Dan aku akan memastikan mereka tidak pernah melupakan perlawanan ini."

Benteng Ford, 6 April 1800.

Ruangan interogasi itu hening, hanya terdengar suara langkah berat dari para penjaga yang berdiri di sudut-sudut ruangan. Dua orang Inggris duduk di kursi kayu dengan tangan terikat ke belakang. Mereka adalah tahanan penting dari Benteng Ford: Kapten Reginald Crawford, seorang perwira sombong dengan reputasi tak terkalahkan di koloni, dan Mr. Henry Blackwood, seorang pedagang yang dikenal licik.

Tom berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya diletakkan di pinggang. Matanya tajam, penuh tekanan, menatap keduanya tanpa berkedip. Belati kecil terselip di pinggangnya, namun yang lebih mengancam adalah ketenangan dingin yang memancar dari sikapnya. Ela berbicara lembut di kepalanya, suaranya terukur dan strategis.

"Kau tahu, Tuan, orang-orang seperti mereka punya kelemahan. Kapten itu sombong, dan pedagang itu pengecut. Keduanya bisa kau tekan dari sisi yang berbeda."

Tom mengangguk pelan, lalu mendekati Reginald. Dengan suara tenang, dia membuka percakapan. "Kapten Crawford, aku tidak di sini untuk bermain-main. Kau tahu aku sudah punya informasi tentang rencana Sir Edward. Jadi, jangan buang waktuku. Apa tujuan sebenarnya dari pengiriman pasukan itu?"

Reginald mendengus, wajahnya tetap menunjukkan ekspresi angkuh. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Sir Edward tidak pernah memerintah tanpa alasan yang sah. Kau berpikir dia akan menyerangmu begitu saja? Omong kosong."

Tom tetap tenang, tidak terpancing oleh kebohongan itu. "Aku tahu tentang dua galleon, 500 pasukan bayaran, dan kiriman senjata dari Singapura. Yang kutanyakan adalah: apakah ada rencana lain yang belum kami ketahui? Jika kau pikir aku hanya punya informasi setengah-setengah, pikirkan lagi, Kapten."

Blackwood, yang sejak tadi diam, mulai gelisah. Wajahnya memucat, dan dia tampak seperti ingin berbicara, tetapi takut. Tom memperhatikan perubahan itu dan langsung menekannya.

"Dan kau, Blackwood. Kau seorang pedagang, bukan prajurit. Apa yang membuatmu berada di sini bersama pasukan Sir Edward? Kau bukan sekadar pengikut. Apa yang sedang kau coba negosiasikan dengan mereka?"

Blackwood tergagap. "Aku hanya menjalankan perintah! Mereka ingin aku memastikan bahwa semua perdagangan berjalan lancar. Aku tidak tahu apa-apa soal rencana besar mereka!"

Tom mendekat, menatap Blackwood dengan tajam. "Lancar? Memastikan apa yang lancar? Perdagangan lada? Atau ada sesuatu yang lebih besar di balik ini?"

Ela berbicara lagi di kepalanya, memberikan saran. "Dia sudah goyah, Tuan. Blackwood takut padamu. Tekan sedikit lagi, dan dia akan bicara."

Tom mengambil belati dari ikat pinggangnya, memainkan ujungnya di atas meja kayu dengan suara pelan namun mengintimidasi. "Blackwood, kau tahu aku tidak punya waktu untuk basa-basi. Aku bisa membuat ini jauh lebih sulit untukmu, tapi aku lebih suka mendapatkan jawaban tanpa kekerasan."

Reginald menyeringai sinis, meskipun matanya sedikit menyipit melihat ancaman itu. "Pengecut seperti dia tidak tahu apa-apa, bukan begitu, Blackwood?"

Blackwood akhirnya pecah. "Mereka ingin mengambil alih lebih banyak tanah di sekitar desa-desa! Itu sebabnya aku di sini! Aku... aku diminta memastikan bahwa negosiasi dengan Belanda berjalan lancar untuk membenarkan tindakan mereka. Sir Edward tidak hanya ingin menghancurkan desa ini; dia ingin menguasai seluruh pulau!"

Tom mengangkat alis, melihat ke arah Reginald. "Kau ingin menambahkan sesuatu, Kapten? Atau kau masih ingin diam?"

Reginald terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan dingin. "Kau mungkin tahu rencana besar kami, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Kau hanya mengulur waktu sebelum kami menghancurkan kalian semua."

Tom mendekat, suaranya menjadi lebih rendah namun penuh tekanan. "Kau pikir aku tidak siap menghadapi pasukanmu? Aku sudah melatih orang-orang desa untuk pertempuran ini. Mereka punya senjata yang jauh lebih baik dari musket kalian. Tapi aku ingin kau tahu sesuatu, Kapten. Aku tidak hanya melawan untuk bertahan. Aku melawan untuk menang."

Ela berbicara lagi, memberikan dorongan. "Tuan, kita sudah cukup mendapat informasi. Kita harus mulai bergerak sebelum pasukan mereka tiba."

Tom menegakkan tubuhnya, lalu berbicara kepada para penjaga. "Bawa mereka kembali ke sel mereka. Pastikan mereka tidak bisa melarikan diri."

Saat para penjaga menyeret Reginald dan Blackwood keluar dari ruangan, Tom berdiri di tempatnya, berpikir keras. Ela berbicara dengan lembut.

"Kita harus bertindak cepat, Tuan. Tidak ada waktu untuk ragu. Mereka tidak akan menyerah, jadi kita harus menyerang lebih dulu."

Tom mengangguk perlahan. "Kau benar, Ela. Kita harus memastikan rencana mereka gagal sebelum mereka punya kesempatan untuk bergerak."

7 April 1800 - Dermaga Benteng Ford.

Pagi itu, udara laut terasa segar, meski angin dingin dari utara menusuk hingga ke tulang. Langit cerah tanpa awan, seolah memberikan ruang bagi semangat baru yang perlahan menyala di hati Tom. Di depannya, sebuah dermaga kecil terhampar, menjadi saksi dari luka-luka pertempuran yang baru saja terjadi. Di ujung dermaga itu, berdiri beberapa kapal yang masih megah meski terluka.

Tom melangkah perlahan, dengan tatapan penuh kalkulasi. Sepatunya yang telah usang beradu pelan dengan kayu dermaga yang mulai lapuk, menciptakan bunyi ritmis yang mengiringi langkahnya. Kapal-kapal itu berdiri tegak di hadapannya, seolah menunggu takdir baru yang akan ditulis oleh tangan seorang veteran yang kini memimpin perjuangan para rakyat desa.

"Kapal-kapal ini adalah pusaka dari musuhmu, Tuan." Suara Ela terdengar lembut di kepalanyal. "Jika kau mampu mengubah pusaka ini menjadi senjatamu, kau akan membuat mereka menyesali setiap keputusan yang membawa mereka ke sini."

Tom hanya mengangguk pelan, terlalu fokus untuk merespons dengan kata-kata. Matanya terpaku pada kapal tiang yang berdiri paling megah di antara yang lain. Tingginya menjulang, dengan tiga tiang besar yang menjulur ke langit. Lambungnya kokoh, meski ada goresan-goresan dan lubang kecil yang menjadi bukti dari pertempuran sebelumnya.

"Kapal ini..." Gumamnya. "Dia seperti raksasa yang tertidur. Tapi aku tahu, Ela, bahwa raksasa ini bisa menjadi penentu nasib kita."

"Benar, Tuan." Ela menjawab. "Namun untuk membangkitkannya, kau membutuhkan lebih dari sekadar keberanian. Kau memerlukan waktu, orang-orang yang ahli, dan sumber daya yang cukup. Tapi jika kau berhasil... bayangkan kekuatan yang kau miliki."

Tom menaiki kapal tiang itu dengan hati-hati, ditemani oleh beberapa pemuda desa yang menjadi pengawalnya. Mereka berjalan di atas geladak yang masih kuat, meski kayunya sudah mulai tua. Di bawahnya, lambung kapal penuh dengan meriam-sebanyak 80 laras baja yang tersusun rapi di sepanjang sisi kapal. Setiap meriam, meski berdebu dan sedikit berkarat, masih terlihat berfungsi.

Di bawah dek, seorang anak muda memanggil Tom. "Tuan, ruang penyimpanan mesiu masih penuh. Ini bukan hanya kapal, tapi gudang senjata!"

Tom mengangguk, senyum kecil terlukis di wajahnya. "Bagus. Kita akan gunakan semuanya. Kapal ini sekarang milik kita. Dia akan menjadi senjata yang membuat Sir Edward dan Royal Navy berpikir dua kali sebelum menginjakkan kaki di pulau ini lagi."

Dia kembali ke geladak atas dan memandang kapal yang lebih kecil di sampingnya, sebuah frigat ringan. Kapal ini lebih gesit, dengan tiang-tiang yang masih tegak dan layar yang hanya sedikit sobek. Frigat ini terlihat seperti kuda liar-siap berlari cepat, menyerang dengan gigih, dan kembali tanpa terluka.

"Frigat ini juga akan berguna, Ela." Katanya. "Dia mungkin tidak memiliki kekuatan meriam sebanyak kapal tiang itu, tapi kecepatannya bisa menjadi aset penting."

"Dua kapal, dua kekuatan berbeda. Kau bisa menyeimbangkan strategi darat dan laut dengan mereka, Tuan." Ela menyahut.

Tom tersenyum tipis. "Aku sudah memikirkan nama untuk mereka. Kapal tiang itu akan kuberi nama Merdeka. Karena itulah yang kita perjuangkan. Dan frigat ini... dia akan menjadi Harapan. Karena harapan adalah cahaya yang memandu kita, bahkan di kegelapan paling pekat."

Ela tertawa pelan. "Nama yang indah, Tuan. Kau benar-benar terlahir sebagai pemimpin."

"Aku hanya seorang prajurit tua yang mencoba bertahan hidup." Jawab Tom dengan nada rendah, meski matanya memancarkan api semangat.

Tom menginstruksikan para pemuda desa untuk mulai mempersiapkan kapal-kapal ini. Setiap bagian diperiksa, setiap kerusakan dicatat. Pandai besi Pak Mat mengirimkan anak buahnya untuk membantu memperbaiki kerusakan pada tiang dan lambung kapal. Mereka bekerja tanpa henti, mengamplas kayu yang retak, mengganti paku yang longgar, dan menguatkan simpul-simpul tali.

Setelah mengambil alih kapal-kapal perang di Benteng Ford, Tom menghadapi tantangan baru yang tak kalah berat. Kapal-kapal megah itu hanyalah alat-tanpa awak yang terlatih, mereka hanyalah benda mati yang menunggu hancur di pertempuran berikutnya. Tom, yang terbiasa dengan strategi darat, merasa canggung menghadapi tugas ini. Namun, dia tahu bahwa waktu tidak berpihak kepadanya. Sir Edward dengan dua Galleon dan pasukan baru akan datang seperti badai yang tidak bisa dihindari.

Tom mulai menyusun rencana. Dia berdiri di tengah pelabuhan sementara Ela berbicara dalam pikirannya.

"Tuan, ini adalah ujian yang berbeda. Kau seorang prajurit darat, tapi kini kau harus menjadi seorang komandan laut. Waktumu terbatas, tapi bukan berarti tak ada harapan." Suara Ela terdengar lembut namun tegas.

"Aku tahu, Ela. Tapi laut adalah sesuatu yang asing bagiku. Semua ini adalah wilayah di luar zona nyamanku." Jawab Tom, menatap kapal-kapal itu. "Aku harus melatih orang-orang ini dalam waktu singkat-sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak sepenuhnya kuasai."

Ela tertawa kecil. "Kau terlalu meremehkan dirimu, Tuan. Pengetahuan yang kumiliki dapat menjadi panduan. Aku akan menunjukkan caranya, langkah demi langkah. Kau hanya perlu keberanian, seperti biasa."

Tom menghela napas panjang dan mengangguk. "Baiklah, kalau begitu kita mulai dari sini. Tapi jangan harap ini akan mudah."

Dalam dua hari pertama, Tom memerintahkan para pengikutnya untuk menyebar ke desa-desa sekitar dan mengumpulkan orang-orang yang berminat bergabung. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar keberanian-mereka membutuhkan ketekunan, kecepatan belajar, dan fisik yang kuat.

Hasilnya cukup beragam. Sebagian besar calon adalah nelayan dan pedagang laut yang memiliki pengalaman dasar tentang kapal, tetapi tidak pernah terlibat dalam peperangan. Beberapa di antara mereka bahkan belum pernah menyentuh meriam, apalagi memahami strategi maritim.

"Tuan, ini orang-orang terbaik yang bisa kami temukan." Kata salah satu rekrutan senior, memperkenalkan sekelompok nelayan muda dengan kulit gelap terbakar matahari. "Mereka mungkin belum tahu banyak tentang perang, tapi mereka tahu cara menaklukkan laut."

Tom memandang sekelompok itu, memerhatikan tubuh-tubuh yang terbiasa dengan pekerjaan berat dan wajah-wajah yang penuh tekad. "Baik." Katanya sambil mengangguk. "Kita mulai pelatihan besok pagi. Semua orang harus siap untuk belajar dengan cepat."

Pelatihan berlangsung setiap hari dari pagi hingga malam. Tom membagi pasukan menjadi dua kelompok: satu untuk mempelajari manuver kapal, yang lain untuk menguasai penggunaan meriam dan senjata api lainnya. Dengan bantuan Ela, dia mendesain rencana pelatihan yang mencakup dasar-dasar navigasi, komunikasi antar kru, dan strategi pertempuran laut.

Ela membimbing Tom melalui langkah-langkah yang rumit. Dalam pikirannya, Ela menjelaskan tentang arah angin, cara membaca bintang, hingga bagaimana mengatur layar untuk memanfaatkan kekuatan alam.

"Anggap saja laut ini seperti medan perang, Tuan. Kapal-kapal adalah pasukanmu, layar adalah kavaleri, dan meriam adalah infanteri berat. Semua harus bekerja bersama untuk menghasilkan kemenangan."

"Laut ini lebih licik daripada medan perang, Ela." Gumam Tom. "Tapi aku akan mencoba memahaminya."

Selama pelatihan, kesalahan tak terelakkan. Tali layar yang salah ikat menyebabkan layar sobek, pelatihan meriam berakhir dengan letusan kecil karena mesiu yang berlebihan, dan beberapa nelayan muda jatuh ke air saat mencoba manuver di atas tiang kapal. Namun, dengan setiap kegagalan, mereka belajar.

Tom sendiri, meskipun bukan seorang pelaut, memimpin dengan teladan. Dia turun ke dek, membantu mengikat tali, menunjukkan cara memuat meriam, dan memberikan instruksi dengan suara tegas namun penuh semangat.

"Kau memimpin dengan hati, Tuan." Kata Ela suatu malam. "Itulah sebabnya mereka mengikutimu. Laut mungkin tidak pernah menjadi rumahmu, tapi mereka melihatmu sebagai kompas yang mereka butuhkan."

Salah satu tantangan terbesar adalah menguasai kapal tiang Merdeka. Dengan 80 meriam, kapal ini jauh lebih kompleks daripada frigat Harapan. Tom menunjuk beberapa nelayan berpengalaman sebagai kru inti untuk kapal tersebut, sementara dia sendiri mempelajari setiap sudut kapal.

Tom berdiri di geladak, memandang barisan meriam yang berjejer di kedua sisi kapal. "Kapal ini adalah benteng di atas air." Katanya pada Ela. "Tapi kekuatan ini tidak ada gunanya jika kita tidak bisa mengendalikannya."

"Itulah sebabnya kau harus memimpin mereka, Tuan. Kapal ini memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi dua Galleon Sir Edward. Kau hanya perlu mengatur strateginya."

Tom mempelajari peta laut dengan cermat, menentukan jalur yang paling aman untuk melawan armada Sir Edward. Dia juga melatih kru untuk melakukan serangan cepat dan mundur dengan efisiensi. Frigat Harapan, dengan kecepatannya, dirancang untuk mengalihkan perhatian musuh, sementara Merdeka akan menjadi pukulan utama yang menghancurkan pertahanan mereka.

Setelah berminggu-minggu berkutat dengan persiapan, pelatihan, dan strategi, akhirnya segalanya mencapai puncaknya. Desa yang sebelumnya hanya sekumpulan pemukiman kecil kini telah berubah menjadi pusat perlawanan yang tangguh. Lebih dari 800 prajurit darat telah dilatih secara intensif oleh Tom. Dengan disiplin keras dan taktik yang dirancang khusus untuk menghadapi ancaman dari Sir Edward, mereka kini berdiri sebagai pasukan yang terorganisir dan siap tempur.

Namun, persiapan untuk angkatan laut tidak semudah itu. Kapal perang yang dimiliki Tom-Merdeka dan Harapan-adalah harta karun strategis, tapi kapal-kapal itu memerlukan kru yang terlatih dan pemimpin yang mampu memanfaatkan potensi mereka. Tom, dengan bantuan Ela, melakukan seleksi ketat untuk memastikan kapal-kapal ini berada di tangan yang tepat.

Di antara para kandidat yang diuji, satu nama menonjol: Saudara Amin. Seorang nelayan sederhana yang pernah bekerja bersama Tom sebelum peristiwa besar ini mengubah hidup mereka. Amin, meskipun berasal dari latar belakang yang sangat biasa, memiliki kecerdasan alami yang luar biasa dan kemampuan belajar yang mengagumkan.

Ela, yang selalu mengamati dengan cermat, berbicara kepada Tom dalam pikirannya saat mereka menyaksikan Amin memimpin simulasi pertempuran laut kecil. "Dia bukan orang biasa, Tuan." Kata Ela. "Jika takdirnya berbeda, dia mungkin akan menjadi seorang raja yang hebat. Kau tidak akan menemukan kandidat yang lebih baik darinya."

Tom tersenyum kecil mendengar komentar itu. "Dia memang istimewa. Tapi apakah kau yakin? Ini bukan peran yang mudah."

"Aku yakin, Tuan. Amin memiliki karisma, kecerdasan, dan keberanian. Bahkan saat dia membuat kesalahan, dia belajar lebih cepat daripada yang lain. Dia adalah pemimpin yang dibutuhkan armadamu."

Dengan keyakinan itu, Tom memanggil Amin untuk berbicara empat mata di atas geladak Merdeka.

"Amin." Kata Tom sambil memandang pria itu dengan serius. "Aku sudah melihat caramu memimpin. Kau cepat belajar, dan kau memahami kapal-kapal ini lebih baik daripada siapa pun di sini. Aku ingin kau menjadi kapten armada laut kita."

Amin tertegun sejenak, lalu menundukkan kepala dengan hormat. "Tuan, aku seorang nelayan biasa. Aku tidak pernah membayangkan bisa memimpin sesuatu sebesar ini. Tapi jika kau percaya padaku, aku akan memberikan segalanya untuk tugas ini."

Tom meletakkan tangannya di bahu Amin. "Bukan hanya aku yang percaya padamu, Amin. Orang-orang ini membutuhkanmu. Dan aku tahu kau tidak akan mengecewakan mereka."

Pelatihan angkatan laut pun dimulai dengan intensitas baru. Amin, meskipun baru, dengan cepat membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin alami. Dengan bantuan Tom dan pengamatan tajamnya sendiri, dia belajar bagaimana mengatur manuver kapal, memanfaatkan angin, dan melatih kru untuk menembakkan meriam dengan presisi.

Ela, yang biasanya hanya berbicara kepada Tom, sesekali memberikan masukan kepada Amin melalui Tom. "Ingatkan dia tentang pentingnya formasi, Tuan. Dua kapal ini adalah inti dari armada kecilmu. Jangan biarkan mereka terpisah terlalu jauh dalam pertempuran."

Tom menyampaikan pesan itu kepada Amin, yang segera mengadaptasi strategi tersebut. Dalam waktu singkat, Merdeka dan Harapan mulai berfungsi sebagai satu unit yang terkoordinasi.

Amin juga mulai menunjukkan sisi karismatiknya. Dia memiliki cara berbicara yang sederhana namun penuh keyakinan, membuat kru merasa percaya diri dan termotivasi meskipun mereka menghadapi tantangan besar.

Suatu malam, saat latihan berakhir, Ela berkomentar lagi kepada Tom. "Dia luar biasa, Tuan. Jika aku manusia, aku mungkin akan memilih bekerja di bawah komandonya."

Tom tertawa kecil. "Dia memang memiliki sesuatu yang tidak kumiliki, Ela. Tapi itu bagus. Kita butuh pemimpin seperti dia."

Dalam dua minggu terakhir ini, desa telah berkembang pesat. Tidak hanya jumlah prajurit darat yang terus meningkat, tapi juga persenjataan yang semakin memadai. Pak Mat dan timnya terus memproduksi mortir tambahan, sementara Tom memastikan bahwa jalur logistik ke pelabuhan tetap berjalan lancar.

Kapal-kapal perang Inggris yang kini menjadi bagian dari armada mereka telah diperlengkapi dengan baik. Meriam-meriam yang sebelumnya nyaris usang kini kembali berfungsi dengan optimal berkat kerja keras para pandai besi desa.

"Waktu kita semakin sedikit." kata Tom kepada Amin suatu malam di dermaga. "Kita mungkin hanya punya beberapa minggu sebelum Sir Edward tiba."

Amin mengangguk, matanya menatap laut yang tenang. "Kami akan siap, Tuan. Merdeka dan Harapan adalah kapal yang hebat. Mereka hanya membutuhkan kru yang percaya pada kemampuan mereka sendiri. Dan aku percaya kami akan mencapai itu sebelum pertempuran dimulai."

Tom tersenyum, merasa sedikit lega. "Kau memiliki kepercayaan diri yang luar biasa, Amin. Jangan pernah kehilangan itu."

Di tengah semua persiapan ini, Ela tetap menjadi pendamping setia Tom, berbicara di saat-saat dia merasa lelah atau ragu.

"Kau telah membangun sesuatu yang luar biasa di sini, Tuan." kata Ela suatu malam. "Tapi ingat, keberanian saja tidak cukup. Kau harus tetap fokus."

"Aku tahu, Ela." Jawab Tom sambil duduk di tepi dermaga, memandang ke arah kapal-kapal yang berlabuh. "Terkadang aku merasa seperti memikul beban dunia ini sendirian."

Ela tertawa kecil. "Kau tidak sendirian, Tuan. Aku ada di sini. Amin ada di sini. Orang-orangmu percaya padamu. Kau adalah pusat dari semua ini."

Tom terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, Ela. Kau benar. Aku hanya berharap semua ini cukup untuk menghentikan Sir Edward."

Ela tidak menjawab, tapi keheningan itu terasa menenangkan, seolah-olah dia memberikan keyakinan tanpa perlu kata-kata.

Dengan persiapan yang hampir sempurna dan pemimpin baru yang menjanjikan untuk armada laut mereka, Tom merasa bahwa mereka memiliki peluang nyata untuk melawan kekuatan besar yang akan datang. Di balik semua tekanan, dia tetap berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang ada di depan.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top