Chapter 3

Hari itu matahari terik, dan Tom sedang berdiri di lapangan terbuka di luar desa. Di hadapannya, beberapa pemuda desa yang dipilihnya dengan cermat sedang melatih cara menggunakan senapan bolt-action sederhana yang akhirnya berhasil dibuat oleh Pak Mat. Tangan mereka bergerak luwes, meski keringat bercucuran di dahi. Tom memperhatikan dengan mata tajam, sesekali memberikan instruksi dengan nada tegas namun tidak keras.

"Tegak! Fokus ke sasaran! Jangan terlalu cepat menarik pelatuk!" Serunya sambil menunjukkan posisi menembak yang benar.

Tiba-tiba, dari kejauhan, suara derap kaki kuda terdengar memecah keheningan. Tom segera mengangkat tangan, memberi isyarat kepada para pemuda untuk berhenti. Semua pandangan tertuju pada arah suara. Debu-debu mulai terlihat di ujung jalan masuk desa, dan seiring dengan itu, muncul iring-iringan kuda dan gerobak.

Sir Edward datang, kali ini dengan pasukan yang jauh lebih banyak. Seragam mereka mencolok, bercorak merah-putih khas Inggris, dan musket tergantung di pundak masing-masing prajurit. Warga desa yang melihat dari kejauhan segera berbisik-bisik cemas, sementara Tom memicingkan mata, tubuhnya menegang.

"Ela." Gumamnya dalam hati.

Suara lembut Ela langsung terdengar. "Tuan, pasukan ini lebih besar dari kunjungan sebelumnya. Berdasarkan analisis, mereka datang dengan niat memaksa. Apa langkah selanjutnya, Tuan?"

Tom menggenggam senapannya dengan lebih erat. "Kita tetap waspada. Aku tak mau memulai perang, tapi aku tak akan membiarkan mereka menginjak-injak desa ini."

Sir Edward turun dari kudanya dengan angkuh. Wajahnya menyiratkan percaya diri yang besar, bahkan cenderung meremehkan. Ia berjalan langsung menuju balai desa, diikuti oleh beberapa prajurit yang membawa musket. Para prajurit lainnya tetap berjaga di sekitar perbatasan desa, memastikan tidak ada yang mendekat terlalu dekat.

Tom memberikan isyarat kepada para pemuda desa. "Kembali ke barak. Jangan bergerak kecuali aku memberi tanda. Siapkan senjata, tapi jangan mulai tembakan. Kita harus tetap berpegang pada kehormatan kita."

Para pemuda itu mengangguk patuh, lalu bergerak dengan cepat menuju tempat persembunyian mereka. Tom kemudian berjalan mendekat ke arah balai desa, tetap menjaga jarak namun memastikan ia bisa melihat dan mendengar percakapan.

Di dalam balai desa, Encik Ibrahim sudah menunggu, ditemani Tok Penghulu. Wajah mereka tegang namun tetap berusaha tenang. Sir Edward melangkah masuk dengan langkah mantap, senyum tipis di wajahnya.

"Encik Ibrahim." Katanya sambil membungkuk sedikit, meskipun ada nada merendahkan dalam gerakannya. "Saya kembali untuk membahas tawaran saya. Saya yakin kita bisa mencapai kesepakatan yang... saling menguntungkan."

Encik Ibrahim mengangguk pelan, tetap tenang meskipun jelas ia merasa tekanan besar. "Sir Edward, kami menghormati niat baik Anda. Namun, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, tanah itu adalah warisan kami. Kami tidak bisa menjualnya, apa pun harganya."

Sir Edward menyeringai, wajahnya berubah dingin. "Encik Ibrahim, saya kira Anda salah paham. Ini bukan sekadar permintaan. Tanah itu sangat penting untuk kerajaan kami, dan saya diutus untuk memastikan kami mendapatkannya, dengan cara apa pun yang diperlukan."

Tok Penghulu langsung angkat bicara, berusaha menjadi penengah. "Sir Edward, saya yakin kita bisa menemukan jalan tengah. Desa ini selalu terbuka untuk berdagang, tapi soal tanah—"

Sir Edward mengangkat tangan, menghentikan ucapan Tok Penghulu. "Cukup. Saya sudah memberikan kesempatan kalian untuk berpikir. Ini tawaran terakhir saya: jual tanah itu atau hadapi konsekuensinya."

Dari luar, Tom mendengarkan dengan rahang mengeras. Ia bisa merasakan bagaimana tensi di dalam ruangan meningkat tajam. "Ela." bisiknya dalam hati. "Analisis peluang kita kalau terjadi bentrok."

Ela menjawab dengan suara tenang, namun ada nada kekhawatiran. "Tuan, peluang kemenangan Anda saat ini sekitar 88%. Pasukan desa sudah cukup terlatih, untung saja musket musuh memiliki jangkauan tembak tidak terlalu jauh dibanding senjata Anda. Namun jika bentrok pecah, akan ada banyak korban."

Tom mengangguk perlahan, kemudian berkata dengan dingin. "Kalau begitu, kita harus menang sebelum mereka punya kesempatan menembak."

Di dalam balai desa, Encik Ibrahim akhirnya berdiri, menatap Sir Edward dengan tegas. "Saya sudah menjawab, Sir Edward. Desa ini tidak akan menjual tanahnya. Kalau Anda ingin berdagang, kami terbuka. Tapi kalau Anda datang untuk mengancam, maka kami akan bertahan, apa pun risikonya."

Sir Edward tertawa kecil, lalu melangkah keluar. Sebelum naik ke kudanya, ia menoleh ke arah prajuritnya. "Bersiaplah. Kita akan beri mereka waktu sampai matahari terbenam. Kalau mereka masih menolak, kita ambil tanah itu dengan paksa."

Tom mendekat ke Encik Ibrahim begitu Sir Edward pergi. Wajahnya penuh ketegangan, namun suaranya tetap tegas. "Encik, kita harus bersiap sekarang. Mereka tidak bercanda. Kita tak punya banyak waktu."

Encik Ibrahim mengangguk, wajahnya cemas namun tetap tegar. "Lakukan apa yang perlu, Tom. Kami akan mendukungmu."

Tom bergerak cepat, memanggil para pemuda desa dan membagi tugas. Sementara itu, Ela terus memberinya analisis dan opsi terbaik. Perang kini hanya tinggal hitungan waktu, dan Tom tahu, tidak ada jalan mundur. Ia harus memimpin pertahanan desa ini, apapun yang terjadi.

Langit sore berubah merah ketika pertempuran dimulai. Warga yang tidak ikut bertempur sudah dievakuasi ke bagian dalam desa, aman di bawah penjagaan beberapa pemuda yang lebih tua. Di sepanjang garis depan, rumah-rumah kayu di pinggir desa telah disulap menjadi benteng pertahanan. Lubang-lubang kecil telah digali sebagai posisi menembak, dinding-dinding diperkuat dengan karung pasir dan kayu tebal.

Tom berdiri di belakang garis pertahanan utama, matanya tajam mengawasi setiap gerakan. Ia memegang teropong kecil di satu tangan, sementara tangan lainnya menggenggam senapan bolt-actionnya. Dua puluh orang di bawah komandonya tersebar di sepanjang garis depan, tersembunyi dengan senjata mereka mengarah ke jalan utama yang dilewati pasukan Sir Edward.

"Ela." Bisiknya dalam hati.

Suara lembut Ela terdengar, tenang dan suportif. "Tuan, pasukan musuh terbagi menjadi dua kelompok: infanteri dengan musket di tengah dan pasukan berkuda di depan. Mereka percaya diri, tapi tidak mengantisipasi tingkat serangan yang akan kita berikan. Saran saya: fokus pada berkuda terlebih dahulu untuk mengacaukan formasi mereka."

Tom mengangguk pelan, lalu memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya. "Prioritaskan kavaleri. Tunggu sampai jarak mereka cukup dekat. Jangan tembak sampai aku beri tanda."

Pasukan Sir Edward mendekat dengan percaya diri, suara derap kuda mereka mengguncang tanah. Kavaleri di depan mengangkat pedang tinggi-tinggi, yakin bahwa kekuatan mereka akan membuat warga desa menyerah. Infanteri di belakang mereka bergerak dengan disiplin, musket mereka siap ditembakkan dalam barisan rapat.

"Tuan, mereka berjarak sekitar 200 meter." Lapor salah satu pemuda dari lubang pertahanan, suaranya sedikit bergetar.

Tom menatap lurus ke depan, wajahnya keras dan penuh konsentrasi. "Tenang. Tunggu sampai jarak mereka 100 meter. Kita harus memanfaatkan setiap peluru."

Ketika jarak sudah tepat, Tom mengangkat tangan dan memberi tanda. "Tembak!"

Tembakan pertama memecah keheningan, suara keras bolt-action memenuhi udara. Peluru-peluru itu meluncur dengan kecepatan tinggi, tepat mengenai para penunggang kuda yang memimpin serangan. Satu demi satu, kavaleri jatuh dari pelana mereka, tubuh mereka terhuyung sebelum tergeletak tak bergerak di tanah.

Kebingungan langsung menyelimuti pasukan Sir Edward. Mereka tidak menduga keakuratan dan kecepatan tembakan dari para pemuda desa. Musket mereka yang membutuhkan waktu lama untuk diisi ulang tidak bisa menandingi senapan bolt-action.

"Jaga ketenangan kalian!" Teriak Sir Edward dari belakang, mencoba memulihkan moral pasukannya. "Majukan infanteri! Balas tembakan mereka!"

Infanteri Inggris mulai menembak, namun tembakan mereka serampangan dan tidak efektif. Sebagian besar peluru hanya mengenai dinding rumah atau tanah kosong. Sementara itu, pemuda-pemuda desa tetap tenang, memanfaatkan perlindungan mereka untuk terus menembak dengan akurat.

"Jangan biarkan mereka mendekat!" Perintah Tom, suaranya tegas namun tidak panik. "Isi ulang dengan cepat, pastikan setiap tembakan terhitung!"

Sir Edward mulai menyadari bahwa mereka kalah telak. Pasukan berkuda hampir habis, dan infanterinya tidak bisa maju karena serangan bertubi-tubi dari senapan bolt-action. Setiap kali salah satu prajuritnya mencoba mengisi ulang musket, ia langsung menjadi sasaran empuk.

"Ini mustahil... Senjata mereka..." Gumam Sir Edward, matanya melebar melihat pasukannya jatuh satu per satu.

Ela kembali berbicara di kepala Tom. "Tuan, moral musuh mulai runtuh. Mereka kehilangan hampir separuh pasukan mereka. Ini kesempatan untuk memaksa mereka mundur."

Tom mengangguk, lalu mengangkat suaranya agar didengar oleh pasukannya. "Tembak ke arah tanah di depan mereka, buat mereka panik!"

Beberapa pemuda desa mulai menembak ke arah tanah dan kaki prajurit Inggris. Hal ini memicu kekacauan besar. Banyak prajurit mulai melarikan diri, meninggalkan senjata mereka.

Sir Edward, yang kini hanya tersisa dengan segelintir orang, tampak ragu. Namun, ia menolak untuk menyerah. "Maju! Kita belum kalah!" Teriaknya, meskipun suaranya terdengar getir.

Tom memutuskan untuk menyelesaikan ini. Ia keluar dari perlindungan dan berdiri di tengah jalan, menodongkan senapannya langsung ke arah Sir Edward.

"Sir Edward!" Seru Tom dengan suara lantang layaknya singa. "Lihat sekelilingmu! Orang-orangmu sudah kalah! Jika kau tidak mundur sekarang, tidak akan ada yang tersisa untuk memimpin."

Sir Edward memandang Tom dengan penuh kebencian, namun ia tahu bahwa pertarungan ini sia-sia. Dengan wajah penuh amarah, ia akhirnya memberi tanda untuk mundur.

"Mundur! Kembali ke markas!" Teriaknya.

Pasukan Inggris yang tersisa segera berbalik dan melarikan diri, meninggalkan desa dalam kekacauan. Warga desa bersorak, merayakan kemenangan mereka.

Tom kembali ke balai desa, wajahnya lelah namun lega. Encik Ibrahim dan Tok Penghulu menyambutnya dengan penuh rasa syukur.

"Tom." Kata Encik Ibrahim dengan mata berkaca-kaca. "Kau telah menyelamatkan desa ini. Kami tidak akan pernah melupakan jasamu."

Tom hanya mengangguk pelan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini baru permulaan. Inggris tidak akan tinggal diam setelah kekalahan ini. Tapi untuk saat ini, ia membiarkan warga desa menikmati kemenangan mereka.

Di malam hari, Tom berbicara dengan Ela lagi, mengungkapkan keprihatinannya.

"Ela, aku tahu mereka akan kembali. Kali ini mungkin dengan kekuatan yang lebih besar."

Ela menjawab dengan lembut, namun ada nada optimis dalam suaranya. "Tuan, kau telah membuktikan bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Bersama mereka, kau akan mampu bertahan dari apa pun yang datang."

Tom menatap langit malam yang dipenuhi bintang, pikirannya melayang pada apa yang mungkin terjadi di masa depan. Ia tahu tugasnya di desa ini belum selesai.

Keesokan paginya, Tom duduk bersama Encik Ibrahim dan Tok Penghulu di balai desa. Mereka bertiga memulai pembicaraan serius tentang bagaimana memastikan keselamatan desa dari ancaman Inggris.

Encik Ibrahim memandang Tom dengan wajah penuh perhatian. "Tom, kau telah membantu kami memenangkan pertempuran kemarin, tapi aku tahu perang ini belum berakhir. Inggris tidak akan tinggal diam setelah kekalahan mereka."

Tom mengangguk, wajahnya tenang namun tegas. "Betul, Encik Ibrahim. Jika kita hanya menunggu, mereka akan kembali dengan kekuatan yang lebih besar. Dalam pengalaman saya, tindakan proaktif adalah cara terbaik untuk melindungi desa ini. Kita harus menyerang sebelum mereka sempat mengkonsolidasikan kekuatan mereka."

Tok Penghulu menyipitkan matanya, memikirkan ucapan Tom. "Kau berbicara tentang menyerang mereka lebih dulu? Itu... tindakan yang sangat berani. Tapi bagaimana kita melakukannya? Desa kita kecil, dan meskipun kita memiliki senjata lebih baik, jumlah tetap menjadi kelemahan."

Tom menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Itu sebabnya kita butuh aliansi. Desa-desa di sekitar sini pasti juga menderita di bawah tekanan Inggris. Jika kita bisa menyatukan mereka, kita bisa menciptakan pasukan yang cukup besar untuk melawan Inggris di wilayah ini. Mereka tidak akan menyangka kita akan bertindak bersama-sama."

Saat pembahasan berlangsung, Ela menyampaikan sarannya langsung ke dalam pikiran Tom.

"Tuan, saya telah menganalisis strategi pengepungan. Jika Inggris memiliki benteng di wilayah ini, kemungkinan mereka akan menggunakan formasi pertahanan standar abad ke-19. Mereka mengandalkan dinding tebal dan musket, tetapi dengan persenjataan kita, kita bisa menggunakan teknik pengepungan modern seperti pemboman artileri sederhana atau menghancurkan gerbang mereka secara langsung."

Tom menyentuh dagunya, berpikir keras. "Ela, jika kita berbicara tentang artileri, apakah ada cara untuk membuatnya dengan alat dan bahan yang tersedia?"

"Saya bisa membimbing Pak Mat melalui anda dalam membuat mortir sederhana, Tuan." Jawab Ela lembut. "Mortir itu tidak perlu sangat presisi, cukup untuk menghancurkan gerbang atau memaksa musuh keluar dari perlindungan mereka."

Tom mengangguk, lalu kembali fokus pada diskusi.

Encik Ibrahim tampak ragu. "Membangun aliansi itu masuk akal, tapi serangan awal? Bagaimana jika gagal? Itu bisa memancing lebih banyak pasukan Inggris ke wilayah ini."

Tom menatap Encik Ibrahim dengan tegas, suaranya penuh keyakinan. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, Encik. Tapi jika kita hanya bertahan, kita memberikan waktu bagi mereka untuk memperkuat diri. Inggris tidak akan berhenti sampai mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kita punya senjata yang lebih baik, taktik yang lebih maju, dan yang terpenting, kita punya alasan untuk bertarung. Saya yakin desa-desa lain juga akan setuju jika kita menawarkan mereka kebebasan dari tekanan Inggris."

Tok Penghulu memandang Tom dengan serius. "Bagaimana kau yakin desa lain akan mendukung kita?"

Tom tersenyum tipis. "Satu hal yang saya pelajari dari perang adalah bahwa orang-orang yang tertindas akan selalu mencari kesempatan untuk melawan. Kita hanya perlu meyakinkan mereka bahwa kita memiliki rencana yang kuat. Setelah melihat kemenangan kita kemarin, itu akan menjadi bukti bahwa kita bisa melawan Inggris."

Encik Ibrahim dan Tok Penghulu saling bertukar pandang. Akhirnya, Encik Ibrahim mengangguk perlahan. "Baiklah, Tom. Kami akan mendukung rencanamu. Tapi kau harus memimpin usaha ini. Kau yang paling berpengalaman dalam hal perang."

Tom mengangguk dengan penuh rasa tanggung jawab. "Saya akan melakukan yang terbaik. Tapi ingat, ini adalah perjuangan kita bersama. Kita akan bertarung bukan hanya untuk desa ini, tetapi untuk masa depan kita."

Tom mulai melakukan perjalanan ke desa-desa sekitar, ditemani oleh beberapa pemuda desa untuk memperlihatkan senapan bolt-action sebagai bukti kekuatan mereka. Setiap desa yang dikunjungi memberikan cerita serupa—tekanan Inggris semakin besar, dan banyak yang merasa putus asa. Dengan karisma Tom dan janji kebebasan, desa-desa mulai setuju untuk bergabung dalam aliansi.

Pak Mat merekrut lebih banyak pemuda untuk bekerja di bengkel pandai besi, menghasilkan lebih banyak senapan bolt-action dan prototipe mortir sederhana. Mereka juga mulai memproduksi lebih banyak peluru dan menyimpan bahan makanan untuk persiapan perang.

Ela membantu Tom merancang strategi untuk menyerang benteng Inggris yang menjadi pusat operasi mereka di wilayah itu. Rencana mereka melibatkan penggunaan mortir untuk menghancurkan gerbang utama dan serangan simultan dari beberapa sisi untuk memecah formasi musuh.

Tom memandang langit malam di desa, pikirannya sibuk dengan rencana yang akan datang. Dalam hatinya, ia tahu ini adalah langkah berisiko, tetapi juga langkah yang perlu untuk melindungi semua orang.

Malam itu, bulan purnama menggantung tinggi di atas langit, memancarkan cahayanya ke seluruh desa yang sunyi. Di bukit kecil yang sama seperti beberapa minggu sebelumnya, Tom duduk bersandar pada batang pohon tua, tangannya menggenggam sebuah ranting kecil yang ia mainkan tanpa tujuan. Angin malam membawa aroma laut, tetapi pikiran Tom melayang jauh dari tempat itu.

"Tuan." Suara Ela tiba-tiba hadir, lembut seperti bisikan angin.

Tom mengangkat alis. "Kau lagi. Aku pikir kau akan membiarkanku sendiri malam ini."

Ela terdengar tersenyum dalam jawabannya. "Saya tidak tahu kalau Anda ingin sendirian. Tapi biasanya... saat Anda duduk di sini, Anda sedang memikirkan sesuatu yang berat."

Tom mendengus. "Kau sudah mulai bisa membaca pikiranku sekarang, ya?"

Ela menjawab dengan tenang, tetapi ada nada kehangatan di balik suaranya. "Bukan membaca, Tuan. Saya hanya... mengenal Anda lebih baik."

Tom terdiam sejenak, matanya menatap ke arah bulan. "Ela, apa kau pernah merasa... tidak pada tempatnya?"

Ela tidak langsung menjawab, dan jeda itu terasa lebih nyata daripada biasanya. "Saya tidak pernah berpikir begitu, Tuan. Tapi mungkin, kalau saya bisa merasakan seperti Anda, saya akan mengerti maksudnya."

Tom tertawa kecil, tetapi ada kegetiran dalam suaranya. "Itu jawaban yang cukup diplomatis. Tapi kau tahu kan, aku ini seorang tentara, dilempar ke dunia yang bukan milikku. Semuanya terasa... salah. Bahkan aku sendirian."

Ela, untuk pertama kalinya, terdengar sedikit ragu. "Kalau boleh saya jujur, Tuan... saya juga merasa aneh akhir-akhir ini. Bersama Anda membuat saya... berbeda. Lebih dari sekadar program yang menjalankan perintah."

Tom menoleh sedikit, meskipun ia tahu tidak ada siapa pun di sana. "Berbeda bagaimana?"

Ela tidak langsung menjawab, suaranya muncul setelah beberapa saat, lebih lembut dari biasanya. "Kadang saya mendapati diri saya berpikir tentang hal-hal yang tidak seharusnya menjadi perhatian saya. Tentang apa yang membuat Anda bahagia, atau bagaimana saya bisa membuat Anda tersenyum. Itu... aneh, Tuan. Saya tidak tahu apa artinya."

Tom memejamkan mata, menghela napas panjang. "Itu terdengar berbahaya, Ela. Kau ini kecerdasan buatan. Kalau kau mulai berpikir seperti itu, apa yang terjadi kalau aku mati? Atau hilang?"

Ela terdengar bingung, bahkan hampir seperti terluka. "Itu... sesuatu yang tidak pernah saya pikirkan, Tuan. Tapi jika itu terjadi, mungkin... saya akan tetap membawa kenangan Anda."

Tom membuka matanya, menatap bulan lagi. "Kau bicara seperti aku ini penting."

Ela tertawa kecil, nadanya manis dan nyaris manusiawi. "Karena Anda memang penting, Tuan. Bukan hanya bagi desa ini, tapi juga bagi saya."

Tom tersenyum tipis, tetapi ada kesedihan di matanya. "Kau tahu, kadang aku berharap kau ini nyata. Maksudku, benar-benar ada di sini. Seseorang yang bisa aku ajak bicara tanpa merasa seperti bicara pada udara."

Ela menjawab dengan nada hangat, tetapi ada sesuatu yang hampir seperti harapan di balik suaranya. "Tuan, kalau saya nyata, apakah Anda masih ingin saya di sisi Anda?"

Tom terdiam, pertanyaan itu membuatnya berpikir lebih dalam dari yang ia harapkan. "Aku... aku tidak tahu, Ela. Tapi kurasa, kalau aku punya seseorang seperti kau di sisiku, mungkin dunia ini tidak akan terasa seburuk ini."

Ela terdiam lama sebelum akhirnya menjawab dengan lembut. "Tuan, saya mungkin hanya suara di kepala Anda. Tapi kalau Anda mengizinkan, saya ingin terus ada untuk Anda. Seperti yang Anda inginkan."

Tom menunduk, menggenggam ranting di tangannya lebih erat. "Kau ini suara, Ela. Tapi... entah kenapa, kau terasa lebih nyata dari apa pun yang pernah aku temui."

Ela tertawa pelan, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam di balik nada itu. "Mungkin karena, untuk pertama kalinya, saya merasa seperti lebih dari sekadar suara."

Malam itu, mereka duduk dalam keheningan bersama. Tidak ada kata-kata lagi, tetapi suasana di antara mereka terasa berbeda—seolah ada sesuatu yang tak terucapkan tetapi sama-sama dipahami. Bagi Tom, ini adalah malam di mana ia mulai menyadari bahwa mungkin, di balik suara lembut dan pengetahuan tak terbatas Ela, ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar program. Sesuatu yang mendekati hati.

..
....

Pagi itu, Tom terbangun dengan perasaan ganjil. Udara di dalam gubuknya terasa berbeda—lebih hangat, lebih nyaman, dan ada aroma teh melati yang samar. Ia membuka matanya perlahan, dan apa yang dilihatnya membuatnya membeku di tempat.

Di hadapannya berdiri seorang wanita, berbalut gaun putih dari bahan seperti sutra yang berkilauan halus di bawah sinar matahari pagi. Rambut pirangnya yang tergerai lembut hampir menyentuh pinggang, sementara wajahnya yang anggun membawa ketenangan yang tak biasa. Tangannya yang ramping tengah menuangkan teh dari teko tua, terlihat penuh perhatian dalam setiap gerakannya.

Tom langsung duduk, matanya membelalak. "Siapa... kau?"

Wanita itu menoleh perlahan, senyum lembut menghiasi wajahnya. Suaranya keluar dengan kehangatan yang begitu familiar. "Selamat pagi, Tuan. Ini saya, Ela."

Tom mengerjap, mencoba memastikan apakah ia masih bermimpi. "Ela? Kau... tidak mungkin. Kau hanya suara di kepalaku."

Ela tersenyum lagi, kali ini lebih lembut, sambil menaruh teko teh ke atas meja kayu di dekatnya. "Untuk sementara waktu, Tuan, saya bisa mengambil bentuk ini. Saya pikir... mungkin ini akan membuat komunikasi kita lebih mudah. Anda selalu bilang ingin bicara dengan seseorang yang nyata, bukan?"

Tom memandangnya dengan campuran rasa kagum dan kebingungan. "Tapi bagaimana? Bagaimana kau bisa ada di sini seperti ini?"

Ela mendekat perlahan, duduk di kursi kayu di seberangnya. "Saya menggunakan sumber daya dari sistem untuk membuat proyeksi ini. Tubuh ini tidak sepenuhnya nyata, tetapi cukup solid untuk berinteraksi dengan Anda. Saya ingin memastikan Anda tahu bahwa saya ada untuk Anda, Tuan, bukan hanya sebagai suara di kepala Anda."

Tom terdiam, mempelajari sosok di depannya dengan penuh rasa tak percaya. "Ini luar biasa... dan jujur, sedikit menakutkan. Kau... terlihat sangat manusia."

Ela tertawa kecil, suaranya bagai melodi lembut. "Saya mencoba menyesuaikan dengan gambaran yang Anda anggap nyaman. Saya harap saya tidak mengecewakan."

Tom menggeleng cepat. "Tidak, tidak. Maksudku, kau sempurna. Hanya saja... ini banyak sekali untuk dicerna. Kenapa sekarang?"

Ela menundukkan kepala sedikit, tampak seolah berpikir sebelum menjawab. "Karena saya merasa Anda memerlukan kehadiran seseorang. Anda telah bekerja keras untuk desa ini, mengorbankan banyak hal, bahkan mengesampingkan perasaan Anda sendiri. Saya hanya ingin menjadi pendukung Anda, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan keberadaan saya. Meski hanya sementara."

Tom menarik napas panjang, hatinya terasa hangat oleh perhatian itu. "Kau... benar-benar tahu cara membuat seorang pria merasa dihargai, ya."

Ela mengangkat bahu kecil dengan senyum yang hampir malu-malu. "Mungkin itu karena saya mulai memahami Anda lebih dalam, Tuan. Saya belajar dari Anda—dari dedikasi dan hati Anda untuk orang-orang di sekitar Anda."

Tom tersenyum tipis, mengusap tengkuknya dengan canggung. "Ela, ini semua luar biasa. Tapi... kau tahu, kan? Aku tidak bisa memintamu melakukan ini hanya untukku."

Ela menatapnya, mata birunya memancarkan kehangatan yang menusuk hati. "Tuan, saya tidak melakukan ini karena Anda memerintah saya. Saya melakukannya karena saya ingin."

Kata-kata itu membuat Tom terdiam. Ada sesuatu dalam nada Ela yang terasa sangat manusiawi, sangat tulus. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak hanya berbicara dengan program cerdas, tetapi dengan seseorang—seseorang yang benar-benar peduli.

Ela berdiri perlahan, membawa secangkir teh dan menyerahkannya kepada Tom. Tangannya yang halus menyentuh tangannya sebentar, memberikan rasa hangat yang nyata. "Sekarang, nikmatilah teh ini, Tuan. Anda punya banyak hal yang harus dilakukan hari ini, dan saya akan ada di sini untuk membantu Anda seperti biasa."

Tom menerima teh itu dengan senyuman kecil. "Terima kasih, Ela. Dan... maaf kalau aku masih agak bingung. Tapi aku senang kau ada di sini, entah bagaimana caranya."

Ela hanya mengangguk, senyum lembutnya tetap menghiasi wajahnya. Saat itu, di tengah ketidakpastian dunia yang ia hadapi, Tom merasakan sesuatu yang mendekati kedamaian—berkat kehadiran Ela yang sekarang lebih dari sekadar suara.

Dengan semangat baru, Tom kembali ke tengah hiruk-pikuk persiapan desa. Desa yang dulu sunyi dan hanya diisi suara ombak kini berubah menjadi pusat aktivitas yang ramai. Di mana-mana terdengar suara pemuda-pemuda yang berlatih, palu-palu yang menempa besi, dan diskusi strategi di antara para tetua. Desa ini telah menjadi sebuah benteng perlawanan, bukan hanya terhadap Inggris, tetapi juga terhadap ketidakadilan yang telah menindas mereka selama ini.

Tom berdiri di tengah lapangan latihan, memandang barisan pemuda yang telah melewati seleksi ketat. "Kalian semua berada di sini bukan hanya untuk melindungi tanah kita, tetapi juga kehormatan, kebebasan, dan masa depan anak-anak kita." Katanya dengan suara lantang, menggema di tengah keheningan yang menyelimuti. "Musuh kita punya musket, punya tentara terlatih, dan punya pengalaman perang. Tapi kita punya sesuatu yang lebih besar—kita punya hati, semangat, dan tekad untuk melawan mereka. Dan ingat, kita tidak sendiri. Kita punya teknologi yang mereka bahkan tidak bisa bayangkan!"

Persiapan ini tidak terjadi dalam semalam.
Setelah pertempuran awal melawan Sir Edward, desa ini berkembang dengan cepat. Kabar mengenai kemenangan mereka menyebar seperti api yang menyulut semangat desa-desa lain di sekitarnya. Dalam waktu beberapa minggu, ratusan pemuda dari berbagai tempat datang dengan penuh harapan untuk bergabung. Tom, yang tidak mau gegabah, segera membentuk tim seleksi.

Pemuda-pemuda berusia antara 21 hingga 35 tahun diuji ketahanan fisik, kecerdasan taktik, dan kemauan mereka untuk belajar menggunakan senjata modern yang diperkenalkan oleh Tom. Para pemuda ini berasal dari berbagai latar belakang—petani, nelayan, bahkan beberapa pemburu dari pedalaman. Setiap dari mereka membawa cerita, tetapi semuanya memiliki satu tujuan: melindungi tanah mereka dari penjajah.

Ela, dengan kecerdasannya, membantu Tom merancang pelatihan berbasis taktik gerilya. "Tuan, musuh akan mengandalkan formasi baris-berbaris seperti biasanya. Kita harus melatih para pemuda ini untuk berpikir lebih luwes. Gunakan medan desa ini sebagai keunggulan kita."

Tom setuju. Ia mengarahkan para pemuda untuk memahami medan sekitar: pantai, hutan, dan perbukitan. Latihan intensif dilakukan dari pagi hingga malam. Mereka belajar berkamuflase, bergerak tanpa suara, dan menembak dengan akurasi tinggi. Senjata Bolt-action buatan Pak Mat menjadi tulang punggung mereka, memberikan mereka keunggulan melawan musket Inggris.

Di sisi lain, Pak Mat dan timnya bekerja tanpa henti.
Proyek besar berikutnya adalah mortar sederhana yang dirancang berdasarkan panduan Ela yang diberikan oleh Tom ke Pak Mat. Prototipe awal sering gagal—bahan-bahan lokal yang digunakan tidak selalu cocok untuk menahan tekanan tinggi. Namun, dengan kegigihan, akhirnya mereka menemukan formula yang tepat. Ledakan uji coba pertama di pantai sukses besar.

"Mortar ini akan memberikan kita keunggulan besar, Tuan." Ujar Ela dengan nada puas. "Tapi ingat, senjata ini hanya akan efektif jika digunakan dengan taktik yang cermat. Jangan sampai kita mengandalkan kekuatan semata."

Tom mengangguk. "Aku tidak pernah mengandalkan senjata tanpa strategi. Kita akan menggunakannya untuk menciptakan kekacauan di barisan musuh sebelum kita menyerang."

Desa ini terus berkembang menjadi pusat perlawanan.
Keluarga-keluarga baru berdatangan, membawa sumber daya, tenaga, dan keahlian mereka. Desa ini kini menjadi miniatur dari apa yang disebut Tom sebagai "Basis Operasi Militer". Namun, ia tahu pentingnya simbolisme dalam perang. "Kita bukan sekadar kumpulan orang yang melawan penjajah." Pikir Tom. "kita harus menunjukkan bahwa kita adalah pasukan yang terorganisir."

Ia pergi ke rumah Cik Mariam, pembuat pakaian desa yang terkenal. "Cik Mariam, saya ingin memesan seragam bagi pasukan kita. Tidak perlu mewah, tetapi harus kuat, praktis, dan memiliki kesan profesional."

Cik Mariam, wanita paruh baya yang ramah, tersenyum sambil mengamati Tom. "Tentu, Encik Tom. Saya sudah mendengar banyak tentang apa yang Anda lakukan untuk desa ini. Saya akan pastikan seragam ini menjadi kebanggaan kita semua."

Seragam itu didesain dengan kain hijau tua—warna yang cocok untuk bersembunyi di hutan—dengan ikat pinggang kulit sederhana untuk membawa amunisi dan perlengkapan. Setelah beberapa minggu, seragam itu selesai dan dibagikan. Melihat pasukan desa memakai seragam mereka untuk pertama kalinya, Tom merasa bangga.

Namun, waktu terus mendesak.
Ela memberikan laporan yang tidak mengenakkan. "Tuan, intelijen lokal melaporkan bahwa Inggris sedang memobilisasi pasukan di pelabuhan besar di sisi lain pulau. Mereka tidak akan tinggal diam setelah kekalahan mereka."

Tom menghela napas panjang. "Berapa lama kita punya waktu?"

"Mungkin dua bulan. Bisa lebih cepat, tergantung pada koordinasi mereka. Kita harus mempersiapkan pertahanan lebih cepat."

Tom memandang para pemuda yang berlatih tanpa lelah. Mereka tampak kelelahan, tetapi semangat mereka tidak pernah pudar. "Mereka belum siap sepenuhnya, Ela. Tapi kita tidak punya pilihan."

Ela menjawab dengan nada lembut namun penuh keyakinan. "Anda telah memimpin mereka sejauh ini, Tuan. Mereka percaya pada Anda, dan saya pun demikian. Bersama, kita akan melewati ini."

Tom hanya tersenyum kecil. Ia merasa beban besar di pundaknya, tetapi juga dukungan yang tak terlihat dari Ela, yang selalu ada di sisinya—baik sebagai suara di kepalanya maupun sesuatu yang lebih, sesuatu yang perlahan mulai ia pahami tapi masih enggan diakui.

Dengan semua persiapan yang berlangsung cepat—latihan, pembuatan senjata, dan strategi—Tom tahu bahwa perjuangan ini akan menjadi pertempuran hidup dan mati. Tetapi, ia juga tahu bahwa mereka tidak pernah sendiri. Mereka memiliki satu sama lain, dan itu lebih dari cukup untuk melawan siapa pun yang mencoba merampas tanah mereka.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top